Monday, November 17, 2014

MENGHUKUM ANAK KECIL



NABI MENGHUKUM ANAK KECIL


M.RAKIB LPMP  RIAU INDONESIA. 2014
Suatu ketika ia berjalan-jalan bersama Rasulullah SAW, melewati setumpuk buah kurma hasil sedekah. Hasan kecil, mengambil satu kurma dan memakannya, segera saja Nabi SAW berseru, "Akh, akh…!"
Kemudian beliau mengambil kurma tersebut dari mulut Hasan. Kemudian beliau bersabda, "Kita tidak boleh memakan harta sedekah."
Ia belajar shalat lima waktu dan beberapa shalat lainnya dari Nabi SAW, padahal saat itu ia masih anak-anak. Ia juga diajarkan Nabi SAW, doa untuk shalat witir, yaitu doa yang  saat ini terkadang dibaca sebagai doa qunut pada shalat subuh. Hasan juga sering melaksanakan ibadah haji dengan berjalan kaki, tidak mengendarai untanya. Ketika kebiasaannya ini ditanyakan, ia menjawab, "Setelah mati nanti, saya merasa malu jika bertemu dengan Allah, sedangkan saya belum pernah mengunjungi rumahNya dengan berjalan kaki."
                       

Husein bin Ali bin Abi Thalib RA
                                                                                   
            Husein bin Ali lahir setahun setelah kakaknya, Hasan. Ia masih berusia 6 tahun beberapa bulan ketika Nabi SAW wafat. Tetapi seperti kakaknya, ia juga meriwayatkan beberapa Hadits, setidaknya ada 8 hadits yang diriwayatkan dari jalan Husein ini.
Diriwayatkan bahwa Husein telah melaksanakan ibadah haji dengan berjalan kaki sebanyak 25 kali. Ia juga selalu istiqamah dalam menjalankan ibadah dan rajin bersedekah. 


Zainab binti Ali bin Abi Thalib RA
                                                                                               
            Zainab adalah putri ke tiga Fatimah dan Ali bin Abi Thalib. Ia menikah dengan saudara sepupunya sendiri, Abdullah bin Ja'far, dan mempunyai dua orang anak, Abdullah dan Aun, tetapi keduanya meninggal sebelum masa dewasanya, ketika kedua orang tuanya masih hidup.
Setelah Zainab meninggal, suaminya menikah dengan saudara kandungnya, Ummu Kultsum. Ummu Kultsum sendiri adalah janda dari saudara Abdullah, Muhammad bin Ja'far.             
                                                                                               

Ummu Kultsum binti Ali bin Abi Thalib RA
                                                                                               
            Ummu Kultsum adalah putri ke empat Fatimah dan Ali bin Abi Thalib, ia menikah dengan Khalifah Umar bin Khaththab. Dari pernikahannya ini ia mempunyai seorang anak yang diberi nama Zaid bin Umar. Setelah Umar meninggal, ia menikah dengan Aun bin Ja'far, dan mempunyai seorang anak perempuan, tetapi meninggal ketika masih kecil. Setelah Aun meninggal, ia menikah lagi dengan Muhammad bin Ja'far, saudara Aun. Setelah Muhammad meninggal, ia menikah lagi dengan Abdullah bin Ja'far, saudara Aun juga.
Saat menjadi istri Abdullah ini, Ummu Kultsum mengalami sakit, yang akhirnya membawa ajalnya. Pada hari wafatnya ini, putranya, Zaid bin Umar meninggal juga sehingga keduanya diberangkatkan ke makam bersama-sama.
Jadi, setelah pernikahannya dengan Umar bin Khaththab, Ummu Kultsum menikah dengan tiga orang putra Ja'far bin Abi Thalib, yang masih sepupunya sendiri, secara berturut-turut. Pertama dengan Aun bin Ja'far, kemudian Muhammad bin Ja'far dan Abdullah bin Ja'far. Sebelumnya, Abdullah bin Ja'far adalah suami saudara kandungnya sendiri, Zainab binti Ali, yang telah meninggal sebelumnya.
Ketika menjadi istri Umar bin Khaththab, suatu malam, suaminya yang menjabat sebagai khalifah itu tergesa-gesa membangunkannya dari tidur dan berkata, "Wahai istriku, sesungguhnya Allah SWT membuka jalan bagimu, jalan yang mulia di sisi Allah, agar engkau memperoleh peluang berbuat kebaikan malam ini."
"Apa maksudmu, wahai Amirul Mukminin," Tanya Ummu Kultsum terkejut, sekaligus penuh harap.
Memang telah menjadi kebiasaan Umar meronda malam untuk melihat keadaan umat Islam. Ia selalu khawatir kalau umat yang dipimpinnya ini mengalami kesusahan tanpa ia bisa membantunya. Dan malam itu ia menemukan suatu keadaan yang memerlukan campur tangan istrinya. Ia berkata, "Dengarlah wahai istriku, di padang sebelah sana terdapat sebuah kemah tua, yang di dalamnya ada seorang wanita yang akan melahirkan tanpa seorangpun yang merawat dan membantunya. Ia sangat kesakitan, tolonglah engkau membantunya dalam proses persalinannya!"
Sebenarnya mudah saja bagi Umar menyuruh dan memerintahkan Ummu Kultsum untuk membantu persalinan wanita itu. karena ia sebagai suami sekaligus khalifah. Tetapi bagaimanapun istrinya ini adalah seorang cucu dari orang yang sangat dikasihinya, Nabi SAW, apalagi Fatimah adalah putri kesayangan beliau. Ia tidak ingin mengatakan sesuatu yang juga akan menyakiti hati Rasulullah SAW. Kemuliaan nasab itu pulalah yang tampak dalam jawaban istrinya, "Wahai suamiku, sudah menjadi kewajibanku untuk menyempurnakan hasrat dan kesucian hatimu, aku bersedia untuk membantu dan merawatnya."    
Mereka bergegas menuju padang dimana kemah itu berada sambil membawa peralatan dan bekal makanan yang diperlukan. Sementara Ummu Kultsum membantu persalinan, Umar menyalakan api dan memasak makanan bagi dua pengembara tersebut. Tak lama berselang, terdengar seruan istrinya, "Ya Amirul Mukminin, ucapkanlah tahniah (selamat) kepada saudaramu itu, karena ia memperoleh seorang anak laki-laki."
Mendengar ucapan dari dalam kemah tersebut, si lelaki jadi terkejut. Tidak disangkanya kalau yang bersusah payah membantunya ini ternyata Umar, Amirul Mukminin yang sempat diacuhkannya. Umar meminta istrinya membawa masuk, makanan bagi sang ibu baru tersebut. Dan terhadap si lelaki yang tampak terkejut, ia berkata, "Tidak mengapa wahai Saudara, janganlah kedudukanku ini membebani perasaanmu. Datanglah besok menemuiku, aku akan mencoba menolongmu!"                                                                                    
Setelah semuanya selesai, Umar dan Ummu Kultsum berpamitan.   

Diposkan oleh Ibnu Ghufron di 07.19 http://img1.blogblog.com/img/icon18_email.gif


Mendidikan Anak Dengan Ketegasan

Masa kanak-kanak merupakan masa-masa belajar, dimana pada masa ini tentunya anak akan lebih sering melakukan kesalahan dikarena ia masih belajar. Berbagai macam kesalahan yang diperbuatnya kemungkinan karena ketidaktahuan sang anak, ataupun lupa, atau kealpaan perhatian orang tua sehingga anakpun “caper” dengan melakukan perbuatan yang berbahaya atau salah. 

Memang benar bahwasannya mendidik anak itu hendaknya dengan kasih sayang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah mencotohkan cara mendidik anak dengan kasih sayang melalui sabdanya dan perilakunya terhadap cucu-cucu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka mendidik anak dengan kasih sayang ini bukan berarti meniadakan tindakan tegas pada anak. Ketika seorang anak dalam masa belajarnya melakukan kesalahan, hendaknya setiap orang tua dapat mengerti dan memahami apakah sebab si anak melakukan kesalahan. Apakah sebab si anak tidak tahu bahwasannya yang ia lakukan itu salah, atau kurangnya perhatian orang tua, atau sebab lingkungan, atau sebab tauladan yang buruk dari dari orang tua ataukah sebab-sebab yang lainnya. Dengan memahami sebab ini maka orang tua dapat lebih bersikap adil kepada anaknya dalam mengambil tindakan tegas terhadapnya.

Namun yang harus difahami juga bukanlah ketegasan itu adalah sebuah kekerasan, seperti membentaknya, memarahi anak didepan umum, atau memukulnya. Karena tegas itu berbeda dengan keras. Setiap ketegasan belum tentu kekerasan, dan setiap kekerasan bukan berarti itu adalah ketegasan.

Sesungguhnya yang disebut dengan ketegasan dalam mendidik anak ini adalah sikap konsistensi terhadap perintah dan larangan. Artinya ketika orang tua memerintah sesuatu dan melarang terhadap sesuatu hendaknya ia konsisten di dalamnya. Jangan ketika memerintah dan melarang saat ini di perintah atau dilarang, dikarenakan rengekan anak maka berubah sikap.

Mari kita ambil contoh, misalkan seorang anak ingin bermain game disebuah tempat dimana ditempat tersebut banyak terdapat pelanggaran syariat, diantaranya diputar musik, wanita membuka aurat, ikhtilat, orang-orang melalaikan sholat, dan lain sebagainya. Ketika sang anak meminta maka niscaya orang tua tidak memberi izin untuk main game di tempat tersebut, namun kemudian anak tersebut merengek-rengek meminta dengan belas kasihan agar diberi izin untuk main ditempat tersebut, akhirnya karena kasihan sang orang tuapun memberikan izin padanya.

Inilah contoh dari tindakan tidak tegas dari orang tua, yaitu tidak konsisten terhadap larangan. Sehingga ketika sang anak menangkap sikap ini, dan menyimpulkan dalam dirinya bahwasannya rengekan dapat meluluhkan orang tua. Akhirnya pada kemudian harinya merengek ini kembali dijadikan senjata ampuh untuk melanggar aturan orang tuanya.

Namun ketika suatu perintah dari orang tua atau larangan orang tua itu dianggap tidak mengandung larangan syariat, maka sesekalipun boleh memenuhi permintaan anak, namun dengan penjelasan terlebih dahulu dan dengan melihat latar belakang anak menginginkannya, apakah karena manja saja, ataukah memang karena benar-benar membutuhkan apa yang ia inginkan tersebut.

Maka ketegasan dalam bertindak itu sangat diperlukan dalam mendidik anak. Hal ini agar si anak menjadi tahu bahwasannya ketika sesuatu itu tidak boleh dikerjakan ia tidak akan mengerjakannya karena tahu tidak ada kelonggaran di dalamnya jika dalam perkaranya terdapat pelanggaran syariat Islam.

Hal yang sama pun berlaku ketika sang anak melakukan kesalahan. Ketegasan disini adalah dalam rangka menasihati sang anak. Dan mesti disesuaikanpula dengan sebab-sebab apa yang membuat anak ini melakukan kesalahan.

Karena bisa jadi sebab anak melakukan kesalahan ini adalah karena teladan yang buruk dari orang tuanya sendiri, maka ketegasan itu berlaku pada diri orang tua agar dapat memperbaiki kesalahannya terlebih dahulu dan menjelaskan kepada anak bahwasannya apa yang ia contoh dari orang tua itu adalah kesalahan yang harus diperbaiki.

Maka merupakan cara mendidik anak yang baik adalah sikap kasih sayang dan tegas yang pada porsinya. Dalam mendidik anak haruslah diiringi dengan kasih sayang dan terkadangpun harus tegas tanpa kekerasan.

Sikap tegas dalam mendidik anak ini telah dicontohkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam saat cucu beliau memakan kurma sedekah. Hal ini sebagaimana hadist yang di ceritakan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,

Al Hasan bin Ali radhiallahu anhu mengambil sebutit kurma sedekah lalu memasukkannya kemulutnya. Melihat hal itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya, ‘kikh, kikh!’ supaya al Hasan memuntahkannya. Kemudian, beliau bersabda, ‘tidakkah engkau tahu bahwa kita (ahli bait Nabi) tidak boleh memakan harta sedekah?” (HR. Bukhori, dan Muslim)

Begitu juga teladan sikap tegas yang dapat kita ambil dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika anak tirinya melakukan kesalahan kemudia beliu nasihati dengan kalimat yang bijaksana,

“Dari sahabat Umar bin Abi Salamah radhiallahu ‘anhu, ia mengisahkan: Dahulu ketika aku masih kecil dan menjadi anak tiri Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, dan (bila sedang makan) tanganku (aku) julurkan ke segala sisi piring, maka Rasulullahshallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ‘Hai nak, bacalah bismillah, dan makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari sisi yang terdekat darimu.’ Maka semenjak itu, itulah etikaku ketika aku makan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Disinilah ketgasan orang tua diperlukan dalam mendidik anak. Ketegasan ini dipelukan ketika memerintah, melarang, dan juga ketika melihat anak-anak kita melakukan kesalahan. Ketika memerintah hendaknya orang tua kosisten dalam memerintah, melarang dan menasihati anak ketika melakukan kesalahan. Seperti yang telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai perintah sholat dari usia tujuh tahun, dan di usia sepuluh tahun boleh dipukul (tanpa kekerasan) ketika tidak mau sholat.

Dari contoh yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini juga dapat kita tarik kesimpulan bahwasannya mendidik anak itu terdapat dua hal, yaitu memerintah pada kebaikan dan melarang dari keburukan. Maka cara mendidik anak yang baik adalah dengan selalu memerintahkan berbuat baik kepada anak, dan melarang dari perbuatan buruk. Jangan sekali-kali membiarkan akan melakukan perbuatan buruk yang melanggar syariat dengan alasan tidak mau mengatakan “tidak boleh” karena alasan kasihan, atau yang lainnya. Wallahu a’lam.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook