Sunday, October 19, 2014

ASBABUNNUZUL HUKUM PERLINDUNGAN ANAK, SEKALI LAGI

ANALISIS M.RAKIB  LPMP RIAU


KASUS HAK ASASI MANUSIA DI EROPA 
Kasus Handyside versus Pemerintah Inggris.

Kasus ini terjadi pada tahun 1971 yang dimulai dengan handyside seorang warga berkewarganegaraan inggris yang memiliki sebuah penerbitan melakukan percetakan sebuah buku yang berjudul the little red school book. Buku tersebut merupakan sebuah terjemahan dari buku berbahasa denmark yang telah beredar dibeberapa negara dan digunakan sebagai buku pada taman kanak-kanak. Dalam buku tersebut secara garis besar berisikan mengenai pendidikan dan pengajaran dari perspektif yang tidak biasa dan berlawanan dengan kebudayaan. Sepuluh persen bagiannya berisikan materi mengenai masturbasi, hubungan seks, alat kontrasepsi, homoseksual, pornografi dan penyakit kelamin. Hal-hal yang tidak biasa dalam yang terdapat dalam buku ini adalah mengajarkan anak agar melakukan hal-hal mereka ingin ketahui oleh diri sendiri dan tanpa takut akan celaan dari orang lain. Maka jelas dari apa yang terkandung dalam buku tersebut mendapat berbagai macam tentangan dari berbagai macam kelompok seperti sekolah, gereja dan orang tua murid.
Berdasarkan pertentangan yang terjadi pemerintah inggris mengambil suatu kebijakan untuk bertindak berdasarkan undang-undang mengenai karya terbitan yang mengandung unsur cabul, karena buku yang terbitkan tersebut diduga akan menghancurkan dan merusak akhlak bagia anak yang membacanya. Oleh sebab itu pengadilan di Inggris menjatuhkan hukuman pada handyside untuk membayar sejumlah denda dan memerintahkan agar seluruh buku tersebut dimusnahkan.
Pada tahun 1972 Handyside mengajukan melaporkan pemerintah inggris kepada komisi HAM Eropa karena menurut pihaknya pemerintah inggris telah melakukan suatu pelanggran terhadap pasal 10 konvensi HAM Eropa. Komisi HAM dan Pengadilan HAM eropa berpendapat bahwa dalam keputusan yang dikeluarkan oleh pengadilan di inggris berkaitan dengan kasus Handyside tidak melanggar ketentuan dalam pasal 10 dalam konvensi HAM Eropa. Pengadilan HAM eropa menyatakan bahwa hakim inggris memiliki dasar yang kuat bahwa buku tersebut dapat menimbulkan efek buruk pada moral anak yang berusia antara 12 sampai 18 tahun.

Dari kasus diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa penghukuman terhadap handyside bukan merupakan suatu pembatasan atas kebebasan seseorang dalam berekspresi yang dilakukan negara terhadap warganya berdasarkan pasal 10 ayat 1 konvensi HAM Eropa. Komisi maupun pengadilan HAM Eropa berpendapat bahwa Handyside lah yang telah melakukan penafsiran berlebihan mengenai pengertian kebebasan berpendapat maupun berekspresi yang dimiliki oleh seseorang. Pada ayat 2 dalam pasal 10 disebutkan bahwa masih ada suatu pembatasan atas kebebasan yang dimiliki seseorang yaitu bahwa kebebasan tersebut haruslah merupakan kebebasan yang bertanggungjawab dan tidak bertentangan dengan keadaan, larangan yang terdapat dalam undang-undang dan segala hal yang penting bagi kehidupan berdemokrasi, hal yang berguna bagi keamanan nasional, kesatuan atau keselamatan umum, upaya pencegahan kejahatan, upaya perlindungan bagi kesehatan maupun moral, upaya perlindungan atas nama baik maupun hak orang lain, upaya perlindungan suatu kerahasiaan informasi atau pemeliharaan atas kewenangan dan keadilan dalam hukum. Jadi gugatan handyside tidak dapat dimenangkan karena penerbitan buku yang menimbulkan kontroversi tersebut merupakan perbuatan yang dipandang bertentangan dengan perlindungan terhadap moral.


Blasphemy case

1. Otto Preminger Institute versus Austria.
Kasus antara Otto Preminger institut dengan pemerintah austria terjadi karena penggugat yaitu Otto Preminger institut telah mengiklankan sebuah tayangan mengenai adegan dalam film Das Liebeskonzil berdasarkan adegan 1894 yang menggambarkan tuhan dalam agama yahudi, agama nasrani dan agama islam sebagai sosok orang tua uzur yang tak berdaya di hadapan iblis, mereka saling berciuman dan menyebut iblis tersebut sebagai teman.. adegan lainnya menunjukkan bunda maria memberikan ijin untuk dibacakannya sebuah cerita cabul kepada dirinya dan suatu perwujudan tindakan erotis yang dilakukan antara bunda maria dan iblis. Jesus dewasa digambarkan sebagai seorang yang memiliki mental terbelakang dan pada salah satu adegan ditunjukkan hasrat jesus yang berusaha untuk ditimang dan mencium dada bunda maria yang telah diberikan ijin padanya.
Pengadilan regional Innsbruck di Austria memerintahkan untuk dilakukan suatu perampasan dan denda terhadap film tersebut karena telah melakukan tindakan kriminal berupa penghinaan ajaran suatu agama yang diatur dalam Bab 188 KUHP Austria.
Karena tidak adanya suatu perdebatan mengenai campur tangan pemerintah Austria yang merupakan perampasan kebebasan berekspresi perkumpulan tersebut, pengadilan eropa mempertimbangkan bahwa perampasan tersebut sah sesuai dengan kondisi yang diatur dalam pasal 10 ayat 2 konvensi HAM Eropa.

Pada tahun 1994 pengadilan HAM Eropa menyimpulkan bahwa interfensi yang dilakukan oleh pemerintah Austria memiliki tujuan yang logis untuk melindungi kebebasan pemeluk agama lain. Dengan mengartikan pasal 9 dalam konvensi tersebut ada suatu hak untuk menghormati perasaan pemeluk agama lain, pengadilan menekankan bahwa harus ada suatu penghormatan terhadap pemeluk agama lain karena tindakan provokatif yang merupakan suatu penyerangan terhadap perasaan pemeluk agama lain adalah suatu pelanggaran yang sangat jahat terhadap semangat toleransi. Jadi pehaman mengenai kebebsan berekspresi memang tercantum mengenai tugas dan tanggungjawab yang ada dibelakangngnya namun dalam mengintrepetasikan suatu pasal harus dibaca secara menyeluruh sehingga akan ditemukan maksud yang ingin dicapai dalam konvensi tersebut.


2. Wingrove versus Pemerintah Inggris.
Kasus ini bermula dari seorang sutradara berkewarganegaraan inggris yang mengajukan komplain kepada komisi HAM eropa mengenai tuduhan bahwa Pemerintah Inggris telah melakukan campur tangan terhadap kebebasannya berekspresi dengan cara menolak untuk memberikan ijin untuk filmnya yang berjudul Vision of ecstasy untuk didistribusikan. Dalam film yang berdurasi 18 menit tersebut berceritakan pandangan Bunda Teresa mengenai penyaliban yang dialami jesus. Dewan sensor film inggris berpendapat bahwa film tersebut berisikan suatu penghinaan terhadap agama karena dalam film tersebut digambarkan jesus yang menginginkan Bunda Teresa dengan suatu gambaran yang erotis, sehingga dewan menyimpulkan untuk tidak memberikan ijin dalam pendistribusian film tersebut.
Komis HAM Eropa berdasarkan hasil voting 14-2 menyatakan bahwa telah ada suatu pelanggaran terhadap kebebasan berekpresi yang dilakukan oleh pemerintah inggris. Namun pengadilan HAM eropa menyatakan lain yaitu tidak ada suatu pelanggaran yang dilakukan oleeh pemerintah inggris terhadap kebebasan berekspresi, pengadilan beralasan penolakan terhadap ijin distribusi yang dilakukan adalah sangat tepat karena penolakan tersebut merupakan usaha perlindungan terhadap hak orang lain sebagai alasan khusus adalah sebagai perlindungan terhadap enyerangan pada hal yang disucikan dalam agama kristen.

Kesimpulan

Berdasarkan pengamatan kasus-kasus diatas maka sangat sulit bagi hukum internasional (dalam hal ini komisi dan pengadilan HAM Eropa) melakukan suatu penyeragam terhadap nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat eropa seperti nilai moral, nilai keagamaan, nilai kebudayaan dan lainnya. Karena ukuran mengenai nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat eropa tersebut memiliki berbagai macam sudut pandang dari waktu ke waktu maupun dari tempat satu dengan tempat lainnya. Karena perbedaan sudut pandang tersebut maka penafsiran ataupun kompetensi hakim lokal memiliki posisi lebih dibandingkan hakim internasional sehingga diberikan suatu kebebasan kepada negara peserta konvensi untuk menafsirkan dan menerapkan pasal tersebut. tetapi kebebasan yang diberikan kepada negara peserta konvensi bukan merupakan suatu kebebasan yang tanpa batas tetapi melainkan menjadi suatu tanggungjawab dari komisi maupun pengadilan HAM Eropa untuk memastikan pengawasan terhadap perjanjian mengenai hak yang diberikan melalui konvensi HAM Eropa untuk menafsirkan dan menerapkan pasal-pasal undang-undang tersebut berdasarkan karakteristik masing-masing negara peserta.


HAK ANAK DALAM KONVENSI ILO 182
Koord : WIWIN ISTANTI
Anggota : MARINA H.HARIS
Anak sebagai kelompok usia istimewa sejak dahulu telah mendapatkan perhatian dari masyarakat internasional. Perhatian itu diwujudkan salah satunya dalam bentuk pembuatan konvensi internasional oleh organisasi internasional tertentu yang terkait dengan anak.
Berawal pada tahun 1989, Persatuan Bangsa-Bangsa membentuk Konvensi mengenai Hak Anak. Kemudian ILO, badan PBB yang bergerak di bidang perburuhan membentuk Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Konvensi ILO 182 yang disetujui pada Konferensi Ketenagakerjaan Internasional ke delapan puluh tujuh tanggal 17 Juni 1999 di Jenewa merupakan salah satu konvensi yang melindungi hak asasi anak. Lahirnya konvensi ini didorong oleh beberapa hal, antara lain adanya Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja yang nantinya akan saling melengkapi dalam usaha melarang dan menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, adanya Konvensi ILO No. 29 Tahun 1930 tentang Kerja Paksa, dan Konvensi tambahan PBB mengenai mengenai Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan Lembaga-Lembaga serta Praktek-Praktek Perbudakan atau Sejenis Perbudakan Tahun 1956.
Konvensi ILO 182 sebagai instrumen hukum internasional memuat dasar-dasar yang menjadi pijakan dalam pelaksanaan praktek perburuhan. Bahwa mereka yang dikategorikan sebagai anak yang notabene dilindungi dari praktek perburuhan adalah semua orang yang berusia di bawah delapan belas tahun. Lalu, apa yang dimaksud "bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak" dalam Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak? “Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak" adalah a) segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata, (b) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan yang bersifat porno, (c) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan terlarang sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan, (d) pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak.
Kekuatan mengikat Konvensi ILO 182 bagi suatu negara anggota ILO tergantung pada ada tidaknya komitmen suatu negara untuk meratifikasi konvensi tersebut. Bagi negara yang telah meratifikasi konvensi ILO 182 maka negara tersebut wajib mengambil tindakan segera dan efektif untuk menjamin pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, wajib menyusun program aksi untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, mengambil langkah-langkah agar ketentuan konvensi ini dapat diterapkan secara efektif, termasuk pemberian sanksi pidana serta wajib melaporkan pelaksanaannya.
Bagaimana sikap Indonesia sebagai negara anggota ILO? Indonesia merupakan satu dari sepuluh negara yang tergolong paling cepat meratifikasi Konvensi ILO 182. Ratifikasi tersebut terwujud dengan membentuk Undang-Undang No. 1 tahun 2000. Beberapa dasar yang melatarbelakangi keputusan Indonesia untuk meratifikasi Konvensi ILO 182 antara lain bahwa isi dari konvensi tersebut dirasa mampu mengakomodasi tujuan sila-sila Pancasila yang berkedudukan sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia khususnya sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, pada tahun 1998 Majelis Permusyawaratan Rakyat telah membentuk Ketetapan Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang menugaskan Presiden dan DPR untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB yang berkaitan dengan dengan hak asasi manusia, Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Anak tanggal 30 September 1990. Di samping meratifikasi Konvensi ILO 182, Indonesia telah meratifikasi tujuh Konvensi ILO yang memuat hak-hak dasar pekerja, termasuk Konvensi No. 138 Tahun 1973 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 1999.
Selama ini, pengamalan Pancasila dan penerapan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan usaha perlindungan hak anak dirasa masih ada beberapa penyimpangan. Oleh karena itu, pengesahan Konvensi ILO 182 diharapkan dapat dijadikan sebagai instrumen hukum yang lebih aplikatif dalam melindungi hak anak khususnya untuk menghapuskan segala bentuk terburuk dalam praktek mempekerjakan anak. Selain itu, ratifikasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan perlindungan dan penegakan hukum secara efektif sehingga diharapkan akan lebih menjamin perlindungan anak dari segala bentuk tindakan perbudakan dan pekerjaan yang berkaitan dengan praktek pelacuran, pornografi, dan obat-obatan terlarang. Perlindungan yang dimaksud juga mencakup perlindungan dari pekerjaan yang sifatnya dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak. Dalam kaitannya dengan hubungan internasional, ratifikasi Konvensi ILO 182 dapat dijadikan sebagai sarana untuk menunjukkan kepedulian Indonesia terhadap perlindungan hak-hak anak sekaligus dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat Internasional terhadap Indonesia.
Ratifikasi Konvensi ILO 182 bukan merupakan langkah akhir Indonesia dalam melindungi anak-anak. Kepedulian pemerintah selanjutnya diwujudkan dengan pembentukan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pembentukan Undang-Undang Perlindungan Anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Selain pembentukan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, adapula Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Anak dalam Keppres No. 88 Tahun 2002 yang lahir karena didorong oleh keprihatinan mendalam terhadap berbagai kasus perdagangan anak. Hal ini didasarkan pada kenyataan yang termuat dalam Trafficking in Persons Report June 2001 yang diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Dalam laporan tersebut, Indonesia berada pada peringkat ke-tiga bahkan pada laporan tahun 2005 menjadi pertingkat ke-dua dalam hal upaya penanggulangan perdagangan anak.
Regulasi lain yang dibentuk Indonesia dalam rangka memberikan payung hukum terhadap usaha perlindungan hak-hak anak antara lain
  • Keppres No. 40 Tahun 2004 tentang Ranham 2004-2009 tentang Memasukkan agenda ratifikasi Protokol Opsional konvensi Hak Anak tentang Perdagangan Anak, Pornografi Anak dan Prostitusi Anak (2005) dan Protokol Opsional konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata (2006).
  • Keppres No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak
  • Keppres No. 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA)
  • Keppres No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A)
Tentu saja Indonesia bukan satu-satunya negara yang meratifikasi konvensi internasional mengenai anak. Negara ASEAN yang juga meratifikasi konvensi ILO adalah Filipina. Seperti Indonesia, Filipina juga telah meratifikasi konvensi Konvensi ILO No. 138 tahun 1973 dan Konvensi ILO No. 182 tahun 1999. Namun, tidak jauh berbeda dengan Indonesia, Filipina juga mengalami berbagai hambatan dalam implementasi konvensi-konvensi tersebut. Hambatan-hambatan tersebut antara lain adanya perbedaan persepsi antar aparat mengenai keberadaan buruh anak serta persepsi sosial budaya dan sistem pendidikan yang kurang memadai bahkan pada tahun 2000-2001, ditemukan data bahwa terdapat peningkatan buruh anak di Filipina. Pada tahun 1997, buruh anak di Filipina berjumlah 3,7 juta anak dan terus meningkat rata-rata 3,8 persen tiap tahun, hingga tahun 2001 menjadi 4,018 juta anak.
Jika dibandingkan dengan Indonsia dan Filipina, negara-negara Eropa terhitung jauh lebih konsisten menerapkan konvensi internasional mengenai anak. Di satu sisi, negara-negara Uni Eropa cenderung menganut paham liberal namun negara-negara tersebut tetap memperhatikan dan berusaha meminimalisir pengaruh negatif pornografi terhadap anak. Sebagai salah satu bukti nyata, Uni Eropa berencana membuat sistem peringatan satu atap yang akan membantu polisi menindak tegas praktek pornografi anak di internet. Komisi Eropa akan memberikan kepolisian Eropa, Europol, sejumlah uang untuk membangun sistem tersebut. Sistem ini memungkinkan setiap penyelidikan mengenai akses pornografi oleh anak di bawah umur di negara anggota Uni Eropa berjalan lebih efektif.
Contoh di atas menunjukkan komitmen negara-negara lain dalam melindungi hak-hak anak. Memang, yang diperlukan untuk melindungi hak-hak anak bukanlah sekedar pembentukan berbagai regulasi. Pembentukan regulasi akan menjadi nihil jika tidak dibarengi dengan kerja sama antara suprastruktur dan infrastruktur yang bergerak untuk menciptakan dunia yang lebih bersahabat dengan anak. (***)






No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook