Monday, November 17, 2014

GRADUALISME (TADARRUJ) MENOLAK PENGHILANGAN KOLOM AGAMA DALAM KTP




GRADUALISME (TADARRUJ)
MENOLAK PENGHILANGAN KOLOM AGAMA DALAM KTP

 
M.Rakib Muballig IKMI Riau Indonesia
        Mungkin saja  ada kecenderungan yang mirip-mirip Komunis dan JIL juga beangsur-angsur mengkerdilkan Islam, diawali dengan penghilangan kolom agama sebagai identitas di KTP, bertentangan dengan konsep gredualisme Islam.  Sebenarnya salah satu pemahaman yang kini menyebar luas di kalangan umat Islam adalah konsep gradualisme (tadarruj). Logika dari ‘metode’ ini ialah bahwa Islam adalah agama yang besar sehingga mustahil menerapkan Islam secara serta-merta. Oleh karena itu, upaya penerapan syariat Islam harus dilakukan secara gradual, bertahap. Konsekuensinya, penerapan Islam dengan cara seperti ini akan memerlukan waktu yang panjang untuk dapat mengembalikan Islam ke dalam kehidupan kaum muslim. Normalnya, proses ini akan melibatkan pembagian kekuasaan (power sharing) dengan pemerintahan yang ada dan perjuangan dengan cara terlibat di dalam sistem tersebut.
"MUI secara tegas menolak penghilangan kolom agama dalam KTP," ujar Wakil Ketua MUI Pusat Ma'ruf Amin dalam jumpa pers di Kantor MUI, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2014).
Ia mengatakan, jika ada orang yang menganut kepercayaan di luar enam agama yang diakui pemerintah, orang tersebut dapat mengosongkan kolom agama. Namun, orang tersebut harus mencantumkan aliran kepercayaan yang dianut pada daftar database administrasi kependudukan pada instansi terkait.
Menurut Ma'ruf, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan menegaskan bahwa aliran kepercayaan bukanlah agama sehingga tidak boleh ditulis pada kolom agama di KTP. Berdasarkan UU itu pula, kata dia, kolom agama tersebut wajib diisi oleh masyarakat yang menganut enam agama yang diakui di Indonesia.
Ma'ruf menilai pengosongan kolom agama itu akan menimbulkan dampak tidak baik bagi masyarakat. Jika kolom agama pada KTP seseorang dikosongkan, agama orang tersebut tidak akan diketahui. Ketika orang tersebut meninggal atau ingin menikah, akan timbul permasalahan baru mengenai proses yang akan dilakukan.
"Di Islam itu ada yang namanya hukum Islam, soal prosesi pernikahan atau prosesi ketika orang meninggal itu harus jelas," ucap Ma'ruf.
Selain menolak penghapusan kolom agama di KTP, MUI juga menolak penambahan agama selain enam agama yang diakui pemerintah. MUI juga menolak penambahan kolom aliran kepercayaan pada KTP. Gagasan penghapusan atau penambahan agama lain pada KTP berpotensi merugikan bangsa dan negara karena dapat menciptakan polemik.
Keberadaan kolom agama pada KTP ini ditolak oleh aktivis penggiat hak asasi manusia. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, pemerintah tidak berniat menghapus kolom tersebut karena keberadaannya telah diatur dalam undang-undang. Namun, Mendagri mempersilakan kepada penganut kepercayaan di luar enam agama yang diakui pemerintah untuk mengosongkan kolom agama. Berdasarkan UU Nomor 24/2013, enam agama yang diakui itu adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.

         Sejumlah argumentasi dikemukakan untuk menjustifikasi pandangan gradualisme ini, misalnya ‘al-Quran diturunkan secara bertahap dan al-Quran turun sesuai dengan masalah yang saat itu muncul’. Fakta bahwa Allah Swt. mengharamkan alkohol dalam tiga tahap juga menjadi argumentasi penganut gradualisme.
Argumentasi lain ialah sebuah kaidah syara’ yang berbunyi: ‘Sesuatu yang tidak dapat diraih seluruhnya jangan ditinggalkan seluruhnya’. Berdasarkan kaidah ini muncul anggapan bahwa Islam yang sebagian lebih baik daripada tidak sama sekali.
Umat Islam perlu menyadari bahwa argumen-argumen di atas tidak ada satu pun yang merupakan argumen yang syar’i dan konsep gradualisme (tadarruj) itu bukan hanya salah, melainkan juga bertentangan dengan dalil-dalil qath’i. Perkara pertama yang harus dicamkan adalah konsep bahwa Islam mustahil diterapkan berarti sama dengan mengatakan bahwa Allah Swt. telah menurunkan agama yang tidak praktis! Hal ini bertentangan dengan keyakinan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang praktis yang telah Allah Swt. sempurnakan bagi umat manusia. Allah swt berfirman:
“Allah tidak membebani seseorang, kecuali sesuai dengan kesanggupannya” (QS al-Baqarah [2]: 286).

Dalam ayat tersebut Allah Swt. menegaskan bahwa Dia tidak akan membebani umat dengan suatu kewajiban yang umat tidak mampu melaksanakannya dan yang mustahil diemban oleh umat. Artinya, mengembalikan Islam adalah perkara yang mungkin sekaligus wajib untuk dilakukan.
Pendapat bahwa menegakkan Islam secara total adalah hal yang mustahil menjadi inti pemikiran gradualisme, sebuah pemikiran yang pragmatis dan justifikasi kepraktisan. Gradualisme tidak saja bertentangan dengan Islam tapi juga pandangan yang tidak melihat realitas perubahan politik. Perubahan yang dilakukan Nabi saw. tiga belas abad yang lalu adalah perubahan yang radikal. Naiknya Komunisme di Soviet juga suatu perubahan radikal. Bahkan, digantinya Komunisme oleh Kapitalisme pada awal 1990-an adalah juga sebuah perubahan radikal. Kalau akidah dan sistem yang rusak semacam Komunisme dan Kapitalisme saja bisa diterapkan melalui perubahan radikal seperti itu, lantas kenapa Islam sebagai akidah dan sistem yang benar, tidak bisa? Jadi, konsep bahwa Kebangkitan Islam sebagai hal yang mustahil adalah pemikiran yang keliru dan menggambarkan sikap pesimistis terhadap umat dan terhadap Islam itu sendiri.

Adapun klaim bahwa al-Quran diturunkan secara bertahap, dan karena itu dapat diterapkan secara bertahap pula, merupakan pernyataan yang bertentangan dengan al-Quran dan proses turunnya. Awalnya al-Quran memang diturunkan sesuai dengan permasalahan, pertanyaan, perdebatan, dan situasi politik yang terjadi pada saat itu. Hal ini kemudian melahirkan cabang ilmu al-Quran yang dikenal dengan asbabun nuzul, sebab-sebab turunnya ayat. Sebagai contoh, berikut adalah peristiwa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Vol. 6 No. 109). Urwah meriwayatkan bahwa az-Zubair berselisih dengan seorang lelaki dari Anshar mengenai sumber air alami di al-Harra. Nabi saw. lalu bersabda, “Wahai Zubair, airilah tanahmu, lalu biarkan air itu mengalir ke tetanggamu.” Orang Anshar itu berkata, “Wahai Rasulullah, dia adalah sepupumu”. Ucapan orang Anshar itu membuat wajah Nabi saw. memerah saking marahnya, lalu beliau bersabda, “Zubair, airilah tanahmu, lalu tahanlah airnya hingga melampaui tembokmu dan biarkan mengalir ke tetanggamu.” Dalam kasus ini Nabi saw. membiarkan az-Zubair memperoleh haknya setelah orang Anshar itu melakukan provokasi yang membuat beliau marah. Padahal, sebelumnya Nabi saw. telah memberikan keputusan yang menguntungkan kedua belah pihak. Terkait hal ini az-Zubair mengatakan, “Saya pikir peristiwa ini menjadi sebab turunnya ayat berikut:”
“Maka demi Tuhanmu, mereka itu (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim atas perkara yang mereka perselisihkan, dan mereka tidak merasakan suatu keberatan di hati mereka atas keputusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuh hati” (QS al-Nisaa’ [4]: 65).
Setiap kali muncul masalah yang membutuhkan hukum, turun ayat al-Quran sebagai jawabannya. Sejumlah riwayat mengisahkan bagaimana para sahabat r.a. mendekati Rasulullah saw. (untuk meminta suatu hukum) dan beliau tetap diam sampai kemudian Allah Swt. menurunkan hukum tentang masalah yang ditanyakan. Contohnya adalah kisah yang diriwayatkan oleh Bukhari berikut. Jabir r.a. meriwayatkan: Bahwa Nabi saw. dan Abu Bakar r.a. datang membesukku di kediaman Banu Salamah. Nabi saw melihat aku tidak sadarkan diri, lalu beliau meminta air dan memercikkan air itu ke mukaku. Aku tersadar lalu bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang harus kulakukan dengan kekayaanku?” Diriwayatkan bahwa Nabi saw. terdiam sejenak hingga kemudian turunlah ayat tentang waris (Bukhari, Jilid 6, no. 101).
Demikianlah, setiap muncul peristiwa yang memerlukan kepastian hukum selalu dijawab oleh Islam dengan turunnya ayat al-Quran dan setelah hukumnya jelas seketika itu juga hukum itu diterapkan. Tidak ada kecenderungan sedikit pun untuk menerapkan setiap hukum syara’ secara bertahap. Dengan demikian, jelas sudah bahwa Rasulullah saw. tidak pernah mengabaikan hukum Allah Swt. dan menunda pelaksanaannya, karena hal itu berarti sama saja dengan menuduh beliau berhukum selain dengan yang diturunkan Allah Swt., dan itu berarti hukum kufur.
Kewajiban untuk berhukum dengan Islam dan keharaman untuk berhukum dengan hukum kufur mana pun adalah perkara yang telah diketahui secara pasti di dalam Islam dan tidak memungkinkan adanya interpretasi lain. Karena itu, penerapan secara bertahap dalam kekuasaan, atau dalam berbagi kekuasaan, dalam segala bentuknya, adalah perkara yang dilarang. Allah Swt. berfirman:

“Siapa saja yang tidak memutuskan berdasarkan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS al-Maa-idah [5]: 44).
Ketika menafsiri ayat ini, Ibnu Katsir menyatakan pandangan Ibnu ‘Abbas r.a. dan para mufasir lain bahwa siapa pun yang tidak meyakini kelayakan syariat, atau bahkan satu saja aturan dari Syariat Islam, adalah kafir. Selain itu, penguasa yang menjalankan kekuasaannya berdasarkan aturan selain Islam sambil meyakini bahwa apa yang dilakukannya adalah benar, maka ia kufur. Akan tetapi, penguasa yang menjalankan sistem kufur, tapi ia sadar bahwa ia melakukan kekufuran, maka tidak dikatakan kufur, tetapi dosa besar (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Karim, Jilid 2, hlm. 60-66).

 Jadi, gradualisme dan pembagian kekuasaan adalah hal yang dilarang dan bukan metode Islam dalam menciptakan perubahan politik.
Jelas bahwa Islam melarang setiap upaya untuk memanfaatkan struktur demokrasi yang kini tampil, baik itu dengan cara meraih posisi menteri dalam kabinet pemerintahan yang menerapkan sistem kufur maupun dengan cara yang lain. Larangan tersebut juga mencakup dukungan terhadap partai politik kufur yang melanggengkan sistem kufur di negeri-negeri Islam, dalam rangka memperoleh pengaruh dalam proses pengambilan keputusan politik. Demikian pula dengan upaya meloloskan undang-undang yang berupaya menerapkan sebagian dari syariat Islam, lalu melakukan voting dalam masalah itu adalah perkara yang terlarang. Hal ini berarti membuat manusia memiliki kedaulatan yang lebih tinggi dibandingkan hukum Allah dan ini jelas-jelas bertentangan dengan Akidah Islam.

Ide-ide seperti itu harus disingkirkan dari benak umat Islam. Umat seharusnya sadar bahwa pemikiran-pemikiran keliru itu justru menjadi hambatan bagi umat Islam dalam mengubah kondisi dan menegakkan kembali Khilafah. Oleh karena itu, pemikiran-pemikiran semacam itu harus dibuang jauh-jauh.

Gradualisme adalah model perubahan yang terjadi lambat dengan laju yang tetap. Keseimbangan dipertepat (punctuated equilibrium) merupakan perubahan cepat dalam tempo singkat yang menginterupsi perubahan kecil yangterjadi dalam waktu yang lama. Evolusi kehidupan di planet ini terjadi baik secara gradual maupun dipertepat.
Suatu siasat untuk mengadakan perubahan sosial dng melakukan pembaharuan khusus yg bertujuan menciptakan masyarakat sosialis
Adjective  1. proceeding in small stages Terjemahkan a gradual increase in prices  source: wordnet302. (of a topographical gradient) not steep or abrupt Terjemahkan
a gradual slope   source: wordnet30  3. Proceeding by steps or degrees; advancing, step by step, as in ascent or descent or from one state to another; regularly progressive; slow; as, a gradual increase of knowledge; a gradual decline. Terjemahkan
source: webster1913  noun  4. (Roman Catholic Church) an antiphon (usually from the Book of Psalms) immediately after the epistle at Mass Terjemahkan
source: wordnet30  5. An antiphon or responsory after the epistle, in the Mass, which was sung on the steps, or while the deacon ascended the steps. Terjemahkan
source: webster1913  Indonesian to Indonesian  adjective  6. berangsur-angsur; sedikit demi sedikit: menjelang Lebaran terjadi kenaikan harga sembilan bahan pokok secara gredual.;  source: kbbi3   7. sedikit; kecil: di sana-sini terdapat perbedaan- perbedaan secara gredual.

TEORI GRADUALISME: Aplikasi Penerapan Syariáh Islam di NAD

Menarik apa yang ditulis oleh Prof.Dr. Rusdi Ali Muhammad, SH. M.A , bahwa selama ini orang bertanya-tanya sejauhmanakah realitas pelaksanaan Syariáh Islam di Provinsi NAD. Tulisan ini merupakan pidato pengukuhan Guru Besar Rektor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh yang sempat direkam oleh team swaditperta. Gagasan yang disampaikan sangatlah representatif untuk menggambarkan bagaimana kondisi Aceh pasca penerapan Syariáh Islam berdasarkan UU No 44 tahun 1999 dan UU No. 18 tahun 2001 telah memberikan landasan yuridis bagi pelaksanaan syariát Islam di Aceh (Adib, Gja).
Sebagaimana diketahui bersama Al-Qurán adalah sumber utama syariát Islam. Ia memuat seperangkat aturan yang mengatur lalu lintas hubungan manusia dengan Allah, hubungan dengan sesamanya dan hubungan antar manusia dengan alam dan lingkungannya. Konsep holistik syariát ini menempatkan manusia sebagai titik sentral dalam rangka membumikan ajaran Tuhan melalui penerapan syariát Islam. Posisi manusia sebagai central point dalam bingkai penerapan syariát Islam memiliki dua dimensi yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dimensi dimaksud adalah manusia sebagai subjek dan manusia sebagai objek pengaturan syaríat.
Dimensi manusia sebagai subjek dimaknai dengan kemampuan manusia untuk berusaha menjadikan syariát Islam sebagai tuntunan hidup dalam rangka mewujudkan kemaslahatan, baik yang bersifat lahiriyah maupun bathiniyah. Dalam dimensi ini manusia memerlukan daya kreativitas (ijtihad) untuk memahami teks suci syariát yang terkandung dalam al-Qurán dan As-Sunnah. Tingkat kemampuan memahami dan melakukan interpretasi terhadap teks suci akan menentukan tingkat kemaslahatan yang dapat diwujudkan dalam tatanan aplikatif.
Sebaliknya, ketidakberanian dan parsialitas pemahaman terhadap al-Qurán akan membawa kepada pola penalaran yang tidak memiliki semangat universalitas, fleksibilitas, kering nuansa sosiologis dan bahkan akan menyulitkan penerapan syariát Islam dalam kehidupan manusia. Padahal hakekat keberadaan syariát Islam adalah membawa kemaslahatan bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Pada dimensi kedua, manusia berkedudukan sebagai objek yang akan diatur, diayomi dan dilindungi oleh syariát. Dalam dimensi ini manusia dijadikan sebagai arena kerja syariát, karena tanpa manusia syariát yang bersifat normatif sakralitas tidak memiliki arena operasional berupa tempat penerapan syariát. Perilaku manusia yang diatur syariát tidak hanya terbatas pada perilaku individu terhadap dirinya an sich, tetapi juga perilaku individu terhadap kelompokdan perilaku kelompok terhadap kelompok lain.
Penerapan syariát Islam dalam lintasan sejarah ternyata mengacu pada kerangka pikir di atas. Hal ini terasa bila kita menyimak dinamika kreasi hukum Islam terutama pada masa sahabat dan beberapa dekade pasca sahabat, dimana wahyu telah terputus dengan wafatnya Rasulullah SAW. Ketika itu permasalahan hukum terus bermunculan seiring dengn perluasan wilayah kekuasaan Islam. Ajara Islam yang termuat dalam al-Qurán dan as-Sunnah dipahami sahabat dalam semangat universalitas, fleksibilitas, semangat sosiologis yang tetap bermuara pada postulat bahwa syariát Islam membawa misi rahmatan lil álamin.
Semangat universalitas, fleksibilitas dan nuansa sosiologis sebenarnya telah ditunjukkan oleh al-Qurán sendiri, pada awal persyari’atan hukum-hukumnya. Semangat ini dapat ditemukan ketika Allah melarang perbuatan meminum khamar dan praktek riba. Allah tidak secara langsung dan serta merta mengharamkan kedua perbuatan tersebut. Pelarangan dan pengharaman perbuatan meminum khamar dan praktek riba dilakukan secara bertahap (tadarruj), sesuai dengan tingkat dan kemampuan masyarakat menerima pelarangan atau pembebanan suatu hukum. Dalam studi pemikiran hukum Islam proses pentahapan ini dapat disebut dengan teori gradualisme hukum.
Analisis Sosiologis-Kontekstual
Gradualisasi pengharaman khamr dan praktek riba, menggambarkan betapa al-Qurán sangat memperhatikan keadaan sosiologis dan tradisi yang telah berakar dalam suatu masyarakat. Al-Qurán tidak secara langsung dan otoriter mengharamkan suatu praktek yang telah mentradisi, tatapi ia sangat akomodatif terhadap praktek tersebut. Al-Qurán pada mulanya menjelaskan sisi positif dan sisi negatif praktek riba dan meminum khamar, sembari membiarkan masyarakat merasakan kemaslahatan dan kemudharatan dari praktek tersebut. Bila masyarakat benar-benar merasakan praktek tersebut membawa kemudharatan yang akan mengancam eksistensi manusia di dunia, maka pada saat itulah al-Qurán menyatakan secara tegas dan eksplisit haramnya praktek riba dan meminum khamar. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa hakekat adanya kewajiban dan pengharaman sesuatu ditentukan oleh tingkat kemaslahatan yang dirasakan oleh manusia.
Nilai sosiologis yang melekat pada hukum-hukum yang termuat dalam al-Qurán dan as-sunnah sudah semestinya dipahami dan diselami secara mendalam, sehingga ketika dilakukan penerapan dalam tataran aflikatif tidak akan kehilangan ruh sosiologis yang mendasarinya. Oleh karena itu, asbab an-nuzul dan asbab al wurud memegang peranan penting dalam mengungkapkan realitas dan kondisi sosial ketika aturan itu disyariátkan.
Peran yang dimainklan oleh teori asbab an-nuzul dan asbab al wurud tidak hanya mengungkapkan realitas sosial yang terekam dalam satu ayat atau satu hadits, tetapi dapat menjelaskan berbagai realitas secara integral dalam suatu tema tertentu. Oleh karena itu prinsip analisis sosiologis berkaitan erat dengan pendekatan tematis (maudhuí). Melalui dua pendekatan ini diharapkan akan mampu dibumikan ajaran Tuhan yang bersifat sakral-normatif. Dalam konteks kehidupan masa kini. Dalam bahasa lugas dapat dikatakan bahwa analisis-sosiologis menjadikan realitas sosial sebagai pertimbangan utama dalam merumuskan berbagai aturan hukum Islam.
Penerapan cara kerja analisis sosiologis kontekstual kiranya telah banyak dipraktekkan oleh sahabat Rasul terutama Umar ibn Khaththab. Dalam bahasa sekarang dapat dikatakan bahwa Umar memahami teks-teks syariát dalam kerangka sosiologis dan bukan semata-mata mendasari diri pada justifikasi fiqh an-sich. Umar telah berhasil meletakkan ruh syariát dalam bingkai dan entitas sosiologis dalam setiap hasil putusannya.
Salah satu hasil ijtihad Umar yang berangkat dari ruh syariát dan entitas sosiologis adalah ketika beliau tidak memotong tangan pencuri dalam masa paceklik. Tindakan Umar ini selintas berlawanan dengan teks literal al-Qurán dalam surat al-Maidah’ayat 38. tetapi ayat ini dipahami Umar dalam semangat ruh syariát bahwa masa paceklik harus dijadikan dasar untuk menunda, bahkan meniadakan hukum maksimal terhadap pencuri pada masa itu. Menurut Umar masa paceklik telah membuat tidak terpenuhinya unsur-unsur pidana pencurian.
NAD Pasca Pelaksanaan Syariát Islam
Sehubugan dengan hal di atas, UU No 44 tahun 1999 dan UU No. 18 tahun 2001 telah memberikan landasan yuridis bagi pelaksanaan syariát Islam di Aceh. Kehadiran kedua undang-undang ini telah membuka kesempatan luas bagi masyarakat Aceg untuk melaksanakan syariát Islam secara kaffah. Pelaksanaan syariát Islam di Aceh sebetulnya bukanlah hal yang baru, karena masyarakat Aceh telah menjadikan Islam sebagai aturan yang mengatur prikehidupan sehari-hari. Namun, dalam beberapa dekade yang lalu pelaksanaan syari’at Islam secara sempurna mengalami kendala baik yang bersifat yuridis, sosiologis dan bukan politis.
Kendala yuridis, sosiologis dan bahkan politis agaknya sudah mulai mengecil dan bahkan pada keadaan tertentu dapat dihilangkan, jika kemauan kuat pemerintah dan kesadaran dunia hukum nasional meningkat. Yakni dengan pemahaman bahwa wilayah otonomi khusus NAD memiliki nilai-nilai yang khas dan kesadaran sosial filosofisnya dengan mengambil pilihan hukumnya sendiri. Ringkasnya legitimasi yuridis adalah suatu hal yang penting, tetapi jauh lebih signifikan adalah justru legitimasi sosiologis dan legitimasi filosofis yang merasuk ke dalam jiwa. Oleh karena itu, metode interpretasi nilai lokal menjadi penting diperhatikan agar tidak terjadi konflik di tengah-tengah masyarakat.
Interpretasi Nilai Lokal
Secara sosiologis, masyarakat Acaeh memiliki respon yang beragam terhadap opelaksanann syariát Islam secara kaffah. Respon yang berbeda ini pernah melahirkan aksi seperti razia zilbab terhadap perempuan –perempuan yang tidak memakai zilbab dengan sanksi penggundulan rambut dan razia shalat jumát yang dilakukan oleh kaum perempuan terhadap laki-laki yang tidak melaksanakan shalat jumát. Di samping itu pernah pula terjadi aksi pembakaran pesantren yang mengembangkan pemikiran-pemikiran yang barang kali di nilai terlalu maju, sehingga sebagian masyarakat sangat khawatir akanj merusak akidan dan pola ibadah yang dianut selama ini oleh masyarakat. Kasus di atas meruapan contoh kecil bagaimana ketegangan-ketegangan tertentu terjadi pada kehidupan masyarakat Aceh dalam kaitannya dengan pemberlakuan syariát Islam. Kejadian seperti itu, dapat membangkitkan luka lama berupa ikhtilaf yang kalau tidak diantisipasi dapat melahirkan perkara. Padahal nilai esensial dari kehadiran syariát Islam adalah rahmatan lil álamin.
Untuk menghindari konflik tingkat horizontal dalam rangka penerapan syariát Islam ini agaknya kita memerlukan metode interpretasi nilai lokal. Metode ini menggunakan kerangka sosiologis dalam pemahaman dan penafsiran teks baik al-Qurán maupun al-Hadits. Paradigma dasar metode ini adalah bahwa setiap teks al-Qurán dan al-Hadits tidak dapat dilepas dari suasana sosial masyarakat ketiak teks-teks itu muncul, karena pemberlakuan nilai-nilai al-Qurán dan al-Hadits sasarannya adalah masyarakat.
Metode ini semestinya juga dapat diterapkan dalam kerangka pelaksanaan syariát Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Di sini nilai-nilai lokal masyarakat Aceh dapat diadopsi oleh berbagai Qanun sebagai bentuk kongkrit penerjemahan syariát Islam di Aceh. Pendekatan interpretasi nilai lokal akan melahirkan bangunan pelaksanaan syariát Islam yang khas-kontekstual dan melalui pendekatan semacam ini diharapkan konflik-konflik hukum Islam pada tatanan pelaksanaan akan terakomodir dalam suatu bingkai yang terbuka dan demokratis.
Kerangka Sosiologi Materi Qanun NAD
UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 merupakan dasar yuridis kuat bagi tegaknya pelaksanaan syariát Islam secara kaffah di Nanggroe Aceh Darussalam. Sebelum melahirnya kedua undang-undang ini masyarakat Aceh melaksanakan syariát Islam secara terbatas terutama dalam bidang huklum keluarga dan sebagian kecil bidang muámalah seperti wakaf, hibah, sadakah dan wasiat. Sedangkan dalam bidang hukum publik dan bidang muámalah lainnya hampir sama sekali tidak tersentuh. Oleh karena itu, keberadaan undang-undang UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 merupakan moment penting dalam rangka menjadikan hukum Islam sebagai hukum yang hidup (living law) di Aceh. Artinya, keberadaan hukum Islam tidak akan bermasalah dengan hukum nasional yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 membawa semangat formalisasi syariát Islam dalam aturan formal berupa Qanun. Lewat Qanun inilah berbagai aturan syariát Islam dapat ditegakkan dalam kehiupan bermasyarakat dan berbangsa. Yang menjadi persoalan sekarang adalah merumuskan materi Qanun yang sesuai dengan semangat sosiologis yang dikandung syariát.
Dari beberapa Qanun yang pernah dihasilkan olwh Pemerintah Profinsi Nanggroe Aceh Darussalam bersama DPRD Nanggroe Aceh Darussalam kelihatannya bbelum seluruhnya mencerminkan nilai sosiologis dan kerangka kontekstual. Klausul yang dirumuskan dalam Qanun masih sangat normatif sebagaimana yang terdapat dalam aturan fiqh klasik dan kering dengan nuansa sosiologis. Dugaan yang sumir ini barangkali berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman fiqh tradisional masih sangat mendominasi pemikiran hukum Islam di Aceh hari ini.
Sebagai contoh dalam Qanun No 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan Syariát Islam bidang Akidah, Ibadah, dan Syiar Islam disebutkan bahwa orang Islam yang melakukan pindah agama diancam dengan hukuman bunuh. Ancaman pidana yang dirumuskan dalam Qanun ini ternyata tidak secara komprehensif melihat konteks sosial ketika ancaman pidana bunuh disyariátkan. Akibatnya, Qanun No 11 Tahun 2002 akan mengancam hukuman bunuh bagi orang Islam yang pindah agama di Aceh. Padahal bila diteliti konteks sosiologis ternyata hukuman bunuh bagi orang Islam yang pindah agama memiliki keterkaitan dengan peristiwa orang Islam yang keluar dari pasukan dan bergabung dengan musuh (desertir). Jadi, ancaman bunuh bukan semata-mata ditujukan karena keluar dari Islam, akan tetapi karena ada unsur desertirnya. Al-Qurán mengakui adanya kebebasan beragama, dan menghargai orang yang berbeda agama.
Dalam perjalanan perumusan materi Qanun NAD kadang-kadang terasa masih ada keinginan untuk mengadopsi aturan fiqh tampa memperhatikan aspek-aspek sosial dan humanistis. Padahal Qanun ini akan diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Padangan yang menginginkan adopsi aturan fiqh tanpa filter, ternyata telah melahirkan Qanun yang kurang memiliki daya ikat sosial yang tinggi.
Untuk itu, ke depan pembangunan materi Qanun yang merupakan hasil ijtihad terhadap teks syariát kiranya perlu memperhatikan langkah-langkah sebagai berikut :
  1. Setiap materi Qanun yang dirumuskan bukan hanya memiliki akses terhadap teks eksplisit al-Qurán dan As-sunnah. Namun, perlu diselami secara lebih mendalam hakekat keberadaan teks tersebut bagi manusia. Pemahaman terhadap hakekat keberadaan teks akan menemukan ruh As-syariát.
  2. Penemuan ruh As-syariát bukan hanya membutuhkan kajian filsafat hukum, tetapi juga membutuhkan kajian sosiologis di mana pemahaman terhadap kondisi masyarakat ketika teks itu lahir akan sangat penting artinya, kartena kasus-kasus yang muncul di sekitas kelahiran teks akan dapat dijadikan referensi dalam merumuskan materi Qanun pada masa kini.
  3. Pendekatan tematis (maudhuí) bukan hanya tertumpu pada ayat dan hadits yang berbicara tentang tema yang sama, tetapi perlu juga dilihat pemahaman terhadap tema tersebut menurut sahabat. Pemahaman sahabat menjadi penting mengingat pada era mereka wahyu sudah terputus dengan wafatnya Rasulullah, sedangkan persoalan hukum terus bermunculan.
  4. Semangat sosiologis yang dibangun al-Qurán dalam hukum-hukumnya operlu mendapat perenungan kita di Aceh. Karena banyak sekali tradisi dan praktek hukum di Aceh telah menjadi hukum yang hidup (living law) dan dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
  5. Kerangka kerja di atas tentunya akan bermakna bila tingkat pendidikan masyarakat dan sosialisasi materi Qanun dapat ditingkatkan ke arah yang lebih baik, sehingga keberadaan Qanun Syariát Islam benar-benar dapat dirasakan nilai rahmatan lil álamin oleh seluruh masyarakat baik muslim amupun non muslim
 

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook