Wednesday, September 17, 2014

TIDAK PERLU LAGI, PERGI KE CINA KARENA BANYAK, DI INDONESIA



TIDAK PERLU LAGI, PERGI KE CINA
KARENA BANYAK, DI INDONESIA
TIRULAH HEMAT, DAN KERJA KERASNYA
YAKIN DALAM, SETIAP USAHA





 

M.RAKIB.   LPMP  RIAU


Bergurulah kamu sampai ke Negeri Cina untuk menuntut Ilmu..” Banyak yang bertanya-tanya kenapa harus ke Cina bukan ke Negara-negara Arab atau Timur Tengah?  Anggapan ini dapat dibenarkan karena kita tahu bahwa agama islam dengan kitab sucnya Al-Qur’an adalah diturunkan di Mekah daerah Timur Tengah. Sebetulnya maksud hadis tersebut bukan untuk belajar Al-Qur’an melainkan belajar bagaimana memperaktekkan cara bersyukur atas rezeki yang diurunkan Allah kepada manusia menurut Agama Islam sesuai dengan petunjuk yang terdapat didalam Al-Qur’an.
Semua petunjuk bagaimana mensyukuri atas rezeki yang diperoleh  semua petunjuknya terdapat di Al-Qur’an namun banyak kita belum bisa mengamalkan bagaimana  perakteknya didalam kehidupan sehari-hari.Kebetulan salah satu suku bangsa ciptaan Allah yang memiliki sifat bawaan lahir yang bisa menjalankan bagaimana mensyukuri atas rezeki yang diperolehnya. Makanya coba perhatikan dimanapun pada umumnya suku Cina dalam berusaha baik dagang,bekerja, apapun pekerjaannya mereka sangat tekun mengerjakannya. Memulainya dengan modal kecil-kecilan buka usaha apapun selalu berusaha menjaga dagangannya agar kwalitasnya tetap terjaga, mereka tidak mau menipu pelanggannya barang jelek atau sudah rusak dikatakan bagus.dan tidak mau mengurangi timbangan atau takarannya hal tersebut juga dilarang didalam Al-Qur’an.
Kemudian mereka tidak mau memboroskan uang dari hasil dagang yang mereka dapatkan susah payah, apabila dapat untung 1 hari 100 ribu hanya mereka makan sebesar 10 ribu walaupun tidak cukup mereka sabar dengan cara makan bubur seadanya. Kemudian sisanya mereka tambahkan ke modal usahanya, dengan demikian karena kwalitas barangnya terjamin dengan harga yang relatif murah karena hanya mengambil keuntungannya sedikit lama kelamaan terus berkembang dan maju sehingga mendapatkan kekayaan.

Cina bisa begitu produktif untuk dapat menghasilkan produk-produk berkualitas yang sangat diterima oleh pasar dunia. Negara-negara G-7 saja bahkan secara terang-terangan merangkul Cina yang saat ini menduduki peringkat keempat dalam perdagangan dunia, di bawah AS, Jerman dan Jepang untuk mau berbagi dan berbicara dalam forum mereka (Pikiran Rakyat, 2 Oktober 2004).
Ternyata selain karena aliran modal asing dan teknologi tinggi, yang justru sangat menarik dari pengalaman Cina adalah besarnya peran Usaha Kecil dan Menegah (UKM) dan bisnis swasta daerah yang disebut sebagai Township and Village Enterprises (TVEs) dalam menopang kekuatan ekspornya.
Peran Penting TVEs Bagi Perekonomian Cina
Sumbangsih TVEs bagi perekonomian Cina memang tidak bisa disepelekan. TVEs yang semula merupakan perkembangan dari industri pedesaan yang digalakkan oleh pemerintah Cina. Jika pada tahun 1960 jumlahnya hanya sekitar 117 ribu, namun semenjak reformasi tahun 1978 jumlahnya mengalami pertumbuhan spektakuler menjadi 1,52 juta. Apabila dilihat dari sisi penyediaan lapangan kerja, TVEs di akhir tahun 1990-an telah menampung setengah dari tenaga kerja di pedesaan Cina.
Walaupun perkembangan TVEs ini sempat mengalami pasang surut dan tidak merata di seluruh wilayah Cina, namun secara rata-rata mengalami pertumbuhan yang sangat mengesankan. Produksi dari TVEs meningkat dengan rata-rata 22,9 persen pada periode 1978-1994. Secara nasional, output TVEs pada tahun 1994 mencapai 42% dari seluruh produksi nasional. Sedangkan untuk volume ekspor, TVEs memberikan kontribusi sebesar sepertiga dari volume total ekspor Cina pada tahun 1990-an (Pamuji, 2004).
Dilihat dari sisi perdagangan secara angka di atas kertas memang masih terlihat bahwa ekspor kita masih surplus dibanding Cina. Menurut data yang diperoleh dari Dubes RI di China, bahwa tepatnya sampai dengan 3 Agustus 2004 dilihat dari sudut pandang perdagangan luar negeri China, saat ini Indonesia merupakan negara tujuan ekspor urutan ke-17 dengan nilai 2,66 miliar dollar AS atau 1,03 persen dari total ekspor China yang mencapai nilai 258,21 miliar dollar AS. Indonesia juga menjadi negara asal impor ke-17 bagi China dengan nilai ekspor 3,44 miliar dollar AS (Osa, 2004).
Akan tetapi dalam kenyataan di lapangan tampak bahwa barang-barang produksi Cina terlihat di mana-mana. Kita tidak menutup mata bahwa banyak produk dari negeri panda tersebut yang masuk secara ilegal ke Indonesia sehingga tidak ikut tercatat secara resmi dalam laporan tersebut. Namun penjelasan dari Ketua Umum Kadin Indonesia Komite Cina, Sharif Cicip Sutardjo sangat masuk akal. Sebagaimana dikutip dari wawancara dengan Sinar Harapan dijelaskan bahwa ekspor Indonesia ke Cina memang besar namun sebagian besar merupakan bahan mentah dengan jumlah item yang sangat sedikit, kurang lebih hanya 15 item seperti migas, CPO, karet, kayu, dan lain-lain. Sedangkan dari Cina kita mengimpor ratusan item, mulai dari ampas, hasil pertanian, peralatan sampai ke motor dan mobil. Sebagian besar perusahaan yang menghasilkan produk-produk itu semua di Cina hanyalah industri swasta, UKM atau TVEs (www.sinarharapan.co.id/ ekonomi/industri/2003/1224/ind2.html).
Kenyataan ini sungguh berkebalikan dengan keadaan UKM kita yang kurang diberdayakan padahal memiliki potensi yang sangat besar. Jumlah UKM mencakup 99 % dari total seluruh industri di Indonesia dan menyerap sekitar 56 % dari jumlah total seluruh pekerja Indonesia (Rochman, 2003). Untuk itu sangat perlu kita lihat upaya apa saja yang telah dilakukan oleh pemerintah Cina untuk memajukan industri swasta khusunya UKM, mengingat UKM kita juga sebenarnya punya kemampuan. Hal ini terbukti pada saat krisis moneter justru sektor UKM yang mampu bertahan.
Usaha Pemerintah Cina yang Dirintis Sejak Lama
Apa yang sekarang Cina nikmati dari industrinya terutama TVEs merupakan hasil usaha bertahun-tahun. Pada tahun 1986 dipimpin oleh State Science and Technology Commission (SSTC) Cina memperkenalkan Torch Program yang bertujuan untuk mengembangkan penemuan-penemuan dan penelitian-penelitian oleh universitas dan lembaga riset pemerintah untuk keperluan komersialisasi. Hasil yang diperoleh kemudian ditindaklanjuti dengan membuat New Technology Enterprises (NTEs). Selanjutnya SSTC mengembangkan 52 high-tchnology zones yang serupa dengan research park di Amerika dengan bertumpu pada NTEs tadi (Mufson, 1998). Walaupun NTEs ini bersifat perusahaan bersakala besar namun kedepannya memiliki peran sebagai basis dalam pengembangan teknologi untuk industri-industri kecil dan menengah.
Pemerintah Cina kemudian masih dengan SSTC mengeluarkan kebijakan untuk mendukung TVEs yang disebut sebagai The Spark Plan. Kebijakan ini terdiri dari 3 kegiatan utama yang berangkaian. Pertama, memberikan pelatihan bagi 200.000 pemuda desa setiap tahunnya berupa satu atau dua teknik yang dapat diterapkan di daerahnya. Kegiatan kedua dilakukan dengan lembaga riset di tingkat pusat dan tingkat provinsi guna membangun peralatan teknologi yang siap pakai di pedesaan. Dan yang ketiga adalah dengan mendirikan 500 TVEs yang berkualitas sebagai pilot project (Pamuji, 2004).
Pemerintah Cina juga berusaha menempatkan diri sebagai pelayan dengan menyediakan segala kebutuhan yang diperlukan oleh industri. Mulai dari hal yang paling essensial dalam memulai sebuah usaha yaitu birokrasi perizinan yang mudah dan cepat, dimana dalam sebuah artikel dikatakan bahwa untuk memulai usaha di Cina hanya membutuhkan waktu tunggu selama 40 hari, bandingkan dengan Indonesia yang membutuhkan waktu 151 hari untuk mengurus perizinan usaha (www.suaramerdeka.com/harian/0503/01/eko07.htm).
Tidak ketinggalan infrastruktur penunjang untuk memacu ekspor yang disiapkan oleh pemerintah Cina secara serius. Bila pada tahun 1978 total panjang jalan raya di Cina hanya 89.200 km, maka pada tahun 2002 meningkat tajam menjadi 170.000 km. Untuk pelabuhan, setidaknya saat ini Cina memiliki 3.800 pelabuhan angkut, 300 di antaranya dapat menerima kapal berkapasitas 10.000 MT. Sementara untuk keperluan tenaga listrik pada tahun 2001 saja Cina telah mampu menyediakan sebesar 14,78 triliun kwh, dan saat ini telah dilakukan persiapan untuk membangun PLTA terbesar di dunia yang direncanakan sudah dapat digunakan pada tahun 2009 (Wangsa, 2005).
SDM Terbaik Sebagai Pengusaha
Dalam hal SDM untuk dunia usaha Cina juga tidak tanggung-tanggung dalam mengarahkan orang-orang terbaiknya untuk menjadi pengusaha yang handal. Sejak tahun 1990-an, Cina telah mengirimkan ribuan tenaga mudanya yang terbaik untuk belajar ke beberapa universitas terbaik di Amerika Serikat, seperti Harvard, Stanford, dan MIT. Di Harvard saja, Cina telah mengirimkan ribuan mahasiswanya untuk mempelajari sistem ekonomi terbuka dan kebijakan pemerintahan barat, walaupun Cina masih menerapkan sistim ekonomi yang relatif tertutup. Sebagai hasilnya, Cina saat ini telah memiliki jaringan perdagangan yang sangat mantap dengan Amerika, bahkan memperoleh status sebagai The Most Prefered Trading Partner (Kardono, 2001).
Pemerintah Cina juga membujuk para overseas Chinese scholars and professionals, terutama yang sedang dan pernah bekerja di pusat-pusat riset dan MNCs di bidang teknologi di seluruh penjuru dunia untuk mau pulang kampung dan membuka perusahaan baru di Cina. Mantan-mantan tenaga ahli dari Silicon Valley dan IBM ini misalnya, diharapkan nantinya juga akan dapat mempermudah pembukaan jaringan usaha dengan MNCs ex-employer lainnya yang tersebar di seluruh dunia (www.mail-archive.com/bhtv @paume.itb.ac.id/msg00042.html). Tentu saja bujukan itu dilakukan dengan iming-iming kemudahan dan fasilitas untuk memulai usaha, seperti insentif pajak, kemudahan dalam perizinan, dan suntikan modal.

Menarik apa yang ditulis oleh : Sakiben Sinaga, S.Pd, bahwa Pendidikan merupakan sebuah proses penting dalam kehidupan manusia, karena melalui proses ini manusia dibentuk dan dilahirkan sebagai seorang manusia yang utuh dan sebenarnya. Pendidikan bertanggungjawab terhadap proses pencerdasan bangsa yang berimplikasi kuat pada proses empowerment (pemberdayaan). Hal ini perlu ditegaskan kembali, karena tingkat pendidikan yang meningkat ternyata tidak selalu inheren dengan tingkat pemberdayaan, dan karenanya tidak inheren pula dengan tingkat kemandirian. Sebaliknya, kadang-kadang meningginya tingkat pendidikan malah berimplikasi pada makin meningkatnya ketergantungan kepada pihak-pihak lain.

Dalam upaya mencerdaskan bangsa, pendidikan seharusnya dipandang sebagai alat perjuangan pencerahan manusia. Sebagai alat perjuangan pencerahan dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tujuan utama bangsa kita yang termaktub dalam pembukaan UUD 45. Upaya yang mencerdaskan yang ditempuh melalui pendidikan nasional.
Namun saat ini, tampaknya harapan tentang pendidikan dan manisnya pendidikan itu tidak sesuai dengan realita. Masih banyak tindakan pembodohan yang terjadi dalam pendidikan kita. Mulai dari  pihak pemerintah, sekolah bahkan dari pihak masyarakat sekalipun. Misalnya saja pembodohan yang terjadi dari sistem pendidikan kita yang hanya mengutamakan kognitif dan nilai bagus namun kurang memperhatikan sikap dan perilaku serta kemandirian dari peserta didik.
Tetap diberlakukannya ujian nasional sebagai penentu kelulusan bagi siswa merupakan bentuk pembodohan yang hanya melihat nilai. Padahal nilai tersebut bukanlah satu-satunya tujuan pendidikan. Dan tidak hanya itu, nilai yang diberikan juga sering tidak mewakili kognitif dan tidak mampu mengevaluasi pendidikan tersebut. Tidak jarang kita dengar supaya nilai ujian nasional si anak bagus dan lulus, kecurangan sering terjadi. Ujian nasional (UN) dari tahun ke tahun selalu diwarnai dengan kecurangan.  
Pembodohan berikutnya juga sering terjadi dari pihak sekolah. Sudah menjadi rahasia umum tentang guru yang melakukan manipulasi nilai ujian siswa. Ada yang melakukannya atas dasar kasihan, kedekatan dengan siswa atau orangtua siswa tertentu, tekanan dari pimpinan (kepala sekolah), bahkan ada yang melakukanya karena mendapat sogok dari orangtua siswa ataupun siswa itu sendiri. Dan manipulasi nilai siswa juga sering terjadi supaya guru yang mengajarkan bidang studi tertentu dianggap berhasil  dalam proses belajar dan pembelajaran karena nilai siswanya bagus-bagus. Dengan berbagai alasan tersebut, manipulasi nilai siswa telah menjadi pembodohan terhadap pendidikan. Sehingga tidak mengherankan lagi kalau banyak orang, termasuk siswa itu sendiri akhirnya menyepelekan pendidikan.

Selain daripada itu, kurikulum yang selalu berubah-ubah, obral ijasah, guru yang kurang berkualitas serta  adanya orientasi bisnis dalam dunia pendidikan juga merupakan pembodohan yang selanjutnya. Seperti beberapa minggu yang lalu, beberapa koran lokal di Medan memberitakan adanya oknum guru (masih banyak) yang membeli ijasah palsu yaitu ijasah sarjana. Sungguh memprihatinkan. Apalagi yang melakukan hal itu adalah pendidik yang diharapkan dapat memajukan pendidikan bangsa ini. Ternyata pembodohanlah yang terjadi. Ironis.
Tidak hanya itu, pembodohan juga sering terjadi dari masyarakat. Menjelang pembagian raport, sering orang tua siswa mengeluh dan meminta nilai anaknya untuk dinaikkan supaya jangan mendapat nilai merah di raport, jangan tinggal kelas atau bahkan supaya dapat melanjut kesekolah favorit nantinya. Padahal nilai tersebut tidak sesuai dengan apa yang telah diperoleh anaknnya. Dengan kata lain, nilai tersebut tidak pantas karena tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh si anak.

Dengan berbagai tindakan pembodohan tersebut, sehinggga sering juga kita mengeluh dengan output pendidikan kita. Tidak jarang out put pendidikan kita, yang katanya kaum terdidik melakukan hal-hal yang tidak terdidik seperti berkelahi, anarkis, tawuran antar pelajar atau bahkan tawuran mahasiswa dan tindakan-tindakan lainnya yang mencoreng muka pendidikan.

Output Pendidikan  Kita
Pengganguran terdidik merupakan masalah berikutnya yang cukup serius. Pengangguran ibarat hantu yang sangat menakutkan bagi masyarakat kita. Tidak peduli bagi mereka yang tidak mengenyam pendidikan ataupun bagi masyarakat yang mengenyam pendidikan tinggi. Masalah pengangguran selalu dikaitkan dengan masalah pendidikan. Dengan asumsi bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin dewasa dan semakin mampu berfikir alternatif. Sehingga sangat menjadi sorotan dan ironis jika sang penganggur itu adalah sarjana (intelektual) dimana seharusnya ia sudah mampu berfikir alternatif. Pendidikan yang semula diharapkan mampu mengangkat status sosial tetapi malah menjadi beban dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan tak jarang para sarjana mengalami kegamangan dalam masyarakat.
Jika dicermati lebih lanjut jumlah pengangguran semakin tahun semakin meningkat, apalagi ditengah keterpurukan ekonomi seperti saat ini. Pola ini menjadi menarik untuk dikaji, karena sarjana yang seharusnya mampu berfikir alternatif untuk menjadikan dirinya mandiri ternyata tidak demikian adanya. Ini menunjukkan sistem pendidikan kita belum mampu menjadi rahim yang melahirkan lulusan berjiwa enterpreneurship. Akibatnya mereka cenderung untuk mengandalkan lowongan pekerjaan dibandingkan dengan menciptakan lapangan kerja. Dunia pendidikan kita terjebak pada kata “How to use”, sehingga melahirkan produk sarjana konsumtif tidak kreatif. Lembaga-lembaga pendidikan akhirnya berfungsi sebagai pabrik-pabrik penghasil tenaga kerja yang terampil dan terlatih.
Kondisi ini diperparah lagi dengan penerjemahan tujuan pendidikan yang menyesatkan. Penerjemahan tujuan pendidikan secara tidak sadar selalu dibawa pada aspek/orientasi lapangan kerja, memperoleh kursi dimana, gajinya berapa, fasilitasnya apa, dan sebagainya. Dengan demikian ketika produk sarjana ini dihadapkan pada realita kesempatan kerja yang sempit mereka tidak mampu untuk berfikir alternatif memanfaatkan ilmu dan sumber daya yang ada menjadi sesuatu yang produktif.
Melihat berbagai permasalahan pendidikan kita saat ini, hendaknya pembodohan terhadap pendidikan ini dapat dihentikan agar tercipta pendidikan yang betul-betul mencerdaskan dan menjadikan manusia seutuhnya. Serta output dari pendidikan kita bukanlah gelar pengangguran, namun manusia kreatif yang mampu berfikir alternatif untuk menjadikan dirinya mandiri. Bukan hanya sekedar mengisi lowongan pekerjaan yang ada namun mampu menciptakan lowongan pekerjaan baru. Semoga. (Penulis adalah guru, pemerhati sosial, aktif dalam koalisi peduli pendidikan (KPP) dan menjadi pemimpin kelompok mahasiswa di UKMKP-FMIPA Unimed Medan)
Terbit di Batak Pos Edisi 13 Februari 2012



PENELITIAN ILMIAH
 Hebatnya pengaruh bacaan al Qur’an pada syaraf, otak dan organ tubuh lainnya. Subhanallah, menakjubkan!
Tak ada lagi bacaan yang dapat meningkatkan terhadap daya ingat dan memberikan ketenangan kepada seseorang kecuali membaca Al-Qur’an…”.
Dr. Al Qadhi, melalui penelitiannya yang panjang dan serius di Klinik Besar Florida Amerika Serikat, berhasil membuktikan hanya dengan mendengarkan bacaan ayat-ayat Alquran, seorang Muslim, baik mereka yang berbahasa Arab maupun bukan, dapat merasakan perubahan fisiologis yang sangat besar.
Penurunan depresi, kesedihan, memperoleh ketenangan jiwa, menangkal berbagai macam penyakit merupakan pengaruh umum yang dirasakan orang-orang yang menjadi objek penelitiannya. Penemuan sang dokter ahli jiwa ini tidak serampangan.
Penelitiannya ditunjang dengan bantuan peralatan elektronik terbaru untuk mendeteksi tekanan darah, detak jantung, ketahanan otot, dan ketahanan kulit terhadap aliran listrik. Dari hasil uji cobanya ia berkesimpulan, bacaan Alquran berpengaruh besar hingga 97% dalam melahirkan ketenangan jiwa dan penyembuhan penyakit.
Penelitian Dr. Al Qadhi ini diperkuat pula oleh penelitian lainnya yang dilakukan oleh dokter yang berbeda. Dalam laporan sebuah penelitian yang disampaikan dalam Konferensi Kedokteran Islam Amerika Utara pada tahun 1984, disebutkan, Al-Quran terbukti mampu mendatangkan ketenangan sampai 97% bagi mereka yang mendengarkannya.
Kesimpulan hasil uji coba tersebut diperkuat lagi oleh penelitian Muhammad Salim yang dipublikasikan Universitas Boston. Objek penelitiannya terhadap 5 orang sukarelawan yang terdiri dari 3 pria dan 2 wanita. Kelima orang tersebut sama sekali tidak mengerti bahasa Arab dan mereka pun tidak diberi tahu bahwa yang akan diperdengarkannya adalah Al-Qur’an.
Penelitian yang dilakukan sebanyak 210 kali ini terbagi dua sesi, yakni membacakan Al-Qur’an dengan tartil dan membacakan bahasa Arab yang bukan dari Al-Qur’an. Kesimpulannya, responden mendapatkan ketenangan sampai 65% ketika mendengarkan bacaan Al-Qur’an dan mendapatkan ketenangan hanya 35% ketika mendengarkan bahasa Arab yang bukan dari Al-Qur’an.
Al-Qur’an memberikan pengaruh besar jika diperdengarkan kepada bayi. Hal tersebut diungkapkan Dr. Nurhayati dari Malaysia dalam Seminar Konseling dan Psikoterapi Islam di Malaysia pada tahun 1997. Menurut penelitiannya, bayi yang berusia 48 jam yang kepadanya diperdengarkan ayat-ayat Al-Qur’an dari tape recorder menunjukkan respons tersenyum dan menjadi lebih tenang.
Sungguh suatu kebahagiaan dan merupakan kenikmatan yang besar, kita memiliki Al-Qur’an. Selain menjadi ibadah dalam membacanya, bacaannya memberikan pengaruh besar bagi kehidupan jasmani dan rohani kita. Jika mendengarkan musik klasik dapat memengaruhi kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosi (EQ) seseorang, bacaan Al-Qur’an lebih dari itu. Selain memengaruhi IQ dan EQ, bacaan Al-Qur’an memengaruhi kecerdasan spiritual (SQ).
Mahabenar Allah yang telah berfirman, “Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, simaklah dengan baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat” (Q.S. 7: 204).

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook