Friday, November 14, 2014

HAK UNTUK MATI TINJAUAN ASPEK AKSIOLOGIS ILMU HUKUM



“EUTHANASIA” ATAU HAK UNTUK MATI TINJAUAN ASPEK AKSIOLOGIS ILMU HUKUM


m.rakib lpmp riau indonesia
Lulusan magister Universitas Indonesia dengan IPK 3,37 menuntut Mahkamah Konstitusi untuk melegalkan bunuh diri. Ia minta disuntik mati lantaran depresi hidup seorang diri.
Melakukan  qath’u ar-rahmah atau taysir al-maut  Nama lelaki itu, Ignatius Ryan Tumiwa (48). Bungsu dari empat bersaudara itu, membuat heboh. Betapa tidak, ia mengajukan tuntutan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk merevisi pasal 344 terkait dengan permintaan suntik mati. Bahkan pria kurus itu di rumahnya jalan Taman Sari X RT 8 RW 03, Kelurahan Tamansari, Tamansari, Jakarta Barat, mengaku sudah sejak bulan Mei 2014 mengajukan tuntutan itu. ''Awalnya saya pergi ke Komnas HAM terus ditolak, saya pergi ke Depkes ditolak juga dan disuruh ke Mahkamah Konstitusi. Di MK saya disuruh pergi ke psikiater,'' ujar sarjana administrasi dari STIE dan S2 UI itu sebagaimana dilansir Warta Kota.
Menurutnya, awal ide untuk suntik mati itu tak terlintas dalam pikirannya. Ia hanya ingin bertanya kepada Komnas HAM terkait dengan tunjangan untuk para pengangguran seperti dirinya. Hanya saja ketika berkunjung ke komnas HAM, dirinya dilarang karena dianggap salah konfirmasi.''Komnas HAM bilang yang diurusinya pelanggaran hak asasi bukan masalah pemberian tunjangan,'' ungkap pria lulusan pasca sarjana universitas Indonesia jurusan administrasi tahun 1998.
Dirinya ke Komnas HAM untuk mempertanyakan pasal 34 tentang fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara. ''Saya bertanya kepada komnas soalnya saya kan fakir miskin. Tetapi jawaban mereka fakir miskin itu tunawisma (gelandangan) bukan seperti saya,'' tuturnya.
         Dalam konteks aspek aksiologis ilmu hukum, salah satu materi kontroversial yang paling banyak menyita perhatian kaum intelektual sejak dulu hingga kini dan dapat dipastiakan juga untuk jangka waktu ke depan adalah masalah “euthanasia” atau hak untuk mati. Kontroversi yang panjang tersebut melibatkan terutama kaum filosof, teolog, ahli kedokteran dan ahli hukum. Kaum filosof dan teolog misalnya, cenderung menganggap euthanasia sebagai pilihan manusia yang tidak dapat dibenarkan., sebaliknya para ahli kedokteran dan hukum, paling tidak menurut pandangan yang lebih progresif relatif lebih dapat menerimanya.Silang pendapat tersebut memperlihatkan kepada kita, betapa komplek sesungguhnya permasalahan itu kemudian menimbulkan konflik-konflik nilai sebagai konsekuensi dari implikasi sosial dan etika yang disandangnya. Menyinggung soal etika, berarti kita berbicara tentang baik atau buruk, susila dan asusila. Benar, bahwa agamapun berbicara soal yang sama, namun ukuran yang dipakai berbeda dengan etika. Etika sebagai bagian dari filsafat menghendaki ukuran yang umum dan universal. Kendati antara agama dan etika dapat dibedakan, namun sesungguhnya kedua obyek tersebut tidak dapat dipisahkan, khususnya dalam menyoroti permasalahan euthanasia yang menjadi topik tulisan ini. Karena itulah membicarakan euthanasia sebagai aspek aksiologis ilmu hukum, maka selain dimensi hukum dan etika, dimensi agama dengan nilai kesakralannya (sekalipun hanya sekilas) tidak dapat diabaikan begitu saja. Menyadari luasnya cakupan etika, maka dibatasi pembahasannya hanya pada etika dalam bidang kedokteran dan hukum saja. Bagaimanapun juga dua lapangan inilah yang paling banyak terlibat dalam permasalahan euthanasia tersebut. Berdasarkan latar belakang itulah pembahasan selanjutnya akan diarahkan kepada masalah pokok, yaitu bagaimana euthanasia dalam dimensi hukum dan etika? Tentu saja dimensi hukum yang dimaksud sedikit banyak berpijak pada kundisi di Indonesia yang berlandaskan Pancasila. Terminologi Euthanasia dan Pengertiannya Istilah “Euthanasia” secara etimologi berasal dari kata “eu” yang berarti baik tanpa derita, dan “Thanatos” yang berarti mati, jadi secara sederhana euthanasia dapat diartikan sebagai bentuk kematian dengan tanpa mengalami penderitaan (Martha, 1988: 1). Dalam berbagai kepustakaan ditemukan sebutan lain untuk euthanasia seperti “mercy death”, “mercy killing”, “hak untuk mati”, “kemerdekaan untuk mati”, “mati secara terhormat”, “hak untuk menolak pengobatan”, “pembunuhan diri dengan bantuan” dan “bunuh sayang”. Namun diantara sekian banyak istilah tersebut, euthanasia merupakan sebutan yang paling mapan (Rahardjo, 1989: 1).

Dalam The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, euthanasia diartikan sebagai (bringing about of) easy and painless death (for persons suffering from an incurable and painful disease). Blacks Law Dictionary mendefinisikan euthanasia sebagai the act or practice of painlessly putting to death person suffering incurable and distressing disease as an act of mercy. Batasan-batasan tersebut mirip dengan rumusan dalam kode etik kedokteran (kodeki) Indonesia yang menyatakan euthanasia adalah perbuatan untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien, yang menurut ilmu kedokteran tidak akan sembuh lagi. (Adji, 1986: 130).
Demikian pula dengan rumusan yang diberikan oleh euthanasia studi group dari KNMG (semacam IDI) di negeri Belanda, mengartikan euthanasia sebagai kesengajaan untuk tidak melakukan sesuatu (nalaten) guna mememperpanjang hidup seseorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua itu dilakukan untuk kepentingan pasien itu sendiri (Ameln, 1984 : 4).

Tindakan euthanasia terjadi bilamana dokter mengambil nyawa (mematikan) si penderita (pasien) atas permintaan yang bersangkutan, yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara medis, atau merasa sakit secara fisik akibat penyakit yang dideritanya, yang tidak dapat disembuhkan secara medis (sahetapy, 1989: 2). Pada perkembangan selanjutnya pengertian euthanasia mengalami modifikasi disana-sini, disertai bobot sesuai dengan aspek tinjauannya. Dari beberapa batasan tersebut, para ahli lalu membedakan euthanasia dalam 2 kategori. Dilihat persetujuan pihak korban, dikenal adanya euthanasia sukarela dan tidak sukarela (Vrijwillige-Onvrijwillige Euthanasia). Euthanasia sukarela adalah suatu penerapan euthanasia secara sungguh-sungguh (Uitdrukkelijik en ernsting) dengan persetujuan dari pihak korban dan sebaliknya pada euthanasia tidak sukarela, adalah yang dilakukan tanpa adanya persetujuan dari pihak korban. Dari kedua kategori tersebut yang dekat dengan rumusan pasal 344 KUHP adalah jenis pertama (Adji, 1989: 131).

Di samping kategori berdasarkan persetujuan tersebut, masih dikenal lagi adanya euthanasia aktif (positif) dan pasif (negatif). Kategori ini lebih banyak didasarkan pada bentuk tindakan dokter. Euthanasia aktif adalah bila si pelaku (in casu dokter) mengusahakan agar korban cepat menemui ajalnya dengan cara yang tidak menimbulkan sakit, sehingga orang tersebut terbebas dari penderitaan yang berkelanjutan atau berkepanjangan, yang disebabkan oleh penyakit yang tidak tersembuhkan lagi (Jakob, 1989: 12). Adapun teknik yang digunakan pelaku biasanya memberikan obat-obatan atau suntikan tertentu kepada korban. Sedangkan euthanasia pasif adalah tindakan sang pelaku dengan menghentikan segala usaha yang telah dijalankan guna menyembuhkan korban. Dengan penghentian tersebut, diharapkan korban lebih cepat meninggal dan berarti pendritaannya karena penyakit yang tidak sembuh-sembuh itupun akan cepat berlalu.


Berpijak dari pembagian itu, A.M. Capron (1983) dalam Encyclopedia of Crime and Justice, kemudian memerinci euthanasia dalam epat jenis yaitu :
1. Aktif atas pesetujuan korban (active voluntary euthanasie)
2. Pasif atas pesetujuan korban (passive voluntary euthanasie)
3. Aktif tanpa persetujuan korban (active nonvoluntary euthanasie)
4. Pasif tanpa persetujuan korban (passive nonvoluntary euthanasie)

            Anda sudah tahu bahwa kematian adalah hak perogatif Allah Swt, manusia tidak ada hak untuk menentukan kematian dirinya sendiri, karena jiwa ini milik Allah dan manusia berkewajiban menjaga dan melindungi dari segala kerusakan dan kebinasaan. Oleh karena itu, Allah mengharamkan untuk membunuh dirinya sendiri. Sebagaimana firman Allah Swt:
ولا تقتلوا انفسكم إنّ الله كان بكم رحيما ومن يفعل ذلك عدوانا وظلما فسوف نصليه نارا وكان ذلك على الله يسيرا
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. al-Nisa: 29-30)
Euthanasia
        Daalam ensiklopedia Indonesia, kata euthanasi berasal dari Yunani eu yang berarti “baik” dan thanatos yang berarti kematian (Utomo, 2003:177). Dalam istilah Arab dikenal dengan qath’u ar-rahma atau taysir al-maut. Kata tersebut dikenal dalam kedokteran adalah tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Dalam kata lain juga tindakan mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya. (Hasan, 1995:145).
Pembagian Euthanasi
Dalam praktek kedoketran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasi aktif dan pasif.
  1. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasa dikemukan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah.
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178).
  1. Euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya (Utomo, 2003:177).
Sementara itu, secara konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia, pertama, voluntary euthanasia yaitu euthanasia yang yang dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri karena penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan tidak sanggup menahan rasa sakit yang diakibatkannya; kedua, non voluntary euthanasia yaitu orang lain atau bukan pasien (keluarga pasien) yang tidak tega melihat keadaan pasien yang sangat menderita; dan ketiga, involuntary euthanasia yaitu merupakan pengakhiran kehidupan tanpa persetujuan pasien atau keluarga pasien)
Hukum Euthanasi
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT
ولا تقتلوا النفس التي حرّم الله إلاّ بالحقّ
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)
وما كان لمؤمن أن يقتل مؤمنا إلا خضئا
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
ولا تقتلوا أنفسكم إنّ الله كان بكم رحيما
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.



           Masalah euthanasia sebenarnya sudah dipersoalkan orang seiring dengan berkembangnya ilmu kedokteran. Di sisi lain, euthanasia pun tidak dapat dipisahkan dengan persoalan agama, filsafat dan hukum, khususnya dalam menyoroti esensi hidup dan pandangan mereka terhadap perbuatan bunuh diri. Dalam sejarah agam Kristen misalnya, dikenal adanya pembuangan bagi orang-orang yang menderita suatu penyakit tertentu seperti lepra atau kusta, para penderitanya diasingkan secara khusus di pulau atau tempat terpencil. Di tempat pembuangan tersebut, di tengah-tengah ketiadaan fasilitas medis, hampir dipastikan para penderita tadi hanya menunggu saat ajal menjemput mereka. Tetapi seiring dengan kemajuan ilmu kedokteran, pandangan agama terhadap para penderita penyakitpun mulai berubah. Banyak penyakit yang semula dipandang incurable ternyata dapat disembuhkan. Kemajuan ilmu kedokteran telah membawa banyak perbaikan terhadap kondisi kesehatan manusia.

            Bersamaan dengan itu, kesadaran manusia untuk mempertahankan hidupnya juga semakin tinnggi. Kendati demikian, seberapapun usaha manusia untuk mempertahankan hidupnya agar semakin tinggi, namun kematian tetap harus dihadapi setiap mahluk yang benyawa. Bukankah dengan arif agama mengajarkan bahwa tiap mahluk yang bernyawa akan mati juga? Keinginan untuk mempertahankan hidup dan kenyataan bahwa manusia harus menghadapi maut, menjadi bahan perdebatan yang sengit. Para ahli kedokteran seringkali dihadapkan pada kenyataan bahwa si pasien (secara medis) tidak lagi dapat disembuhkan, atau hanya dapat dikatakan hidup berkat bantuan alat-alat medis semata, namun di sisi lain mereka dihadapkan pertimbangan etis apabila sengaja mengakhiri hidup pasiennya. Di luar profesi kedokteran juga terjadi kontroversi yang tidak kalah serunya. Berbagai kasus yang muncul di pengadilan membuktikan adanya gerakan pendulum etika dalam menilai euthanasia ini. Menyimak pada yurisprudensi yang ada di negeri Belanda dan Belgia, dapat diamati bahwa perkembangan euthanasia bergerak dari sikap melarang ke sikap membolehkan. Dari putusan-putusan pengadilan yang terkumpul antara tahun 1952 hingga tahun 1981, hampir semuanya memandang euthanasia sebagai perbuatan kriminal. Diantara perkara euthanasia yang dibawa pengadilan dalam kurun waktu itu, hanya satu perkara (1962) yang memberikan putusan bebas bagi terdakwanya.

 Pada tahun 1973, sebuah putusan lainnya pernah membuat persyaratan bagi seorang ahli medis untuk dapat dilepaskan dari pemidanaan karena euthanasia. Sedangkan untuk kasus Indonesia, sampai saat ini belum ada putusan pengadilan yang secara khusus menyangkut permasalahan euthanasia. Kasus-kasus yang bersangkutan yang berkaitan dengan dunia kedokteran biasanya lebih banyak berkenan dengan malapraktek. Konsep Etika

Etika yang dipungut dari bahasa yunani yaitu “Ethikos” (moral) dan “Ethos” (karakter), mencakup pengertian sebagai upaya manusia untuk menilai, atau memutuskan suatu perbuatan atau sikap, atau bagaimana suatu perbuataan harus dilaksanakan, yaitu perbuatan atau sikap mana yang baik dan yang buruk (Dewabrata, 1989: 4). Sebagai ilmu, etika mencari kebaikan. Sebagai filsafat, etika mencari keterangan (baik) yang sedalam-dalamnya, sehingga ada yang menyebut etika itu sebagai filsafat kesusilaan (poedjawiyatno,1984 : 6). Ada juga yang merumuskan etika sebagai a sitematic reflection upon human action, institution and character (Krammer, 1988: 12).

         Etika dengan demikian berusaha untuk memberi pentunjuk untuk tiga jenis pertanyaan yang senantiasa kita ajuakan. Pertama, apakah yang harus aku/kita lakukan dalam situasi konkret yang tengah dihadapi? Kedua, bagaimana kita akan mengatur pola koeksistensi kita dengan orang lain? Ketiga, akan menjadi manusia apakah kita ini? Dalam konteks ini etika berfungsi sebagai pembimbing tingkah laku manusia agar dalam mengelola kehidupan ini tidak sampai bersifat tragis. Etika berusaha mencegah tersebarnya “fracticida” yang secara legendaris dan historis mewarnai sejarah manusia (Rahmat, 1992: 6). Sementara itu, fungsi etika dalam perkembangan ilmu pengetahuan berwujud sebagai pengendali, penyaring, pengemudi dan persemain ide-ide baru (Boedijah, 1992: 7). Etika berusaha dengan orthopraxis, yakni tindakan yang benar (right action). Kapan suatu tindakan itu dipandang benar ditafsirkan secara berbeda oleh aliran etika yang secara global dapat dibagi menjadi 2, yaitu aliran deontologis (etika kewajiban), dan aliran teleologis (etika tujuan atau manfaat). Menurut etika deontologis (dari kata deon, yang berarti kewajiban), suatu tindakan dipandang benar bila tindakan itu sesuai dengan norma sosial yang berlaku.

Etika deontologis sangat menekankan perlunya law and order dalam kancah kehidupan bermasyarakat, yang hanya akan terjadi bila manusia mematuhi peraturan, baik aturan tuhan, alam, negara dan seterusnya. Kesulitan yang membelit etika deontologis terletak pada pengandaiannya (asumsi) bahwa fakta identik dengan das sollen, akibatnya etika deontologis sering memberi kesan kaku, legalitik, dan konservatif karena melestarikan status quo. Etika teleologis (dari kata teleos,yang berarti hasil atau tujuan), tindakan yang benar adalah tindakan yang berhasil mencapai tujuan tertentu. Jadi dari buahnaya kita harus menilai benar tidaknya suatu tindakan. Kesulitan yang membelit etika teleologis adalah kecenderungannya yang kuat untuk menempuh jalan pintas, yakni tujuan menghalalkan segala cara : (Rahmat, 1992: 6-7). Sebagaimana dipaparka sebelumnya, bahwa etika menghendaki ukuran-ukuran yang umum (universal). Inilah yang membedakannya dengan agama, tetapi agama sendiri tidak lalu harus dipertentangkan dengan etika. Agama menjadi salah satu sumber bagi etika disamping sumber-sumber lain seperti adat-istiadat dan pandangan hidup suatu bangsa atau negara. Bagi bangsa Indonesia, sumber etika yang paling penting untuk diterapkan di Indonesia tentu saja Pancasila. Dari etika yang cakupannya sangat luas tersebut, dijabarkan lagi menjadi bagian-bagian yang lebih spesifik dan sektoral. Karena itulah, kemudian kita mengenal istilah seperti etika kedokteran, etika jurnalistik, etika bisnis dlsb.

          Etika tersebut ada yang masih berupa norma-norma sosial yang tidak mengikat, tetapi ada pula yang sudah dirumuskan dalam bentuk kode etik. Dengan demikian kita lalu mengenal pula banyak kode etik seperti kode etik kedokteran (kodeki), yang dijadikan sebagai a systematic reflection upon human action, institution and characternya kaum ahli di bidang kedokteran, demikian juga kode etik ahli hukum seperti kode etik advokat, kode etik hakim, kode etik jaksa dan kode etik notaris, serta lainnya. Etika, seperti yang disebutkan sebelumnya, tidak saja berfungsi sebagai pengendali dan penyaring, tetapi juga sebagai sumber persemaian ide-ide baru. Dalam pembahasan selanjutnya akan diuraikan bahwa dalam kaitannya dengan euthanasia, etika memegang peranan penting maupun sebagai persemaian ide-ide baru yang dimaksud. Euthanasia dalam Perspektif Etika dan Hukum Etika memberikan penilaian tentang baik dan buruk, atau yang susila dan asusila serta dalam kerangka itulah euthanasia akan dinilai dalam perspektif etika.
Etika deontologis memberi pedoman bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang sesuai dengan norma sosial yang dijadikan sebagai acuan. Padahal norma sosial itu tidaklah tunggal. Norma agama, norma kesusilaan., norma sopan santun dan norma hukum adalah bagian dari norma sosial itu (Purbacaraka, 1978: 16). Dengan demikian tindakan euthanasia baru dianggap etis apabila telah dapat diterima oleh semua norma sosial tersebut. Jika mengacu pada konsep etika teleologis yang semata-mata mengutamakan tujuan dan kemanfaatan juga sangat relatif sifatnya. Tujuan dan kemanfaatan menurut siapa? Apakah mengacu kepada the greatest good for the greatest number yang terbukti berat sebelah itu? (Metokusumo, 1999: 61).


         Karena sulitnya mencapai ukuran menurut dua aliran etika tersebut, maka kita sebaiknya menghindar dari dikotomi antara etika deontologis dengan teleologis tersebut, dengan menggali kembali situasi primordial yang telah menggodok lahirnya kepekaan dan keprihatinan etis. Keprihatinan utama etika bukanlah melestarikan norma-norma sosial atau merealisasikan aneka macam tujuan subyektif, melainkan melindungi kehidupan dan menanggapi penderitaan manusia. Dengan kata lain titik tolak konkrit etika bukanlah tertib umum yang tidak boleh diganggu gugat atau tujuan subyektif yang terasa mendesak, melainkan protes terhadap kesengsaraan dan penindasan manusia yang selalu terjadi. Ancaman dan pemerkosaan terhadap humanum yaitu kemanusiaan yang layak dirindukan akan membakar kepekaan etis manusia. Dengan demikian dua prinsip utama etika adalah prinsip benefience (berbuatlah baik terhadap sesama) dan prinsip nonmalefience (janganlah berbuat jahat terhadap sesama), sehingga ukuran baik dan buruk suatu tindakan manusia adalah penderitaan sesama manusia agar ia dapat menjadi penjaga dan bukannya menjagal atas sesamanya. Manusia yang etis adalah yang dapat bertanggung jawab terhadap nasib sesamanya. E.Levinas mengatakan respondeo ergosum (aku bertanggungjawab, jadi aku sungguh ada). Dihadapkan pada konteks penderitaan manusia, rasa tanggung jawab untuk berbuat baik dan mencegah kejahatan, maka tindakan yang benar (ortopraxis) didasarkan pada dua tindakan (praxis) yaitu tindakan yang nyata guna membebaskan manusia dari situasi hidup yang gawat dan rawan (praxis liberasi) dan tindakan yang nyata guna menciptakan perdamaian diantara pihak yang bertentangan (praxis rekonsiliasi).


          Apabila kedua praxis tersebut diterapkan terhadap kasus euthanasia, kiranya dapatlah dijawab bahwa euthanasia dapat dipandang etis dengan beberapa persyaratan. Pertama, euthanasia harus dilandaskan pada satu tujuan semata ialah untuk membaskan manusia dari penderitaan. Namun sebelum tindakan diambil, terlebih dahulu harus didukung oleh suatu analisis ilmiah, khususnya dari aspek ilmu kedokteran dan hukum. Dari ilmu kedokteran, korban euthanasia haruslah dapat dipastikan kondisi penyakitnya memang tidak dapat disembuhkan lagi dan jika dibiarkan korban akan jauh lebih menderita lagi keadaannya. Selain itu, harus pula dipastikan dengan analisis ilmiah bahwa kematian yang dijalani oleh korban dilakukan dengan teknik yang memenuhi persyaratan sebagai mercy killing. Dari aspek ilmu hukum analisis ilmiah juga perlu dilakukan seperti betulkah kematian itu didasari alasan untuk kepentingan korban saja?. Di Indonesia sendiri, penilaian baik dan buruk terhadap euthanasia dapat dikatakan belum sepenuhnnya dilakukan. Mengingat Pancasila sebagai sumber etika dan sekaligus sumber dari segala sumber hukum, maka sepantasnyalah semua ketentuan yang ada berkenaan dengan euthanasia berpedoman pada sumber tersebut. Jika mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur euthanasia masih bersumberkan kepada hukum warisan kolonial belanda yaitu pasal 338, pasal 359 dan pasal 345 KUHP yang tidak secara langsung menunjuk kepada euthanasia. Satu-satunya pasal yang agak dekat kaitannya adalah pasal 344 KUHP. Dalam pasal 344 KUHP dikatakan barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Redaksi pasal tersebut menunjukkan adanya persamaan dengan jenis euthanasia aktif atas persetujuan korban adanya kesukarelaan korban tersebut terlihat dari permintaanya sendiri yang dinyatakan dengan jelas dan sungguh-sungguh. Larangan tersebut dapat ditafsirkan sebagai larangan terhadap euthanasia dan dalam rancangan KUHP baru larangan tersebut masih dipertahankan (Sahetapy, 1989: 4).
Namun demikian terbukti pasal tersebut tidaki lagi ditertapkan secara kaku. Beberapa putusan pengadilan di Belanda dan Belgia membuktikan adanya pergeseran pandangan, sedangkan untuk Indonesia belum ada putusan mengenai euthanasia. Dari yurisprudensi tahun 1952 s/d 1981 disebutkan bahwa euthanasia dapt dikeluarkan dari pemidanaan dengan syarat-syarat tertentu bahkan putusan pengadilan tinggi di Luik pada tahun 1962 pernah membebaskan dokter yang melakukan euthanasia terhadap pasiennya (Adji, 1986: 132). Dalam konteks Indonesia pergeseran pandangan tentang euthanasia dapat dilihat dari hasil penelitian Satjipto Rahardjo dkk dari Universitas Diponegoro Semarang pada tahun 1989 yang meneliti respon dokter dan ahli hukum terhadap euthanasia yang hasilnya dari jawaban 38 responden yang terjaring, 14 responden dokter menyatakan setuju dan sisanya dari responden sarjana hukum menyatakan tidak setuju terhadap euthanasia. Dari 7 dokter yang terjaring 5 diantaranya menjawab setuju, sedangkan dari 25 sarjana hukum yang terjaring 12 sarjana hukum yang menyetujui euthanasia. Sementara itu dari 14 responden menyatakan permintaan euthanasia sebaiknya dilakukan oleh keluarga korban (50%), permintaan oleh korban sendiri (36%) dandan oleh kedua-duanya (70%). Juga yang menarik adalah pendapat dari 38 responden yang menyatakan bahwa euthanasia adalah masalah kemanusiaa (8%), masalah agama (8%), masalah kedua-duanya (84%).

          Terlepas dari valid tidaknya data tersebut, ilustrasi tadi membuktikan bahwa pandangan masyarakat Indonesia yang beretika Pancasila telah bergeser dari ketentuan yang melarang euthanasia. Bahkan para dokter yang terikat kode etik kedokteran dan sumpah dokter yang memuat larangan melakukan euthanasia ternyata jauh lebih permisif jika dibandingkan sarjana hukum. Adanya pergeseran sikap tersebut menunjukkan euthanasia sebagai materi ilmu pengetahuan selalu mendapat masukan-masukan baru (heuristik). Namun masukan-masukan hasil persemaian ide-ide baru tersebut tidak begitu saja diterima melainkan harus dikendalikan oleh etika sebagai kosekuensi logis dari aspek aksiologis dari ilmu hukum khususnya dalam persoalan euthanasia. Proses yang saling mendukung dan mempengaruhi ini berlangsun dalam suatu siklus yang tidak pernah berhenti. Kesimpulan Filsafat hukum Indonesia dan teori hukum Indonesia yang hendak dibentuk dan digagas serta dikembangkan hingga ilmu hukum Indonesia secara sistematis tentunya didasarkan pada nilai pandangan filsafat pancasaila yang memiliki aspek ontologi monodualisme atau mono plularisme. Bahwa hakikat dari kenyatan yang ada sumber aslinya berupa baik materi atau rohani yang masing-masing bersifat bebas dan mandiri serta bahkan segala macam bentuk merupakan kenyataan. Oleh karena itulah pandangan filsafat Pancasila yang menjadi dasar dari filsafat hukum Indonesia, teori hukum Indonesia.
KESIMPULAN
Haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar. Sedangkan hukum euthanasia pasif berkaitan dengan hukum berobat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jika hukum berobat wajib, maka menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) adalah haram. Tetapi jika hukum berobat sunnat, maka menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) mubah atau boleh.
5. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan bahwa Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Ada pertanyaan dari yang diposkan oleh Hasbi:
1. Kata ‘eu’ dalam euthanasia memiliki arti:
a. Baik c. Pengobatan
b. Kematian d. Penyembuhan
2. Menghentikan pengobatan disebut dengan:
a. Euthanasia aktif c. Voluntary euthanasia
b. Euthanasia pasif d. Non voluntary euthanasi
3. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa hukum berobat adalah:
a. Sunnah c. Makruh
b. Wajib d. Haram
4. Euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien sendiri karena penderitaan yang sangat menyakitkan disebut dengan:
a. Voluntary euthanasia c. Involuntary euthanasia
b. Non voluntary euthanasia d. Euthanasia pasif
5. Euthanasia yang dilakukan atas permintaan keluarga pasien, disebut:
a. Voluntary euthanasia c. Involuntary euthanasia
b. Non voluntary euthanasia d. Eunthanasia pasif
6. Orang yang melakukan euthanasia atas permintaan pasien diancam pidana penjara paling lama dua belas tahun tercantum KUHP Pasal:
a. Pasal 340 c. Pasal 345
b. Pasal 344 d. Pasal 346
7. Berikut ini dalil diharamkan euthanasia aktif: kecuali:
a. QS. al-An’am:151 c. QS. al-Nisa:29
b. Qs. al-An’am 115 d. QS. al-Nisa:92
8. Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani tercantum dalam kode etik dokter pasal:
a. Pasal 4 c. Pasal 6
b. Pasal 5 d. Pasal 7
9. Kaedah yang menyatakan pada dasarnya perintah itu menunjukkan adanya tuntutan.
a. الأصل فى الأمر للوجوب c. الأصل فى النهي للتحريم
b. الأصل فى الأمر للطلب d. الأصل فى الأشياء للاباحة
10. Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum tercantum dalam KUHP pasal:
a. Pasal 354 c. pasal 356
b. Pasal 355 d. Pasal 357

Kunci Jawaban Tes Formatif
1. A 6. B
2. B 7. B
3. B 8. D
4. A 9. B
5. B 10. C
Daftara Pustaka
Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham Al-‘Uqubat. Beirut : Darul Ummah.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III. Al-Quds :
Mansyurat Hizb Al-Tahrir.
Audah, Abdul Qadir. 1992. At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islami. Beirut : Muassasah Ar-Risalah.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak).
Damaskus : Darul Fikr.
Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta
: Gema Insani Press.
Zallum, Abdul Qadim. 1997. Hukm Asy-Syar’i fi Al-Istinsakh, Naql A’dha`, Al-Ijhadh,
Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul In’asy At-Tibbiyah, al-Hayah wa al-Maut. Beirut :
Darul Ummah.
________ 1998. Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan Islam :
Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ
Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al Izzah.
Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masail Fiqhiyah. Cetakan VI. Jakarta : CV. Haji Masagung
Diposkan oleh Hasbi di 16.44
Label: euthanasia

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook