Saturday, November 15, 2014

PINTU MASUK" SYARIAT ISLAM DI ACEH. M.Rakib dari Riau peminat masalah ini



PINTU MASUK" SYARIAT ISLAM DI ACEH.
S
SYARI’AH KAJIAN YANG SANGAT LUAS



Peraturan daerah atau qanun tentang pemberlakuan Syariat Islam di Aceh, yang akan disahkan  berlaku pula orang non-Muslim, demikian keterangan seorang anggota DPR Aceh.
Warga non-Muslim di Aceh akan dikenai aturan qanun tersebut, seperti antara lain dikenai hukuman cambuk di depan umum, jika perbuatannya tidak diatur dalam hukum nasional atau Kitab undang-undang hukum pidana.
"Kalau tidak diatur dalam KUHP, ikut aturan qanun," kata anggota DPR Aceh dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Moharriadi, kepada
 wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Selasa (23/09) siang.

Namun demikian, lanjut Moharriadi, apabila perbuatannya diatur pula dalam KUHP, warga non-Muslim itu "bebas memilih secara sukarela."
"Artinya, kalau mau diatur dengan KUHP, silakan. Dan kalau mau diatur dengan qanun, silakan. Jadi, dia memilih dengan sukarela," kata Moharriadi.
Dalam materi qanun tersebut, mereka yang terbukti antara lain berjudi, zina, melakukan pemerkosaan, atau menenggak minuman keras akan dihukum cambuk atau denda atau penjara, tergantung tingkat kesalahan.

Perintah Memukul Anak-anak Karena Meninggalkan Shalat


 ويضرب ) ضربا غير مبرح وجوبا ممن ذكر ( عليها ) أي على تركها ولو قضاء أو ترك شرطا من شروطها ( لعشر ) أي بعد استكمالها للحديث الصحيح مروا الصبي بالصلاة إذا بلغ سبع سنين وإذا بلغ عشر سنين فاضربوه عليها ( كصوم أطاقه ) فإنه يؤمر به لسبع ويضرب عليه لعشر كالصلاة وحكمة ذلك التمرين على العبادة ليتعودها فلا يتركها وبحث الأذرعي في قن صغير كافر نطق بالشهادتين أنه يؤمر ندبا بالصلاة والصوم يحث عليهما من غير ضرب ليألف الخير بعد بلوغه وإن أبى القياس ذلك انتهى

Dan wajib terhadap orang yang telah disebutkan (ayah, ibu, kakek dan seterusnya) memukul mumaiyiz yang telah sempurna umurnya sepuluh tahun (pukulan) yang tidak melukai karena meninggalkan shalat walaupun shalat qadha’ atau karena meninggalkan sebuah syarat dari syarat-syarat shalat. (Kewajiban memukul ini) berdasarkan Hadits Shahih “Perintahkan olehmu anak-anak mengerjakan shalat apabila telah sampai umurnya tujuh tahun. Dan apabila ia telah berusia sepeuluh tahun maka pukul olehmu anak tersebut karena meninggalkan shalat”. Seperti puasa yang ia sanggup kerjakan, maka anak-anak yang sanggup mengerjakan puasa diperintahkan (oleh orang tuanya) saat berusia tujuh tahun dan dipukul karena meninggalkan puasa saat telah berusia sepuluh tahun, sama juga seperti shalat.

Hikmah demikian (perintah shalat sejak dini) adalah untuk mendidik anak usia dini dalam beribadah suapay menjadi kebiasaannya maka ia tidak akan meninggalkannya (kemudian hari). Imam Azra’iy membahas tentang budak/hamba sahaya kafir yang mengucapkan dua kalimat syahadah bahwa disunatkan memerintahkan kepadanya shalat dan puasa dengan mengajaknya melakukannya shalat dan puasa tanpa memukul. Tujuannya agar ia terbiasa dengan kebaikan saat baligh nanti, sekalipun hukum ini bertentangan dengan maksud hukum dari perintah Rasulullah. Demikian Imam Azra’iy.

Dianggap diskriminatif
Kalangan pegiat hak asasi manusia mengkritik materi rancangan qanun yang diberlakukan pula untuk penganut agama non-Muslim karena dianggap diskriminatif.
"Kalau memang ada pasal yang mengatakan 'boleh memilih' itu bagus, tapi ketika itu tidak diatur dalam hukum nasional dan digunakan qanun itu 'kan tidak fair," kata Soraya Kamaruzzaman, aktivis HAM dan Ketua Balai Syura Ureueng Inong Aceh kepada BBC Indonesia.
LSM mengkritik sebagian materi qanun jinayah diskriminatif terhadap non-Muslim
Namun demikian, Soraya juga mengkritik materi Undang-Undang Pemerintahan Aceh tahun 2006 yang menjadi rujukan qanun tersebut.
Menurutnya, salah-satu pasal dalam UU tersebut menyebutkan, setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syariat Islam.
"Jadi, yang harus diperbaiki adalah materi UU tersebut, karena qanun ini 'kan merujuk ke sana," kata Soraya.
Dia kemudian mengusulkan agar pihak yang keberatan dengan qanun di Aceh dapat terlebih dulu mengajukan judicial review (uji materi) ke Mahkamah Konstitusi.
Sudah dievaluasi Jakarta
Pemerintah pusat, seperti dinyatakan Kepala biro hukum Kementerian dalam negeri, Widodo Sigit mengatakan, pembahasan qanun Aceh telah melalui proses evaluasi yang melibatkan pemerintah pusat.
Dia juga menegaskan, bahwa Undang-undang pemerintahan Aceh tahun 2006 dibuat sesuai kekhususan Provinsi Aceh.
Kesepakatan damai RI-GAM 2005 jadi "pintu masuk" Syariat Islam di Aceh.
"Itu 'kan prosedurnya saja, pakai qanun atau Kitab undang-undang hukum pidana," kata Kepala biro hukum Kementerian dalam negeri, Widodo Sigit kepada BBC, Selasa (23/09) sore.
Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh, yang diatur dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh, merupakan lanjutan dari kesepakatan damai Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, GAM, tahun 2005 lalu.
Dalam batas tertentu, sejumlah daerah di Indonesia juga telah memberlakukan Syariat Islam, semenjak diberlakukan kebijakan otonomi daerah semenjak reformasi 1998, yang oleh sebagian pihak dianggap menyalahi Konstitusi.
Namun demikian sesuai dengan uraian sebelumnya di atas, syari'ah merupakan suatu bidang kajian yang sangat luas, hingga akhirnya mengakibatkan terjadinya kurikulum yang sangat berat, atau berujung pada pendangkalan kemampuan peserta didik. Mahasiswa mengetahui banyak hal, tetapi tidak ada satu bidangpun di antaranya yang dikuasai secara profesional. Ini tentu menuntut adanya pembidangan spesialisasi keilmuan yang lebih fisibel dan penekanan yang lebih praksis.
Ketetapan penamaan ini juga telah diakui secara legal-formal dan diterima dalam praktik profesional. Walaupun tidak tercantum dalam UUD 1945, tetapi secara historis, kata 'syari'at' termaktub dalam Piagam Jakarta. Selanjutnya UU No. 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama secara gamblang mencantumkan istilah 'Sarjana Syari'ah' dalam berbagai pasal dan penjelasannya.6 Lembaga peradilan di kalangan umat Islam di luar Jawa, sebelum diundangkannya UU No. 7/1989, juga banyak dikenal sebagai mahkamah syari'ah.
Di kalangan praksis hukum, kata ini telah terpakai dan diterima luas. Mahkaman Agung, sebagai lembaga yudikatif tertinggi di Republik Indonesia, contohnya dalam Surat Edaran MA No. MA/Kumdil/1589/IX/1998 tertanggal 2 September 1998, menyebutkan bahwa salah satu syarat untuk mengikuti Ujian Teknis Hukum bagi Pengacara Praktik adalah "Sarjana Hukum atau Sarjana Syari'ah'. Kenyataan bahwa semua lulusan IAIN kemudian diberi gelar Sarjana Agama (S. Ag.) mengaburkan kompetensi alumni Fakultas Syari'ah dan mempersulit mereka ketika ingin berkiprah di dunia profesi. Hal ini patut menjadi perhatian semua pihak terkait untuk memperjelas permasalahan ini dan mempertahankan istilah 'Sarjana Syari'ah' sebagai alternatif terbaik.
Syari`ah dan Studi Islam
Mengacu pada ketentuan-ketentuan yang termaktub pada UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (USPN) dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 30/1990 tentang Pendidikan Tinggi, maka tujuan lembaga pendidikan tinggi negeri yang mengkhususkan diri pada kajian keislaman ini dirumuskan oleh RIP (Rencana Induk Pengembangan) IAIN sebagai berikut: IAIN bertujuan untuk membantu terbinanya sarjana Islam, yang memiliki kemampuan akdemik dan/atau professional yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, bersikap rasional dan dinamis, berpikir filosofis, berpandangan luas dan mampu bekerjasama dalam rangka pengembangan ilmu dan teknologi serta seni untuk kepentingan nasional.7
Yang menjadi obyek dan ruang lingkup studi di IAIN adalah Islam. Apakah yang dimaksud dengan Islam di sini? Studi Islam paling tidak mencakup tiga bidang pokok. Yang pertama Islam sebagai ajaran, yang terwujud dalam bentuk wahyu Ilahi yang terhimpun dalam al-Qur'an dan dalam bentuk Sunnah yakni panduan Rasulullah SAW. bagi umatnya yang terhimpun dalam hadist. Dalam hal ini studi Islam bertumpu pada studi kewahyuan yang diwujudkan dalam bentuk matakuliah sumber al-Qur'an dan al-Hadist sekalian dengan perangkat ilmu-ilmu al-Qur'an ('ulum al-Quran) dan ilmu-ilmu Hadist ('ulum al-Hadist). Ilmu-ilmu ini, sejak beberapa waktu yang lalu menjadi jurusan Tafsir-Hadist di Fakultas Ushuluddin dan merupakan program studi khusus pada tingkat pascasajrana.
Selanjutnya Islam juga dikaji sebagai bagian dari pemikiran, sebagai bagian dari fiqh dalam arti luas, sebagaimana diperintahkan Allah SWT. dalam al-Qur'an. Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam (Islamic thought) terlihat ada lima bidang pemikiran Islam yang menojol, yaitu: akidah-teologi ('ilm al-kalam), hukum dalam arti luas (syari'ah), filsafat (hikmah/'irfan/falsafah), akhlak-sufisme (tashawuf). Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dan seni-budaya Muslim masih sangat minim dikaji di Perguruan Tinggi Islam, termasuk IAIN, yang sebenarnya mencakup bidang yang cukup luas, mulai ilmu hitung ('ilm al-hisab) dan matematika sampai arsitektur ('ilm al-handasah) dan astronomi ('ilm al-falak).
Islam pada tingkat berikutnya merupakan pengalaman dan penerapannya dalam kehidupan. Bersumberkan pada al-Qur'an dan Sunnah yang kemudian dijabarkan dalam berbagai pemikiran, ajaran Islam kemudian diamalkan dan diterapkan oleh umat Islam hingga membentuk peradaban Islam yang telah berabad-abad menyinari dunia. Islam sebagai pengalaman yang menonjol dikaji dan dikembangkan IAIN selama ini adalah aspek pendidikan (tarbiyah), dakwah dan tentu saja hukum, sedangkan aspek-aspek lain kelihatannya masih terabaikan.
Dari uraian di atas, jelaslah terlihat bahwa ilmu-ilmu agama Islam dan/atau ilmu pengetahuan keislaman (Islamic knowledge) mencakup berbagai disiplin yang membentang bukan saja dalam lingkup ilmu agama teologi an sich, tetapi ilmu-ilmu sosial (social sciences), ilmu-ilmu alam (natural sciences) dan humanitas (humanities). Sejalan dengan perkembangan keilmuan, studi Islam juga menerapkan pendekatan inter dan multidisipliner yang banyak menelurkan ilmu-ilmu baru. Adalah sesuatu yang bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga tidak realistis, mengungkung studi keislaman dalam lingkaran fokus pengkajian Islam tradisional, apalagi jika ditautkan dengan kondisi umat Islam yang mengalami stagnasi pada masa kemunduran peradaban Islam sejak abad ke-13 hingga ke-19. Kebangkitan (kembali) umat Islam yang dicanangkan dengan masuknya abad ke-15 Hijrah tidak akan terwujud tanpa dilandasi dengan tumbuh-kembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang Islami di kalangan umat Islam.
Dari sisi lain, sebenarnya setiap disiplin ilmu memiliki aspek teoritis dan aspek terapan, meskipun banyak yang memilah diri dalam ilmu yang berbeda. Di samping yang disebut di atas, dalam tradisi keilmuan umat Islam, dikenal juga banyak ilmu lain yang pernah berkembang, antara lain ilm al-'umran (ilmu kemakmuran), 'ilm tazkiyat al-nafs (ilmu kesehatan jiwa), 'ilm al-iqtisad (ilmu ekonomi), 'ulum al-mujtama' (ilmu-ilmu sosial) dan masih banyak yang lain. Dari segi materi, metodologi dan nilai, ilmu-ilmu tersebut, di balik banyak persamaan, terdapat perbedaan dengan yang dikembangkan dari disiplin-disiplin astronomi, sosiologi, ekonomi dan psikologi yang dikembangkan di universitas-univesitas konvensional, yang umumnya diimpor dari tradisi keilmuan Barat. Pemaduan kedua tradisi tersebut barangkali menjadi tugas penting IAIN. Dari segi inilah, gagasan untuk mengembangkan IAIN menjadi universitas, atau dengan memperluas cakupan kewenangan kajiannya (with wider mandate) merupakan langkah strategis yang patut ditindaklanjuti. Dalam kerangka ini jugalah pengembangan studi syari'ah di IAIN dapat ditilik.
Bertolak dari dasar pemikiran di atas, maka studi Hukum Islam, atau lebih tepat kajian syari'ah, mencakup tiga bidang, yakni studi kewahyuan sebagai sumber utama hukum Islam, studi pemikiran yang mengurai perkembangan pemikiran tentang hukum di kalangan umat Islam dan studi terapan yang mengkaji pengalaman dan implementasi serta perkembangan interaksi kaidah-kaidah tingkah-laku tersebut dengan kondisi empiris masyarakat Muslim.
Perbincangan ini terkait erat dengan perdebatan di kalangan para pengkaji hukum Islam kontemporer tentang apakah syari'ah itu 'subtantive rules' atau metodologi. Pengkajian lebih mendalam sebenarnya menunjukkan bahwa syari'ah memang mengandung kedua unsur tersebut, meskipun pergeseran telah sering terjadi baik ke kaidah hukum substantif maupun lebih ke teori dan metodologi hukum. Namun demikian patut dicermati pengamatan beberapa pakar bahwa sisi syari'ah sebagai metodologi dan teori hukum telah mengantarkan umat Islam ke zaman keemasan, dan bahwa ketika syari'ah lebih ditonjolkan sebagai kaidah hukum substantif, umat Islam diliputi suasana kemandegan, bahkan kemunduran.8
Perbincangan ini mengarahkan perhatian pada persoalan tentang apakah proses belajar-mengajar di Fakultas Syari'ah lebih terfokus pada pendidikan akademis atau profesional. Dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa studi syari'ah pada tingkat Perguruan Tinggi melingkupi baik pendidikan akademis dan juga pendidikan profesional. Oleh karenanya, setiap fakultas harus menentukan pilihannya, dan tidak tertutup, malah lebih baik, mengembangkan keduanya. Namun harus dipilah antara program akademis dari yang profesional. Program akademis terutama ditujukan untuk peserta didik yang melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, strata dua dan tiga. Konsekuensi logisnya adalah kurikulum yang ditawarkan kepada mereka juga menjadi berbeda penekanan dan metodenya. Adalah keliru memaksakan kurikulum yang padat dengan pematangan akademis bagi mereka yang lebih tertuju pada persiapan profe-sional. Ini terlihat dari terlalu dipaksakannya setiap mahasiswa yang harus menulis skripsi yang terkadang jauh relevansinya dari dunia kerja yang akan dihadapi di kemudian hari, sedangkan suatu program kerja lapangan atau magang (interupship) mungkin lebih bermanfaat.
Tidak jelasnya visi Fakultas Syari'ah dari sisi apakah ia program akademis atau professional juga terlihat dari terlalu idealnya target yang dicanangkan bagi lulusannya, sehingga tamatan dari strata satu (sarjana agama) diharapkan bisa menjadi konseptor, mujaddid, dan sebagainya. Kompetensi minimal seorang tamatan strata satu adalah seorang tenaga ahli pelaksana, sedangkan kemampuan mengembangkan penerapan iptek dalam peran improvisasi dan inovasi proses adalah kompetensi tamatan strata dua, yang kemudian ditingkatkan menjadi kemampuan mengembangkan dan menciptakan iptek bagi lulusan strata tiga.
Adalah kecenderungan selama ini para perencana dan pengelola program studi syari'ah berpikir terlalu 'ideal' hingga menjejali kurikulum (overburden curriculum) dengan berbagai matakuliah, sebagaian bersifat 'pesanan' dan yang lain bersifat 'warisan', yang memandang ideal tetapi kurang relevan dengan upaya penyiapan peserta didik dalam menghadapi dunia profesi. Ini terkait erat dengan tidak jernihnya perumusan tujuan program dan sosok lulusan yang ingin dicapai. Uraian satuan pelajaran yang diberikan, contohnya, lebih mempersiapkan mahasiswa sebagai ahli 'sejarah' hukum yang berkutat dengan pemikiran legal-ideal masa lalu, tetapi kurang mempersiapkan mereka sebagai ahli hukum yang bergulat menghadapi problema hukum positif masa kini.9
Salah satu misi penting Perguruan Tinggi adalah mempersiapkan tenaga ahli yang dibutuhkan oleh masyarakat. Yang dibutuhkan masyarakat itu tentu bermacam-macam. Hampir mustahil dengan program studi formal di Perguruan Tinggi menghasilkan lulusan yang menguasai segalanya tentang hukum Islam. Oleh sebab itu harus diperjelas spesialisasi dan dipilah bidang studinya. Pemekaran spesialisasi, oleh karenanya penghapusan jurusan, adalah hal yang lumrah dalam dunia Perguruan Tinggi, hingga tidak perlu harus bertahan bahwa jurusan/program studi yang ada harus permanen.
Oleh sebab itu, salah satu cara penilikan yang harus dilakukan adalah dengan menengok sosok lulusan bagaimanakah yang telah dan ingin dihasilkan oleh program studi ini. Hal ini tentu terkait dengan kondisi dan proyeksi lapangan kerja yang ada dan yang berkembang.10
Fakultas Syari'ah IAIN bertujuan untuk menyiapkan peserta didik menjadi sarjana yang memiliki kemampuan akademik dan profesional yang menguasai, menerapkan, dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau seni serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan tarap kesejahteraan masyarakat dan memperkaya kebudayaan dalam bidang kesyari'ahan. Para alumni Fakultas Syari'ah dipersiapkan untuk mengemban profesi yang pengetahuan dan keterampilan dalam disiplin ilmu kesyari'ahannya merupakan persyaratan dasar.
Sejak awal berdirinya, Fakultas Syari'ah ditujukan terutama untuk menyediakan tenaga ahli dalam bidang birokrasi pemerintahan yang menguasai hukum Islam yang memang sedang sangat dibutuhkan, terutama untuk mengisi jabatan hakim di jajaran peradilan agama dan jabatan lain dalam lingkup Departemen Agama.
Peradilan agama telah melewati masa perkembangan yang panjang dan berliku dalam sejarah peradilan di Indonesia. Diawali dengan diterimanya hukum dan peradilan Islam pada 1884 sebagai lembaga penyelesaian sengketa perkara antarumat Islam hingga dikukuhkannya Peradilan Agama sebagai bagian integral dari sistem peradilan nasional dengan disahkannya UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama.
Hingga pertengahan 1970-an Peradilan Agama dikelola oleh para hakim yang mayoritas hanya berpendidikan menengah dan banyak yang hanya menyerap pendidikan agama tradisional. Mereka pada dasarnya adalah tokoh ulama setempat yang bekerja part-time (paruh waktu) sebagai hakim honor. Pada awal 1960-an, pemerintah mendirikan PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri) di Yogyakarta yang mendidik secara ikatan dinas calon-calon hakim agama. Sama halnya dengan rekannya, Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN), PHIN hanya setingkat sekolah menengah (secondary schools), sedangkan pengadilan umum telah lama menerapkan persyaratan kesarjanaan bagi para hakimnya. Hal ini menimbulkan masalah dalam kualitas yustisial dan kepangkatan kepegawaian mereka.
Hasil survei di lapangan menunjukkan bahwa Fakultas Syari'ah ternyata mengembangkan karir di banyak lapangan pekerjaan. Secara tradisional, seorang faqih (ahli fikih), disamping hakim (qadhi) sebagai profesi utamanya, juga berkarir sebagai mufti (legal-consul), guru-dosen (ustadz) dan pembimbing ibadah-keagamaan masyarakat (imam, kiyai, mualim). Banyak alumni Syari'ah yang berperan baik sebagai guru, meskipun tidak mendalami ilmu tarbiyah secara formal, atau menjadi muballigh-da'i sukses, yang seharusnya lebih dipersiapkan bagi tamatan Fakultas Dakwah. Keunggulan alumni Syari'ah adalah penguasaan mereka atas syari'ah-fikih dan kemahiran dalam berbagai ilmu alatnya. Namun demikian, jumlah alumni Syari'ah yang menggeluti professi hukum, di luar peradilan agama, masih sangat minim. Hal ini terutama masih banyaknya rintangan struktural. Selama ini posisi yang tersedia terbatas hanya untuk menjadi pengacara praktik dalam lingkup peradilan agama, baru belakangan ini terbuka dengan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung, yang telah disingung sebelumnya. Semua ini terkait erat dengan kondisi perkembangan politik hukum di Indonesia.
Posisi Hukum Islam
Pengembangan hukum nasional dilandasi oleh tiga wawasan, yaitu Wawasan Kebangsaan, Wawasan Nusantara dan Wawasan Bhinneka Tunggal Ika. Ketiga wawasan tersebut mengacu kepada tujuan pembangunan hukum nasional, yaitu terwujudnya Sistem Hukum Nasional. Dengan wawasan ini, pembangunan hukum nasional melingkupi tiga komponen pokok , yaitu perangkat hukum, tatanan hukum dan budaya hukum.11

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook