Friday, August 1, 2014

RISAU HATIKU, TIDAK TERKIRA PENDIDIKAN JAUH, DARI HARAPAN



GANG BANYU,  GANG   KUINDRA
LETAKNYA SALING,  BERHADAPAN
RISAU HATIKU,  TIDAK TERKIRA
PENDIDIKAN JAUH,  DARI HARAPAN




GANG KATUNG DAN GANG WADUK
DI PERTENGAHAN JALAN,  CIPTAKARYA
KETIKA BELAJAR, MURID MENGANTUK
KETIKA MENONTON, MURID CERIA

Entah di mana mismanajemen terjadi. Departemen Pendidikan Nasional berdalih, dana sudah dialokasikan sampai kabupaten atau kota dan keterlambatan pembayaran sertifikasi bukan salah pemerintah pusat.

Kenyataannya, banyak guru masih harus bersabar menunggu realisasi pencairan uang sertifikasi. Jika pembayaran hak-hak guru tersendat-sendat, kinerja guru pasti juga terseok-seok.

Meneliti

Hal lain terkait kinerja pendidik adalah keinginan guru untuk mampu meneliti. Ini jauh panggang dari api. Selama ini, guru tak pernah disiapkan sebagai peneliti. Guru tidak seperti dosen yang tugasnya tecermin dalam tridarma perguruan tinggi (mengajar, meneliti, dan melakukan pengabdian kepada masyarakat).

Kini sebagian guru pangkat atau golongannya stagnan pada golongan IVa. Untuk naik ke pangkat lebih tinggi, guru wajib membuat karya ilmiah (sebagian merupakan hasil penelitian). Hal ini memaku guru pada posisi golongan IVa dan sulit naik golongan lagi.

Adalah kenyataan, saat ini dana Depdiknas cukup berlebih daripada tahun-tahun lalu. Alangkah baiknya jika guru diberi pelatihan intensif cara membuat proposal penelitian, cara meneliti, dan cara menulis karya ilmiah. Selain itu, Depdiknas harus mengalokasikan dana riset bagi guru dengan topik-topik terkait masalah peningkatan mutu pendidikan. Dengan demikian, keinginan guru agar meningkatkan performansnya dapat terwujud.

Sebuah survei mengungkapkan, kini banyak generasi muda bercita-cita menjadi guru. Perguruan tinggi pencetak guru yang dulu disebut IKIP kini bakal naik daun. Di balik kepiluan guru menanti uang sertifikasi, ternyata profesi ini akan kian diminati.

Maka, logis jika kini nasib guru tak lagi memilukan. Berpuluh tahun bangsa ini mengabaikan nasib guru. Guru menjadi kurang terhormat karena nyambi pekerjaan di mana-mana, mulai dari memberi les privat, tukang ojek, bahkan ada yang menjadi pemulung. Amat ironis, karena kita sadar, tidak ada presiden tanpa ada guru, tidak ada orang hebat tanpa guru. Karena itu, menghargai profesi guru dan meningkatkan kesejahteraan guru seharusnya dilakukan sejak dulu.

Profesi yang berbeda

Guru adalah profesi yang harus dibedakan dengan profesi pegawai negeri sipil lainnya. Guru adalah penentu kualitas sumber daya manusia di masa depan. Kebijakan yang tidak memihak guru atau sekadar menyamakan guru dengan PNS lain akan berdampak buruk bagi kemajuan bangsa Indonesia.

Bangsa yang kurang menghargai pendidik dan menomorduakan pendidikan akan terpuruk Indeks Kemajuan Manusia (HDI)-nya. Kenyataannya, kita selalu di peringkat rendah dalam hal HDI. HDI rendah adalah cermin karut-marutnya pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.


Guru harus menjadi profesi yang membanggakan. Jika PNS nonguru bergaji rendah lalu korupsi melalui kegiatan proyek, guru dan kepala sekolah jangan ikutan korupsi. Bila guru dan kepala sekolah korupsi, sirnalah penjaga moral bangsa, tak ada yang tersisa.


Pendidik di kalangan perguruan tinggi mungkin kaget membaca berita di media, tunjangan sertifikasi dosen dan guru besar dapat dihentikan. Baru berapa bulan dan berapa ribu dosen yang menikmati uang sertifikasi, muncullah aneka ancaman yang tidak perlu. Dikatakan, dosen harus melaksanakan tugas setara 12 SKS agar tunjangan sertifikasinya dapat dibayarkan. Sebenarnya ini bukan hal sulit karena aktivitas dosen bukan hanya mengajar, tetapi juga menulis buku, membuat proposal riset, meneliti, menjadi pemakalah seminar, sebagian menjadi anggota senat dan lainnya. Mayoritas dosen PTN dapat memenuhinya.


Apalagi sejak tahun lalu Depdiknas meningkatkan ketersediaan dana riset bagi dosen hingga Rp 1 triliun. Hal ini memudahkan dosen menerapkan tugas tridarma. Bahkan, para dosen yang mau mengirimkan karya ilmiahnya di jurnal internasional diberi dana Rp 30 juta-Rp 40 juta per artikel yang akan dimuat. Insentif semacam ini penting guna meningkatkan indeks penghargaan dan publikasi internasional.


Indonesia yang sedemikian luas dengan ratusan perguruan tinggi ternyata hanya menempatkan satu perguruan tinggi— UI—yang menembus peringkat 200-an sebagai perguruan tinggi terkemuka di dunia. Depdiknas dan pimpinan universitas-universitas besar di Indonesia harus memacu kinerja lembaganya agar gelar universitas berkelas dunia segera diraih.






No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook