Sunday, November 2, 2014

TEGAS TERHADAP ANAK, SEPERTI UMAR



          TEGAS TERHADAP ANAK, SEPERTI UMAR

M.RAKIB  SH.,  M.Ag  LPMP  Riau Indonesia


             Ada tiga kategori anak dalam Alqur’an. Pertama, anak sebagai cobaan (fitnah) bagi orang tuanya. Allah berfirman – yang artinya, “Sesungguhnya harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At-Taghabun: 15) Maksud anak menjadi fitnah, menurut tafsir al-Thanthawi, adalah anak yang merepotkan dan membuat lalai orang tua, sehingga mengganggu ibadahnya. Pakar tafsir al-Alusi menjelaskan penyebabnya, yakni karena anak-anak itu membuat orang tuanya terjerumus dalam perbuatan dosa dan menemui hal-hal sulit. Dalam hadits riwayat Abu Na’im disebutkan: “Seseorang dihadapkan (pada Allah) pada hari kiamat, kemudian dikatakan, ‘Keluarganya memakan kebaikannya.”
    

           Kedua, anak yang dapat menjadi musuh bagi orang tuanya sendiri. Allah berfirman, “Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu.” (TQS. At-Taghabun: 14). Ayat ini menyebut “
di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu”, karena tidak semua istri dan anak dapat menjadi musuh. Berbeda dengan ayat sebelumnya yang menyebut harta dan anak dapat menjadi fitnah. Alasannya, harta dan anak sedikit banyak pasti membuat “repot” dan melalaikan seseorang. Sedangkan istri tidak disebut sebagai fitnah, karena di antara mereka ada wanita-wanita shalihah yang menjadi pendukung suaminya meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Dikatakan, wara-a kulli ‘azhimin imra-ah, di belakang pria agung, pasti ada seorang wanita (istri yang menyokongnya).

Agar anak tak jadi musuh, orang tua harus menunaikan kewajibannya yang sekaligus menjadi hak bagi sang anak. Dalam Islam, banyak teks dalil yang menunjukkan tanggung jawab orang tua ini. Allah berfirman – yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. Al-Tahrim: 6). “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaha: 132).
Rasulullah bersabda, “Seorang lelaki adalah pemimpin keluarganya dan ia bertanggung jawab terhadap orang yang dipimpinnya. Wanita adalah pemimpin di tengah rumah suaminya dan ia bertanggung jawab terhadap orang yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). “Perintahlah anak-anakmu salat sedang mereka berusia tujuh tahun.” (HR. Ahmad)
1
          Anak merengek karena Anda melarangnya menonton televisi jelang jam tidur, atau Anda seringkali kesulitan meminta si kecil berhenti bermain bola di dalam ruang tamu atau keluarga. Jika hal ini masih sering Anda alami di rumah, tandanya Anda belum cukup mahir mengatakan "tidak" pada anak untuk mendisiplinkannya. Pengasuhan di era modern kerap menyarankan orangtua untuk bersikap lebih demokratis. Yakni bernegosiasi untuk menghindari konfrontasi, dengan melibatkan anak dalam pengambilan keputusan. Namun, terkadang cara ini tak berhasil dan orangtua cenderung frustasi menghadapi anak yang tak mau mendengarkan orangtuanya.

          Banyak orangtua mengalami hal ini, barangkali Anda salah satunya. Kegiatan sosial untuk anak dan keluarga berskala nasional di Inggris, 4Children melaporkan lebih dari 50 persen orangtua mengaku rutin mengalami konflik dengan anak-anak. Seperti adu argumen dengan anak, bahkan konflik ini dapat memicu kekerasan dalam rumah tangga.


Orangtua mungkin sudah membekali diri dengan ilmu pengasuhan, bahkan sejak anak masih dalam kandungan. Namun ketika si anak lahir, orangtua minim dukungan dan masih harus bergelut dengan berbagai konflik dalam pengasuhan. Alhasil, banyak orangtua yang mengalami konflik saat mengasuh anak. Mungkin, hanya tujuh persen orangtua yang mengklaim tak mengalami konflik ini dan memiliki kehidupan yang damai dengan anak-anaknya.

Agar anak mau menuruti permintaan orangtua, setiap keluarga memiliki resep masing-masing. Setiap keluarga punya cara berbeda, karena pada dasarnya anak-anak merupakan pribadi unik yang tak sama satu dengan lainnya.

Disiplin juga perlu diterapkan dalam keluarga, dengan meminimalisasi negosiasi. Artinya orangtua tak selalu harus memberikan pilihan kepada anak-anak. Mungkin cara ini terdengar kuno, namun ada waktunya anak-anak juga harus patuh pada perkataan orangtua apalagi jika ruang negosiasi yang sudah terbuka selama ini, hanya berujung pada konflik dan membuat orangtua semakin frustasi menghadapi tingkah laku anak-anak.

Metode 1-2-3
Meski ruang negosiasi tak lagi longgar, dan Anda menerapkan kedisiplinan bukan berarti orangtua bersikap kaku terhadap anak-anaknya.

Anda bisa mencontoh cara Anna Maxted, penulis buku The Horrible Princess (Tom And Matt) yang menerapkan metode 1-2-3 Magic. Metode ini dapat Anda pilih sebagai panduan pengasuhan yang dirancang oleh psikolog klinis Dr Thomas W Phelan. Cara ini bisa menjadi senjata ampuh orangtua untuk mengambil alih kendali di rumah, terutama terhadap anak usia empat.

Dr Phelan menyarankan orangtua untuk berhenti bernegosiasi dengan anak, karena sebenarnya anak-anak tak tertarik dengan argumen orangtuanya. Jika anak mengabaikan Anda yang memintanya berhenti ngemil biskuit jelang waktunya makan, alihkan amarah Anda. Jangan terpancing emosi dengan sikapnya, tapi mulailah beri peringatan tegas.

Sekali Anda memeringatinya, dan anak mengabaikannya, katakan dengan tegas, "Oke, satu kali". Lalu anak Anda masih bersikeras dengan sikapnya, dan menolak ajakan Anda setelah lima detik kemudian, katakan, "Dua kali". Jika sampai hitungan ketiga yang merupakan peringatan akhir, anak masih juga tak mendengarkan Anda, berikan hukuman lima menit dengan memintanya ke luar ruangan atau minta ia masuk dalam kamar. Setelah lima menit, izinkan anak kembali bergabung bersama Anda di ruang makan misalnya, namun jangan memulai diskusi apa pun dengannya.

Boleh jadi anak-anak Anda akan menganggap orangtuanya kejam. Barangkali mereka akan menyebut Anda dengan mengutarakan kata-kata seperti, "Aku benci Ibu, Ibu jahat". Mengenai hal ini Dr Phelan menyarankan orangtua untuk menyingkirkan emosi saat menerapkan disiplin, sehingga Anda bisa mengontrol temperamen termasuk temperamen anak-anak.

Cara ini terbukti berhasil bagi keluarga Maxted. Anak-anak pun menjadi lebih menghargai orangtua, dan waktu yang tadinya terpakai untuk bernegosiasi dengan anak sambil beradu argumen, justru bisa dimanfaatkan orangtua untuk bermain bersama anak-anaknya.
Antara Orangtua dan Tontonan Anak
Antara Orangtua dan Tontonan Anak



Islam tegas memerintahkan kita untuk memuliakan dan mengajarkan anak-anak dengan akhlak yang baik. Anak itu amanah, kalau kita salah mendidik, dia bisa menjadi ujian, bahkan bisa menjadi musuh.

Elly Risman, Konselor Yayasan Kita dan Buah Hati



Orangtua zaman sekarang bingung menghadapi tontonan TV dan perkembangan IT yang dampaknya menghawatirkan anak kita

Ya. Anak-anak bisa seperti itu karena pendidikan agamanya lemah. Komunikasi dengan orangtua sangat buruk. Misalnya anak tanya tentang kondom tidak boleh, bertanya tentang perkosaan dan sodomi dimarahi. Padahal itu semua mereka lihat di TV. Orangtua tak siap jadi orangtua. Tak tahu tahapan perkembangan anak. Mereka masih memegang pendidikan seks sebagai sesuatu yang tabu, tidak layak dibicarakan. Kalaupun ingin berbicara tak tahu bagaimana memulainya, sampai kapan dan sejauh mana.


Islam tegas memerintahkan kita untuk memuliakan dan mengajarkan anak-anak dengan akhlak yang baik. Anak itu amanah, kalau kita salah mendidik, dia bisa menjadi ujian, bahkan bisa menjadi musuh. Orangtua sering tidak memuliakan anaknya. Kalau mereka bertanya malah dibentak. Padahal setiap anak punya hak untuk mengetahui sesuatu yang dia lihat. Mereka butuh informasi yang benar dan lurus, termasuk masalah seks.


Pernahkah orangtua bertanya pada diri sendiri, sudahkah kita penuhi hak anak-anak? Sudahkah kita mendengar perasaan mereka? Sudah cukupkah kita memberi bekal kepercayaan diri yang benar pada mereka? Bukankah bekal kepercayaan diri mereka sudah banyak kita curi dengan cara pendidikan yang salah?

Orangtua masih bersikap double bounce (plin-plan) pada anak. Suatu saat dibolehkan, tapi pada saat lain dilarang. Dampaknya anak merasa tidak mampu, tidak berharga, sehingga gampang dipengaruhi. Pendidikan agamanya mestinya dari orangtua sendiri. Dari sini saya berfikir, berat benar pekerjaan orangtua sekarang ini.

Apakah keadaannya memang sudah segawat itu?

Iya. Sekarang ini kepala si anak seperti dipanah dari segala penjuru; dari atas, bawah, kiri, kanan dan belakang. Mereka dituntut macam-macam. Prestasilah, ranking, dan macam-macam. Padahal Allah menciptakan manusia itu berbeda-beda. Tapi kita menuntut berlebihan, seperti harus mendapatkan ranking. Itu artinya semua mata pelajaran harus bagus. Padahal tidak semua mata pelajaran harus bagus. Ada yang kuat matematikanya, bahasanya, atau seninya. Dalam teori multiple intelligents, cerdas itu macam-macam. Ada cerdas angka, cerdas ruang, dan cerdas gerak. Kita harus tahu itu.

Orangtua harus mengetahui kecerdasan yang dimiliki anaknya. Jika menuntut berlebihan maka membuat anak tak terpenuhi haknya. Itu baru satu panah, dari orangtua. Lalu sekolah, guru-gurunya, lingkungannya, dan semuanya “memanah” dia. Lalu ada tawaran baru dalam bentuk pornografi. Banyak beredar komik porno, VCD porno, internet porno, narkoba, ajakan berantem.

Ada orangtua yang merasa tak tega bila anaknya tak mengikuti perkembangan kemudian anaknya dibelikan HP berkamera. Apa akibatnya? Anak-anak itu kemudian bukan hanya mengirim SMS porno, tapi juga MMS (foto) porno.

Pengaruh itu tampaknya tak terbendung, begitu?

Saya berani bilang, anak kita menjadi sasaran industri seks internasional. Silakan buka situs international media watch di Amerika. Di situ ada tulisan tentang The Drug of the New Millennium. Di situ saya memperoleh informasi bahwa memang di sana memproduksi film, VCD, dan komik porno. Film-film itu dibuat sangat murah dengan bintang film yang tidak terkenal. Kemudian dilempar ke sini. Itu bisa mencuci anak kita empat hal.

Satu, dasar-dasar kepercayaan, bahwa seks itu fun, “Kamu butuh, jangan sok alim.” Lalu, harga diri. “Kalau sudah terima uang sekian boleh pegang, lebih banyak lagi bisa cium, lebih banyak lagi boleh hubungan badan.” Itu terjadi karena harga diri tidak ada. Kenapa? Karena di rumah waktu belajar pasang tali sepatu dibentak. “Lama amat, sini Mama bantuin!” Anak tidak pernah punya kepercayaan pada kemampuannya. Dari situ asalnya, jadi ketika sudah gede dia tak pernah merasa dirinya berharga. Ketiga, sikap yang negatif dibuat jadi positif. “Bukan pacaran kalau kamu tidak ada sentuhan fisik”. Emosinya dibuat jadi kacau. []
Diposkan oleh emanriniaisya..

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook