Wednesday, November 26, 2014

Yang Malu-Malu Mengaku telah menganut ajaran selain Islam



Yang Malu-Malu Mengaku telah menganut ajaran selain Islam dan meninggalkan Islam

m.rakib lpmp riau
penggemar buku HUKUM YANG BARU

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍفَمَا

           Yang Malu-Malu Untuk Mengaku bahwa ia telah menganut ajaran selain Islam dan meninggalkan Islam. Sehingga akhirnya mereka cenderung mengkombinasikannya dengan Islam sebagai identitas. Artinya ajaran barunya itu biasanya “dicantolkan” bersama dengan identitas Islam yang -kata mereka- masih mereka anut. Akhirnya muncullah istilah-istilah asing seperti Islam-nasionalis, Islam-demokrat, Islam-liberalis, Islam-modernis, Islam-pluralis, Islam-progressif, Islam-universalis, Islam-humanis, Islam-spiritualis dan lain sebagainya. Pada prakteknya justeru ajaran selain Islam yang ditempelkan kepada identitas Islam itulah yang lebih diutamakan daripada Islamnya itu sendiri. Perlu diingat bahwa Islam-plus atau Islam-minus atau apapun namanya dia bukanlah Islam. Sebab Islam adalah Islam. Ia adalah agama Allah سبحانه و تعالى yang telah sempurna. Tidak memerlukan tambahan dan tidak sepatutnya dikurangi atau ditawar-tawar…!
           “Menghidupkan Hukum Islam Dalam Masyarakat ” yang dimuat dalam majalah aliran islam, Prof Hasbi mencoba mengangkat kembali ide besarnya tersebut. Dalam tulisannya tersebut ia menyatakan eksistensi Hokum Islam pada tataran praktis telah sampai pada tingkat dekadensi yang klinis, tampil bagai sosok yang terasing, tidak berarti dan tidak berdaya guna. Kehadirannya tidak lagi dianggap ada oleh umat, karena tidak sanggup lagi mengakomodir berbagai tuntutan perubahan zaman.  Menurutnya, Hokum Islam harus mampu menjawab persoalan-persoalan baru, khusunya dalam segala cabang dari bidang muamalah, yang belum ada ketetapan hukumnya. Ia harus mampu hadir dan bias berpartisipasi dalam membentuk gerak langkah kehidupan masyarakat. Para mujtahid {ulama lokal} dituntut untuk mempunyai kepekaan terhadap kebaikan yang tinggi dan kreatifitas yang dapat dipertanggungjawabkan dalam upaya merumuskan alternative fiqih baru yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapinya. Untuk memecahkan masalah ini, Hasbi mengusulkan perlunya kerja kolektif, melalui sebuah lembaga permanent dengan jumlah anggota ahli dari spesialisasi ilmu yang bermacam-macam. Menurutnya upaya ini akan menghasilkan produk hokum yang relative lebih baik disbanding apabila dilakukan oleh perorangan atau sekumpulan orang dengan keahlian yang sama.
             Nalar berfikir yang digunakan oleh Hasbi dengan gagasan fiqih Indonesia adalah satu keyakinan bahwa prinsip-prinsip hukum islam sebenarnya memberikan ruang gerak yang lebar bagi pengembangan dan ijtihad-ijtihad yang baru. Dasar-dasar Hukum Islam yang selama ini telah mapan, seperti ijma’, qiyas, maslahah mursalah, urf dan prinsip “ perubahan hokum karena perubahan masa dan tempat ”, justru akan menuai ketidaksesuaian ketika tidak ada lagi ijtihad baru. Dengan berpegang pada paradigma ini, dalam konteks pembangunan semesta seperti sekarang ini, gerakan penutupan ijtihad merupakan isu usang yang harus segera ditinggalkan.
             Puncak pemikirannya tersebut terjadi pada tahun 1961, ketika dalam satu acara Dies Natalis IAIN Sunan Kalijaga yang pertama, ia memberikan makna dan definisi fiqih Indonesia secara cukup artikulatif. Dalam orasi ilmiahnya yang bertema “ Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman ”, Hasbi secara tegas mengatakan: “Maksud untuk mempelajari syari’at islam di universitas-universitas islam sekarang ini, supaya fiqih atau syari’at islam dapat menampung seluruh kemaslahatan masyarakat dan dapat menjadi pendiri utama bagi perkembangan hokum-hukum di tanah air tercinta ini. Maksud kita supaya dapat menyusun suatu fiqih yang berkepribadian kita sendiri. Sebagaimana sarjana-sarjana Mesir sekarang ini sedang me-Mesir-kan fiqihnya.
Fiqih Indonesia ialah fiqih yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian Indonesia, sesuai dengan tabi’at dan watak Indonesia.
Fiqih yang berkembang dalam masyarakat kita sekarang ini sebagiannya adalah  fiqih hijaz. Fiqih yang terbentuk atas dasar adat istiadat dan ‘urf yang berlaku di hijaz. Atau fiqih mesir, yaitu fiqih yang telah terbentuk atas dasar adapt istiadat dan ‘urf yang berlaku di  mesir. Atau fiqih hindi, yaitu fiqih yang telah terbentuk atas dasar adapt istiadat dan ‘urf yang berlaku di India.
Selama ini, kita belum menunjukkan kemampuan untuk berijtihad, menunjukkan fiqih yang sesuai dengan kepribadian Indonesia. Karena itu kadang-kadang kita paksakan fiqih hijazi, fiqih misri atau fiqih ‘iraqi berlaku di Indonesia atas dasar taklid.”
            Menurutnya salah satu factor yang menyebabkan ulama negeri ini belum mampu melahirkan fiqih yang berkepribadian Indonesia adalah terlalu fanatic terhadap mahzab yang dianut oleh umat islam, misalnya Mazhab Wahaby, Salafy, Ibnu Taimiyah dan Mazhab JIL. Menyadari ketidakmungkinan munculnya pemikiran progresif dari kalangan ulama konservatif, maka ia mengajak kalangan perguruan tinggi islam di Indonesia untuk mencetak kader-kader mujtahid dengan karakter khas yang dapat meneruskan proyek fiqh Indonesia. Memang dalam merealisasikan fiqih Indonesia diperlukan kesadaran dan kearifan yang tinggi dari banyak pihak, ketika harus melewati tahap pertama, yaitu melakukan refleksi histories atas pemikiran hokum islam pada masa awal perkembangannya.
          Mempertimbangkan tradisi {adat} setempat sebagai acuan pembentukan sebuah format pemikiran hokum islam baru adalah suatu hal yang penting. Syari’at islam menganut asas persamaan, sebagai konsekuensinya semua urf dari setiap masyarakat dapat dijadikan sebagai sumber hokum, tidak hanya urf dari masyarakat arab saja. Secara singkat pemikiran hasbi berlandaskan pada konsep bahwa hokum islam {fiqih} yang diberlakukan untuk umat islam Indonesia adalah hokum yang sesuai dan memenuhi kebutuhan mereka, yaitu hokum adapt yang berkembang dalam masyarakat Indonesia, yang tidakl bertentangan dengan syara’.
          Menurutnya pemikiran hokum islam harus berpijak pada prinsip maslahah mursalah, keadilan dan kemanfaatan serta sadd ad-dzari’ah. Kesemuanya itu menurutnya, merupakan prinsip gabungan yang dipegang oleh para imam mahzab, khususnya aliran madinah dan kuffah dan telah terbukti mampu membawa ketertiban dan kesejahteraan dalam masyarakat. Dalam merealisasikan fiqih Indonesia, dia mengingatkan pentingnya pendekatan sejarah yang kritis misalnya, ia menawarkan metode analogi-deduktif {satu model istimbat hokum yang pernah dipakai abu hanifah} untuk membahas satu permasalahan yang belum ditemukan ketentuan hukumnya dalam khazanah pemikiran klasik. Metode ini mengharuskan seseorang untuk berijtihad secara mandiri. Sedangkan dalam masalah yang sudah ada ketentuan hukumnya, metode perbandingan {komparasi} menjadi hal yang pertama yang ditempuh. Metode ini mengkonsekuensikan perlunya memperbandingkan satu pendapat dengan pendapat yang lain daris eluruh aliran hokum yang ada atau yang pernah ada, dan memilih mana yang lebih cocok dan lebih dekat dengan kebenaran, serta didukung dengan dalil yang kuat {tarjih}. Untuk memudahkan mengaplikasikan metode tersebut ia menyarankan perlunya menggunakan pendekatan social-kultural-historis dalam segala proses pengkajian dan penemuan hokum islam.
           Salah satu hasil ijtihad ijtihadnya yang paling popular adalah fatwa tentang memperbolehkannya jabat tagan antara laki-laki dan perempuan, ini berbeda dengan Fatwa Majlis Tarjih Muhammadiyah Dan Ahmad Hasan Dari Persis yang mengharamkan jabat tagan antara laki-laki dan perempuan. Alasan yang dia gunakan diantaranya adalah hokum haram terhadap hal tersebut dilandaskan pada qiyas, dalam pandangannya mengharamkan sesuatu harus berdasarkan dalil nash yang qath’I, baik dalam al-qur’an maupun as-sunnah. Disamping itu pertimbangan yang dia gunakan adalah jabat tangan antara laki-laki dan perempuan merupakan ‘urf [kebiasaan] yang sudah sekian lama hidup dan telah menjadi tradisi dimasyarakat Indonesia.*
Pertanyaan di atas merupakan judul sebuah buku terkenal karya Amir Syakib Arsalan yang ditulis pada awal abad ke dua puluh. Beliau menulisnya sebagai hasil analisanya terhadap kondisi terpuruk dan terpecah-belahnya ummat Islam pada masa itu. Sesudah hampir satu abad sejak ditulis, ternyata isi bukunya masih cukup relevan dengan realitas ummat Islam dewasa ini. Beliau menjadi saksi sejarah keruntuhan Kesultanan Turki Utsmani serta semakin mencengkeramnya fihak imperialis penjajah Eropa di berbagai negeri Islam. Beliau mencatat bagaimana negeri-negeri Islam tidak berdaya dijajah oleh aneka penjajah, seperti Inggris, Perancis, Itali, Belanda dan beliau sangat risau serta prihatin dengannya. Akhirnya beliau menjadi heran sehingga mengajukan pertanyaan di atas“Mengapa Kaum Muslimin Mundur Dan Kaum Selainnya Maju?” http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSFbVSVr1JkswjViWJkESNo3YKhQ9Sa1t2bnWdrrWuga2AF_FnUIQSecara garis besar Syakib Arsalan berkesimpulan bahwa kaum muslimin menjadi mundur dikarenakan mereka meninggalkan agama mereka dienullah Al-Islam. Sedangkan pihak Eropa barat kafir justeru menjadi maju karena mereka meninggalkan agama mereka, yaitu agama Nasrani atau Kristen. Mengapa bisa demikian? Karena Islam adalah agama yang benar, sempurna dan saling menyempurnakan antara satu bagian dengan bagian lainnya. Sedangkan agama para penjajah merupakan agama yang telah kehilangan keasliannya. Agama Nasrani telah mengalami banyak penyimpangan serta kontaminasi nilai akibat ulah tangan-tangan jahil para rahib, pendeta dan pastornya. Mereka telah sengaja merubah isi Al-Kitab Bible di sana-sini. Perubahan tersebut dilakukan karena berbagai kepentingan duniawi dan hawa nafsu. Oleh sebab itu Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم pernah bersabda:
لَا تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ وَقُولُواآمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ الْآيَةَ
“Jangan kalian benarkan ahli kitab, dan jangan pula kalian mendustakannya, dan katakan saja ‘Kami beriman kepada Allah, dan apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu’.”(HR. Bukhari 6816) Sedangkan sumber utama ajaran Al-Islam, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah, keduanya memperoleh jaminan terpelihara keasliannya dari Allah سبحانه و تعالى :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr [15] : 9)
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى
“…dan tiadalah yang diucapkannya (Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم ) itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),” (QS. An-Najm [53] : 3-4)
Selain itu, kaum muslimin menjadi mundur saat meninggalkan agamanya karena Islam dan ilmu pengetahuan berjalan seiring. Sehingga begitu kaum muslimin meninggalkan Islam secara otomatis juga meninggalkan ilmu pengetahuan, maka akibatnya mereka menjadi mundur. Sebaliknya, kaum kafir Eropa memiliki agama yang diwakili oleh pihak gereja pada abad kegelapan. Dan bukan rahasia lagi bahwa pada masa itu banyak doktrin dan ajaran fihak gereja alias agama Nasrani bertolak belakang dengan ilmu pengetahuan. Sehingga ketika masyarakat kafir Eropa berontak terhadap belenggu gereja mereka secara otomatis mendekat kepada ilmu pengetahuan dan itu menyebabkan mereka menjadi maju.
Dalam situasi seperti itu Amir Syakib Arsalan membedah persoalan kaum muslimin. Dengan piawai beliau berhasil merumuskan secara tertib rangkaian sebab mundurnya kaum muslimin dan majunya kaum selainnya. Ada lima sebab menurutnya. Dan kelima sebab tersebut memiliki hubungan sebab-akibat satu sama lainnya. Uniknya lagi, kelima sebab tersebut jika kita perhatikan baik-baik, masih sangat relevan dengan keadaan kaum muslimin hingga saat ini. Kelima sebab tersebut ialah sebagai berikut:
  1. Jauh dari Kitabullah Al-Qur’anul Karim dan As-Sunnah An-Nabawiyyah
  2. Hilangnya tsiqoh (kepercayaan) terhadap Islam—inhizamun dakhily (inferior/rendah diri)
  3. At-Taqlid (mengekor secara mambabi buta)
  4. At-Tafriqoh (perpecahan)
  5. Tertinggal dalam berbagai urusan dunia
http://t3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSuIyEZRot3rT3oCJPdbwYOsy6t7vCwmBTZjgPGKu5ZOulNurq9  Pertama, kaum muslimin pada umumnya jauh dari dua sumber utama kemuliaan mereka, yakni Kitabullah Al-Qur’an dan As-Sunnah An-Nabawiyyah. Padahal Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم secara gambalang mewasiatkan agar kita senantiasa berpegang teguh kepada kedua warisan suci tersebut. Hanya dengan bersikap demikianlah kita tidak bakal menjadi tersesat dari jalan lurus yang Allah سبحانه و تعالى telah bentangkan bagi orang-orang beriman.
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda, “Telah aku tinggalkan untuk kalian, dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya; Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Malik 1395)   Semestinya kedua perkara ini menjadi rujukan utama kaum muslimin, baik dalam urusan kecil maupun besar, baik urusan pribadi maupun bermasyarakat. Kedua perkara ini merupakan sumber kemuliaan dan kebanggaan kaum muslimin. Jika mereka akrab dengannya, niscaya mereka menjadi mulia. Jika mereka jauh dari keduanya, niscaya mereka akan dihinggapi kehinaan sebagaimana yang tampak dewasa ini.
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُوَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ
“Andai kata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS. Al-Mukminun [23] : 71) Realitasnya, dewasa ini hubungan kaum muslimin umumnya jauh dari kedua sumber utama ajaran Islam tersebut. Kalaupun ada hubungan biasanya hanya hubungan parsial. Ada yang hubungannya dengan Al-Qur’an hanya sebatas tilawah (membacanya). Atau kalaupun ada yang lebih daripada itu ialah hubungan tahfizh (menghafalkannya). Ini bukan berarti kita tidak menganggap penting aktifitas tilawah dan tahfizh Al-Qur’an. Tetapi masalahnya ini tidaklah cukup. Allah سبحانه و تعالى tidak menurunkan Al-Qur’an dengan maksud sebatas itu. Allah سبحانه و تعالى menurunkan Al-Qur’an agar menjadi petunjuk, pedoman hidup bagi ummat Islam, bahkan segenap ummat manusia. Allah سبحانه و تعالى menghendaki agar dengan berpedoman kepada Al-Qur’an ummat manusia keluar dari kegelapan jahiliyah menuju terangnya hidayah cahaya Islam. Maka sepatutnya kaum muslimin juga tadabbur (memahami) dan tathbiq (mengamalkan) Al-Qur’anul Karim. Tetapi hal di atas tidak terjadi. Malah banyak muslim yang lebih bangga hidup berpedoman kepada berbagai sumber kebanggaan selain daripada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi صلى الله عليه و سلم . Mereka bangga dengan berbagai kitab karya manusia. Ada yang lebih bangga dengan kitab warisan nenek moyangnya yang bukan Islam. Ada yang membanggakan kitab produk kaum kuffar Eropa. Ada yang membanggakan kitab lokal-tradisional suku atau bangsanya yang bukan berpedoman kepada Kitabullah. Dan banyak lagi lainnya. Padahal Allah سبحانه و تعالى sudah memperingatkan apa yang bakal terjadi jika mereka meninggalkan sumber kebanggaan yang berasal dari Allah سبحانه و تعالى dan Sunnah Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم .
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُواالسُّبُلَفَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“…dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’aam [6] : 153)
Kedua, Hilangnya tsiqoh (kepercayaan) terhadap Islam—inhizamun dakhily (inferior). Dikarenakan kaum muslimin jauh dari sumber kebanggaan dan kemuliaannya, maka mulailah tumbuh sikap minder atau malu menjadi seorang muslim. Mulailah kaum muslimin terjangkiti penyakit inferior (rendah diri) untuk menampilkan nilai-nilai Islam dalam kesehariannya. Mereka tidak ingin dianggap terbelakang dan ketinggalan zaman. Sedangkan agama Islam sudah terlanjur di-asosiasi-kan dengan segala sesuatu yang mengindikasikan keterbelakangan dan ketinggalan zaman. Hilang sudah kebanggaan diri sebagai seorang muslim. Padahal di dalam Al-Qur’an justeru Allah سبحانه و تعالى muliakan orang-orang beriman dengan menamakan mereka kaum muslimin.
هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَأَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا
“Dia (Allah سبحانه و تعالى ) telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian muslimin dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur’an) ini.” (QS. Al-Hajj [22] : 78) Karena jauh dari Al-Qur’an, maka kaum muslimin menjadi seolah tidak pernah membaca ayat di atas. Mereka tidak sadar bahwa justeru tampil dengan identitas Islam merupakan tuntutan dari Allah سبحانه و تعالى dan barangsiapa bangga dengan nilai-nilai Islam berarti ia sedang mengejar ridha Allah سبحانه و تعالى . Dan ini berarti mereka belum benar-benar beriman. Sebab Allah سبحانه و تعالى berjanji bahwa barangsiapa yang beriman dengan benar, niscaya hilanglah rasa rendah diri dan kesedihan hidupnya.
وَلا تَهِنُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الأعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali-Imran [3] : 139) Ketiga, At-Taqlid (mengekor secara mambabi buta). Karena sudah tidak memiliki tsiqoh (kepercayaan) terhadap Islam sebagai jalan hidup, maka mulailah kaum muslimin melirik berbagai ajaran selain agama Allah سبحانه و تعالى . Karena mereka minder menyebut diri sebagai muslim, minder bila tampil dengan identitas Islam semata, tidak yakin bakal diterima di tengah masyarakat modern bila hanya mengkampanyekan Islam saja, maka mulailah mereka mencari alternatif lain yang diyakini bakal lebih “laku” di tengah zaman penuh fitnah ini. Mulailah mereka mencari alternatif lain yang mereka yakini bakal secara cepat mendatangkan dukungan luas masyarakat. Sambil melupakan pentingnya dukungan Allah سبحانه و تعالى sebelum segala sesuatunya. Apalah artinya mendapat dukungan luas masyarakat bila Allah سبحانه و تعالى tidak ridha. Jauh lebih penting dan sudah semestinya kaum muslmin selalu mengutamakan dukungan atau ridha Allah سبحانه و تعالى daripada dukungan masyarakat luas. Walaupun sudah barang tentu ideal bila dapat memperoleh dukungan Allah سبحانه و تعالى sekaligus dukungan masyarakat luas. Tetapi di zaman penuh fitnah seperti sekarang ini, pilihan yang ada seringkali sangat pahit. You can”t win them all…! Masing-masing diri dan kelompok mencari seruan, jalan hidup, ideologi, pandanganhidup, nilai-nilai selain Islam yang dia lebih tsiqoh kepadanya. Lalu mereka mengikutinya dengan semangat taqlid alias membabi-buta. Mereka tidak mengkritisi ajaran baru yang mereka pandang menjadi solusi lebih baik dari Islam, baik mengikutinya secara murni maupun dengan mengkombinasikannya bersama ajaran Islam. Biasanya sebelum mereka taqlid dengan ajaran baru tersebut mereka mengaku sudah meneliti dan mempelajarinya secara mendalam. Dan kesimpulannya mereka katakan bahwa ajaran baru tersebut sejalan alias tidak bertentangan dengan Islam. Itulah sebabnya mereka menganutnya. Mereka lupa bahwa kalaupun ajaran baru itu tampak sejalan dengan Islam, namun ia merupakan produk manusia yang sudah barang tentu tidak sempurna bebas-cacat dan penyimpangan, serta tidak pantas disetarakan, apalagi ditinggikan lebih daripada ajaran produk Allah سبحانه و تعالى . Subaahanallahi ‘amma yusyrikun (Maha Suci Allah سبحانه و تعالى dari apa-apa yang mereka persekutukan/asosiasikan). Dan lagi, kalaupun ada ajaran selain Islam yang “sejalan” dengan Islam, mengapa tidak merasa cukup dengan menganut Islam saja? Mengapa harus lebih mengedepankan ajaran selain Islam-nya? Mengapa tidak Islam-nya saja yang dikedepankan? Bukankah Allah سبحانه و تعالى sudah mengarahkan kita untuk senantiasa menampilkan Islam dan mengaku muslim dalam berbagai kiprah saat kita mengajak manusia menuju Allah سبحانه و تعالى alias saat sedang terlibat dalam aktifitas mengajak manusia yang biasa dikenal dengan istilah ad-da’wah..?
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِوَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru (mengajak) kepada Allah سبحانه و تعالى , mengerjakan amal yang saleh dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk kaum muslimin (orang-orang yang berserah diri)?’” (QS. Fushilat [41] : 33) Mulailah penyakit taqlid alias mengekor secara membabi buta menjadi fenomena di tengah kaum muslimin. Yang terlalu kagum dengan asal-usul identitas bangsa dan nenek moyangnya mengambil nasionalisme. Yang over-kagum dengan tatanan sosial masyarakat barat mengambil sekularisme dan demokrasi. Yang berlebihan mengutamakan toleransi dan perdamaian mengambil pluralisme. Yang tidak kuasa mengendalikan hawa nafsunya dan terlena dengan kesenangan dunia fana mengambil liberalisme dan hedonisme. Yang mendewakan akalnya sibuk berlomba mengejar ketertinggalan di bidang materi, sains dan teknologi, tanpa melihat halal-haramnya. Yang mengutamakan aspek spiritual modern mengambil new age religion. Yang mengutamakan spiritual tradisional mengambil paham kearifan lokal alias mistik-klenik. http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRwAM_tAyA4svGwHvNox966A3jZAbfvOYsZNYeyYoqjrnUP8UZhwxobDDORPendek kata, masing-masing telah memiliki alternatif lain ajaran yang diikuti selain Islam. Ada yang terang-terangan mengaku mengikutinya tanpa menyertakan Islam dalam identitasnya. Tetapi yang kebanyakan adalah yang malu-malu untuk mengaku bahwa ia telah menganut ajaran selain Islam dan meninggalkan Islam. Sehingga akhirnya mereka cenderung mengkombinasikannya dengan Islam sebagai identitas. Artinya ajaran barunya itu biasanya “dicantolkan” bersama dengan identitas Islam yang -kata mereka- masih mereka anut. Akhirnya muncullah istilah-istilah asing seperti Islam-nasionalis, Islam-demokrat, Islam-liberalis, Islam-modernis, Islam-pluralis, Islam-progressif, Islam-universalis, Islam-humanis, Islam-spiritualis dan lain sebagainya. Pada prakteknya justeru ajaran selain Islam yang ditempelkan kepada identitas Islam itulah yang lebih diutamakan daripada Islamnya itu sendiri. Perlu diingat bahwa Islam-plus atau Islam-minus atau apapun namanya dia bukanlah Islam. Sebab Islam adalah Islam. Ia adalah agama Allah سبحانه و تعالى yang telah sempurna. Tidak memerlukan tambahan dan tidak sepatutnya dikurangi atau ditawar-tawar…!
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُعَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS Al-Maidah 3) Keempat, At-Tafriqoh (perpecahan). Karena masing-masing kelompok tenggelam di dalam kebanggaan ajaran selain Islam, maka otomatis merebaklah perpecahan di dalam tubuh ummat Islam. Masing-masing kelompok membanggakan seruan kelompoknya. Padahal seruannya sudah tidak murni ajaran Allah سبحانه و تعالى . Lalu apa yang mereka harapkan? Apakah mereka mengira jika manusia menyambut seruan mereka berarti itu pertanda benarnya seruan mereka? Inilah dua pasal yang dibahas dengan tajam oleh Syakib Arsalan: (1) Dalam Berjuang jangan Membanggakan Jumlah Pengikut dan (2) Kemenangan Suatu Ummat Tidak Bergantung Kepada Kuantitas Tetapi Kualitas. Mereka menjadi sibuk mengutamakan kuantitas pengikut, kohesitas kelompok, daya konsolidasi dan kemampuan mobilisasi anggotanya daripada memfokus kepada substansi ajaran yang mereka serukan. Padahal sudah jelas di dalam Al-Qur’an Allah سبحانه و تعالى menyuruh ummat Islam untuk memastikan komitmen kepada agama Allah سبحانه و تعالى sebelum membangun soliditas kebersamaan. Bahkan komitmen murni dan konsekuen kepada agama Allah سبحانه و تعالى itulah syarat lahirnya sebuah jama’ah yang solid, mumpuni, tidak terpecah dan selamat di dunia-akhirat.
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا
“Dan berpegang-teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali-Imran [3] : 103) Ayat ini sering disalah-fahami sebagai ayat yang memerintahkan pentingnya جَمِيعًا (berjamaah). Padahal berjamaah merupakan hasil dari pelaksanaan perintah utama di dalam ayat ini, yakni وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ (berpegang-teguhlah kamu kepada tali (agama) Allah). Bila sekumpulan muslim berpegang-teguh secara murni dan konsekuen kepada agama Allah, niscaya kesatuan hati di antara mereka Allah سبحانه و تعالى tumbuhkan. Mereka menjadi akrab satu sama lain, baik secara resmi berada di dalam satu kelompok maupun tidak. Tapi sebaliknya, berbagai pengelompokan yang berlandaskan selain agama Allah, baik secara eksplisit maupun tersamar alias malu-malu, maka ia tidak akan dijamin kesatuan hatinya, Kalaupun tampak solid, ia hanya akan solid sebatas tampilan luar saja dan sebatas di dunia saja, sedangkan di akhirat mereka pasti akan bercerai-berai bahkan saling mencela satu sama lain.
الأخِلاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلا الْمُتَّقِينَ
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf [43] : 67) Bahkan kepatuhan mereka kepada pimpinan kelompok masing-masing yang sewaktu di dunia dibanggakan sebagai bukti kedisiplinan dan kemuliaanan komitmen, justru menjadi penyesalan di akhirat.
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولاوَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلارَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا
Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, “Alangkah baiknya, andai kata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul.” Dan mereka berkata, “Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Rabb kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar.” (QS. Al-Ahzab [33] : 66-68) Masing-masing kelompok yang berjuang dengan aneka seruan selain Islam salingmembanggakan seruan dan kelompoknya. Sehingga berpecah-belahlah ummat Islam. Solusi yang tiap-tiap kelompok tawarkan bukanlah kembali kepada kemurnian Islam, tetapi malah semakin bersemangat mempromosikan kehebatan dan keutamaan masing-masing kelompoknya. Akhirnya group values menjadi lebih utama daripada Islamic values. Apa saja yang berasal dari kelompoknya dia bela dan apa saja yang datang dari luar kelompknya dia curigai. Akhirnya tolok-ukur benar-salah bukan lagi Islam tetapi kelompoknya dan apa saja yang bersumber dari pimpinan kelompoknya.
وَلا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْوَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“…dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Ruum [30] : 31-32) Kelima, tertinggal dalam berbagai urusan dunia. Akhirnya, menurut Syakib Arsalan, tenggelamnya kaum muslimin dalam perpecahan secara otomatis melemahkan ummat Islam secara keseluruhan. Dan Allah سبحانه و تعالى jelas telah menegaskan bahwa ketidak-kompakkan ummat dalam mentaati Allah سبحانه و تعالى dan Rasul-Nya صلى الله عليه و سلم pasti melahirkan kelemahan dan menghilangkan kekuatan ummat Islam.
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُواوَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfaal [8] : 46) Semua bersumber dari lebih bangganya kaum muslimin terhadap seruan selain Islam, baik sendirian maupun bersama Islam. Apakah itu dengan cara menampilkan seruan Islam-plus atau Islam-minus, maka apapun seruannya jika kaum muslimin tidak menerima Islam secara utuh dan apa adanya dari Allah سبحانه و تعالى , niscaya mereka bakal menjadi hina di dunia dan merugi di akhirat.
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍفَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلا خِزْيٌفِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat.” (QS. Al-Baqarah [2] : 85) Walaupun ayat di atas turun berkenaan dengan kaum yahudi, namun Allah سبحانه و تعالى menyuruh ummat Islam untuk mengambil pelajaran dari kisah ummat-ummat terdahulu. Sebab bila ummat Islam mengikuti kekeliruan kaum Yahudi, niscaya nasib yang sama bakal menimpa mereka. Hina di dunia dan azab di akhirat….! Wa na’udzu billaahi min dzaalika…..




No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook