Tuesday, November 11, 2014

TUJUH KONSEP KEKERASAN m.rakib lpmp riau indonesia




TUJUH  KONSEP KEKERASAN
m.rakib lpmp riau indonesia


1.      Konsep Hukum Pidana
2.      Konsep Hukuman Pendidikan
3.      Konsep Hukuman Keluarga
4.      Konsep Fiqih Tentang Anti Keklerasa
5.      Konsep Hukuman Untuk Remaja Delinkuensi
6.      Konsep Hukuman Ringan
7.      Konsep Hukuman  Ta’zir di madrasah dan Pesantren

Dasar hukumnya adalah pada BAB VIII, Pasal 44 , Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 :
  1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan, fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5( lima) tahun atau denda paling banyak Rp.15,000,000 ( lima belas juta rupiah ).
  2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh ) tahun atau denda paling banyak Rp. 30,000,000 ( tiga puluh juta rupiah ).
  3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan  matinya korban , pidana dengan pidana penjara paling lama 15 ( lima belas tahun) atau denda paling banyak Rp. 45,000,000 ( empat puluh lima juta rupiah )
  4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari hari dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 5,000,000 ( lima juta rupiah ). 

           Nah “pidana” hanyalah sebuah “alat” yaitu alat untuk mencapai tujuan penindakan.  Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam bukunya kamus hukum, “pidana” adalah “hukuman”.  Pada hakekatnya sejarah hukum pidana adalah sejarah dari pidana dan pemidanaan yang senantiasa mempunyai hubungan erat dengan masalah tindak pidana.)1
Masalah tindak pidana merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang senantiasa dihadapi oleh setiap bentuk masyarakat. Di mana ada masyarakat, disitu ada hukum. Tindak pidana selalu bertalian erat dengan nilai, struktur dan masyarakat itu sendiri. Sehingga apapun upaya manusia untuk menghapuskannya, tindak pidana tidak mungkin tuntas karena tindak pidana memang tidak mungkin terhapus melainkan hanya dapat dikurangi atau diminimalilis itensitasnya;
Mardjono Reksodiputro2, menjelaskan bahwa tindak pidana sama sekali tidak dapat dihapus dalam masyarakat, melainkan hanya dapat dihapuskan sampai pada batas-batas toleransi. Hal ini disebabkan karena tidak semua kebutuhan manusia dapat dipenuhi secara sempurna. Di samping itu, manusia juga cenderung memiliki kepentingan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, sehingga bukan tidak mungkin berangkat dari perbedaan kepentingan tersebut justru muncul berbagai pertentangan yang bersifat prinsipil. Namun demikian, tindak pidana juga tidak dapat dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat karena dapat menimbulkan kerusakan dan gangguan pada ketertiban sosial. Dengan demikian sebelum hal yang sangat penting untuk membantu memahami apakah dengan alat tersebut tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai. Sudarto berpendapat yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.  Bila dilihat dari filosofinya, hukuman mempunyai arti yang sangat beragam R. Soesilo menggunakan istilah “hukuman” untuk menyebut istilah “pidana” dan ia merumuskan bahwa apa yang dimaksud dengan hukuman adalah suatu perasaan tidak enak yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar Undang-Undang hukum pidana.
Feurbach menyatakan, bahwa hukuman harus dapat mempertakutkan orang supaya jangan berbuat jahat lagi. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh berbagai kalangan ahli hukum  dikatakan bahwa perkembangan teori pemidanaan cenderung beranjak dari prinsip “menghukum” yang berorientasi ke belakang (backward-looking) ke arah gagasan/ide “membina” yang berorientasi ke depan (forward-looking). Menurut Roeslan Saleh, pergeseran orientasi pemidanaan disebabkan oleh karena hukum pidana berfungsi dalam masyarakat. Hukum pidana mencerminkan gambaran masanya dan bergantung pada pikiran-pikiran yang hidup dalam masyarakat.

http://hukumpidana.bphn.go.id/babbuku/bab-xx-penganiayaan/
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); Bab XX : Penganiayaan ... (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah ...

1.Konsep pertama. Kekerasan adalah tindakan yang menggambarkan tindakan atau perilaku, baik terbuka maupun tertutup dan baik yang sifatnya menyerang maupun bertahan yang diikuti dengan penggunaan kekuatan fisik kepada orang lain.

          Menurut FAUZUL AZIMNIM: 1110011000026 dalam tulisannya bahwa akhir-akhir ini sering ada  tayangan berita di televisi atau membaca dalam surat kabar, perihal fenomena kekerasan yang terjadi di dalam dunia pendidikan, baik yang dilakukan oleh guru terhadap siswanya maupun kekerasan yang dilakukan oleh siswa terhadap siswa yang lain. Hal tersebut sangat memprihatinkan karena di sekolahlah seharusnya nilai-nilai budi pekerti itu ditanamkan.
2.Konsep kedua kekerasan suatu tindakan yang tidak menyenangkan atau merugikan orang lain, baik secara fisik maupun psikis. Kekerasan tidak hanya berbentuk eksploitasi fisik semata, tetapi justru kekerasan psikislah yang perlu diwaspadai karena akan menimbulkan efek traumatis yang cukup lama bagi si korban. Dewasa ini, tindakan kekerasan dalam pendidikan sering dikenal dengan istilah bullying.
Berdasarkan permasalahan diatas pada makalah ini akan dibahas pengertian kekerasan, bentuk-bentuk kekerasan, penyebab kekerasan, serta  mengenai efek dari kekerasan terhadap sikap dan perilaku peserta didik, kemudian solusi dari permasalahan tersebut.

3.Ketiga Menurut Jack D. Douglas dan Fraces Chalut Waksler. Istilah kekerasan (violence) dipakai untuk mengambarkan tindakan atau perilaku, baik secara terbuka ( over) maupun tertutup (covert) dan baik yang sifatnya menyerang (offensive) maupun bertahan (defensive), yang diikuti dengan penggunaan kekuatan fisik terhadap orang lain.

Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Pendidikan
Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa indikator kekerasan:
 Pertama¸ kekerasan terbuka yakni kekerasan yang dapat dilihat atau diamati secara langsung, seperti perkelahian, tawuran, bentrokan massa, atau yang berkaitan dengan fisik. Sebagai contoh adalah kasus pengeroyokan 4 siswa SMKI terhadap temannya Suharyanyo (17 tahun), siswa kelas tiga SMKI yang dianiaya hingga meninggal karena alasan dugaan penipuan order mendalang.
Kedua, kekerasan tertutup yakni kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan secara langsung, seperti mengancam, intimidasi, atau simbol-simbol lain yang menyebabkan pihak-pihak tertentu merasa takut atau tertekan. Ancaman dianggap sebagai bentuk kekerasan¸ sebab orang hanya mempercayai kebenaran ancaman dan kemampuan pengancam mewujudkan ancamannya. Misalnya, kasus demonstrasi mahasiswa menolak SK Rektor UGM Yogyakarta tentang Biaya Operasional Pendidikan atau BOP, kedua belah pihak saling mengancam. Di satu sisi, pihak UGM akan melakukan sweeping KTP para demonstran, di pihak lain, mahasiswa mengancam akan melakukan demo besar-besaran.
Ketiga, kekerasan agresif (offensive) yakni kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu seperti perampasan, pencurian, pemerkosaan atau bahkan pembunuhan. Indikator kekerasan ini sudah masuk prilaku kriminal, di mana pelakunya dapat dikenakan sanksi menurut hukum tertentu. Contohnya kasus pembobolan di Universitas Jember, pencabulan terhadap siswa SD atau SLTP, atau penembakan guru SD hingga tewas.
Keempat, kekerasan defensif (defensive) yakni kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan, seperti barikade aparat untuk menahan aksi demo lainnya. Sengketa tanah warga dengan pihak sekolah, merupakan contoh yang relevan.
Dari sisi tingkat (level) kekerasan, intensitas suatu kekerasan bisa meningkat dari kekerasan ringan atau potensi menjadi kekerasan tingkat sedang bahkan dapat berlanjut pada kekerasan tingkat berat, berupa tindak kriminal dalam pendidikan. Kekerasan disebut dalam bentuk potensi, bilamana memiliki indikator sebagai berikut: bersifat tetutup, berupa unjuk rasa untuk menyampaikan aspirasi, pelecehan nama baik seseorang, dan ancaman atau intimidasi. Bila kekerasan tertutup berubah menjadi konflik terbuka, unjuk rasa berubah menjadi bentrok, ancaman berubah menjadi tindakan nyata, dan kekerasan defensif menjadi ofensif, maka saat itu juga potensi berubah menjadi kekerasan.
Meski demikian, kekerasan dalam pendidikan tidak selalu terjadi secara berurutan dari potensi (ringan), menjadi kekerasan (sedang), lalu tindak kriminal (berat). Bisa saja kekerasan yang berlangsung hanya sampai pada potensi saja, tidak berlanjut ke tingkat atasnya. Kadang terjadi kekerasan berbentuk tindak kriminal, tanpa didahului oleh potensi maupun kekerasan sebelumnya. Akan tetapi penelitian ini ditemukan bahwa pada kasus tertentu kekerasan ringan berlanjut menjadi kekerasan sedang, bahkan menjadi tindak kriminal. Meski demikian, kekerasan dalam pendidikan tidak selalu terjadi secara berurutan dari potensi (ringan), menjadi kekerasan (sedang), lalu tindak kriminal (berat). Bisa saja kekerasan yang berlangsung hanya sampai pada potensi saja, tidak berlanjut ke tingkat atasnya. Kadang terjadi kekerasan berbentuk tindak kriminal, tanpa didahului oleh potensi maupun kekerasan sebelumnya. Akan tetapi penelitian ini ditemukan bahwa pada kasus tertentu kekerasan ringan berlanjut menjadi kekerasan sedang, bahkan menjadi tindak kriminal.
Dari 6 surat kabar yakni Bernas, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Republika, Kompas, Suara Merdeka, yang dipilih secara acak (random sampling), ditemukan sebanyak 71 kasus potensi kekerasan atau tingkat ringan yang umumnya terjadi karena sebab tertentu yakni: masalah sistem Penerimaan Siswa Baru (PSB), masalah kenaikan biaya pendidikan, masalah demokratisasi dan transparansi, penyelenggaraan pendidikan, terutama di lingkungan kampus, masalah lingkungan dan sosial, masalah yang muncul secara spontan karena adanya momen tertentu, dan masalah lainnya.
Masih menurut Fauzul Azim, kekerasan dalam kategori sedang, dalam penelitiannya, juga dalam penelotiam  dilakukan oleh . Abd. Rachman Assegaf, ., ditemukan 93 kasus yang sebagian besar muncul secara langsung tanpa didahului oleh kekerasan sebelumnya. Kasus ini berupa kekerasan antar pihak sekolah, kekerasan antar pelajar/mahasiswa, kasus kekerasan guru terhadap siswa dan sebaliknya, kekerasan pelajar terhadap guru, kasus kekerasan mahasiswa terhadap masyarakat dan sebaliknya, kekerasan masyarakat terhadap siswa.
Adapun kasus kriminalitas dalam pendidikan (tingkat berat) biasanya berkisar pada pencabulan, penculikan, pencurian, bahkan aksi pembunuhan. Siswi SD dan SLTP termasuk yang sering menjadi korban pencabulan yang dominan sekali  dilakukan oleh pelaku yang sudah dikenal atau dekat. Sedang kasus penculikan dilakukan karena motif tertentu seperti permintaan uang tebusan. Aksi pencurian juga mewarnai kekerasan masyarakat kepada pihak sekolah/kampus. Sementara tindak kriminal berupa pembunuhan sebagaimana menimpa guru di Aceh yang mencapai 200 kasus dengan 50 korban meninggal dan 100 lainnya mengalami cacat fisik permanen dan kehilangan tempat tinggal karena rumahnya terbakar. Di kalangan pelajar dan mahasiswa, bentuk tindak kriminal yang sering terjadi adalah peredaran dan konsumsi narkoba sebagaimana yang terjadi di Sleman dan Yogyakarta.
3. Penyebab Kekerasan Dalam Pendidikan
Tindak kekerasan tak pernah diinginkan oleh siapapun, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara edukatif. Namun tak bisa ditampik, di lembaga ini ternyata masih sering terjadi tindak kekerasan. Akhir 1997, di salah satu SDN Pati, seorang ibu guru kelas IV menghukum murid-murid yang tidak mengerjakan PR dengan menusukkan paku yang dipanaskan ke tangan siswa. Di Surabaya, seorang guru oleh raga menghukum lari seorang siswa yang terlambat datang beberapa kali putaran. Tapi karena fisiknya lemah, pelajar tersebut tewas. Dalam periode yang yang tidak berselang lama, seorang guru SD Lubuk Gaung, Bengkalis, Riau, menghukum muridnya dengan lari keliling lapangan dalam kondisi telanjang bulat. Bulan Maret 2002 yang lalu, terjadi pula seorang pembina pramuka bertindak asusila terhadap siswinya saat acara camping. Selain tersebut di atas, banyak lagi kasus kekerasan pendidikan masih melembari wajah pendidikan kita.
Dalam melihat fenomena ini, beberapa analisa bisa diajukan:  pertama, kekerasan dalam pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman, terutama fisik. Jadi, ada pihak yang melanggar dan pihak yang memberi sanksi. Bila sanksi melebihi batas atau tidak sesuai dengan kondisi pelanggaran, maka terjadilah apa yang disebut dengan tindak kekerasan. Tawuran antarpelajar atau mahasiswa merupakan contoh kekerasan ini. Selain itu, kekerasan dalam pendidikan tidak selamanya fisik, melainkan bisa berbentuk pelanggaran atas kode etik dan tata tertib sekolah.  Misalnya, siswa mbolos sekolah dan pergi jalan-jalan ke tempat hiburan.
Kedua, kekerasan dalam pendidikan bisa diakibatkan oleh buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Muatan kurikukum yang hanya mengandalkan kemampuan aspek kognitif dan mengabaikan pendidikan afektif menyebabkan berkurangnya proses humanisasi dalam pendidikan. Kekerasan juga dapat muncul dikarenakan kurikulum pendidikan yang cukup padat dan sarat beban, menyebabkan anak harus belajar berbagai hal dalam waktu yang ditentukan. Ini menyebabkan emosional anak didik menjadi kurang bisa terkendali. Kemudian, sebagian pendidik juga belum mampu mengelola emosi negatif sehinga memperlakukan peserta didik dengan kasar. Lebih jauh lagi, pemegang kebijakan pendidikan di negeri ini harus sadar bahwa ketidakadilan kebijakan dan perundang-undangan pendidikan yang diskriminatif dapat menanam benih kekerasan di benak anak didik. Karena secara substansif, akses pendidikan yang tidak adil dan merata dapat menyebabkan kesejangan, sehingga akan sangat mudah memicu konflik sosial yang lebih luas.
Ketiga, kekerasan dalam pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan media massa yang memang belakangan ini kian vulgar dalam menampilkan aksi-aksi kekerasan.
Keempat, kekerasan bisa merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan masyarakat yang mengalami pergeseran cepat, sehingga meniscayakan timbulnya sikap instant solution maupun jalan pintas.
 Kelima, kekerasan dipengaruhi oleh latar belakang sosial-ekonomi pelaku. Kehidupan sosial-ekonomi yang kurang baik mengakibatkan kontrol emosi yang kurang stabil, sehingga  memungkinkan terjadinya tindak kekerasan.
4. Efek Kekerasan Terhadap Sikap Peserta Didik
  1. Hilangnya kepercayaan peserta didik kepada pendidik. Karena  pendidik yang melakukan tindakan kekekerasan kepada peserta didiknya tentu akan menimbulkan rasa dendam dari peserta didiknya.
  2. Menumbuhkan sifat anarkis dari peserta didik, kecendrungan untuk memberontak dan tidak ikhlas patuh kepada orang yang telah menyakitinya, dikarenakan pendidik sendiri tidak bisa memberikan contoh yang baik kepada peserta didik.
  3. Menumbuhkan sikap trauma kepada peserta didik sehingga menghambat perkembangan mental terhadap peserta didik.
5. Solusi dan pencegahannya.
a. Penerapan sistem humanisasi pendidikan
Humanisasi pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan genersi bangsa yang cerdas nalar, cerdas emosional, dan cerdas spiritual, bukan malah menciptakan individu-individu yang berwawasan sempit, traditional, pasif, dan tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi.
b. Menumbuhkan kesadaran kepada pendidik.
Selain menjadi seorang pengajar, seorang guru juga berperan sebagai pendidik dan motivator bagi siswa-siswinya. Sebagai seorang pengajar, guru dituntut berkerja cerdas dan kreatif dalam mentranformasikan ilmu atau materi kepada siswa. Dan berupaya sebaik mungkin dalam menjelaskan suatu materi sehingga materi tersebut bisa diaplikasikan dalam keseharian siswa itu sendiri.
Tugas sebagai pendidik adalah tugas yang sangat berat bagi seorang guru. Guru dituntut mampu menanamkan nilai-nilai moral, kedisiplinan, sopan santun, dan ketertiban sesuai dengan peraturan atau tata tertib yang berlaku di sekolah masing-
masing. Dengan demikian, diharapkan siswa tumbuh menjadi peribadi yang sigap, mandiri, dan disiplin. Dan sebagai motivator, guru harus mampu menjadi pemicu semangat siswanya dalam belajar dan meraih prestasi.
c. Pemberlakuan sanksi yang tegas.
Dari penjelasan di atas, yang terpenting untuk menanggulangi munculnya praktik bullying di sekolah adalah ketegasan sekolah dalam menerapkan peraturan dan sanksi kepada segenap warga sekolah, termasuk di dalamnya guru, karyawan, dan siswa itu sendiri.
    Diharapkan, dengan penegakan displin di semua unsur, tidak terdengar lagi seorang guru menghukum siswanya dengan marah-marah atau menampar. Dan diharapkan tidak ada lagi siswa yang melakukan tindakan kekerasan terhadap temannya. Sebab, kalau terbukti melanggar, berarti siap menerima sanksi.










BAB III
PENUTUP
1.Kesimpulan
Kekerasan dalam pendidikan merupakan suatu tindakan penyerangan ataupun bertahan yang menyebabkan terjadinya suatu perbuatan yang menyalahi norma. Kekerasan tersebut ada yang berbentuk terbuka maupun yang berbentuk tertutup;, serta kekerasan agresif, kekerasan defensif; yang kesemua kekerasan tersebut mengakibatkan kerugian terhadap orang lain.
Kekerasan dalam pendidikan terjadi karena: pertama karena adanya pelanggaran yang disertai hukuman. Kedua, kekerasan dalam pendidikan bisa diakibatkan oleh buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Ketiga, kekerasan dalam pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan media massa yang kebanyakan menayangkan hal-hal yang berbaur dengan kekerasan. Keempat, kekerasan bisa merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan masyarakat yang mengalami pergeseran cepat. Dan yang kelima, kekerasan terjadi karena faktor sosial-ekonomi.
Kekerasan berakibat buruk terhadap perubahan sikap dan perilaku peserta didik. Misalnya; munculnya sifat pemberontak pada diri peserta didik. Adanya penyelewengan yang dilakukan di lingkungan pendidikan.dan lain sebagainya.
Selanjutnya pencegahan terhadap kekerasan dalam dunia pendidikan ini dapat dilakukan dengan penerapan humanisasi pendidikan, serta penumbuhan sikap tanggung jawab kepada pendidik, sehingga bisa memberikan contoh yang baik kepada peserta didiknya. Kemudian pemberlakuan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran kekererasan, tanpa membeda-bedakan kedudukan ataupun status sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Darminta, J. SJ,.1993. Mengubah Tanpa Kekerasan. Yogyakarta: Kanisius.
http://salam pessy. Blog.frienster.com/2007
Krishnamurti, J,. 1982 Bebas Kekerasan.Malang: Yayasan Krishnamurti Indonesia.
Morin,Edgar.2005.Tujuh Materi Bagi Dunia  Pendidikan.Yogyakarta:Kanisius.



No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook