Wednesday, November 12, 2014

DISERTASI TENTANG HUKUMAN ANAK-ANAK CATATAN M.RAKIB LPMP RIAU INDONESIA



DISERTASI TENTANG HUKUMAN ANAK-ANAK
CATATAN  M.RAKIB LPMP RIAU INDONESIA
 

Pertanyaan atas naskah Disertasi Mhd Rakib, sesudah diperbaiki sebelum ujian promosi:

1.      Masalah dan pertanyaan yang diteliti adalah mengenai konsep hukuman yang berisi kekerasan fisik terhadap anak menurut fiqih sekiranya dibandingkan dengan UU 23/02.
Tidak ada bagian yang membahas definisi operasional. Karena itu istilah yang digunakan cenderung tidak terjelaskan secara baik; apa yang dimaksud dengan atau apa eda antara “hukuman fisik” dengan “kekerasan fisik” terhadap anak, terasa masih tidak jelas. Biasanya istilah hukuman di dalam hukum, berkaitan dengan putusan pengadilan. Putusan atau tindakan seseorang di luar pengadilan tidak diberi nama hukuman.
 
Hukuman yang dijatuhkan oleh guru di sekolah atau orang tua di rumah oleh pengadilan sering dianggap sebagai “kekerasan fisik” yang menurut UU 23/02 dianggap sebagai kejahatan. Karena itu pelakunya harus dikenai hukuman.
Mana yang akan dibahas dalam disertasi ini? Hukuman fisik yang dijatuhan oleh pengadilan sepertinya tidak dibahas di dalam disertasi. Dalam kesimpulan hanya disebutkan “konsep kekerasan terhadap anak” tidka ada penjelasan tentang “hukuman fisik oleh pengadilan terhadap anak”.

2      Konsep anak juga tidak dijelaskan apakah anak yang berbuat salah akan dijatuhi hukuman seperti orang dewasa? Siapa yang disebut anak dan apakah anak (orang yang belum dewasa) masih dibedakan kepada anak-anak dan remaja misalnya? Apakah anak berumur tujuh tahun yang melakukan pencurian akan sama hukumannya dengan anak berumur 17 tahun yang melakukan pencurian? (lihat disertasi halaman 150) Apakah anak yang berzina yang baru berumur 10 tahun akan sama hukumannya dengan anak sudah berumur 17 tahun, dan apakah akan sama juga dengan hukuman untuk orang yang sudah dewasa? Apakah sama batas umur anak dan dewasa antara anak dalam fiqih dengan yang ada dalam UU 23/02?

                                                                                                                    Banda Aceh 30 September 2014



       
                                                                                                        Al Yasa`Abubakar

 Pemerkosa Bisa Dihukum Mati

Maraknya kasus kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak-anak menjadi perhatian khusus bathsul masail dalam Rapat
Kerja Nasional (Rakernas) Muslimat NU di Asrama Haji Pondok Gede, Sabtu (31/5). Sejumlah pakar hukum Islam pada forum
tersebut membolehkan penerapan hukuman mati bagi para pelaku kekerasan seksual atau pemerkosa.
Dewan Pakar Muslimat NU, Bidang Hukum Islam, Prof Huzaemah T Yanggo mendefinisikan pemerkosaan sebagai
pemaksaan hubungan seksual terhadap perempuan atau tanpa kehendak yang disadari oleh pihak perempuan.

“Dalam hukum Islam, perkosaan dipandang sebaagai salah satu kejahatan seksual sadistis. Pelakunya berdosa dan harus
dihukum berat, yaitu di-had (dicambuk atau dirajam hingga mati) sesuai hukuman bagi pelaku zina, ditambah hukum ta’zir, yaitu hukuman tambahan yang ditetapkan oleh hakim, tergantung pada jenis kejahatan yang dilakukan,” papar Huzaemah, seraya mengutip Al-Qur’an, ayat 33 dari surat an-Nur.TKW Terzalimi

Huzaemah juga menyoroti ketidakadilan hukum di Saudi Arabia, yang menimpa banyak tenaga kerja wanita (TKW). Para
korban pemerkosaan, katanya, malah dihukum had oleh Hakim, atau bahkan dihukum qisas atau pancung, ketika si korban
membela diri, mempertahankan kehormatannya hingga terpaksa harus membunuh sang peemerkosa.
Menurut Huzaemah, TKW yang membunuh majikannya karena mempertahankan diri dari perkosaan atau tindak kekerasan
lain, seharusnya dibebaskan dari hukuman. Asalkan dia dapat mendatangkan saksi.
“Seharusnya majikannya itu yang dikenai hukum had. Namun terkadang, perkosaan yang diderita TKW tidak ada saksinya,
maka hal itu bisa dibuktikan dengan pemeriksaan dokter ahli yang independen dan didampingi penasehat hukum,” tandasnya.

Pemaksaan Perbuatan Zina

Sementara, Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ali Mustofa Ya’qub mempunyai definisi tentang
pemerkosaan yang berbeda dengan Huzaemah. Menurut Mustofa, pemerkosaan adalah pemaksaan perbuatan zina.

“Jika menggunakan definisi ibu Huzaemah, nanti seorang suami yang karena sesuatu hal, memaksa istrinya berhubungan
seksual, bisa disebut pemerkosa juga. Tapi jika didefinisikan sebagai pemaksaan perbuatan zina, maka bisa dikenai dua
hukuman, yakni pemaksaan dan hukuman zina,” paparnya.
Mengenai hukuman bagi pemerkosa, menurut Mustofa, bisa dikenakan hukuman mati, dengan dasar bahwa hukuman bagi
pezina saja bisa dicambuk atau dirajam, maka ketika perzinahan tersebut dilakukan dengan paksaan bisa dihukum lebih berat.
“Dalam ushul fiqh ada bab ikrah (pemaksaan). Yang dibahas pada bab ini, justru tentang hukum bagi si korban yang dipaksa.

Bahwa pembebasan hukuman berlaku karena ikrah. Sementara hukuman bagi pelaku tidak ada had, tetapi ta’zir. Ta’zir ini boleh lebih berat dari had, hal ini berdaasarkan pendapat Syekh Abdul Qadir Audah,” ungkapnya.
Melihat banyaknya kejahatan seksual yang marak terjadi di Indonesia, menurut Mustofa, seharusnya ditetapkan istilah darurat
zina. “Kenapa istilah yang digunakan darurat kejahatan seksual, kenapa tidak darurat zina saja. Dengan diksi ini bisa
diberlakukan bagi semua pelaku. Terlebih pelaku pemerkosaan terhadap anak-anak. Ini harus dihukum berat,” ujarnya.
Sementara terkait penanganan terhadap anak korban kekerasan, Sekretaris Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI), Erlinda mengajak Muslimat NU untuk mengajukan revisi Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002, tentang
Perlindungan Anak. Terutama dalam tiga isu, tentang perlindungan hak anak; pemenuhan hak dan peran tanggung jawab, serta;
peningkatan sanksi hukum pidana tindak kekerasan bagi pelaku dewasa, minimal 20 tahun dan maksimal seumur hidup.
“Kita juga harus meningkatkan penanganan, rehabilitasi dan pendampingan anak korban dan anak pelaku kekerasan, serta

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook