Wednesday, January 14, 2015

Di Sodom Dan Gamorah Hukum dan Pendapat Ulama Dan Pendeta



HOMO SEKS
Di Sodom Dan Gamorah
Hukum dan Pendapat Ulama Dan Pendeta
M.Rakib Muballigh IKMI dan Widyaiswara LPMP Riau Indonesia.2014

 

kota Sodom dan Gomorah benar-benar berada di lembah Siddim yang merupakan daerah terjauh dan terendah dari Danau Luth, dan bahwa pernah terdapat situs yang besar dan dihuni di daerah itu.

Karakteristik paling menarik dari struktur Danau Luth adalah bukti yang menunjukkan bagaimana peristiwa bencana yang diceritakan dalam Al Quran terjadi:
Pada pantai timur Laut Mati, semenanjung Al Lisan menjulur seperti lidah jauh ke dalam air. Al Lisan berarti “lidah” dalam bahasa Arab. Dari daratan tidak tampak bahwa tanah berguguran di bawah permukaan air pada sudut yang sangat luar biasa, memisahkan laut menjadi dua bagian. Di sebelah kanan semenanjung, lereng menghunjam tajam ke kedalaman 1200 kaki. Di sebelah kiri semenanjung, secara luar biasa kedalaman air tetap dangkal. Penelitian yang dilakukan beberapa tahun terakhir ini menunjukkan bahwa kedalamannya hanya berkisar antara 50 – 60 kaki. Bagian dangkal yang luar biasa dari Laut Mati ini, mulai dari semenanjung Al Lisan sampai ke ujung paling Selatan, dulunya merupakan Lembah Siddim.

Werner Keller menenggarai bahwa bagian dangkal ini, yang ditemukan terbentuk belakangan, merupakan hasil dari gempa bumi dahsyat yang telah disebutkan di atas. Di sinilah Sodom dan Gomorah berada, yakni tempat kaum Luth pernah hidup.
Suatu ketika, daerah ini dapat dilintasi dengan berjalan kaki. Namun sekarang, Lembah Siddim, tempat Sodom dan Gomorah dahulunya berada, ditutupi oleh permukaan datar bagian Laut Mati yang rendah. Keruntuhan dasar danau akibat bencana alam mengerikan yang terjadi di awal alaf kedua sebelum Masehi mengakibatkan air garam dari utara mengalir ke rongga yang baru terbentuk ini dan memenuhi lembah sungai dengan air asin.
Jika seseorang bersampan melintasi Danau Luth ke titik paling utara dan matahari sedang bersinar pada arah yang tepat, maka ia akan melihat sesuatu yang sangat menakjubkan. Pada jarak tertentu dari pantai dan jelas terlihat di bawah permukaan air, tampaklah gambaran bentuk hutan yang diawetkan oleh kandungan garam Laut Mati yang sangat tinggi. Batang dan akar di bawah air yang berwarna hijau berkilauan tampak sangat kuno. Lembah Siddim, di mana pepohonan ini dahulu kala bermekaran daunnya menutupi batang dan ranting merupakan salah satu tempat terindah di daerah ini. Aspek mekanis dari bencana yang menimpa kaum Luth diungkapkan oleh para peneliti geologi. Mereka mengungkapkan bahwa gempa bumi yang menghancurkan kaum Luth terjadi sebagai akibat rekahan yang sangat panjang di dalam kerak bumi (garis patahan) sepan-jang 190 km yang membentuk dasar sungai Sheri’at. Sungai Sheri’at membuat air terjun sepanjang 180 meter keseluruhannya. Kedua hal ini dan fakta bahwa Danau Luth berada 400 meter di bawah permukaan laut adalah dua bukti penting yang menunjukkan bahwa peristiwa geologis yang sangat hebat pernah terjadi di sini.
Sisa-sisa dari kota yang terkubur ke dalam danau, ditemukan di tepian danau. Peninggalan ini menunjukkan bahwa kaum Luth telah memiliki standar hidup yang cukup tinggi.
Struktur Sungai Sheri’at dan Danau Luth yang menarik hanya merupakan sebagian kecil dari rekahan atau patahan yang melintas dari kawasan bumi tersebut. Kondisi dan panjang rekahan ini baru ditemukan akhir-akhir ini.
Rekahan tersebut berawal dari tepian Gunung Taurus, memanjang ke pantai selatan Danau Luth dan berlanjut melewati Gurun Arabia ke Teluk Aqaba dan terus melintasi Laut Merah, dan berakhir di Afrika. Di sepanjangnya teramati kegiatan-kegiatan vulkanis yang kuat. Batuan basal hitam dan lava terdapat di Gunung Galilea di Palestina, daerah dataran tinggi Yordan, Teluk Aqaba, dan daerah sekitarnya.

Seluruh reruntuhan dan bukti geografis tersebut menunjukan bahwa bencana geologis dahsyat pernah terjadi di Danau Luth. Werner Keller menulis:
Bersama dengan dasar dari retakan yang sangat lebar ini, yang persis melewati daerah ini, Lembah Siddim, termasuk Sodom dan Gomorrah, dalam satu hari terjerumus ke kedalaman. Kehancuran mereka terjadi melalui sebuah peristiwa gempa bumi dahsyat yang mungkin disertai dengan letusan, petir, keluarnya gas alam serta lautan api. Pergeseran patahan membang-kitkan tenaga vulkanik yang telah tertidur lama sepanjang patahan. Di lembah yang tinggi di Jordania dekat Bashan masih terdapat kawah yang menjulang dari gunung api yang sudah mati; bentangan lava yang luas dan lapisan basal yang dalam yang telah terdeposit pada permukaan batu kapur.

National Geographic edisi Desember 1957 menyatakan sebagai berikut:
Gunung Sodom, tanah gersang dan tandus muncul secara tajam di atas Laut Mati. Belum pernah seorang pun menemukan kota Sodom dan Gomorrah yang dihancurkan, namum para akademisi percaya bahwa mereka berada di lembah Siddim yang melintang dari tebing terjal ini. Kemungkinan air bah dari Laut Mati menelan mereka setelah gempa bumi.




Syari’at Islam memandang bahwa perbuatan homoseks itu haram, dan para ulama juga telah sepakat tentang keharamannya. Akan tetapi ullama fiqh berbeda pendapat tentang hukumannya.
a.         Imam Syafi’i
Pasangan homoseks dihukum mati berdasar hadits nabi:
“barangsiapa menjumpai orang yang berbuat homoseks seperti praktek kaum Luth, maka bunuhlah sipelaku dan yang diperlakukannya” (HR. Lima Ahli Hadits)
b.         Al- Auza’i, Abu Yusuf dan lain-lain.
Hukumannya disamakan dengan hukuman zina, yakni dera dan pengasingan bagi yang belum kawin, dan dirajam untukpelaku yang sudah kawin. Hadits Nabi:
“ Apabila seorang pria melakukan hubungan seks dengan pria lain, maka kedua-duanya adalah berbuat zina”
c.         Abu  Hanifah
Dihukum ta’zir, sejenis hukuman yang bertujuan edukatif, berat ringan diserahkan kepada pengadilan.
5.      Lesbian
Istilah ini diperuntukkan bagi panggilan wanita-wanita yang melakukan hubungan seks sesamanya. Artinya para lesbian cenderung mencintai sejenisnya dan  ia akan mendapatkan kepuasan seks bila dilakukan dengan wanita dan bukan laki-laki. Hadits Nabi:
“janganlah pria melihat aurat pria dan janganlah wanita melihat aurat wanita lain dan janganlah pria bersentuh dengan pria lain di bawah sehelai kain dan janganlah wanita dengan wanita lain dibawah sehelai kain” (H.R. Abu Daud, muslim, Ahmad dan Tirmidzi)
Menurut Sayyid Sabiq, lesbian dihukum ta’zir yaitu suatu hukuman yang berat atau ringannya diputuskan oelh pengadilan. Hal ini disebabkan karena lesbian melakukan hubungan seks dengan menggesek-gesekkan saja berbeda dengan homoseks.



DASAR-DASAR AGAMA
Syariah-Fiqh-Ushul Fiqh-Qowaidul Fiqh

Pentingnya Menguasai Ilmu Syariah

Bagi seorang muslim mempelajari agama adalah kewajiban yang harus di penuhi dan menjadi prioritas utama. Kewajiban ini tidak bisa di gantikan oleh orang lain. Melaksanakan amal ibadah ada batasan yang menjadi syarat misalnya harus mukallaf (berakal sehat dan usia dewasa) akan halnya kewajiban belajar adalah mutlaq dan tidak harus setelah batasan usia tertentu sebagaimana sabda Nabi bahwa belajar ilmu adalah sejak dari buaian ibu pertama kali (kelahiran) sampai tiba waktu memasuki liang lahat (kematian).
Dalam Islam porsi ajaran syariah lebih besar di banding dengan ajaran yang lain misalnya aqidah (teologi) atau akhlaq. Seorang muslim di katakana wajar jika tidak menguasai ilmu tafsir, hadits, gramatikal arab ataupun ilmu kalam tapi akan terasa aneh jika tidak menguasai ilmu syariah dan mustahil jika ada seoarang tidak menguasai syariah khususnya fiqh walaupun dengan penguasaan seadanya sebab dalam keberagamaan seseorang pasti selalu berhubungan langsung dengan yang namanya syariah.
Ya memang untuk mempelajari keseluruhan syariah memang sulit namun jika kita sudah mampu mengetahui landasan dan pola-pola dalam struktur yang membangun keseluruhan syariah maka kita akan lebih mudah untuk menguasainya. Terutama bahwa syariah adalah selalu bertitik tolak dari masalah-masalah menghukumi sesuatu baik wajib, sunnah, harom dan lainnya maka sudah pasti perkara hukum ini akan selalu berkembang sesuai dengan zaman dan kondisi masyarakatnya.
Syariah-Fiqh

Ada banyak kita jumpai kesalah pahaman yang sering terjadi di dalam masyarakat untuk memahami Syariah dan Fiqh. Keduanya adalah hal yang sangat berbeda walaupun juga saling berkaitan satu sama lain. Orang kadang cenderung menyamakan antara keduanya bahkan sering kali tidak bisa membedakan mana yang “Syariah” dan mana yang “Fiqh”. Sejauh ini kesalahan-kesalahan tersebut juga berdampak fatal di dalam masyarakat. Bahkan hal ini juga sempat memanas menjadi perdebatan di negeri ini ketika beberapa daerah membuat aturan-aturan yang di indikasikan berbau “SYARIAH’. Hal ini kita sadari bahwa hal ini salah satu factor timbulnya masalah semacam ini adalah pemahaman masyarakat yang kurang tentang Syariah ataupun Fiqh itu sendiri yang terjadi secara umum atau juga perbedaan di berbagai kalangan cendekiawan muslim yang berbeda pendapat apakah peraturan yang di buat itu memang ranah syariah atau hanya fiqh.

Agar hal seperti tersebut tidak terulang dikemudian hari maka kita sebagai muslim penting untuk mengetahui kedua hal tersebut diatas. Bagi kita kader fakultas hukum terutama, sangat di harapkan untuk memahami keduanya walaupun Hukum Islam tidak menjadi hukum positif di Negara kita namun tidak bisa di pungkiri lagi bahwa mayoritas penduduk negeri ini adalah beragama islam dan pastinya hal ini akan sangat besar peranannya kedepan bagi pembangunan sistem hukum kita. Bahkan saat inipun kalau saya lihat ( dari sudut pandanng santri yang telah mempelajari hukum Islam di pesantren) perbedaan antara hukum positif kita dengan hukum islam yang keduanya berdiri sebagai suatu sistem tidaklah terlalu signifikan apalagi jika harus di pertentangkan maka hal itu saya rasa tidak perlu. Dan seharusnya hukum Islam mampu menjadi acuan utama untuk mengisi kekosongan-kekosongan hukum di negeri ini.

Kembali lagi ke pokok bahasan bahwa Syariah dan Fiqh walaupun terlihat saling menyerupai namun keduanya berbeda. Secara bahasa “Syariah” adalah aturan atau hukum sedangkan “Fiqh” adalah mengerti atau memahami. Jadi dari kedua pengertian bahasa ini sudah bisa di tarik suatu gambaran di antara keduanya. Lebih lanjut lagi secara istilahi Fiqh adalah ”Ilmu yang membahas hukum-hukum syariat bidang amaliyah (perbuatan nyata) yang diambil dari dalil-dalil secara rinci.” atau juga “pengetahuan hukum syariah yang di peroleh melalui jalan Ijtihad.”
Kesimpulan yang bisa ditarik dari pengertian-pengertian diatas adalah bahwa antara syariah dan fiqh terjadi keterkaitan yang sangat diantara keduanya serta dalam prakteknya tidak mungkin dipisahkan. Kita contohkan misalnya dalam ibadah Sholat bahwa semua orang islam sepakat tentang hukum wajibnya maka ini adalah segi syariatnya namun dalam segi fiqhnya untuk masalah yang sama (sholat) maka berbeda-beda untuk tata cara pelaksanaanya ada yang bacaan basmalahnya di baca keras-keras ada pula yang dipelankan. Untuk lebih detailnya maka beda syariah dan fiqh adalah :
1. Syariah itu hanya satu artinya aturan hukum yang Allah turunkan untuk manusia dari Nabi Adam sampai kiamat kelak hanyalah satu sedangkan Fiqh beragam hal ini disebabkan dalam pelaksanaan hukum tadi terjadi perbedaan pendapat sehingga menimbulkan keberagaman dalam pelaksanaannya sebatas apa yang ditangkap dan di pahaminya akan syariah itu.

2. Syariah berasal dari dalil yang Qoth’i ( sudah pasti kebenarannya ) sehingga berlakunya Muthlaq dan Fiqh berasal dari dalil-dalil Dzonni ( yang masih bersifat persangkaan ) sehingga relative kebenarannya dan dari dalil-dalil Dzonni tersebut berlaku pula kesempatan menafsirkan di antara para ulama sehingga di hasilkan berbagai hukum, dan satu hukum belum tentu sama dengan yang lainnya dan kemungkinan bahwa kesemuanya sama-sama benar.

3. Syariah berlaku secara Universal yaitu seluruh ummat manusia. Untuk Fiqh karena di hasilkan dari ijtihad ( olah pikir untuk temukan hukum ) maka terbatas an menimbulkkan taqlid artinya terbagi-bagi kedalam berbagai madzhab/anutan sesuai dengan imamnya.

4. Syariah berlaku Abadan-abadan dan tidak akan pernah berubah sedang Fiqh sesuai dengan kondisi masyarakat oleh factor baik tempat maupun zamannya.
Maka sekarang telah jelas bagi kita mana yang Fiqh dan mana yang syariah sesuai dengan criteria pembagian tadi. Oleh karena itu diharapan mampu mengidentifikasikan suatu masalah apabila suatu ketika di hadapkan pada kita untuk mencari penyelesaiannya degan menggunakan landasan ini. juga jangan sampai terburu-buru mengambil kesimpulan ketika menyikapi suatu keadaan apakah itu Syariah atau Fiqh.

Fiqh-Ushul Fiqh-Qowaidul Fiqh
Bahwa Fiqh adalah ilmu yang lahir akibat/dari adanya Syariah dan lahirnya tersebut tidak serta merta ada dengan sendirinya. Artinya bahwa untuk sampai menemukan hukum Fiqh di perlukan mekanisme-mekanisme yang menjadi persyaratannya. Mekanisme-mekanisme ini kemudian di bukukan untuk pertama kalinya oleh Imam Syafi’I dalam kitabnya yang berjudul Waroqoot yang sekarang terkenal dengan cabang ilmu Ushul Fiqh.

Ushul Fiqh ( Methodology in Islamic Jurisprudence ) adalah ilmu tentang bagaiman cara untuk menemukan suatu hukum Fiqh ( Islamic Jurisprudence). Ushul Fiqh terdiri dari dua kata yaitu Al-Ushul yang artinya asal, pokok, pondasi dan Al-Fiqh yang artinya sesuai dengan yang telah diterangkan diatas. Analogi antara Ushul Fiqh dengan Fiqh adalah seperti bangunan dan tanahnya. Jadi Ushul Fiqh melandasi keberadaan Fiqh. Lalu apabila dilihat dari ranahnya terhadap Fiqh adalah bahwa Ushul Fiqh mengurusi metodologi terkait alasan hukum dan aturan penafsiran suatu arti dan implikasi dari kata perintah ( dari dalil naqli) atau suatu larangan, terhadap pema’naan dari suatu kalam dengan berbagai pembagiannya, tingkah laku nabi sejauh mana yang wajib diikuti juga bagaimana apabila terjadi pertentangan antara satu dalil dengan dalil yang lainnya dan mana yang akan dipakai, terkait keabsahan suatu hadits Rosululloh juga bagaimana melakukan ijtihad? Syaratnya apa serta sejauh mana hasil ijtihad bisa dipakai dan pembahasan lain-lain.

       Walaupun dalam lingkup yang berbeda namun penguasaan terhadap Ushul Fiqh sangat penting bagi mahasiswa Hukum karena pada nantinya kitalah yang menjadi pemeran di negeri ini baik sebagai pembuat aturan maupun sebagai penegak hukum. Hal ini tidak hanya Karena menambah khazanah pegetahuan kita juga karena mampu mengasah kemampuan kita untuk melakukan penemuan hukum yang progresif. Prisip-prisip yang ada baik ketika hendak membuat maupun memutus suatu hukum nantinya akan lebih sempurna jika dilandasi penguasaan Ushul Fiqh yang mendalam. Bahkan kebanyakan theory yang diajarkan sebagai acuan hukum positif tidak berbeda dengan muatan ilmu ini ambil contoh misalnya di dalam ketatanegaraan dikenal Stuffenbaw Theory yaitu Hirarki perundang-undangan, masalah yang muncul adalah bagimana dalam tingkata tersebut bisa selalu serasi dan bagaimana pula bila terjadi pertentangan antara aturan yang atas dengan bawahnya. Di dalam ushul Fiqh pun dari beberapa abad yang lalu ( jauh sebelum adanya Stuffenbaw Theory ) hal semacam ini sudah dirumuskan misalnya adalah bagaimana korelasi antara Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama dengan Al-Hadits sebagai kedua juga bagaiamana bila terjadi pertentangan.

Hal yang kedua jika hendak memperoleh suatu Hukum Fiqh maka harus memperhatikan Qowaidul Fiqh ( kaedah2 Fiqh). Dari berbagai aturan hukum baik ibadah, mu’amalah, mu’amalah yang di perluas ( Siyasah, Dusturiyah dll) tidak akan pernah terlepas dari kaedah-kaedah ini. ibaratnya bagi Fiqh, Qowaidul Fiqhiyyah adalah Ruh bagi tubuh. Ia adalah prinsip umum yang diaplikasikan untuk seluruh hukum Fiqh. Untuk penyebutan mudahnya bahwa Qowaidul Fiqhiyyah adalah asas hukum. Asas hukum ini terdiri dari assas kulliyyat artinya sebagai landasn semua hukum yang paling terkenal adalah doktrin lima qoidah pokok yaitu “al-umuuru bimaqosidiha “ artinya segala perbuatan di gantungkan pada niatnya, “al matsaqqotu tajlibu attaisiru” bahwa agama itu mudah “addlororu Yuzalu” pertimbangan madlorot an maslahat untuk suatu perbuatan, “alyaqiinu laa yuzaalu bissyak” agar semua perbuatan dilakukan dengan kemantaban dan keyakinan dan terakhir adalah ”al-‘aadatu muchakkamah” agar aspek cultural masyarakat juga di perhatikan.

Selain kaedah umum tersebut juga ada kadah khusus yang berlakunya terbatas yang jumlahnya tentu sangat banyak dan kasuistis.
Demikian tulisan ini semoga lenih memacu kita untuk semakin giat mempelajari aspek2 sistem hukum islam dan semoga bermanfaat dan untuk pembangunan sistem hukum indonesia tentunya agar lebih baik.
Wallohu a’lam bishowab



BAB I

A. Latar Belakang Masalah
Para ulama’ ushul telah menetapkan sejumlah kaidah-kaidah tasyri’ yang wajib kita ketahui dan diperhatiakn bagi mereka yang hendak menafairkan nash-nash dari kaidah tersebut, dan juga memperhatikan hukum yang dihasilkan dari nash-nash, baik nash Al-Qur’an maupun Hadits serta illat hukumnya dari sesuatu masalah yang ada.
Para ulama’ fiqih dalam berijtihad senantiasa memperhatikan kaidah-kaidah kulliyah yang tidak kurang nilainya dari prinsip undang-undang internasional, walupun dalam penggunaan namaa dan istilahnya tidak sama. Tujuan dari adanya kaidah-kaidah adalah untuk memelihara jiwa islam dalam menetapkan sebuah hukum dan juda mewujudkaan hukum keadilan, kebenaran, persamaan, kemaslahatan dengan cara memelihara keadaan dharurat yang dibenarkan oleh syara’.
Oleh karena pentingnya adanya kaidah fiqh yang mempunyai peranan penting dalam rangka pembuatan suatu hukum bagi seorang mujtahid sertaa para imam madzab, maka penulis akan sedikit gaambarkan mengenai macam-macam bentuk kaidah yang pokok dalam pembuatan suatu hukum.



B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, penulis dapat menarik suatu kesimpulan masalah/rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apakah Pengertiaan dari Qowaidul Fiqhiyah ?
2. Apakah Fungsi dari Qowaid Kulliyah ?
3. Ada berapa macam bentuk Qaidah Fiqhiyah dan cara penyusunnya ?
4. Apa yang menjadi sebab adanya pembukuan Qaidah ?

C. Tujuan Pembahasan
Dalam penulisan paper ini penilis bermaksud mewujudkan bentuk analisis sederhana dalam bentuk tulisan atau karya ilmiah dengan tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui apa yang dimaksud dari Qowaidul Fiqhiyah ?
2. Mengetahui berapa macam Qaidaah hukum fiqih dan cara penyusunnya ?
3. Mengetahui sebab-sebab dari pembukuan Qaidah ?

D. Sistematika Pembahasan
Dalam penulisan ini, agar mengetahui dan mudah untuk dipahami, maka penulis dalam pembahasannya mennggunakan sistematika sebagai berikut:



Bab I : PENDAHULUAN
Terdiri dari latar belaakang masalah, rumusan masalah, tujuan masalah, dan sitematika pembahasan.

Bab II: MACAM-MACAM KAIDAH HUKUM DAN PENYUSUNNYA
Bab ini merupakan inti dari pembahasan paper ini yang terdiri dari:
Pengertian Qaidul fiqih, Ta’rif qowaid kulliyah serta faedahnya, Macam-macam kaidah hukum fiqhiyah dan penyusunnya, Sebab-sebab pembukuan kaidah.

Bab III: P E N U T U P
Bab ini merupakan akhir dari penulisan paper ini yang terdiri dari : Kesimpulan dan Saran-saran.











BAB II

MACAM-MACAM KAIDAH HUKUM
FIQHIYAH DAN PENYUSUNNYA



A. Pengertian Qowaidul Fiqhiyah.
Untuk memudahkan pemahaman tentang qowaidul fiqhiyah, berikut ini penulis kemukakan pengertiannya dalam segi bahasa maupun pengertian dari segi istilahnya, yang berbunyi sebagai berikut:
Qowaidul fiqhiyah menurut bahasa adalah: dasar-dasar yang bertalian/berhubungan dengan permasalahan/ jenis-jenis hukum (fiqih). Sedangkan menurut istilah dalam ahli ushul, yang biasanya dipakai oleh para ulama’ adalah:

حكم كلي ينطبق على جميع جز ئياته
“Hukum yang biasa berlaku, yang bersesuaian dengan sebagian besar dari bagian-bagiannya”

Sedangkan menurut Imam Tajuddin As-Subky mengatakan bahwa qowaidul fiqhiyah adalah:
الأمر الكلى الذي ينطبق عليه جز ئياته كثيرة يفهم احكامها منها
“Suatu perkara yang kulli yang sesuai dengan juziyyah yang banyak dari padanya serta dapat diketahui huku-hukum juz’iyyah itu”.


Qowaid fiqh ialah kaidah-kaidah hukum yang bersifat kulliyah yang diambil dari dalil-dalil yang kulli dan dari maksud syara’ dalam meletakkan mukallaf dibawah beban taklif dan hikmah-hikmahnya. Asrorut Tyasre’ ialah kaidah-kaidah yang menerangkan maksud syara’ dalam meletakkan para mukallaf dibawah beban taklif dan menerangkan bahwa syara’ memperhatikan terhadap pelaksanaan hukum.
Ada beberapa pengertian tentang kaidah, tiga diantaranya ialah :
1. Pengertian kaidah yang dirumuskan oleh As-Syuyuti dalam kitab Asbah Wan Nadhoir sebagaimana yang dikutip oleh Fateh Ridwan dalam kitabnya MinFal safathi At-Tasre’ Al-Islami yang berbunyi sebagai berikut :
حكم كلي ينطبق علىجميع جز ئياته
Pengertian kaidah menurut Mustofa Az-Zarqo sebagaimana yang dikutip oleh Ahasbyi As-Syiddiqi yaitu :
حكم اغلبي ينطبق علىمعظم جز ئياته

“Kaidah ialah hukum yang bersifat Aglabi (berlaku sebagaian besar) yang meliputi sebagian besar lainnya “.

2. Pengertian kaidah ialah hukum yang bersifat Aglabi yang meliputi semua bagiannya .

B. Ta’rif Qowaid kulliyah dan faidahnya

Diterangkan oleh Dr. Mahmas Hani bahwa para fuqoha’ telah menta’rifkan kaidah kulliyah sebagai berikut :
حكم اغلبي ينطبق علىمعظم جز ئياته
“ Suatu hukum kulli yang bersesuain dengan segala suku-sukunya”.
Kaidah itu mengumpulkan segala furu’ yang terdapat dalam berbagai bab, dengan inilah dia berada dari yang dinamai Dhobith yaitu : dasar-dasar yang hanya mengumpulkan furu’ dari segala sesuatu bab saja. Ringkasnya qoidah kulliyah itu tidak lain adalah merupakan prinsip-prinsip umum yang melengkapi kebanyakan juziyahnya dan ditegakkan atas dasar lebih banyak yang dicakup olehnya dari pada tidak.
Faidah yang nyata ialah memudahkan kita dalam memahami masalah dan prinsip-prinsip umum, perlu diperingatkan bahwa kita tidak dapat terus menerus untuk berpegangan pada kaidah-kaidah itu jika ada suatu dalil yang tegas dan memberi penjelasan terhadap kaidah-kaidah tersebut. Al-Qorofi dalam kitabnya Al-Furu’ menjelaskan bahwa pokok-pokok syariat Islam terbagi menjadi dua macam yaitu :
a. Kaidah-kaidah kulliyah :
kaidah kulliyah mencakup maksud syara’ atau hikmah-hikmah hukum antara lain :
1. Keadaan yang dhorurot dapat membolehkan kepada hal-hal yang terlarang
الضرورات تبيح المحظورات
2. Apa yang dibolehkan karena dhorurot, maka harus diukur menurut kadar dhorurot itu
ما ابيح للضرورات يقدر بقدها
3. Menolak kerusakan didahulukan atas menarik kemaslahatan
درءالمفاسد مقدم علىجلب المصالح
4. Kesukaran menarik kemudahan
المشقة تجلب التيسير
5. Adat atau kebiasaan merupakan sesuatu yang dapat dijadikan hukum
العادة محكمة
6. Pokok hukum terhadap suatu perkara ialah membolehkan.

Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi :
وخلق لكم مافىالارض جميعا
“ Dan ia (Allah) menjadikan untuk kamu dari segala sesuatu yang ada di bumi”
b. Kaidah-kaidah Ushul Fiqh
Kaidah-kaidah ini dipergunakan untuk membuat hukum yang diambil dari dalil-dalil syare’ secara tafsili. Kaidah-kaidah itu ialah sebagai berikut :
1). Qiyas, Ijma’, Sunnah Mutawatir.
2). Lafadz Am merupakan hujjah untuk diterapkan kepada hal umum
3). Yang dinilai adalah lafadz bukan khusus sebab
4). Dalalatun Nash, lafadz Am, Lafadz Nahyu dapat menunjukkan keharaman
Pada hal ilmu-ilmu ini digunakan untuk para mujtahid ialah untuk menghasilkan kemampuan beristinbath untuk memperoleh suatu hukum. Dan bagi yang bukan mujtahid maka dengan memperdalam ilmu ini akan dapat mengetahui bagaimana proses pencarian hukum yang dilakukan oleh para mujtahid.

C. Macam-macam kaidah Hukum dan Penyusunnya
Menurut Al-Korofi mengatakan bahwa sesungguhnya syari’at yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW, didalamnya memuat beberapa pokok dasar dan cabang-cabang dari syariat itu. Adapun pokok dan dasarnya ada dua macam yaitu :
Pertama : yang disebut ushul Fiqh yang sebagian besar pembahasan mengenai kaidah-kaidah hukum yang ada berasal dari suatu lafadz, kedua : yang disebut kaidah-kaidah fiqh yang bersifat kulli yang mempunyai jumlah besar nilainya dan mempunyai banyak masalah cabang yang tidak dapat terhitung jumlahnya.
Kaidah-kaidah fiqhiyah yang disusun oleh para ulama fiqih dan kaidah ushul fiqh adalah dengan cara melalui pengkajian-pengkajian terhadap dua aspek yaitu aspek bahasa dan aspek syariat. Hanya saja dalam meyusun kaidah-kaidah hukm tersebut adanya perbedaan methode atau cara yang digunakan oleh para ulama dalam penggalian hukumnya. Methode tersebut antara lain :
1. Toriqoh (metodhe mutakallim atau metode syafi’iyah) yang menyusun kaidah-kaidah hukum secara logis dan filosofis dengan cara memperhatikan kepada dua aspek dan kaidah-kaidah hukum menentukan masalh-masalah furu’ tanpa memperhatikan adanya kesesuaian atau tidaknya dengan pendirian madzhabnya.
2. Toriqoh (Metode hanafiyah atau metode induktif ) yang didalamnya menyusun kaidah-kaidah hukum untuk diterapkan kepada masalah furu’iyah (cabang), yang disesuaikan dengan dengan madzhab Hanafi.
3. Toriqoh (metode mutakallimin dan Syafi’iyah dengan metode hanafiyah atau deduktif dan induktif)
Maka disusunlah kitab-kitab yang memakai penggabungan dari dua metode tersebut. Pertamanya disusun kaidah-kaidahnya terdahulu (usuliyah atau fiqhiyah), kemudian baru diterapkan dan disesuaikan dengan furu’nya berdasarkan sesuai dengan madzhabnya. Kitab yang disusun dengan memakai metode gabungan antara metode mutakallimin dan metode hanafiyah antara lain adalah :
a). kitab Jam’u Jawami’ karangan Tadjuddin Abduol Wahab As-Subki As-Syafi’I (wafat tahun 771 H ).
b). Kitab At-Tahrer karangan Kamaluddin Ibnu Hammam (wafat tahun 861 ) dan kitab muslim As-syubut karangan Muhibbudin Bin Abduh As-Syakur Al-Hindi.
c). Kitab Badi’ AN Nidhom karangan Ahmad Bin Ali Al-Bagdadi (wafat tahun 694 H ), kitab ini menggabungkan kitah ushul karangan Al-Bazdawi dengan kitab Al-Ilham karangan Al-amidi.
D. Sebab-sebab Pembukuan Qoidah
Sebab ulama’ membukukan qoidah-qoidah kulliyah adalah karena para muhakkikin telah mengembalikan segala masalah fiqih kepada qoidah kulliyah. Tiap-tiap dari qoidah itu menjadi dhobit dan pengumpulan bagi banyak masalah. Qoidah-qoidah tersebut oleh seluruh pihak dii’tibarkan dan dijadikan sebagai dalil untuk menetapkan suatu permasalahan. Memahami qoidah itu menyebabkan kita merasa tertarik untuk menetapkan masalah-masalah tersebut yang disertai dengan penggunaan dalilnya.

BAB III
P E N U T U P

A.Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah dan penjelasan terdapat dalam Bab II diatas, dapatlah penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1.Qowaidul Fiqhiyah menurut bahasa adalah dasar-dasar yang berhubungan dengan masalah-masalah hukum (fiqih), sedangkan menurut istilah ahli ushul adalah hukum yang biasa berlaku yaang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya.
2.Qaidah-qaidah kulliyah itu tiada lain daripada prinsip-prinsip umum yang melengkapi kebanyakan juziyyah dan ditegakkan atas dasar lebih banyak yang dicakup olehnya daripada tidak.
3.Sebab para ulama’ membukukan qaidah-qaidah kulliyah adalah karena para muhaqqiqin telah mengembalikan segala masalah fiqih kepada kaidah kulliyah.
B.Saran-saran
Setidaknya setelah kita memperdalami masalah-masalah yang berhubungan dengan ushul fiqh maupun fiqih, marilah kita aplikasikan kedalam pengamalan yang didalamnya justru akan dapat menjelaskan bagi orang-orang yang masih kurang begitu memahaminya, dan marilah kita gali secara terus menerus masalah-masalah yang ada di zaman yang serba modern ini.
DAFTAR PUSTAKA


1.T.M. Hasbi Ash Shiddeqi, Prof. Dr, Penagntar Hukum Islam, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1993.

2.Masjfuk Zuhdi, Prof. Dr. H, Pengantar Hukum Syari’ah, Penerbit CV. H. Mas Agung, Jakarta, 1978.

3.Nadzar Bahri, Drs, Fiqih dan Ushul Fiqih, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993.




BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah
Qawaidul fiqhiyah  (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas syari’ah. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian, sejarah, perkembangan dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah fiqh.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.

II.    Rumusan Masalah
1.      Mengerti dan memahami pengertian dan sejarah perkembangan kaidah-kaidah fiqh
2.      Menyebutkan pembagian kaidah fiqh
3.      Apakah manfaat dan urgensi dari kaidah-kaidah fiqh?
4.      Bagaimana kedudukan dan sistematika kaidah fiqh?
5.      Apa beda kaidah ushul dan kaidah fiqh?
6.      Mengetahui apa itu kaidah umum dan kaidah asasi

III. Tujuan Pembahasan
            Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti tentang hal-hal yang berhubungan dengan kaidah-kaidah fiqh, mulai dari definisi, pembagian dan sistematika kaidah fiqh.

BAB II
PEMBAHASAN

I.       Pengertian
Sebagai studi ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah fiqh diawali dengan definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali dengan pendekatan kebahasaan. Dalam studi ilmu kaidah fiqh, kita kita mendapat dua term yang perlu dijelaskan, yaitu kaidah dan fiqh.
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :

”Allah akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya”.
(Q.S. An-Nahl : 26)

Sedangkan  dalam  tinjauan   terminologi kaidah  punya  beberapa   arti,   menurut
Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
”Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”.[1]
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
”Hukum   yang   biasa   berlaku    yang   bersesuaian   dengan   sebagian   besar bagiannya”.[2]
            Sedangkan arti fiqh ssecara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang banyak dipahami, yaitu :
            Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”
(Q.S. At-Taubat : 122)
Dan juga Sabda Nabi SAW, yaitu :
Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam agama.
            Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci)
            Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :
”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.
            Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa setiap kaidah fiqhiyah telah mengatur beberapa masalah fiqh dari berbagai bab.

II. Sejarah Perkembangan Qawaidul Fiqhiyah
            Sejarah perkembangan dan penyusunan Qawaidul Fiqhiyah diklarifikasikan menjadi 3 fase, yaitu :
1.      Fase pertumbuhan dan pembentuka
Masa pertumbuhan dan pembentukan  berlangsung  selama tiga abad lebih.
Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi pase sejarahhukumi islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman Nabi muhammad SAW, yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri maazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah.
            Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh baru dibentuk dab ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yuang dominan adalah Jawami al-Kalim (kalimat ringkas tapi cakupan maknnya sangat luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh. Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
            Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau dari dua segi, yaitu :
·               Segi sumber : Ia adalah hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum islam yang tidak mengandung al-Mustasnayat
·               Segi cakupan makna dan bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh karena kalimatnya ringkas, tapi cakupan maknanya luas.
Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fiqh, yaitu :
            ”pajak itu disertai imbalan jaminan”
            ”Tidak boleh menyulitkan (orang lain) dan tidak boleh dipersulitkan (oleh orang lain)”[3]
            Demikian beberapa sabda Nabi Muhammad SAW, yang dianggap sebagai kaidah fiqh. Generasi berikutnya adalah generasi sahabat, sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut serta membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi yang menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka.
            Generasi berikutnya adalah tabi’in dan tabi’ tabi’in selama 250 tahun. Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in adalah Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182), dengan karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun adalah :
”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al- mal”
            Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islamdapat menerima harta peninggalan (tirkah atau mauruts), apbila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.
            Ulama berikutnya yang mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam Asy-Syafi’i, yang hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu :
”Sesuatu yangh dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak terpaksa”
            Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H), diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu :
            ”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan digadaikan”
2.      Fase perkembangan dan kodifikasi
Dalah sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat imam mazhabnya masing-masing. Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan agar kaidah-kaidah itu bisa berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa berikutnya.
Pada abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi kaidah fiqh, karena perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat. Buku-buku kaidah fiqh terpenting dan termasyhur abad ini adalah :
·        Al-Asybah wa al-Nazha’ir, karya ibn wakil al-Syafi’i (W. 716 H)
·        Kitab al-Qawaid, karya al-Maqarri al-maliki (W. 750 H)
·        Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabh Qawaid al-Mazhab, karya al-Ala’i al-Syafi’i (W. 761 H)
·        Al-Qawaid fi al-Fiqh, karya ibn rajab al-Hambali (W. 795 H)
3.      Fase kematangan dan penyempurnaan
Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah
“seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari pemiliknya”
Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut adalah :
“seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin”

III. Pembagian Kaidah Fiqh
Cara membedakan sesuatu dapat dilakukan dibeberapa segi :
1.      Segi fungsi
Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan marginal. Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :
                        ”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
            kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya :
”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat”
”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh”
Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang cakupannya lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu’
2.      Segi mustasnayat
Dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian.
Kaidah fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Umpamanya adalah :
”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat”
Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.
3.      Segi kualitas
Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :
·        Kaidah kunci
Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya, dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :
”Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat”
Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar manusia  terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan.
·        Kaidah asasi
Adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum islam. Kaidah fiqh tersebut adalah :
”Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”
”Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”
”Kesulitan mendatangkan kemudahan”
”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
·        Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni
Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah ” majallah al-Ahkam al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat di abad XIX M, oleh lajnah fuqaha usmaniah.
IV. Manfaat Kaidah Fiqh
Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah :
1.      Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh
2.      Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi
3.      Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda
4.      Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung

Menurut Imam Ali al-Nadawi (1994)
1.      Mempermudah dalam menguasai materi hokum
2.      kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan
3.      Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahnan baru.
4.      mempermudah orang yang berbakar fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hokum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topic
5.      Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hokum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih besar
6.      Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam

V. Urgensi Qawaidul Fiqhiyah
Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :
1.      Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa nashsh, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan
2.      Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat  dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.
Abdul Wahab Khallaf  dalam ushul fiqhnya bertkata bahwa hash-nash tasyrik telah mensyariatkan hokum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telh sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas suatu cabang undang-undang.
Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jlan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang paa kaidah itu maka hasil ijtihatnya banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.


No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook