Saturday, October 25, 2014

ANAK ANDA BISA MENJADI MUSUH ANDA



ANAK BISA MENJADI  PENGGUGAT

M.Rakib  LPMP  Riau Indonesia.2014
         KABUL, 5 Februari 2014 – Parlemen Afghanistan dikabarkan menyetujui rancangan undang-undang yang memperbolehkan suami memukuli istri, anak, dan saudara perempuannya demi menjaga kehormatan keluarga.
Aturan yang akan berlaku secara efektif jika disetujui Presiden Hamid Karzai itu juga memuat ketentuan bahwa kerabat yang menolak bersaksi untuk menjerat suami pelaku pemukulan tak akan diperkarakan secara hukum.
Usulan hukum baru Afghanistan ini diprediksi makin memperburuk intimidasi terhadap kaum perempuan di negara bekas jajahan Uni Soviet itu. RUU baru itu sekaligus akan membungkam para saksi potensial untuk  mengungkap kebenaran gaya Barat sekuler JIL.
“Aturan ini membuat penegak hukum Eropa, tak bisa lagi menuntut para pelaku kejahatan yang korbannya kaum wanita. Mereka tak lagi dapat keadilan,” ucap Manizha Naderi, Direktur  Pelindungan Perempuan Afghanistan seperti dikutip dari Guardian, Rabu (5/2).
Jika disetujui presiden, lanjut Naderi, kasus penganiayaan berat seperti dialami Sahar Gul, pengantin cilik yang dikerangkeng di gudang tanpa diberi makan karena menolak jadi pelacur, dipastikan takkan pernah sampai ke pengadilan.
         Penulis tertarik dengan sajian yang pernah diketengahkan oleh Ustadzah Nur Hamidah, di Geogle, tentang anak yang belum baligh..
Swedia tercatat sebagai negara pertama di dunia yang menerapkan larangan hukuman fisik terhadap anak pada 1979. Langkah Swedia ini kemudian diikuti oleh 36 negara lainnya.
Negara di Eropa ini tidak main-main dengan larangan tersebut. Mau bukti? Baru-baru ini pasangan suami istri Malaysia, Azizul Awalludin dan Shalwati Norshal, harus merasakan kerasnya peraturan tersebut.
Azizul dan istrinya diganjar hukuman penjara masing-masing 10 dan 14 bulan karena terbukti memukul anak mereka yang berusia antara tujuh hingga 14 tahun dengan tongkat, gatungan baju, dan tangan. Artinya, kendati anak sendiri, terlarang bagi para orangtua untuk melakukan kekerasan terhadap anak. Dan, Swedia tidak main-main dengan larangan tersebut.
“Saya telah berbicara dengan klien saya (Awalludin) dan dia tentu saja sangat kecewa dan menyanggah dakwaan itu,” ujar kuasa hukum Jonas Tamm seperti diberitakan AFP, Sabtu (29/3/2014).
Keluarga Malaysia ini tinggal di Stockholm terkait tugas Azizul pada Dinas Pariwisata Malaysia. Kekerasan terhadap anak ini tercium setelah salah satu anak dari empat anak pasangan ini mengadu ke pihak sekolah. Staf sekolah yang tanggap segera melaporkan curhat sang anak ini ke dinas sosial yang berujung penahanan terhadap pasangan Malaysia tersebut.
Kasus ini menjadi pembicaraan ramai di kalangan pegiat hak anak di Swedia. Sebaliknya, kasus ini juga menimbulkan pro dan kontra di Malaysia. Pasalnya, di Negara Jiran memukul anak bukan dianggap sebagai pelanggaran.
Najib Razak, Perdana Menteri Malaysia, bahkan turun tangan dengan menawarkan bantuan hukum bagi pasutri yang terpaksa harus mendekam di penjara akibat memukul anak sendiri. Hal itu diungkapkan Najib saat menyambut keempat anak pasangan Azizul dan Shalwati sementara kedua orangtua itu harus mendekam di penjara Stockholm sejak Desember 2013. (yuliani s aryuntra)
Caption foto: keempat anak Malaysia yang pulang tanpa orangtuanya yang dipenjara di Swedia. (themalaysianinsider.com)
Xlarge_feb-internasional-pukuli-anak-sendiri-pasangan-malaysia-dipenjara1-themalaysianinsiderdotcom
Kajian dimulai dengan penuturan beliau bahwa anak bisa menjadi penolong atau penggugat orang tuanya. Beliau menceritakan, ada seorang bapak yang  tertatih2 berjalan di atas shirathal mustaqim, dan akhirnya kemudian tergelincir, namun terselamatkan berkat doa tulus anaknya. Memangnya anaknya doa apa? Ternyata bukan doa yang macam2 loh, tampaknya hampir semua anak muslim hafal doa ini. Yup, doa orang tua. Rabbighfirlii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraah. Subhanallah. :)
Sebaliknya, anak juga dapat menjadi penggugat orang tuanya. Beliau menceritakan kisah di jaman Rasulullaah ketika ada seorang anak yang hendak dihukum karena mencuri, namun anak tersebut menginginkan keadilan dengan meminta ibunya yang dihukum, karena ibunyalah yang mengajarkan ia untuk mencuri. Naudzubillaah. Dari latar belakang itulah beliau mengajak untuk mengajarkan anak dengan sebaik2nya. Ibaratnya, maukah kita orang tua nanti di surga dituntut anak kita hanya karena anak kita tidak beristinja dengan baik dan benar, karena kesalahan/kekurangan ajaran kita? *menurut beliau istinja yang tidak bersih berakibat sesuatu yang cukup fatal, tapi saya lupa apa yah, kalo ga salah tidak diterima shalatnya, cmiiw .. :D*
Lalu siapakah anak itu? Menurut beliau ada perbedaan pemahaman mengenai anak dalam kaidah Islam dengan anak dalam kaidah kehidupan sehari-hari *khususnya di Indonesia*. Dalam Islam, anak adalah fase pemula dalam rentang kehidupan manusia. Tepatnya ada dua fase menurut Islam dipandang dari sisi hukum, fase pra baligh (belum dewasa), dan fase baligh (dewasa).  Pada fase baligh seseorang sudah bertanggungjawab secara langsung terhadap seluruh ucapan, sikap, tindakan yang dia lakukan, baik kepada Allah maupun aparat hukum di dunia. Maka sudah sepantasnya orang tua memperlakukan anak yang telah memasuki fase baligh sebagai seorang dewasa.
Beliau kemudian menceritakan pengalaman seorang teman perempuannya ketika mencapai masa baligh, kira2 di awal SMP. Saat itu sang Ibu dari temannya meminta sang anak untuk berwudhu dan memakai mukena. Setelah berwudhu dan memakai mukena, sang anak pun diajak sang ibu untuk duduk berhadapan, kemudian keduanya saling berjabat tangan layaknya ijab. Sang ibu pun kemudian berkata yang kurang lebih intinya adalah sebagai berikut, “Nak, kini sudah tiba saatnya bagimu untuk bertanggung jawab atas dirimu sendiri. Selama ini jka engkau melakukan kesalahan, Ibu lah yang menanggung dosa2mu. Namun kini kau sudah baligh, sudah dewasa. Dan Ibu tidak bisa lagi membantumu mempertanggungjawabkan semua ucapan dan perbuatanmu. Kini malaikat Rakib dan Atid di kanan kirimu siap untuk mencatat semua amal perbuatanmu. Maka berhati2lah dalam melakukan sesuatu, karena sungguh seluruhnya akan dicatat oleh kedua malaikat tersebut.” Subhanallaah.
Saat ini banyak anak perempuan yang memasuki masa baligh dalam usia muda. Dan umumnya orang tuanya menganggapnya masih seperti anak kecil. Padahal hal tersebut adalah salah menurut ustadzah. Bandingkan dengan Usamah bin Zaid. Pemuda hebat yang pada usia belianya, 13tahun, sudah dipercayakan oleh Rasulullaah memimpin pasukan perang Islam. Tidak tanggung-tanggung, kala itu musuhnya adalah sekutu bangsa2 besar, yakni Quraisy, Persia dan Romawi. Subhanallaah.
Ada yang tahu mengapa diperintahkan untuk mengajarkan shalat kepada anak ketika umur 10 tahun, kemudian dipersilahkan untuk memukul anak umur 10 tahun yang tidak shalat? Ternyata memang usia tersebut pada jaman sekarang ini, sudah masuk usia baligh (khususnya untuk perempuan). Bahkan sudah ada yang menjadi baligh di usia 8, 9 tahun. Oleh karena itu memang sudah saatnya untuk bersikap tegas kepada mereka, menyikapi mereka yang sudah harus dianggap orang tua sebagai orang dewasa.
Sedikit membahas tentang `memukul`. Menurut beliau, memukul walau diperintahkan, tapi bukan berarti jadi landasan orang tua memukul anak. Karena Rasulullaah sendiri tidak pernah memukul anaknya. Nabi Ayyub sendiri yang bernazar untuk memukul istrinya 1000 kali jika sembuh dari sakit, pada akhirnya memohon wahyu dulu dari Allah untuk memukul sitrinya, ga langsung asal pukul saja. Dan pada akhirnya Allah memerintahkan Nabi Ayyub untuk mengumpulkan 1000 batang padi kering, mengikatnya kemudian memukulkannya sekali kepada istrinya, yang melambangkan nazar 1000 kali pukulannya. Jadi tidak segampang dan seringan itu untuk memukul, walau diperintahkan. Karena Islam penuh kasih sayang, bukan? :)
Sang ustadzah pun kemudian menjabarkan pendidikan dan pengasuhan anak dalam tiga bagian per 6 tahun. Untuk 6tahun pertama, utamakanlah kasih sayang dan disiplin. Limpahkan kasih sayang, pelihara disiplin untuk segala hal. Contoh, disiplin dalam makan, buang air, tidur dan sebagainya. Pada 6tahun ke dua, kenalkanlah Allah dalam hidupnya. Jelaskanlah hukum-hukum Islam, seperti halal dan haram, aurat, wudhu, shalat, mencuri, mahram, juga surga dan neraka. Ajarkan dan biasakanlah ia dengan Al-Quran. Ajarkan juga mengenai hak-hak orang tua. Kenalkanlah dengan tokoh2 teladan dalam Islam. Ajarkan norma2 dalam masyarakat, dan tak lupa kembangkan rasa percaya diri dan tanggung jawab. Pada 6tahun terakhir, perlakukanlah anak sebagai seorang yang telah dewasa. Yang tak kalah penting, kenalkanlah ia dengan teman yang baik. Sebetulnya poinnya tidak sesedikit ini, tapi yang sempat tercatat hanya yang telah saya tuliskan di atas. Maaf yaa.. :D
Pada akhir kajian, beliau membacakan tulisan indah dan cukup panjang, yang intinya adalah anak kita tanpa kita sadari memperhatikan apa-apa yang kita lakukan. Dan ternyata tindakan kita yang mereka perhatikan, lebih mudah untuk dipahami dan tertanam dalam diri anak, dibandingkan ucapan kita. Oleh karena itu hati-hati lah para orang tua dalam bertindak dan bertingkah laku.
Terakhir, beliau menutup dengan sebuah kalimat yang cukup dalam. Tutur beliau, “Yang penting itu bukanlah seberapa cerdas anak kita, namun lihatlah betapa salehnya anak kita”. Subhanallaah.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook