Saturday, November 22, 2014

HUKUMAN UNTUK ORANG-ORANG MULIA



K                                                         
HUKUMAN UNTUK
ORANG-ORANG MULIA DAN TERHORMAT

 
m.rakib  lpmp  riau indonesia
Hancur, Karena Mereka Menerapkan Hukuman Pidana Terhadap Orang Yang Lemah, Sedangkan Yang Mulia,?

“Diceritakan bahwa di zaman Nabi SAW, seorang wanita dari Bani Makhzum dituduh mencuri. Ketika terbukti bahwa ia telah melakukan pencurian, Rasulullah SAW memerintahkan agar ia segera dihukum potong tangan. Orang-orang Bani Makhzum terkejut mendengar berita memalukan yang akan menimpa salah seorang wanita keturunan terhormat mereka karena pasti akan dipotong tangannya. Lalu mereka menghubungi sahabat Utsamah ibnu Zaid yang menjadi kesayangan Nabi, agar ia mau memintakan grasi dari Rasulullah terhadap wanita kabilahnya. Kemudian Utsamah memohon grasi untuk wanita tersebut, dan ternyata jawaban beliau : “Apakah kamu meminta grasi terhadap salah satu hukuman had Allah?”. Kemudian Nabi memanggil semua kaum muslimin lalu beliau berpidato : “Wahai umat manusia, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah hancur, karena mereka menerapkan hukuman had terhadap orang yang lemah, sedangkan yang mulia, mereka biarkan saja. Demi Dzat yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya Fathimah (anak Nabi) mencuri, maka pasti akan kupotong tangannya”( Hadits riwayat Bukhari). 

Dalam menerapkan hukuman mencuri, Islam telah mengatur terlaksananya hukuman tersebut. Beberapa syarat berikut ini sebagai ganti cara hati-hati dan adil : 
  • Barang yang dicuri adalah berharga. Sedangkan kadar barang yang dicuri tersebut, pada zaman Nabi diperkirakan seperempat dinar atau lebih. Ada suatu hadits yang mengatakan :
 تقطع اليد فى ربع دينار فصاعدا 
 “Tangan harus dipotong karena mencuri seperempat dinar dan selebihnya”. 
  • Barang yang dicuri tersebut tersimpan pada tempatnya. Adapun barang yang hilang atau tertinggal di jalan umum tanpa ada yang menjaga, dalam hal ini tidak dilakukan hukuman potong tangan. Dan buah yang masih menempel di pohon tanpa ada tembok yang mengitarinya atau binatang ternak yang dilepaskan tanpa penggembala, dalam keadaan seperti ini hukuman potong tangan tidak diberlakukan. Tetapi sebagai penggantinya ialah hukuman ta’zir (penjara), di samping harus mengembalikan barang yang dicuri dan membayar harga barang yang dicuri. Demikian pula dengan pencurian yang dilakukan menggunakan mulut, atau dengan kata lain, dimakan ketika mencuri, seperti mencuri buah-buahan di pohon, namun ia tidak membawanya. Barang siapa membawa buah-buahan tersebut selain dari apa yang telah dimakannya, maka ia harus membayar dua kali lipat harga yang dicuri beserta hukuman ta’zir.
  • Bagi yang mempunyai barang diperbolehkan memberi maaf kepada pencuri setelah ia menangkapnya, dengan syarat kasusnya belum sampai ke tangan hakim. Tetapi apabila kasusnya sudah sampai ke tangan hakim maka tiada maaf bagi pencuri. 
  • Tidak boleh dilaksanakan hukuman mencuri baik berupa had, atau ta’zir atau dendaan, apabila yang melakukan pencurian terdorong oleh lapar. Karena khalifah Umar RA tidak melaksanakan hukuman had terhadap para pencuri di kala negara sedang dilanda kelaparan. 
Apabila para ahli fiqih berbicara tentang masalah pencurian, maka yang dimaksud ialah pencurian kecil-kecilan, yang pada hakekatnya barang yang diambil tersebut, dicuri secara diam-diam tanpa melalui kekerasan. 
Adapun mengenai pencurian besar-besaran, seperti melakukan pendorongan di rumah atau di gudang dan di jalan, serta merampas uang, barang-barang, kendaraan dengan cara paksa dan kekerasan sehingga korban tidak sempat meminta tolong, maka hal ini termasuk dalam bab hirabah (menimbulkan kerusakan). Hukumannya berbeda dengan hukuman mencuri biasa, dan hukuman yang diterimanya lebih berat. Perbuatan seperti ini amat membahayakan keamanan masyarakat. Hal ini akan kami terangkan secara terperinci dalam bab berikut ini.

\\\

   75  KAEDAH  FIQHIYAH


Absir's photo.
aidah utama ketiga:
14. اليقين لا يزول بالشك.
Keyakinan tidak runtuh oleh keraguan.

1.      Kaidah pertama:
15. الأصل بقاء ما كان على ما كان.
Keberlakuan sesuatu atas apa adanya adalah asal.

2.      Kaidah kedua:
16. الأصل براءة الذمة.
Kondisi kosongnya seseorang dari 

3.      Kaidah ketiga:
17. ما ثبت بيقين لا يرتفع إلا بيقين.
Sesuatu yang ditetapkan berdasar keyakinan tidak akan bisa diruntuhkan kecuali dengan keyakinan.

4.      Kaidah keempat:
18. الأصل في الصفات العارضة العدم.
Kondisi sifat (berupa tambahan) dianggap tidak ada adalah asal.

5.      Kaidah kelima:
19. الأصل إضافة الحادث إلى أقرب أوقاته.
Menyandarkan kejadian baru pada kejadian yang terdekat secara waktu adalah asal.

6.      Kaidah keenam:
20. ما ثبت بزمان يحكم ببقائه ما لم يوجد دليل على خلافه.
Sesuatu yang telah tetap hukumnya di suatu waktu dinyatakan terus berlaku selama tidak ada dalil sebaliknya.

7.      Kaidah ketujuh:
21. لا عبرة للدلالة في مقابلة التصريح.
Sesuatu yang implisit (implikatif) tidak diterima jika bertentangan dengan yang eksplisit.

8.      Kaidah kedelapan:
22. لا ينسب إلى ساكت قول ولكن السكوت في معرض الحاجة إلى البيان بيان.
Suatu perkataan tidak disandarkan kepada orang yang diam, tetapi diam dapat menjadi penjelasan dalam kondisi yang membutuhkan kejelasan.

9.      Kaidah kesembilan:
23. لا عبرة للتواهم.
Waham (hal yang masih hipotetik) tidak bisa dijadikan pegangan.

10.  Kaidah kesepuluh:
24. لا حجة مع الاحتمال الناشئ عن دليل.
Tidak ada hujah selama masih ada keraguan yang muncul dari dalil.

11.  Kaidah kesebelas:
25. لا عبرة بالظن البين خطؤه.
Hipotesa yang nyata keliru tidak bisa dijadikan pegangan.

12.  Kaidah keduabelas:
26. الممتنع عادة كالممتنع حقيقة.
Sesuatu yang menjadi halangan secara adat sama kuat dengan yang hakiki.

D.    Kaidah utama keempat:
27. لا ضرر ولا ضرر.
Jangan mengalami mudarat, dan jangan membuat mudarat.

1.      Kaidah pertama:
28. الضرر يزال.
Kemudaratan harus dihilangkan.

2.      Kaidah kedua:
29. الضرر يدفع بقدر الإمكان.
Kemudaratan ditolak menurut kadar yang dimungkinkan.

3.      Kaidah ketiga:
30. الضرر لا يزال بمثله.
Mudarat tidak dihilangkan dengan yang setara.

4.      Kaidah keempat:
31. الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف.
Mudarat yang lebih berat dihilangkan dengan mudarat yang lebih ringan.

5.      Kaidah kelima:
32. يختار أهوان الشرين.
Seseorang harus memilih yang paling mudah dari dua kesulitan.

6.      Kaidah keenam:
33. إذا تعارض مقسدتان رعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما.
Apabila bertentangan dua mudarat, maka yang terbesar darinya ditolak dengan cara mengemban mudarat yang paling ringan.

7.      Kaidah ketujuh:
34. يتحمل الضرر الخاص لدرء ضرر عام.
Mudarat yang khusus harus diemban demi menolak mudarat yang umum.

8.      Kaidah kedelapan:
35. درء المفاسد أولى من جلب المصالح.
Menolak kerusakan lebih utama dari mewujudkan kebaikan.

9.      Kaidah kesembilan:
36. القديم يترك على قدمه.
Sesuatu yang telah berlaku sejak lama dibiarkan apa adanya.

10.  Kaidah kesepuluh:
37. الضرر لا يكون قديما.
Kemudaratan itu ada awal mulanya.

E.     Kaidah utama kelima:
38. العادة محكمة.
Kebiasaan itu dapat menjadi hukum.

1.      Kaidah pertama:
39. استعمال الناس حجة يجب العمل بها.
Adat/kebiasaan adalah hujah yang wajib diamalkan.

2.      Kaidah kedua:
40. إنما تعتبر العادة إذا اطردت أو غلبت.
Adat hanya diterima jika konsisten dan diterima secara luas.

3.      Kaidah ketiga:
41. العبرة للغالب الشائع لا للنادر.
Hal yang diterima adalah kebiasaan yang diketahui secara luas, bukan sesuatu yang asing.

4.      Kaidah keempat:
42. الحقيقة تترك بدلالة العادة.
Makna denotatif ditinggalkan jika ada petunjuk lain berdasar kebiasaan.

5.      Kaidah kelima:
43. الكتاب كالخطاب.
Sesuatu yang ditulis sama keberlakuannya dengan yang diucap.

6.      Kaidah keenam:
44. الإشارة المعهودة من الأخرس كالبيان باللسان.
Isyarat yang berlaku umum di kalangan orang bisu berlaku sebagaimana halnya keberlakuan lisan.

7.      Kaidah ketujuh, terdiri dari dua kaidah:
45. المعروف عرفا كالمشروط شرطا.
Sesuatu yang sudah diterima sebagai kebiasaan umum, sama keberlakuannya seperti sesuatu yang disyaratkan sebagai syarat.

46. المعروف بين التجار كالمشروط بينهم.
Sesuatu yang sudah diterima secara umum di kalangan pedagang, berlaku seperti syarat di antara mereka.

8.      Kaidah kedelapan:
47. التعيين بالعرف كالتعيين بالنص.
Menentukan sesuatu berdasarkan kebiasaan sama kuatnya dengan nas.

9.      Kaidah kesembilan:
48. لا ينكر تغير الأحكام بتغير الأزمان.
Perubahan hukum akibat perubahan zaman tidak bisa ditolak.

II.      Kaidah fiqhiyyah sekunder yang mebawahi beberapa kaidah
A.    Kaidah pertama:
49. إعمال الكلام أولى من إهماله
Memberlakukan suatu perkataan lebih utama dari menggugurkannya.

Di bawahnya ada beberapa kaidah:
1.      Kaidah pertama:
50. الأصل في الكلام الحقيقة لا المجاز.
Asal suatu perkataan adalah denotatif/hakiki, bukan konotatif/majazi.

2.      Kaidah kedua:
51. إذا تعذرت الحقيقة يصار إلى المجاز.
Apabila ada halangan memahami suatu ucapan secara denotatif/hakiki, maka beralih pada pemahaman metaforis/konotatif.

3.      Kaidah ketiga:
52. المطلق بجري عل إطلاقه ما لم يقم دليل التقييد أو دلالة.
Menyebut sesuatu secara umum (tanpa ditambah kaitan lain) berlaku sesuai keumumannya, kecuali jika ada dalil yang mengaitkan dengan lainnya.

4.      Kaidah keempat:
53. ذكر بعض ما لا بتجزأ كذكر كله.
Menyebutkan sesuatu yang tidak terbagi, sama seperti menyebut seluruhnya.

5.      Kaidah kelima:
54. الوصف في الحاضر لغو و في الغائب معتبر.
Mendefinisikan sesuatu yang ada di depan mata tidak perlu, tetapi pendefinisian diperlukan jika sesuatu itu berada di tempat lain.

6.      Kaidah keenam:
55. السؤال معاد في الجواب.
Suatu pertanyaan dijadikan pertimbangan dalam sebuah ucapan yang merupakan jawaban baginya.

7.      Kaidah ketujuh:
56. إذا تعذر إعمال الكلام يهمل.
Apabila ada halangan dalam mengamalkan suatu ucapan, maka digugurkan.

B.     Kaidah kedua:
57. التابع تابع.
Sesuatu yang mengikut yang lain dipandang sebagai cabangnya.

1.      Kaidah pertama:
58. من ملك شيئا ملك ما هو من ضروراته.
Barangsiapa memiliki sesuatu, maka ia juga memiliki cabang darinya.

2.      Kaidah kedua:
59. التابع لا بفرد بالحكم.
Masalah cabang tidak dilepas secara tersendiri.

3.      Kaidah ketiga:
60. يغتفر في التوابع ما لا يغتفر في غيرها.
Dimaafkan sesuatu pada cabang yang tidak dimaafkan pada lainnya.

4.      Kaidah keempat:
61. إذا سقط الأصل سقط الفرع.
Apabila asal telah gugur, maka gugur pula cabangnya.

5.      Kaidah kelima:
62. قد يثبت الفرع دون الأصل.
Kadangkala cabang tetap berlaku meski asalnya tidak.

6.      Kaidah keenam:
63. إذا بطل الشيء بطل ما في ضمنه.
Apabila sesuatu batal, maka batal pula yang terkandung di dalamnya.

III.   Kaidah fiqhiyyah sekunder yang tidak membawahi kaidah lain:
1.      Kaidah pertama:
64. من استعجل شيئا قبل أوانه عوقب بحرمانه.
Barangsiapa yang menyegerakan sesuatu yang belum waktunya, maka ia tidak akan mendapatkannya.

2.      Kaidah kedua:
65. الساقط لا يعود.
Sesuatu yang jatuh tidak akan kembali.

3.      Kaidah ketiga:
66. تبدل سبب الملك قائم مقام تبدل الذات.
Perubahan kepemilikan atas sesuatu dipandang sebagai fisik.

4.      Kaidah keempat:
67. المعلق بالشرط يجب ثبوته عند ثبوت الشرط.
Sesuatu yang digantungkan pada syarat harus terwujud saat wujud syarat.

5.      Kaidah kelima:
68. يلزم مراعاة الشروط بقدر الإمكان.
Syarat harus dipelihara sesuai kadar yang dimungkinkan.

6.      Kaidah keenam:
69. ما ثبت بالشرع مقدم على ما ثبت بالشرط.
Sesuatu yang ditetapkan secara syar‘ī lebih didahulukan dari syarat.

7.      Kaidah ketujuh:
70. التصرف على الرعية منوط بالمصلحة.
Kebijakan penguasa atas rakyat harus berdasarkan maslahat.

8.      Kaidah kedelapan:
71. الخراج بالضمان.
Hasil yang dimanfaatkan merupakan imbalan bagi apa yang harus dibayar.

9.      Kaidah kesembilan:
72. لا يجوز لأحد أن يتصرف في ملك الغير بلا إذن.
Seseorang tidak boleh memanfaatkan barang milik orang lain tanpa izin.

10.  Kaidah kesepuluh:
73. الجواز الشرعي ينافي الضمان.
Pembolehan syariat menegasikan pembayaran.

11.  Kaidah kesebelas:
74. الغرم بالغنم.
Hutang dibalas dengan jasa.

12.  Kaidah keduabelas:
75. الثابت بالبرهان كالثابت بالعيان.

Sesuatu yang ditetapkan sah berdasarkan argumen secara syar‘ī, sama kuatnya dengan yang disaksikan dengan mata.  

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook