Saturday, November 1, 2014

Mimpi Basah! tandanya dewasa



Mimpi Basah! tandanya dewasa
Tapi Menurut UU 23 th 2002 Belum!
Kok bisa ya saya Mimpi gituan? Kok Saya bisa? 





UU Perlindungan Anak: Penderitaan Guru

By M.Rakib Janib Jamari.Riau Indonesia
        Ketika  murid beberapa kali mendapat hukuman dari guru, dilihat pada masa kini, bisa merupakan bentuk penganiayaan. Hukuman diberikan karena memang murid  salah. Apapun kesalahan, pasti mendapatkan hukuman. Itulah yang berlaku saat itu. Ketika pelajaran menggambar, beberapa murid  lupa membawa pengaris, lalu disuruh maju ke depan kelas, menyodorkan tangan, guru menghantamkan penggaris kayu besar (panjang sekitar 1 meter dengan ketebalan sekitar 1 cm) mendarat di punggung dan telapak tangan siswa. Penggaris hancur. Ada murid perempuan sampai menangis, sedangkan  yang laki-laki hanya bisa meringis. Hasil hukuman hari itu bukan hanya tangan memar, tapi hari itu murid tidak bisa menulis.
 
UU Perlindungan Anak: Penderitaan Guru

By M.Rakib Janib Jamari.

        Ketika  murid beberapa kali mendapat hukuman dari guru, dilihat pada masa kini, bisa merupakan bentuk penganiayaan. Hukuman diberikan karena memang murid  salah. Apapun kesalahan, pasti mendapatkan hukuman. Itulah yang berlaku saat itu. Ketika pelajaran menggambar, beberapa murid  lupa membawa pengaris, lalu disuruh maju ke depan kelas, menyodorkan tangan, guru menghantamkan penggaris kayu besar (panjang sekitar 1 meter dengan ketebalan sekitar 1 cm) mendarat di punggung dan telapak tangan siswa. Penggaris hancur. Ada murid perempuan sampai menangis, sedangkan  yang laki-laki hanya bisa meringis. Hasil hukuman hari itu bukan hanya tangan memar, tapi hari itu murid tidak bisa menulis.

 
Mimpi bercinta dengan mantan kekasih, berhubungan
seksual dengan wanita yang tak tampak wajahnya, sampai
mimpi tak bisa ereksi, semua itu ada artinya. Yuk kita
intip apa arti di balik 'mimpi basah' tersebut.

Mimpi basah pastinya sudah tak asing lagi di kalangan
pria yang sudah lewat masa puber. Mimpi yang
menandakan kedewasaan itu nggak hanya dominasi remaja,
tapi juga masih banyak dialami pria dewasa single
lainnya.

Ternyata mimpi tersebut tak hanya sekedar berarti
melepaskan hasrat seksual. Di balik itu ada makna
psikologis lain yang wajib diperhatikan.

Mimpi adalah salah satu cara otak untuk mengeluarkan
ide, hasrat, atau ketakutan yang terlalu abstrak.
Tujuan dari mimpi adalah untuk menyalurkan fantasi,
ide, atau hasrat tadi secara mental sehingga anda
tidak terlalu 'terbebani' dengan hal-hal tadi.
Prinsipnya sama seperti mengosongkan tempat sampah.

Seperti dilansir askmen, Selasa (20/9/2005) ada
beberapa simbol-simbol mimpi basah yang menggambarkan
arti-arti tertentu.

1. Bercinta dengan wanita tanpa wajah
Banyak pria seringkali mimpi berhubungan seksual
dengan wanita yang wajahnya tak dapat diingat ataupun
dikenali. Tapi seringkali anda ingat akan sifat dan
berbagai kelebihan dirinya yang memikat.

Mimpi tersebut berarti di bawah alam sadar anda sangat
menginginkan seks yang tanpa konsekuensi. Anda ingin
melakukan hubungan seks dengan seorang wanita tanpa
harus memperhatikan emosi atau identitasnya.

Arti lain dari mimpi ini adalah untuk koreksi diri.
Pasangan yang tanpa muka itu secara tak disadari
adalah harapan anda terhadap diri sendiri. Cara yang
tepat untuk merespon mimpi tersebut adalah dengan
mengingat kelebihan pasangan anda di mimpi tadi dan
coba untuk menerapkan kelebihannya pada diri anda.

2. Mantan pacar datang lagi
Buat yang masih jomblo atau malah sudah punya pacar,
tak jarang mantan pacar kembali hadir di mimpi basah.
Jangan bingung dulu, ini bukan berarti anda sedang
merindukannya, tapi justru anda ingin menyingkirkan
dia dari kehidupan.

Mungkin saja saat itu sedang ada 'pendatang baru'. Nah
hadirnya mimpi itu bisa saja menjadi simbol persiapan
anda menuju hubungan baru. Dengan memimpikan mantan,
pikiran anda sedang berusaha mengakhiri masa lalu dan
membuka lembaran baru. So, nggak usah berlarut-larut
memikirkannya.

3. Pasangan tiba-tiba menghilang
Upss, sedang asyik bercinta tiba-tiba pasangan
menghilang begitu saja. Anda pernah mengalami mimpi
basah demikian?

Buat yang pernah mimpi seperti ini sebaiknya
introspeksi diri. Di balik senyum ceria, apakah ada
perasaan tidak nyaman dan frustasi dengan kekasih.
Sebab, mimpi ini bisa berarti anda sedang mengalami
krisis percaya diri. Tentu saja dengan pasangan anda.

Jauh di dalam hati anda merasa ditinggalkan dan
frustasi dengan kekasih yang tak bisa diharapkan.
Daripada resah tak berakhir, sebaiknya bicara terbuka
dengan pasangan. Dengan begitu, perasaan frustasi yang
anda alami bisa berganti menjadi percaya diri.

4. Bercinta dengan rekan kerja
Tanpa diduga tadi malam anda bermimpi dengan rekan
kerja anda yang cantik. Hmmm, senang dan khawatir pun
bercampur. Takut salah tingkah di depannya.

Tak banyak bedanya apakah anda bermimpi dengan staff
kantor yang cantik atau dengan senior kerja yang sudah
berumur. Semuanya menandakan hal yang sama yaitu
hubungan anda dengan mereka.

Mimpi dengan rekan sekerja bisa jadi semacam simbol
yang menggambarkan hubungan anda dengan orang
tersebut. Bisa berarti anda menikmati ikatan
profesional yang anda jalin dengan rekan kerja anda
tadi. Mimpi itu juga bisa berarti anda sudah merasa
nyaman dengan orang tersebut.


Oleh karena itu rasulullah SAW bersabda:

رفع القلم عن ثلاثة: عن النائم حتى يستيقظ, وعن الصبي حتى يحتلم, وعن المجنون حتى يعقل.
“Diangkatlah pena itu (tidak terkena tuntutan hukum) atas tiga orang: orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh (dewasa) dan orang gila sampai dia berakal.”

من نام عن صلاة أنسيها فليصلها إذا ذكرها, فإن ذلك وقتها.
“Barangsiapa tidur sampai tidak melakukan shalat (habis waktunya) atau lupa mengerjakannya maka hendaklah dia shalat ketika dia ingat, karena sesungguhnya ketika ingat itulah waktu shalatnya.”
Sedangkan kewajiban zakat, nafkah dan jaminan atas anak kecil dan orang gila bukan merupakan beban atas keduanya, akan tetati beban si wali untuk melaksanakan kewajiban harta, sebagaimana membayar pajak air dan harta milik keduanya.[1][5]
Dan bagi orang-orang yang tidak mengerti bahasa Arab dan orang yang tidak bisa memahami dalil-dalil syara’ baik dari al-Qur’an maupun dari as-Sunnah, seperti bangsa-bangsa selain bangsa Arab, maka tidak sah menuntut mereka secara syara’ kecuali mereka belajar bahasa Arab ataupun mereka bisa memahami nash-nasnya, atau jika dalil-dalil tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa mereka.
2.      Mukallaf atau juga disebut dengan ahliyyah, yakni ahli dengan sesuatu yang telah  ditaklifkan atau dibebankan padanya. Orang yang belum termasuk kelompok ahliyyah, maka ia belum dapat dibebani dengan taklif dan semua tindakanya tidak dapat diminta pertanggungjawaban.

D.    Ahliyyah 
1)      Pengertian Ahliyyah
Secara bahasa kata ahliyyah berarti kemampuan atau kecakapan. Misalnya, ungkapan yang menyatakan seseorang ahli untuk melakukan suatu pekerjaan. Ungkapan ini mengandung pengertian bahwa orang itu memiliki kemampuan dan kecakapan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.[2][6]
Para ahli ushul fiqh mendefinisikan ahliyyah secara terminology sebagai berikut:
صِفَةٌ يُقَدِّ رُهَا الشَّا رِعُ فىِ الشَّخْصِ تَجْعَلُهُ مَحَلًّا صَا لِحًا لِخِطَا بٍ تَشْرِيْعِيٍّ
Artinya: “suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syar’i untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntunan syara’.”
Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa ahliyyah adalah sifat yang menunjukan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’. Orang yang telah mempunyai sifat tersebut dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat menerima hak dari orang lain. Dengan demikian jual-belinya, hibbahnya, dan lain-lain dianggap sah. Ia juga telah dianggap mampu untuk menerima tanggung jawab, seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi.[3][7]

2)      Pembagian Ahliyyah
Kemampuan atau kecakapan untuk bertindak hukum dan dikenai taklif sejalan dengan tahapan perkembangan jasmani dan akalnya. Sehubungan dengan ini, para ahli ushul fiqh membagi ahliyyah menjadi 2, yaitu ahliyyah wujub dan ahliyyah ada’.
a.    Ahliyah Wujub,
adalah kepantasan seseorang untuk menerima hak. Dengan kata lain, kepantasan seseorang untuk menerima haknya dari orang lain. Dasar keputusan itu ialah kemanusiaan. Oleh karena itu sesama manusia laki-laki perempuan, baik janin, bayi maupun baligh, gila ataupun waras, sakit atau sehat ditinjau dari kemanusiaannya ia adalah ahliyatul wujub. Ditinjau dari segi ahliyatul-wujub, manusia itu terbagi kepada dua bagian, yaitu:
·           Ahliyyah al-wujub al-naqishah
Yaitu ketika seorang masih berada dalam kandungan ibunya(janin). Janin dianggap memiliki ahliyyah al-wujub yang belum sempurna, karena hak-hak yang harus ia terima belum dapat menjadi miliknya sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat, walau hanya untuk sesaat. Apabila ia telah lahir, maka hak-hak yang ia terima menjadi miliknya.
Para ulama’ushul fiqh menetapkan ada empat hak dari seorang janin yang masih dalam kandungan ibunya, yaitu:
                  1.     Hak keturunan dari ayahnya
                  2.     Hak warisan dari ahli warisnya yang meninggal dunia, dalam kaitan ini bagian harta yang harus dia terima diperkirakan dari jumlah terbesar yang akan ia terima, karena jika ia seorang laki-laki maka bagianya lebih besar dari seorang wanita, apabila ternyata janin itu wanita, maka kelebihan warisan yang disisakan itu dikembalikan kepada ahli waris lain,
                  3.     Wasiat yang ditujukan kepadanya,
                  4.     Harta waqaf yang ditujukan kepadanya,
Para ulama’ fiqh menetapkan bahwa wasiat dan waqaf merupakan transaksi sepihak, dalam arti pihak yang menerima wasiat atau waqaf tidak harus menyatakan persetujuanya untuk sahnya akad tersebut. Apabila seseorang memberi wasiat atau mewaqafkan hartanya kepada orang lain, maka penerima wasiat dan waqaf ini tidak perlu menyatakan penerimaanya. Oleh sebab itu, wasiat atau waqaf yang diperuntukan kepada janin, secara otomatis wasiat atau waqaf tersebut menjadi milik janin.[4][8]
·                Ahliyyah al-wujub al-kamilah
Yaitu kecakapan seseorang untuk menerima hak. Kecakapan ini berlaku semenjak ia lahir sampai sekarat selama ia masih bernafas.
Contoh ahliyyah al-wujub al-kamilah adalah anak yang baru lahir, ia berhak secara pasti menerima warisan dari orang tua atau kerabatnya. Demikian pula orang yang sedang sekarat, disamping ia berhak menerima harta warisan dari orang tua atau kerabatnya yang lebih dulu meninggal.[5][9]
b.    Ahliyah al-Ada’
adalah kepantasan seorang untuk diperhitungkan oleh syara’, ucapan dan perbuatannya dengan pengertian apabila seseorang mengerjakan shalat wajib, maka syara’ menilai bahwa kewajibannya telah tunai dan gugur dari padanya tuntutan itu. Sebagai dasar untuk menentukan ahliyah ada’ adalah tamyiz. Oleh karena itu manusia yang tergolong pada ahliyah ada’ hanyalah manusia yang mumayiz saja.[6][10]
Kecakapan berbuat hukum atau ahliyyah al-ada’terdiri dari tiga tingkat. Setiap tingkat ini dikaitkan kepada batas umur seorang manusia. Ketiga tingkat itu adalah:
·         ‘adim al-ahliyyah atau tidak cakap sama sekali, yaitu manusia semenjak lahir sampai mencapai umur tamyiz sekitar umur 7 tahun. Perbuatan anak-anak dalam umur ini tidak dikenai hukum, ucapanya pun tidak mempunyai akibat hukum. Karena itu transaksi yang dilakukanya dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum.
·         Ahliyyah al-ada’naqishah atau cakap berbuat hukum secara lemah, yaitu manusia yang telah mencapai umur tamyiz (kira-kira 7 tahun) sampai batas dewasa. Penamaan naqishah (lemah) dalam bentuk ini oleh karena akalnya masih lemah dan belum sempurna. Sedangkan taklif berlaku pada akal yang sempurna. Manusia dalam batas umur ini dalam hubunganya dengan hukum, sebagian tindakanya telah dikenai hukum dan sebagian lagi tidak dikenai hukum. Dalam hal ini tindakan manusia, ucapan atau perbuatanya terbagi kepada 3 tingkat, dan setiap tingkat mempunyai akibat hukum tersendiri, yaitu:
ü  Tindakan yang semata-mata menguntungkan kepadanya; umpamanya menerima pemberian (hibah) dan wasiat. Semua tindakan dalam bentuk ini, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan adalah sah dan terlaksana tanpa memerlukan persetujuan dari walinya.
ü  Tindakan yang semata-mata merugikanya atau mengurangi hak-hak yang ada padanya; umpamanya pemberian yang dilakukanya, baik dalam bentuk hibah atau shadaqah, pembebasan hutang, jual beli dengan harga yang tidak pantas. Segala tindakanya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang dilakukan oleh mumayyiz dalam bentuk ini tidak sah dan tidak berakibat hukum atau batal yang tidak memungkinkan untuk disetujui oleh walinya.
ü  Tindakan yang mengandung keuntungan dan kerugian. Umpamanya jual beli, sewa menyewa yang disatu pihak mengurangi haknya dan dipihak lain menambah hak yang ada padanya. Tindakan yang dilakukan dalam bentuk ini tidak batal secara mutlak tetapi dalam kesahanya tergantung kepada persetujuan yang diberikan oleh walinya sesudah tindakan itu dilakukan.
·         Ahliyyah al-ada’kamilah atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa. Usia dewasa dalam kitab-kitab fiqih ditentukan dengan tanda-tanda yang bersifat jasmani; yaitu bagi wanita telah mulai haidh atau mens dan para laki-laki dengan mimpi bersetubuh. Pembatasan berdasarkan jasmani ini didasarkan pada petunjuk al-Qur’an, yaitu sampai mencapai usia perkawinan atau umur yang pada wktu itu telah mungkin melangsungkan perkawinan.

E.     Taklif (Beban Hukum) Terhadap Orang Kafir
Sebagaiman telah dijelaskan bahwa syarat bagi subjek hukum itu adah baligh dan berakal. Selanjutnya dipermasalahkan apakah Islam merupakan syarat untuk dikenai tuntutan hukum. Dengan kata lain apakah non muslim dengan kekafirannya itu dituntut untuk melakukan beban hukum atau tidak. Dalam hal ini terdappat perbedaan pendapat dikalangan ulama’.
Pertama, ulama yang berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara persyaratan taklif dengan tercapainya syarat syar’i adalah: Imam Syafi’i, ulama yang bermadzhab Hanafi dan mayoritas dari kalangan ulama Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa orang-orang kafir dikenai beban hukum untuk melaksanakan juzu’ syariat seperti ibadah shalat, puasa dan haji. Artinya meskipun mereka tidak sah niatnya karena tidak beriman, namun mereka dituntut untuk melaksanakan ibadah itu sebagaimana berlaku terhadap mukallaf lainnya. Kelompok ulama ini mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:
1.      Ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk melakukan ibadat secara umum juga menjangkau orang-orang kafir, diantaranya seperti dalam surat al-Baqararah:21,surat al-imron:92.
2.      Orang kafir itu seandainya tidak dikenai taklif dengan hal-hal yang bersifat furu’ tentu tidak ada ancaman terhadap orang kafir bila ia tidak berbuat. Ayat yang mengancam orang kafir karena meninggalkan ibadat itu cukup banyak, seperti firman Allah dalam surat Fushilat :6-7, surat al-mudatsir:42
3.      Orang-orang kafir tidak dikenai taklif untuk meninggalkan larangan dengan sanksi sebagaimana berlaku terhadap orang mukmin, seperti berlaku atasnya sanksi zina, mencuri dan lainya. Hal ini disepakati oleh para ulama’. Bila dalam larangan mereka dikenai taklif untuk meninggalkanya, maka terhadap suruhanpun tentu begitu pula. Hal ini diqiyaskan kepada larangan karena sama-sama tuntutan untuk kemaslahatan
Kedua, pendapat dari sebagian ulama’Hanafiyah, Abu ishak al-Asfahani, sebagian kelompok syafi’iyah dan sebagian ulama’ Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa orang kafir itu tidak dibebani taklif untuk melaksanakan ibadat, karena bagi kelompok ini berlakunya taklif berkaitan dengan terpenuhinya syarat syar’I, sedangkan orang kafir tidak memenuhi syarat taklif itu. Kelompok ini mengemukakan argument sebagai berikut:
·      Seandainya orang kafir diberi taklif untuk melakukan furu’ syariat, tentu melakukan perbuatan itu dituntut. Ternyata tidak demikian, karena kafirnya itu mencegah sahnya ibadat mereka.
·      Seandainya orang kafir diberi beban hukum, tentu wajib bagi mereka menqadha’ apa yang dia tinggalkan saat kafirnya itu, sesudah masuk islam. Ternyata yang demikian tidak betul, karena bila ia masuk islam maka segala kekurangan pada waktu yang lalu dihapuskan berdasarkan sabda Nabi yang artinya:
“Islam itu memotong segala suatu sebelumnya.”
Ketiga, kelompok ulama yang berpendapat bahwa orang kafir dikenai taklif untuk meninggalkan larangan tetapi tidak dikenai taklif untuk melaksanakan suruhan, karena untuk melakukan perbuatan yang disuruh diperlukan niat, sedangkan untuk meninggalkan larangan cukup dengan jalan tidak berbuat apa-apa. Untuk tidak berbuat, tidak diperlukan niat.[7][11]


F.     Halangan Ahliyyah
Para  ulama’ushul fiqh sepakat menyatakatan bahwa penentuan cakap atau tidaknya seseorang dalam bertindak hukum dilihat dari segi akalnya. Akan tetapi mereka sepakat, bahwa sesuai dengan hukum biologis, akal seseorang bisa berubah, kurang dan hilang sama sekali, sehingga mengakibatkan mereka dianggap tidak cakap lagi dalam bertindak hukum, baik dalam tindakan hukum yang berkaitan dengan masalah tertentu maupun dalam bidang-bidang yang terbatas. Dalam hubungan ini, ulama’ushul fiqh menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa berubah yang disebabkan:
1). Al-‘awaridh as-samawiyyah, maksudnya halangan yang datangnya dari Allah, bukan disebabkan perbuatan manusia, seperti gila, dungu, perbudakan, mard maut (sakit yang berlanjut dengan kematian) dan lupa.
2). Al-awaridh al-muktasabah, maksudnya halangan yang disebabkan perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa, tersalah, berada dibawah pengampuan dan bodoh.
Kedua bentuk halangan yang menyebabkan berubahnya kecakapan bertindak hukum seseorang itu sangat berpengaruh terhadap tindakan hukumnya. Menurut ulama’ushul fiqh, perubahan kecakapan bertindak hukum itu adakalanya bersifat menghilangkan sama sekali, mengurangi atau mengubahnya. Karenya, mereka membagi halangan bertindak hukum itu dilihat dari segi objeknya kepada tiga bentuk:
1). Halangan yang bisa menyebabkan kecakapan seseorang bertindak hukum secara sempurna (ahliyyah al-ada’)  hilang sama sekali, seperti gila, tidur, lupa, dan terpaksa. Dalam keadaan seperti ini, kecakapan hukum seseorang hilang sama sekali, sehingga seluruh tindakan hukum mereka tidak dapat dipertanggung jawabkan. Dalam hal ini Rosulullah SAW bersabda:      
رُفِعَ أُمَّتِي عَنِ الْخَطَأِ وَالنِّسْيَا نِ وَمَا اسْتُكْرِ هُوْالَهُ
Diangkatnya (pembebanan hukum) dari umatku yang bersalah, terlupa dan terpaksa. (H.R. Ibn Majah dan al-Thabrani)
2). Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah al-ada’, seperti orang dungu. Apabila seseorang terkena penyakit dungu, maka ahliyyah al-ada’-nya tidak hilang sama sekali, tetapi bisa membatasi sifat kecakapan bertindak hukumnya. Oleh sebab itu, dalam tindakan hukum yang sifatnya bermanfaat bagi dirinya dinyatakan sah, sedangkan tindakan hukum yang merugikan dirinya dianggap batal.
3). Halangan yang sifatnya dapat mengubah sebagian tindakan hukum seseorang, seperti orang yang berutang, pailit, dibawah pengampuan, orang yang lalai dan tolol. Sifat-sifat seperti ini sebenarnya tindak mengubah ahliyyah al-ada’ seseorang, tetapi beberapa tindakan hukumnya berubah. Misalnya, orang yang berada dibawah pengampuan , tindakan hukumnya dalam masalah harta dibatasi demi kemaslahatan dirinya dan hak-hak orang yang membayar utang. [8][12]
  
BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan

Orang mukalaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT maupun dengan larangan-Nya. Serta seluruh tindakan hukum mukalaf harus dipertanggungjawabkan.
Dasar dari taklif salah satunya sabda rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Daud, al-Tirmidzi, Ibn Majah dan al-Daruquthni dari Aisyah dan Ali bin abi thalib, yang artinya, “Diangkatlah pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh.”Dan juga firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 43 dan surat Ibrahim ayat 4.


DAFTAR PUSTAKA

Bakry, Nazar. 1993. fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta:Raja Prafindo Perasada.
Effendi, Satria. 2005.Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Harun, Nasrun. 1996. Ushul Fiqh. Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu.
Khallaf,Abdul Wahhab. 2004.Ilmu Ushul Fiqh.Haramain: Linnasyri wa Tauzi’.
Koto, Alaiddin. 2006.Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: Rajawali Pers.
Syafe’I, Rahmat.2007.Ilmu Ushul Fiqh.Bandung: CV Pustaka Setia.
Syarifudin, Amir. 2004.Ushul FiqH. Jakarta Timur: Zikrul Hakim.
Syarifuddin, Amir.1997.Ushul Fiqh Jilid 1. Ciputat: PT Logos.



[9][1]Amir Syarifudin (selanjutnya disebut syarifudin), Ushul Fiqh, (Jakarta Timur: Zikrul Hakim, 2004), 276.

[10][2] Nasrun Harun (selanjutnya disebut harun), Ushul Fiqh, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1996), 305.
[11][3] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana. 2005), 75.
[12][4] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), 158.
Jack dan Keledai



[1][5]Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Haramain: Linnasyri wa Tauzi’, 2004),  134.
[2][6] Syarifudin,Op,Cit, 278.                                                  
[3][7] Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007) , 339.
[4][8] Harun, Op.Cit., 310.
[5][9] Amir Syarifuddin (selanjutnya disebut Syarifuddin),Ushul Fiqh Jilid 1, (Ciputat: PT Logos, 1997), 358.
[6][10] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta:Raja Prafindo Perasada, 1993), 163.
[7][11] Syarifuddin,Op.Cit,. 359.
[8][12] Harun,Op.Cit,. 311.




No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook