Monday, November 17, 2014

JARH WA TA’DIL CALON PEMIMPIN



JARH  WA  TA’DIL
CALON PEMIMPIN
M.RAKIB  LPMP  RIAU INDONESIA  2014


Thalut adalah pemimpin yang dianggap bodoh

Anak petani, tubuhnya kokoh.
Dicaci orang, tiada gopoh
Melawan musuh, sampai roboh.

Ada pemimpin, dipilihkan Tuhan,
Melaluinya, diberi kemudahan
Masyarakat mendapatkan kemewahan
Tapi nafsu harus, dikendalikan.

Wawan Budi's photo.Absir's photo.
Muhammad Rakib  dan Sahabat lamanya…Absir Di Tembilahan Riau

Kisah raja aatau pemimpin yang dianggap bodoh  ini,  terjadi sesudah zaman Nabi Musa dimana Bani Israil telah meminta kepada Nabi mereka yaitu Nabi Samuel AS untuk mengangkat seorang raja untuk memerangi Jalut yang telah mengusir mereka dari kampungnya. Mereka berkata kepada Nabinya:"Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (dibawah pimpinannya) di jalan Allah".
Nabi mereka menjawab:"Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang".

Mereka menjawab: "Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?'.

Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling kecuali beberapa saja diantara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa yang orang-orang Dzalim. (QS.Al-Baqarah:246).

Kemudian Nabi Samuel menyatakan bahwa Allah telah mengangkat Thalut, seorang petani dan peternak miskin dari desa menjadi raja mereka dan keputusan itu telah dibangkang sepenuhnya oleh mereka.

Nabi mereka mengatakan kepada mereka:"Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu".

Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?".

Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa".

Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah Maha Luas Pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. (QS.Al-Baqarah:247).

Dan Nabi Mereka mengatakan Kepada Mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya Tabut kepadamu, didalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun. (QS.Al-Baqarah:248)". Dimana Tabut adalah suatu peti kayu yang berlapiskan emas.

Ketika Thalut membawa bala tentaranya sejumlah 80.000 orang (riwayat lain 300.000 orang) untuk melawan tentara Jalut termasuk didalamnya Nabi Daud AS. Thalut berkata:
"Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa diantara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa yang tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka ia adalah pengikutku. (QS.Al-Baqarah:249)".

Maka tibalah mereka pada sebuah sungai antara Urdus (Jordan) dan Palestin, nafsu mereka mengalahkan segalanya. Banyak dari tentara Thalut melanggar perintah tersebut dengan meminum air sepuas-puasnya pada sungai tersebut. Dan tentara Thalut menyusut menjadi 319 orang (riwayat lain 313 orang) yang tetap taat terhadap perintah Thalut dengan minum secukupnya.

Setelah itu meneruskan perjalanan, Thalut dan orang-orang yang beriman bersamanya menyeberangi sungai itu, mereka yang tidak taat berkata:

"Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya. (QS.Al-Baqarah:249)".

Namun bagi mereka yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah pula berkata:

"Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS.Al-Baqarah:249)".

Maka, semakin berkuranglah tentara Thalut yang terus berjuang. Mereka berhasil melewati ujian-ujian Allah. Mereka sangat kuat dan bersemangat. Mereka tidak seperti orang-orang yang luntur iman mereka yang keluar sebelum sempat berhadapan dengan bala tentara Jalut.

Dan ketika mereka maju melawan Jalut dan tentaranya, mereka berdo'a:

"Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir. (QS.Al-Baqarah:250)".

Meskipun dengan jumlah tentara yang sedikit, Thalut tetap maju melawan Jalut. Kedua pasukan pun bertemu dan terjadilah perang tanding satu lawan satu. Daud AS juga mendapat giliran. Ia berani melawan Jalut, pemimpin pasukan lawan. Melihat sosok kecil Daud AS, Jalut meremehkannya dengan menggertak:"Enyahlah kau, aku tidak suka membunuh anak kecil".

Tidak mau kalah, Daud menyahut:"Aku suka membunuhmu".

Serangan Daud ternyata merepotkan Jalut. Daud mampu mengalahkan, bahkan membunuh Jalut. Dengan demikian, pasukan Thalut memetik kemenangan. Keberhasilan Daud ini menjadi buah bibir di kalangan Bani Israil.

Setelah beberapa tahun berlalu Raja Thalut wafat dan akhirnya Allah memberikan kekuasaan pada Daud menggantikan Thalut dan mengangkat Daud menjadi Nabi.

Kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. (QS.Al-Baqarah:251)".





 APA KELEBIHAN DAN KEKURANGAN
HARUS JELAS DINYATAKAN
HIDUP DALAM TRANSPARANS
HATI-HATI MELANGKAH KE MASA DEPAN

Penulis senang dengan apa yang ditulis oleh: Abu Bakar, dari UISU Sumut, tentang Jarah wat ta’dil
        Al-Jarh secara bahasa berarti melukai, mencaci maki, membatalkan. Al-Ta’dil berarti menyucikan, menunjukkan kebaikan, memuji. Jika kedua kata tersebut digabung, jarh wa ta’dil berarti menunjukkan kelemahan dan kelebihan seseorang dengan disertai bukti-bukti dan sikap apa yang harus dilakukan terhadapnya. Di dalam ilmu Hadis seseorang dianggap cacat (dhaif) apabila ingatannya lemah, akhlaknya tercela dan pernah berdusta. Apabila seseorang ingatannya lemah, tetapi akhlaknya baik dan tidak pernah berdusta maka Hadis yang diriwayatkan masih bisa diterima apabila tidak bertentangan dengan Hadis yang sahih.
      Salah satu aspek ajaran Islam yang sering dilupakan adalah keterbukaan. Dalam transaksi muamalah duniawaiyah, Islam sangat menekankan pentingnya kejujuran dan keterbukaan. Transaksi bisnis dapat dibatalkan apabila penjual tidak menyebutkan cacat barang dagangannya pada saat transaksi (ijab-qabul). Mengingat pentingnya keterbukaan, Rasulullah bersabda: Tidak sempurna iman seseorang apabila ia menjual suatu barang dan tidak secara jujur menunjukkan cacatnya.
        
“Angka perceraian di Indonesia menempati urutan tertinggi se-Asia Pasifik…Data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung RI tahun 2010 melansir bahwa selama 2005 sampai 2010, atau rata-rata satu dari 10 pasangan menikah berakhir dengan perceraian di Pengadilan. Dari dua juta pasangan menikah tahun 2010 saja, 285.184 pasangan bercerai. 70% perceraian itu karena gugat cerai dari pihak istri dengan alasan tertinggi ketidakharmonisan”. Pernyataan ini disampaikan oleh Dr. Sudibyo Alimoeso MA, Deputi Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN pada tanggal 23 Desember 2013 lalu.
Ketidakharmonisan yang mengakibatkan perceraian ini juga berkelindan dengan kekerasan yang terjadi di rumah tangga. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) tahun 2012 menempatkan ranah personal/Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebagai jumlah kasus terbanyak,  jumlahnya mencapai 8.315 kasus (66%). Pola kekerasan terhadap perempuan yang  masih didominasi KDRT ini sebenarnya sudah cukup berkurang bila dibandingkan dengan data tahun tahun 2010 yang mencapai 96% (yaitu 101.128). Tingginya angka KDRT ini berbanding lurus dengan tingginya angka perceraian
Bila kita melihat fenomena di atas, betapa tujuan disyariatkannya pernikahan dan pembentukan rumah tangga dalam Islam yaitu “Sakinah, Mawadah, wa Rahmah” (SAMARA) masih jauh dari harapan. Dampak dari perceraian dalam rumah tangga ini tidak bisa dilepaskan pengaruhnya terhadap anak, karena fakta kehidupan menunjukkan bahwa tidak sedikit dari perkawinan yang dibangun dengan susah payah pada akhirnya bubar karena kemelut dalam rumah tangga yang tidak bisa diselesaikan. Akibat dari bubarnya perkawinan tersebut, tidak sedikit pula anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menanggung derita yang seharusnya tidak ia tanggung .
Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara tegas dinyatakan bahwa “anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat, harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi” . Penjelasan tentang hak anak sebagai manusia ini bisa jadi tidak bisa dipenuhi karena perceraian orang tuanya. Ditinjau dari sisi hak anak yang masih kecil dan belum mandiri, pengasuhan (hadhanah) adalah suatu perbuatan yang wajib dilaksanakan oleh orang tuanya, karena tanpa hadhanah anak akan menjadi terlantar yang berarti kehilangan hak-haknya.
Pengasuhan anak setelah terjadi perceraian bisa menjadi konflik antara orang tua. Bagaimana sebetulnya Islam menjelaskan pengasuhan anak setelah perceraian? Siapa saja pihak yang berhak memiliki hak pengasuhan dan apa saja syarat-syaratnya? Bagaimana pula pengasuhan anak yang tidak berada di dalam pernikahan?

Pengasuhan anak (Hadhanah) dalam Islam
Pengasuhan anak atau hadhanah dalam perspektif Islam menempati satu dari beberapa konsep perwalian yang pengaturanya sangat jelas. Sejak anak masih dalam rahim ibunya, ia sudah mempunyai hak-hak sebagai seorang manusia sempurna seperti hak waris, hak wakaf dan yang paling asasi adalah hak nasab dari orang tuanya. Semua hak-hak tersebut akan berlaku efektif apabila ia telah lahir.
Secara normatif permasalahan pengasuhan anak atau hadhanah telah diatur dalam kitab-kitab fiqh klasik maupun kontemporer dengan beberapa perbedaan paradigma dan konsep.Para ulama sepakat bahwasanya hukum hadhanah, mendidik, merawat anak adalah wajib. Tetapi mereka berbeda dalam hal apakah hadhanah ini menjadi hak orang tua (terutama ibu) atau hak anak. Ulama madzhab Hanafi dan Maliki berbeda pendapat bahwa hak hadhanah itu menjadi hak ibu, sehingga ia dapat saja menggugurkan haknya. Sedangkan menurut jumhur ulama hadhanah itu menjadi hak bersama antara orang tua anak (bapak dan ibu). Sedangakan menurut Wahbah al-Zuhaily, hak hadhanah adalah hak bersyarikat (bersama) antara ayah, ibu dan anak dan jika terjadi pertengkaran mengenai itu maka hak atau kepentingan manakah yang didahulukan ?

Pengertian Hadhanah
Secara etimologi kata hadhanah yang juga di baca hidhanah berasal dari kata al-hidln yang berarti rusuk. Kata hadhanah atau hidhanah menjadi berarti pengasuhan anak karena seorang ibu yang mengasuh atau menggendong anaknya sering meletakkanya pada sebuah rusuknya atau dalam pangkuan sebelah rusuknya.
Sedangkan secara terminologi, para ulama ahli fiqh menerangkan bahwa hadhanah yaitu memelihara anak dari segala macam bahaya yang mungkin menimpanya, menjaga kesehatan jasmani dan rohaninya, menjaga makanan dan kebersihanya, mengusahakan pendidikanya hingga ia sanggup berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupan sebagai seorang muslim.
Menurut Abdul Aziz Dahlan dalam Ensiklopedia Hukum Islam, hadhanah secara terminologis adalah merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri . Senada dengan pendapat di atas, Sulaiman Rasjid menyatakan bahwa ‘hadhanah’ atau ‘mendidik’ berarti menjaga, memimpin, dan mengatur segala hal yang anak-anak belum dapat menjaga dan mengatur dirinya sendiri.  Sedangkan Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah menjelaskan bahwa definisi hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz tanpa perintah darinya, menyediakan segala sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari segala sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.
            Prof. Ahmad Rofiq, MA menjelaskan bahwa hadhanah dalam diskursus ini adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan ini mencakup masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak.  Pengasuhan anak juga mengandung arti sebuah tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup seorang anak oleh orang tua. Selanjutnya, tanggung jawab pengasuhan berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut bersifat kontinu sampai anak tersebut mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah mampu berdiri sendiri.

           Begitu pula dengan pernikahan. Islam sangat menganjurkan agar pasangan yang akan melangsungkan penikahan mengenal dengan baik calon istri atau suaminya. Islam melarang “kawin cinta buta” dimana calon mempelai tidak saling mengenal. Dalam proses perkenalan itu, masing-masing pihak harus menjelaskan secara jujur mengenai calon suami atau istri baik secara langsung maupun melalui utusan.Kebiasaan menyebut kepribadian seseorang juga berlangsung pada zaman Rasulullah. Dikalangan masyarakat Arab terdapat kebiasaan memberikan laqob (gelar) yang didasarkan atas kepribadian dan akhlak seseorang. Misalnya Abu Bakar mendapat gelar as-Siddiq. Gelar ini diberikan karena kejujurannya dan sikapnya yang selalu membenarkan apa yang disampaikan oleh Rasulullah. Sebaliknya, Musailamah mendapat gelar al-Kadz-dzab (pembohong). Sebutan ini diberikan antara lain karena kebiasaan berbohong. Kebohongan terbesar adalah pengakuan bahwa dia adalah seorang Nabi yang di utus menggantikan Muhammad yang telah wafat.

Di kalangan ahli Hadis juga terdapat berbagai sebutan terhadap seorang perawi. Misalnya, kadzib (pembohong) atau ‘adil (orang yang adil, bijaksana dan dapat dipercaya). Tradisi seperti inilah yang menjadi titik tolak lahirnya ilmu jarh wa ta’dil.
Jarh wa ta’dil Caleg dan Calon Kepala

Secara fiqhiyyah, pemilihan legislative bisa dianalogikan dengan jual beli atau pernikahan. Proses pemberian suara dapat disebut sebagai “aqd” pernikahan atau “ijab qabul” dalam jual beli. Karena itu sebelum proses pemilihan semua pemilih harus mengenal dengan baik siapa yang akan dipilih. Jika dikaitkan dengan Hadis, maka pemilih harus mengetahui benar siapa yang akan mewakilinya. Caleg adalah wakil rakyat yang diharapkan membawa aspirasi rakyat dengan amanah dan jujur.

Al-Jarh secara bahasa berarti melukai, mencaci maki, membatalkan. Al-Ta’dil berarti menyucikan, menunjukkan kebaikan, memuji. Jika kedua kata tersebut digabung, jarh wa ta’dil berarti menunjukkan kelemahan dan kelebihan seseorang dengan disertai bukti-bukti dan sikap apa yang harus dilakukan terhadapnya. Di dalam ilmu Hadis seseorang dianggap cacat (dhaif) apabila ingatannya lemah, akhlaknya tercela dan pernah berdusta. Apabila seseorang ingatannya lemah, tetapi akhlaknya baik dan tidak pernah berdusta maka Hadis yang diriwayatkan masih bisa diterima apabila tidak bertentangan dengan Hadis yang sahih. Jadi criteria utama yang menjadi ukuran cacat atau adilnya seseorang adalah akhlaknya, terutama kejujurannya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai metode jarh wa ta’dil. Pertama, al-ta’dil muqaddam ‘ala al-jarh; kritik yang berisi kelebihan, keutamaan dan pujian kepada seseorang harus dimenangkan atas kritik yang berisi celaan. Hal ini pada dasarnya manusia adalah baik sampai dia ditemukan berbuat dosa.
Kedua, al-jarh muqaddam ‘ala al-ta’dil; kritik yang berisi celaan terhadap seseorang harus didahulukan dari pada pujian. Hal ini dapat dilakukan apabila seseorang yang menyebutkan kelemahan orang lain lebih baik dari pada kepribadian dan akhlaknya. Dasar dalam memberikan pujian atau celaan adalah untuk memberikan nasihat dan penyempurnaan. Contoh untuk metode ini adalah celaan atau pujian seorang guru kepada muridnya. Ketiga, ijtima’u al-jarh wa ta’dil fi rawin wahidin; berkumpulnya jarh wa ta’dil dalam diri seseorang. Kritik yang berisi celaan. Dalam hal ini ada yang berpendapat pujian harus di dahulukan dari pada kekurangan. Atau sebaliknya, kekurangan harus disebutkan lebih dahulu baru kebaikan dan kelebihannya.

Dari penjelasan tersebut dapat diambil dua kesimpulan. Pertama, kwalitas seorang perawi Hadis sangat ditentukan oleh kepribadian dan akhlaknya, terutama kejujurannya. Jika seorang pendusta atau pernah berdusta meriwayatkan sebuah Hadis, besar kemungkinan dia berdusta sehingga riwayatnya di tolak. Kedua, kelebihan dan kekurangan seseorang tidak perlu ditutup-tutupi. Penyampaian kelebihan dan kekurangan seseorang justru bisa menimbulkan dampak positif bagi orang yang bersangkutan dan bagi masyarakat. Dengan mendengarkan kritik atau celaan orang lain, diharapkan dia dapat memperbaiki kekurangannya dan sadar akan dirinya.

Karena itu, agar masyarakat tidak salah memilih sebaiknya dilakukan jarh wa ta’dil terhadap para caleg. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengenal dengan baik kualitas, integritas dan akhlak dari pada caleg sehingga mereka dapat memilih caleg yang tepat. Publikasi atau political tracking seorang caleg tidak bertentangan dengan agama dan tradisi para sahabat. Yang penting publikasi caleg disampaikan secara fair dengan menyebutkan kelebihan dan kekurangan.
Tidak ada manusia yang sempurna. Tetapi, sebagai mana tradisi periwayatan Hadis, akhlak dan kejujuran seseorang merupakan penilaian utama yang menentukan kualitas Hadis. Seseorang yang kurang kuat ingatan tetapi jujur dan berakhlak mulia masih lebih baik dibandingkan dengan seseorang yang ingatannya kuat tetapi pendusta dan akhlaknya tercela. Caleg yang jujur, memiliki integritas moral-agama lebih baik dibandingkan dengan mereka yang cerdas tetapi tidak jujur, korup dan ahli maksiat. Yang terbaik adalah mereka yang ingatannya kuat (tsiqah), cerdas dan berakhlak mulia. Jika ada caleg seperti yang terakhir ini, pilihlah mereka.[]
*Penulis adalah Dosen Fakultas Agama Islam UISU.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook