Friday, September 26, 2014

PENDEKATAN ILMU ISLAMI



PENDEKATAN ILMU ISLAMI

 
Catatan M.Rakib LPMP Riau Indonesia. 2004

PENDEKATAN KONTEKS STUDI ISLAM


I.                   PENDAHULUAN
Sejalan dengan pembidangan ilmu dalam studi islam, pendekatan studi islam pun mengalami perkembangan, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Pada bab ini dijelaskan sejumlah pendekatan yang dapat digunakan dalam studi islam. Diantara lain yaitu pendekatan : Teologis, Yuridis, Psikologis, Historis, Antropologis, Sosiologis, Filosofis, Fenomenologis.[1][1]

II.                RUMUSAN MASALAH
a.       Bagaimana Pendekatan Teologis dalam Studi Islam ?
b.      Bagaimana Pendekatan Yuridis dalam Studi Islam
c.       Bagaimana Pendekatan Historis dalam Studi Islam ?
d.      Bagaimana Pendekatan Psikologis dalam Studi Islam?
e.       Bagaimana Pendekatan Antropologis dalam Studi Islam ?
f.       Bagaimana Pendekatan Sosiologis dalam Studi Islam ?
g.      Bagaimana Pendekatan Filosofis dalam Studi Islam ?
h.      Bagaimana Pendekatan Fenomenologis dalam Studi Islam ?
III.             PEMBAHASAN

A.    Pendekatan Teologis
Teologi dari segi etimologi berasal dari bahasa yunani yaitu theologia. Yang terdiri dari kata theos yang berarti tuhan atau dewa, dan logos yang artinya ilmu. Sehingga teologi adalah pengetahuan ketuhanan . sedangkan pendekatan teologis adalah suatu pendekatan yang normatif dan subjective terhadap agama. Pada umumnya, pendekatan ini dilakukan dari dan oleh penganut agama dalam usahanya menyelidiki agama lain. Secara harfiah, pendekatan teologis normatif dalam memahami agama dapat diartikan sebagai upayamemahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empiris dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dubandungkan dengan yang lainnya.
Menurut The Encyclopedia of American Religion, di Amerika Serikat terdapat 1.200 sekte keagamaan. Satu diantaranya adalah sekte Davidian bersama 80 orang pengikut fanatiknya melakukan bunuh diri masal setelah berselisih dengan kekuasaan pemerintah Amerika Serikat. Dalam Islam pun secara tradisional dapat dijumpai teologi Mu’tazilah, teologi Asy’ariyah, dan teologi Maturidiyah. Sebelumnya terdapat pula teologi bernama Khawarij dan Murji’ah. 
Di masa sekarang ini, perbadaan dalam bentuk formal teologis yang terjadi di antara berbagai madzhab dan aliran teologis keagamaan. Namun, pluralitas dalam perbedaan tersebut seharusnya tidak membawa mereka pada sikap saling bermusuhan dan saling menonjolkan segi-segi perbedaan masing-masing secara arogan, tapi sebaiknya dicari titik persamaanya untuk menuju subtansi dan misi agama yang paling suci. Salah satunya adalah dengan mewujudkan rahmat bagi seluruh alam yang dilandasi pada prinsip keadilan, kemanusiaan, kebersamaan, kemitraan, saling menolong, saling mewujudkan kedamaian, dan seterusnya. Jika misi tersebut dapat dirasakan, fungsi agama bagi kehidupan manusia segera dapat dirasakan. [2][2]

B.     PENDEKATAN YURIDIS
Ada beberapa teori yang dapat digunakan dengan kajian pendekatan yuridis dan sosiologi hukum. Misalnya: secara empirik-induktif, teori pengakuan (anerkennungs theorie) menyatakan, bahwa hukum mempunyai kekuatan berlaku jika diterima dan diakui oleh masyarakat. Secara normatif-deduktif, teori kekuatan (machts theorie) menyatakan, bahwa hukum mempunyai kekuatan berlaku jika dipaksakan oleh penguasa, terlepas diterima atau tidak oleh masyarakat.
Kaitannya dengan usaha menafsirkan perundang-undangan ada beberapa teori dan sekaligus pendekatan (approach) yang dapat digunakan, yakni:
1.         The literal approach (teori harfiah/literal)
Maksud teori ini adalah menafsirkan teks perundang-undangan dengan mengandalkan teks secara harfiah (bahasa).
2.         The golden rule (teori emas)
Teori yang sebenarnya pengembangan atau perbaikan teori literal ini bermakna, dengan teori ini penafsiran pengambilan makna biasa dan berpegang teguh pada makna itu, kecuali kalau makna tersebut tidak sesuai dengan maksud badan perundang-undangan yang sedang dibahas.
3.         The mischief rule (kaedah menghilangkan kemudratan)
Teori ini berasumsi, kadang-kadang dalam satu kasus tertentu dalam undang-undang tidak begitu saja bisa dipakai dan dipahami dengan baik. Sebagai jalan keluarnya, seorang penafsir atau hakim bisa melakukan dengan cara menjauhi kemungkinan munculnya kemudaratan. 
4.         The purposive approach (teori tujuan)
Teori ini/ mencakup teori harfiah/literal (the literal approach), teori keemasan (the golden rule) dan teori kemudratan (the mischief rule), yaitu menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan mereka yang membuat undang-undang.
Lebih lanjut dapat dicatat, untuk menganalisis hukum sebagai satu system, ada tiga aspek yang dapat dikaji, yakni materi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure)  dan budaya hukum (legal culture).
Dengan demikian, objek kajian materi hukum (legal substance) adalah materi atau isi dari hukum/undang-undang. Fokus kajian struktur hukum (legal structure) adalah lembaga dan penegak hukum; hakim, jaksam pengacara, proses dan struktur. Sementara fokus kajian budaya hukum (legal culture) adalah masyarakat yang menjadi subjek yang diatur oleh hukum, menyangkut ide, gagasan, nilai-nilai, norma, kebiasaan, dan semacamnya.
Sementara peran hukum secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni hukum sebagai alat pengatur atau pengontrol (law as a toot of social control) dan hukum sebagai alat rekayasa/perubahan sosial (law as a tool of social engineering), bahkan ahli sociological jurisprudence, Roscoe Pund sangat yakin bahwa hukum dapat menjadi alat untuk mengubah masyarakat kearah keadaan yang lebih baik.[3][3]

C.    Pendekatan Histori
Dengan menggunakan pendekatan sejarah ada minimal dua teori yang bisa digunakan yaitu:
1.         Idealist approach
2.         Reductionalist approach
Maksud idealist approach adalah seorang peneliti yang berusaha memahami dan menafsirkan fakta sejarah dengan mempercayai secara penuh fakta yang ada tanpa keraguan. Sedangkan reductionalist approach adalah seorang peneliti yang berusaha memahami dan menafsirkan fakta sejarah dengan penuh keraguan. Seperti dijelaskan sebelumnya ada 3 teori lain yang penting dipahami dengan pendekatan sejarah, yakni diakronik, sinkronik, dan sistem nilai.
Maksud diakronik adalah penelusuran sejarah dan perkembangan suatu fenomena yang sedang diteliti. Misalnya, kalau sedang meneliti “konsep riba menurut Muhammad ‘Abduh”, diakroninya adalah harus lebih dahulu membahas kajian-kajian orang sebelumnya yang pernah membahas tentang riba.
Adapun sinkronik adalah kontekstualisasi atau sosiologis kehidupan yang mengitari fenomena yang sedang diteliti. Kembali pada contoh konsep riba Muhammad ‘Abduh, maka sosial kehidupan Muhammad ‘Abduh dan sosial kehidupan tokoh-tokoh yang pernah membahas fenomena yang sama juga harus dibahas.
Sedang sistem nilai adalah sistem nilai atau budaya sang tokoh dan budaya dimana dia hidup. Maka penelitian dengan teori diakroni, sinkronik, dan system budaya adalah penelitian yang menelusuri latar belakang dan perkembangan fenomena yang diteliti lengkap dengan sejarah sosio-historis dan nilai budaya yang mengitarinya. Maka menjadi wajar kalau alat analisis ini lebih dikenal sebagai alat analisis sejarah dan atau sosial (sosiologi).[4][4]

D.    Pendekatan Psikologis
Pendekatan ini merupakan usaha untuk memperoleh sisi ilmiah dari aspek-aspek batini pengalaman keagamaan. Suatu esensi pengalaman keagamaan itu benar-benar ada dan bahwa dengan suatu esensi, pengalaman tersebut dapat diketahui. Sentimen-sentimen individu dan kelompok berikut gerak dinamisnya, harus pula diteliti dan inilah yang menjadi tugas interpretasi psikologis.
Interpretasi agama melalui pendekatan psikologis memang berkembang dan dijadikan sebagai cabang dari psikologi dengan nama psikologi agama. Objek ilmu ini adalah manusia, gejala-gejala empiris dari keagamaanya. Karena ilmu ini tidak berhak mempelajari betul tidaknya suatu agama, metodenya pun tidak berhak untuk menilai atau mempelajari apakah agama itu diwahyukan Tuhan atau tidak, dan juga tidak berhak mempelajari masalah-masalah yang tidak empiris lainnya. Oleh karena itu pendekatan psikologis tidak berhak menentukan benar salahnya suatu agama karena ilmu pengetahuan tidak memiliki teknik untuk mendemonstrasikan hal-hal seperti itu, baik sekarang maupun waktu yang akan datang.
Selain itu, sifat ilmu pengetahuan sifatnya adalah empirical science, yakni mengandung fakta empiris yang tersusun secara sistematis dengan menggunakan metode ilmiah. Fakta empiris ini adalah fakta yang dapat diamati dengan pola indera manusia pada umumnya, atau dapat dialami oleh semua orang biasa, sedangkan Dzat Tuhan,wahyu,setan,dan fakta gaib lainnya tidak dapat diamati dengan pola indera orang umum dan tidak semua orang mampu mengalaminya. (Aziz Ahyadi,1981:9;Zakiah daradjat,1979:17-19).
Sumber-sumber ilmiah untuk mengumpulkan data ilmiah melalui pendekatan psikologi ini dapat diambil dari:
1.         Pengalaman dari orang-orang yang masih hidup
2.         Apa yang kita capai dengan meneliti diri kita sendiri
3.         Riwayat hidup yang ditulis sendiri oleh yang bersangkutan, atau yang ditulis oleh para ahli agama (Zakiah Daradjad,1979:20)[5][5]
E.     PENDEKATAN ANTROPOLOGIS 
Dalam melukiskan garis pemisah yang jelas antara antropologi dan sosiologi karena kedua macam ilmu ini terbagi bukan karena metode yang dipakai oleh para sarjana, melainkan metode yang dipakai oleh tradisi. Bagaimanapun, antropologi telah memusatkan perhatiannya kepada kebudayaan-kebudayaan primitif yang tidak bisa baca-tulis tanpa teknik.
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya dalam memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah- masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain, cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitannya hal ini, menurut Dawam Rahadjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung. Bahkan bersifat partisipatif. Dari sini, timbul kesimpulan-kesimpulan yang bersifat induktif . penelitian antrpologis yang induktif yaitu turun langsung kelapangan atau dengan upaya membebaskan diri dari kungkugan teori-teori fornal yang pada dasarnya sangat abstrak .
Dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan miskin pada umumnya lebih tertarik pada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat messianic, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Adapun golongan orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan ini menguntungkan pihaknya. Karl Mar (1818-1883) sebagai contoh: melihat agama sebagai opium atau candu masyarakat tertentu sehingga mendorongnya untuk memperkenalkan teori konflik atau yang biasa disebut teori pertentagan kelas.
Melalui pendekatan antropologis, kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembagan ekonomi suatu masyarakat. Dalam hal ini, jika ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang, kita mengubah pandangan keagamaannya.
Selanjutnya, melalui pendekatan antropologis, kita dapat melihat agama adalah hubungannya dengan mekanisasi pengorganisasian (social organization) juga tidak kalah menarik untuk diketahui oleh para peneliti sosial keagamaan. Seperti kasus di indonesia, karya Clifford Geertz, The Religion Of Java dapat dijadikan contoh yang baik dalam bidang ini. Geertz melihat adanya klasifikasi sosial dalam masyarakat muslim di jawa: santri, priyayi,dan abangan. Sungguhpun hasil penelitian antropologis di jawa timur   ini mendapat sanggahan dari berbagai ilmuan sosial yang lain, konstruksi stratifikasi sosial yang dikemukakannya cukup membuat orang berpikir ulang untuk mengecek ulang keabsahannya.
Melalui pendekatan antropologis fenomenologis, kita dapat melihat hubungan antara agama dan negara (state dan religion). Topik ini selalu menarik dapat di lihat dari fenomena negara agama seperti : Vatikan dalam bandingannya dengan negara-negara sekuler dikelilingnya di Eropa Barat. Kenyataannya dinegara Turki modern yang mayoritas penduduknya beragama islam, tetapi konstitusi negaranya menyebut suklarisme sebagai prinsip dasar kenegaraan yang tidak dapat di tawar . Belum lagi, meneliti dan membandingkan kerajaan Saudi Arabia dan Negara Republik Iran yang berdasarkan islam. Orang akan bertanya apa sebenarnya yang menyebabkan kedua sistem pemerintahan tersebut sangat BERBEDA, yaitu kerajaan dan republik, tetapi sama-sama menyatakan islam sebagai asa tunggalnya. Belum lagi, jika dibandingkan dengan negara kesatuan republik indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama islam, tetapi menjadikan pancasila serbagai asas tunggal.
Melalui pendekatan antropologis, dapat ditemukan keterkaitan agama dengan psikoterapi. Signum Frued (1856-1939) pernah mengaitkan agama dengan oedipus kompleks, yakni pengalaman seorang anak yang tidak berdaya di hadapan kekuatan dan kepada bapaknya. Agama dinilainya sebagai neorosis. Dalam psikonalisisnya, dia megungkapkan hubungan antara ide, ego, dan superego. Meskipun penelitian Frued berakhir dengan kurang simpati terhadap realita keberagaman manusia, temuannya ini cukup memberi peringatan terhadap beberapa kasus keberagaman tertentu yang lebih terkait dengan patologi sosial maupun kejiwaannya.
Melalui pendekatan antropologis, sebagaimana dijelaskan di atas terlihat dengan jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia, dan dengan itu pula, agama terlihat akrab dan fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan manusia.
Pendekatan antropologis seperti itu diperlukan, sebab banyak hal yang dibicarakan agama hanya dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan antropologis. Dalam Al-Qur’an yang digunakan  sebagai sumber agama ajaran islam misalnya, kita memperoleh informasi tentang kapal Nabi Nuh di gunung arafah, kisah Ashabul Khafi yang dapat bertahan hidup dalam gua lebih dari tiga ratus tahun lamanya. Di mana kira-kira bangkai kapal Nabi Nuh itu, dan di mana kira- kira gua itu dan bagaimana pula bisa terjadi hal yang menakjubkan seperti itu, ataukah hal demikian merupakan kisah fiktif ? Tentu masih banyak lagi contoh lain yang hanya dapat dijelaskan dengan ahli geografis dan arkologi.
Dengan demikian, pendekatan antropologis sangat diutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat dijelaskan melalui bantuan ilmu antropologi dengan cabang-cabangnya. [6][6]
F.     PENDEKATAN SOSIOLOGI
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dengan masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh, dan cara hidup bersama dalam tiap persekutuan hidup manusia. Menurut Soejono Soekantomengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian.
 Dari dua definisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah ilmu yang menggambarkan keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.  Dan juga mempelajari kehidupan masyarakat dan menyelidiki ikatan- ikatan antara manusia  yang saling berkaitan  serta keyakinan-keyakinan yang mendasar terjadinya proses tersebut. [7][7]
Sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami pendekatan. Hal ini dapat dimengerti karena banyak kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi. Dalam ajaran islam dapat dijumpai peristiwa Nabi Yusuf yang dahulu budak lalu akhirnnya bisa jadi penguasa di Mesir. Mengapa dalam melaksanakan tugasnya Nabi Musa harus di bantu Nabi Harun dan masih banyak lagi masalah yang lain. Beberapa peristiwa tersebut baru dapat dijawab dan sekaligus dapat ditemukan hikmahnya dengan bantuan ilmu sosial. Disinilah peran sosiologi sebagai salah satu alat dalam memahami suatu agama.
Pentingnya pendekatan sosiologi dalam memahami agama dapat dipahami karena banyak ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agamanya. Dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif, Jalaludin Rahmat telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama, dalam hal ini islam, terhadap masalah sosial, dengan mengajukkan lima alasan berikut.
Pertama, dalam Al-Quran atau kitab-kitab hadis proporsi terbesar kedua sumber hukum islam itu berkenaan urusan muamalah. Menurut Aytul Khumaini dalam bukunya Al-hukumah Al-islamiyah yang dikutip Jalaludin Rahmat yang mengungkapkan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah suatu perbandingan seratus untuk satu ayat ibadah, dan seratus muamalah (masalah sosial).
Kedua, ibadah yang mengandung segi masyarakat diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perorangan. Oleh karena itu shalat yang dilakukan salat berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya dari pada  shalat sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.
Ketiga,dalam islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, kifaratnya (kifaratnya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial. Bila puasa tidak mampu dilakukan misalnya, jalan keluarnya dengan jalan membayar fidyah dalam bentuk memberi makan bagi orang miskin. Bila suami istri bercampur di siang hari pada bulan ramadhan atau ketika istri dalam keadaan haid, tebusannya adalah dinyatakan bahwa salah satu orang yang diterima shalatnya ialah orang yang menyantuni orang miskin, anak yatim, janda, dan yang mendapat musibah.
Melalui pendekatan sosiologis, agama dapat dipahami dengan mudah karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam Al-Quran misalnya, kita jumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa, dan sebab-sebab yang menyebabkan kesengsaraan. Semua itu jelas baru dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada saat ajaran agama itu diturunkan.[8][8]

G.    PENDEKATAN FILOSOFIS
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) filosofis berarti berdasarkan filsafat, filsafat merupakan pengetahuan dan penyelidikan dengan  akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal dan hukumnya. Teori ini merupakan teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan yang menghasilkan ilmu yang berintikan logika, estetika, dan metafisika. (kamus besar bahasa indonesia).
Pendekatan Filosofis merupakan metode yang sering digunakan dalam studi keagamaan untuk mengkaji agama. Dalam pendekatan ini penekanannya lebih pada upaya penyingkapan dan pemahaman fenomena agama daripada menilai evisensi dan mengevaluasi kebenaran apa-apa yang diklaim agama. Pendekatan filosofis dalam studi agama mungkin harus melakukan penelitian dan penyelidikan yang berfokus pada: bagaimana ide-ide dan konsep-konsep dalam sejarah filsafat memungkinkan kita memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang doktrin atau memahami pandangan para teolog secara lebih akurat. Pendekatan ini berhubungan dengan teologi sehingga muncul “teologi filosofis”karena perangkat-perangkat dan teknik-teknik digunakan untuk meneliti persoalan-persoaln teologis dan memungkinkan mahasiswa menjadikan teologi lebih baik.
Pendekatan filosofis tidak hanya berada dalam satu tempat, dan kenyataan bahwa pendekatan ini digunakan dalam sejumlah konteks yang berbeda-beda menambah krisis identitas yang dialami. Kita dapat menemukan orang yang menemukan orang yang melakukan pendekatan filosofis dalam studi keagamaan, departemen teologi, dan dalam departemen kemanusiaan.
Dalam kaitanya dengan agama, terdapat banyak dan beragam pendekatan filosofis. Lagi- lagi kita perlu melacak asal usul pendekatan filosofis dengan kembali keYunani kuno, namun kita perlu memahami bahwa di eropapemikiran filosofis tidak bermula dari tanggapannyaterhadap agama atau sebagai bagian dari penyelidikan religius dalam rangka memehami dunia. Beberapa filsuf Yunani awal yang termasyhur- Socrates, Plato, Aristoteles –berfilsafat tanpa merasa perlu memasukkan agama atau pemikiran religius. Salah satu alasannya bahwa budaya yunani adalah politeistik dikelilingi oleh banyk tuhan yang merupakan bagian dari kosmos dan di bangun oleh hukum-hukum dan prinsip-prinsip impersonal yang sama yang berjalan dalam kosmos, sebagai hail yang juga berlaku bagi manusia. Alasn kedua, filsuf-filsuf awal memulai membuang mite bdan sejarah-sejarah dunia, yang tidak memiliki landasan dan menggunakan rasionalitas kritis untukmenginterprestasikan dunia untuk mencapai pengetahuan. Merekaberharap sampai pada kebenaran denganmenggantikan mite, sejarah, dan tradisi klasik denga pembahasan yang lebih ternalar dan reflektif mengenai kehidupandan pengalaman manusia. Bahasan- bahasan yang lebih ternalar itu menjadi dasarbagi aktifitas filosofis. [9][9]
H.    PENDEKATAN FENOMENOLOGIS
Definisi fenomenologis yaaitu barasal dari bahasa Yunani “fenomenon”  yaitu sesuatu yang tampak yang terlihat karena berkecakupan. Dalam  bbahasa indonesia dipakai istilah gejala, jadi fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau gejala sesuatu yang menampakkan diri. Ilmu yang dipelajari adalah ilmu tentang perkembangan kesadaran dan pengenalan diri manusia sebagai ilmu yang mendahului ilmun filsafat atau bagian dari filsafat.
Pendekatan Fenomenologis mula-mula merupakan upaya membangun suatu metodologi yang kohern bagi studi agama. Sekarang kitadapat melihat perkembangan pendekatan ini dengan lebih detil.
Fenomenologi agama muncul di luar perdebatan itu, namun berangkat dari evaluasi atas anteseden (pendekatan yang telah mendahuluinya), dan berusaha menetapkan kerangka kerja metodologisnya sendiri dalam studi agama dalam kaitannya sebagai pendekatan alternatif terhadap sujek agama. Meski demikian kita mesti berhati-hati terhadap kecenderungan menganggap fenomenologi sama sekali berbeda dari disiplin-disiplin lain. Keadaannya lebih komplek dan tidak stabil. Sarjana-sarjana awal dengan tekun memanfaatkan pandangan-pandangan pemikir dari disiplin-disiplin yang berbeda hingga sampai pada kesimpulan mereka sendiri.
Mengakui bahwa gagasan mengenai studi agama secara fenomenologis sesungguhnya merupakan upaya menjustifikasi (hukum/keadilan) studi agama berdasar istilah yang dimilikinya sendri dari pada berdasar sudut pandang teolog atau ilmuwan sosial. Gagasan umum yang terdapat dibalik pilihan ini, telah dan tetap bersifat liberal, yang menegaskan pentingnya pengkajian yang setara terhadap kultur keagamaan yang berbeda-beda yang melampaui atau yang ada sekarang, berempati dan berusaha memahami sudut pandang trads yang berbeda-beda yang melintasi spektrum praktik keagamaam dan mengonstruksi suatu kasus demi kepentingan studii agama dalam dunia akademik.
Fenomenologi yang tampak mulai menyelidiki dunia agama, melalui upaya kolektif, menemukan bahwa dunia ini sulit  dipetakan. Dia terancam oleh mereka yang berusaha dinilai baik umat beriman maupun peneliti-peneliti ilmiah lainnya yang mengunakan perangkat dan metode yang berbeda. Meskipun tujuannya lunak, dunia disekitarnya telah berubah (dia menjadi bagian pelaku perubahan-perubahan itu), dan dalam batas tertentu berbalik melawan meereka.
Bekalnya cukup, untuk berbur
Di hutan jati, jangan tersesat
Mulianya hidup, sebagai guru
Sampai mati, tetap bermanfaat

Wawan Budi's photo. Wawan Budi's photo.
Sang guru  laiknya matahari di siang hari dan rembulan di malam hari.Kehadirannya amat dibutuhkan dan dirindukan karena keikhlasannya dalam menularkan ilmunya, keberadaannya menyejukkan hati karena kasih sayangnya yang tulus. Sebuah sosok dan figur yang terukir dan terpatri di hati hingga menjadi obsesi hampir disetiap murid.Sungguh mulia menjadi seorang guru yang bagai matahari di siang hari dan rembulan di malam hari.
Kenangan itu serasa masih dipelupuk mata padahal kejadian itu sudah hampir tiga puluh tahun berlalu.
Kini,segalanya sudah berubah.Mula-mula gejala alam akibat keserakahan manusia yang berujung terjadinya bencana  bertubi-tubi, disusul dengan kemajuan teknologi yang melesat tanpa bisa dibendung,tragisnya usernya (manusia)tidak dibekali dengan pondasi aqidah dan akhlak yang kuat dan kokoh.Sehingga guru banyak mengalami kesulitan dan hambatan dalam menanamkan caracter building pada anak didik disatu  sisi, sementara  anak didik kurang begitu yakin dengan keikhlasan dan kasih sayang dari guru dalam berbagai interaksinya di sisi lain.Kondisi ini diperparah oleh sebagian besar orang tua selaku wali murid yang kurang bahkan tidak peka dan tidak peduli terhadap perkembangan  psikhis dan fisiologis anak. Hal ini ditandai dengan persepsi sebagian besar orangtua (wali murid) yang menganggap di sekolah segala permasalahan anaknya sudah teratasi, sementara orang tua tinggal menunggu dan melihat hasilnya.
Dalam kondisi seperti ini hal yang dibutuhkan adalah kearifan dari berbagai pihak dan elemen lembaga pendidikan untuk saling  proakatif mengambil peran positif sehingga terbangun sinergi diametral sesama stake holder. Dengan tujuan adanya satu persepsi dalam mendidik anak yang kelak diharapkan menjadi generasi yang unggul dalam iptek dan tangguh dalam imtak.Tentu semua itu belum cukup untuk mewujudkan masyarakat madani yang mumpuni kecuali semua sepakat untuk senantiasa menjalankan segala aktivitas sesuai dengan sunnah-sunnah Rasululoh sallallohu alaihi wa sallam khususnya dalam hal yang terkait dengan ubudiyah, karena hanya beliaulah satu-satunya sosok uswah hasanah.

Penulis terterik dengan ungkapan AKHMAD SUDRAJAT tentang guru ubur-ubur..
Tata tertib kelas,  pengendalian kelas, manajemen kelas atau apapun namanya, merupakan hal yang amat krusial bagi seorang guru. Apabila seorang guru tidak mampu memelihara disiplin dalam kelas maka kemungkinan proses pembelajaran akan mengalami kegagalan. Kegiatan ini merupakan langkah awal untuk menciptakan sebuah lingkungan belajar yang kondusif.
Sebagai agen sosialisasi (socialization agent), guru hendaknya membelajarkan siswa  tentang berbagai perilaku yang sesuai dengan tuntutan situasi. Dalam berinteraksi dan berkomunikasi  dengan siswa, guru menyampaikan berbagai pesan kepada siswa agar dapat berperilaku sesuai dengan situasi yang diharapkan di kelas.
Terdapat 4 (empat)  hal penting untuk mencapai kesuksesan di kelas:
  1. Guru perlu merencanakan secara matang pendekatan individual dalam mendisiplinkan siswa.
  2. Guru harus memahami secara baik berbagai teori disiplin, beserta asumsi yang mendasarinya.
  3. Guru memahami nilai-nilai dan filsafat pendidikan yang diyakininya.
  4. Guru  harus mampu menentukan pendekatan disiplin yang sejalan dengan keyakinan siswanya, sehingga tidak menimbulkan kebingungan siswa dan konflik personal.
Sesungguhnya, banyak teori  tentang disiplin yang bisa kita terapkan, salah-satunya adalah  teori Inner Discipline yang digagas oleh Barbara Coloroso. Dalam upaya mendisiplinkan siswa di kelas (sekolah), Coloroso mengemukakan 3 (tiga) kategori guru (dalam tulisan ini saya menggunakan istilah tipe guru), yaitu: (1) Brickwall  Teacher (Guru Tembok Bata); (2) Jellyfish Teacher  (Guru Ubur-ubur); dan (3) Backbone Teacher (Guru Tulang Punggung). Berikut ini disampaikan penjelasan singkat dari ketiga tipe tersebut:
  1. Guru Tembok Bata (Brickwall  Teacher). Guru tipe ini berusaha membatasi dan mengendalikan siswa secara ketat,  menganggap siswa sebagai bawahan dan kerap menghina siswa. Disini tidak ada wilayah abu-abu, yang ada hanyalah dikhotomi antara hitam dan putih. Guru tipe ini mengoperasikan tugas dalam suasana ketakutan, melalui aturan tetap dan kaku, menekankan ketepatan waktu, kebersihan dan ketertiban.  Dalam proses pembelajaran sering mematahkan kehendak siswa, menekankan ritual dan hafalan, lebih mengandalkan pada kompetisi dan mengajarkan tentang  apa yang harus dipikirkan daripada bagaimana berpikir (what to think rather than how to think). Guru Tembok Bata (Brickwall  Teacher) kurang memberi kepercayaan kepada siswa untuk mengembangkan Inner Discipline-nya.
  2. Guru Ubur-ubur (Jellyfish Teacher). Berbanding terbalik dengan Guru Tembok Bata, guru tipe yang kedua ini sama sekali tidak memiliki ketegasan dan cenderung lemah dalam mengelola kelas, sehingga memungkinkan terjadinya kekacauan dan anarki di kelas.  Tidak memiliki aturan dan struktur yang jelas, serta seringkali menetapkan  aturan dan hukuman yang tidak konsisten. Guru tipe ini cenderung menggunakan ancaman dan emosional serta meremehkan proses pembelajaran. Sama halnya dengan tipe guru Tembok Bata (Brickwall  Teacher),  guru tipe yang kedua ini  juga tidak memperhatikan kebutuhan siswa akan pengembangan kemampuan Inner Discipline-nya.
  3. Guru Tulang Punggung (Backbone Teacher). Guru tipe  ketiga  ini adalah guru yang senantiasa berusaha memberikan dukungan dan menyediakan struktur yang diperlukan siswa untuk menyadari keunikan dan mengenal diri yang sejatinya. Proses pembelajaran berlangsung secara demokratis dengan aturan yang sederhana tetapi jelas. Guru tipe yang ketiga ini selalu berusaha mendukung siswa untuk melakukan kegiatan yang kreatif, konstruktif dan bertanggung jawab, memotivasi siswa agar  dapat melakukan semua hal yang mereka miliki bisa. Guru Tulang Punggung (Backbone Teacher) berupaya membelajarkan siswa bagaimana berpikir dan memperoleh kepercayaan terhadap diri sendiri maupun  orang lain. Pada Guru Tulang Punggung (Backbone Teacher) inilah memungkinkan terjadinya pengembangan Inner Discipline siswa.
Coloroso berkeyakinan bahwa dalam berhubungan dengan siswa, seorang guru seyogyanya dapat membantu siswa untuk mengembangkan Inner Discipline-nya. Dalam arti, membantu siswa agar mampu menunjukkan perilaku yang kreatif, konstruktif, kooperatif, dan bertanggung jawab, tanpa harus diatur dan dikendalikan orang lain. Siswa dibelajarkan untuk menerima masalah yang dimiikinya, mengambil tanggung jawab penuh atas masalah perilakunya  dan dapat mengambil  tindakan yang tepat untuk mengatasinya, bukan atas dasar rasa takut tetapi berdasarkan pemahaman dan kesadaran bahwa memang itulah hal yang benar untuk dilakukan (it is the right thing to do).
Teori Inner Discipline meyakini bahwa setiap siswa pada dasarnya terhormat, oleh karena itu sudah sepatutnya mereka menerima perlakuan secara terhormat dan setiap saat dapat diperlakukan dengan tanpa harus melukai kehormatan dirinya. Langkah-langkah penerapan Inner Discipline dikembangkan dalam 6 (enam) tahapan, yaitu:  (1) identifikasi dan mendefinisikan masalah; (2) menentukan kemungkinan-kemungkinan pemecahannya; (3) mengevaluasi pilihan-pilihan yang tersedia; (4) memilih salah satu pilihan yang ada; (5)  membuat sebuah rencana dan melaksanakannya; (6) melakukan retrospeksi, dengan mengevaluasi ulang masalah dan solusi yang dijalankan.
Menurut Coloso, keenam langkah ini telah mencakup 3 R  tentang Disiplin, yaitu: (1) Restitusi: memperbaiki kerusakan perilaku dan kepribadian  yang dialami siswa ; (2) Resolusi: menentukan cara untuk tidak membiarkan perilaku itu terjadi lagi atau dengan kata lain siswa dapat menerima apa yang yang telah dilakukannya dan memulai hal baru;  dan (3) Rekonsiliasi: proses penyembuhan, siswa dibelajarkan untuk menghormati rencana restitusi yang telah disepakati,  dan berkomitmen untuk berbuat sesuai dengan resolusi.
Menjadi Guru Tulang Punggung (Backbone Teacher) yang mampu mengimplementasikan Inner Discipline sebagaimana disarankan oleh Coloso tentu bukan hal yang mudah, apalagi bagi guru-guru yang sudah kadung menjadi menjadi Guru Tembok Bata atau Guru Ubur-ubur,  tetapi barangkali itulah pilihan yang paling memungkinkan dalam konteks pendidikan saat ini, yang mengedepankan proses pemanusiaan manusia.
Bagaimana pendapat Anda?
Sumber:
Diolah dan adaptasi dari:  metu.edu.tr  dan ditulis dengan judul yang sama dari tulisan saya yang disimpan di website  Guraru













No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook