Tuesday, January 27, 2015

HUKUM ISLAM MENGHADAPI KEJADIAN BARU YANG TIMBUL



MENGHADAPI KEJADIAN
BARU YANG TIMBUL


M.Rakib  Muballigh  IKMI Riau Indonesia

Tulisan ini mencoba untuk mencari hubungan dan keterkaitan antara Filsafat Hukum Islam (Ushul Fiqh) dengan Hermeneutika sebagai salah satu metode penafsiran teks ke dalam konteks. Metode penafsiran yang saat ini masih banyak dibicarakan bahkan diperdebatkan oleh para ahli Hukum Islam maupun ahli Filsafat Hukum Islam adalah Hermeneutika. Secara historis Hermeneutika merupakan metode filsafat yang pada awalnya berkembang dalam penafsiran Kitab Injil/Bibel.
          Ada fakar yang menilai Hukum Islam dengan analisis akal Barat dan hermeneutika Yunani , bahkan logika Taurat dan Uijil. Akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermeneuein, yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermeneia, “interpretasi”. Kata-kata tersebut diasosiasikan pada Dewa Hermes dengan fungsi “transmisi apa yang ada dibalik pemahaman manusia ke dalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensia manusia”. Jadi, dengan menelusuri akar kata paling awal dalam bahasa Yunani, “hermeneutika” dan “hermeneutis” mengasumsikan proses “membawa sesuatu untuk dipahami”, terutama seperti proses ini melibatkan bahasa, karena bahasa merupakan mediasi paling sempurna dalam proses. Tiga bentuk makna dasar yang terkandung adalah (1) mengungkapkan (to say) kata-kata; (2) menjelaskan (to explain); dan (3) menerjemahkan (to translate), yang ketiganya dapat diwakilkan dalam kata kerja “to interpret” dengan masing-masing membentuk sebuah makna independen dan signifikan bagi interpretasi. Sehingga dalam proses interpretasi terdapat tiga persoalan yang berbeda: pengucapan lisan, penjelasan yang masuk akal, dan transliterasi dari bahasa lain.

          Penerjemahan membuat sadar terhadap benturan dunia kesadaran dan karya yang sedang dibuat. Rintangan bahasa membuat dua dunia pemahaman ini menjadi lebih terlihat. Dengan terjemahan dan teori terjemahan, hermeneutika modern mendapatkan tempat yang besar bagi penjelasan “problem hermeneutik”. Hermeneutik dalam tingkat historis awal selalu terlibat dengan penerjemahan linguistik, baik sebagai filsafat hermeneutik klasik atau hermeneutika Bibel. Fenomena penerjemahan adalah jantung dari hermeneutik, di dalamnya seseorang mengkonfrontasikan situasi dasar hermeneutik untuk mendamaikan bersama-sama makna teks, gramatikal, historis, dan perangkat lain dalam menguraikan teks asli. Namun semua teknik ini hanya formalisasi eksplisit dari faktor-faktor yang dilibatkan dalam konfrontasi apapun terhadap teks linguistik, bahkan dalam bahasa kita. Selalu ada dua dunia, dunia teks dan dunia pembaca, dan konsekuensinya ada kebutuhan bagi Hermes untuk “menerjemahkan” dari satu dunia ke dunia lainnya.

MENGHADAPI  BERBAGAI KEJADIAN BARU
DILAKUKAN IJTIHAD, BANYAK  GURU
TIDAK AKAN TERBURU-BURU
QURAN DAN HADITS, TIDAK AKAN  MEMBUAT RAGU
 
 
         Hukum Islam harus siap menghadapi kejadian baru yang timbul karena perkembangan masyarakat dan perubahan suasana. Untuk itu pengkajian ilmu filsafat hukum islam mutlak diperlukan. Dengan tegak dan berhasilnya filsafat hukum islam, dapat dibuktikan bahwa hukum islam mampu memberikan jawaban terhadap tangtangan zaman dan merupakan hukum terbaik sepanjang zaman bagi semesta alam.
Para ahli Ushul Fiqh, sebagaimana ahli filsafat hukum islam, membagi filsafat hukum islam kepada dua rumusan, yaiti Falsafah Tasyri dan Falsyafah Syariah.
Falsafah tasyri: Fasafah yang memancarkan hukum islam atau menguatkannya dan memeliharanya. Filsafat ini bertigas membicarakan hakikat dan tujuan hukum islam.
Filsafat tasyri terbagi kepada :

1. Da’aim al- Ahkam ( Dasar-Dasar Hukum Islam )
2. Mabadi al-Ahkam ( Prinsip-Prinsip Hukum Islam )

3. Ushul al-Ahkam ( Pokok-Pokok Hukum Islam ) atau mashadir al-ahkam ( Sumber-Sumber Hukum Islam )
4. Maqasid al-Ahkam ( Tujuan Tujuan Hukum Islam )
5. Qowa’id al-Ahkam ( Kaidah-Kaidah Hukum Islam )
Falsafat syari’ah: Filsafat yang di ungkapkan dari materi-materi hukum Islam, seperti Ibadah, muamalah, jinayah, uqubah dan sebagainya. Filsafat ini bertugas membicarakan hakikat dan rahasia hukum Islam. Termasuk dalam pembagian Falsafat Syari’ah adalah:
1. Asrar al-Ahkam ( Rahasia-Rahasia Hukum Islam )
2. Khasha al- Ahkam ( Ciri-Ciri Khas Hukum Islam )
3. Mahasin al-Ahkam atau Majaya al-Ahkam ( Keutamaan-Keutamaan Hukum Islam )
4. Thawabi al-Ahkam ( Karakteristik Hukum Islam )

B. PERTUMBUHAN FILSAFAT HUKUM ISLAM

Sumber utama hukum islam adalah al-Quran dan as-Sunnah. Terhadap segala permasalahan yang tidak diterangkan dalam kedua sumber tersebut, kaum muslimin diperbolehkan berjihad dengan mempergunakan akalnya guna menemukan ketentuan hukum. Dalil yang menjadi landasan berjihad adalah hadist Nabi Saw. Ketika mengutus Mu’adz ibn Jabal sebagai berikut:

عَنْ انََسٍ مِنْ اَهْلِ حِمْصِ مِنْ أَ صْحَابِ مُعَاذَ بْنِ جَبَلٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ لَمَّا اَرَادَ اَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا اِلَى اْليَمَنِ قَالَ : كَيْفَ تَقْضِى اِذَا عُرِضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ : اَقْضِي بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ : فَاِلَم ْتجَِدْ فِيْ كِتاَبِ اللهِ؟ قَالَ : فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ. قَالَ : فَاِلَمْ تَجِدْ فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلاَ فِيْ كِتاَبِ اللهِ؟ قَالَ : أَجْتَهِدْ رَأْيِيْ وَلاَ الُوْ.فَضَرَبَ رَسُوْلِ اللِه صَدْرَهُ وَ قَالَ : اْلحَمْدِللهِ اْلذِي وَفْقَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَايَرْضَى رَسُوْلِ اللهِ.

Artinya :
” Diriwayatkan dari sekelompok penduduk Homs, shahabat Mu’az Ibn Jabal, bahwa Rasulullah Saw. ketika bermaksud untuk mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bertanya, ” apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana anda memutuskannya? ”Mu’adz menjawab, ”saya akan memutuskannya berdasarkan al-quran.” Nabi menjawab lagi, jika kasus tidak anda temukan dalam al-quran” muadaz menjawab,” saya akan memutuskannya berdasarkan sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya, ”jika kasus tidak terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul?” Mu’adz menjawab ,” aku akan berijtihad seksama.” Kemudian Rasulullh menepuk-nepuk dada Mu’adz dengan tangannya, seraya berkata: segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulllah kepda jalan yang diridhai-Nya. ” ( HR.Abu Dawud ).
Jadi, berijtihad dengan mempergunakan akal dalam permasalahan hukum Islam, yang padahakikatnya merupakan pemikiran falsafi itu direstui oleh Rasulullah. Bahkan lebih tandas lagi Allah menyebutkan bahwa mempergunakan akal dan pikiran atau berpikir falsafi itu sangat perlu dalam memahami berbagai persoalan. Allah berfirman:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (179)
Artinya :
” Dan dalam qishsah itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa. ” ( QS. Al- Baqarah : 179 )
Ayat diatas menunjukan bahwa mempergunakan akal pikiran untuk menangkap ma’na yang terkandung dalam syari’ah sesuai dengan petunjuk al-Quran termasuk yang dianjurkan. Pemikiran yang mendalam tentang syri’ah atau hukum islam melahirkan filsafat hukum islam.
Izin Rasulullah kepada Mu’adz untuk berijtihad diatas merupakan awal lahirnya filsafat hukum islam. Pada masa Rasulullah segala persoalan diselesaikan dengan wahyu. Pemikiran falsafi atau ijtihad yang salah segera dibetulkan dengan datangnya wahyu. Akan tetapi, ketika Rasulullah wafat dan wahyu pun telah usai, maka akal dengan pemikiran falsafinya berperan, baik perkara yang ada nashnya maupun tidak ada nashnya.
Permasalahan yang timbul setelah Rasulullah wafat ialah mengenai siapa yang memegang tapuk kepemimpinan bagi umat islam. Terhadap permasalahan yang tidak ada nashnya itu memerlukan pemikiran mendalam tentang kreteria apa yang diambil untuk menentukan pengganti Muhammad. Apakah kreterianya berupa jasa, yaitu jasa kaum Anshor yang menerima Muhammad beserta rombongannya dan menyelamatkan agama dari tekanan kaum kafir di mekkah, ataukah pengorbanan, yaitu pengorbanan kaum Muhajirin yang telah mengikuti Muhammad berhijrah dengan meninggalkan keluarga dan harta kekeyaan demi menyelamatkan agama Islam.

        Pemikiran yang mendalam tentang kreteria pemimpin tersebut merupakan pemikiran falsafi.Sedangkan pemikiran Falsafi terhadap hukum Islam yang ada nashnya bermula pada khulafaurrasyidin, terutama Umar Ibn Khattab. Penghapusan hukum potong tangan bagi pencuri, zakat bagi muallaf dan lain-lain yang dilakukan umar berdasarkan kesesuaian zaman dan demi menegakan keadilan yang menjadi asas hukum Islam, merupakan contoh penerapan hukum berdasarkan akal manusia.
Hukum diciptakan untuk memelihara ketertiban dan kesejahtraan masyarakat, sementara masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Untuk itu pengertian dan pelaksanaan hukum harus sesuai dengan keadaan yang ada. Artinya, asas dan prinsip hukum tidaklah berubah, tetapi cara penerapannya harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat, perubahan suasana, dan perubahan keperluan hidup. Singkatnya penerapan hukum harus dapat menegakan kemaslahatan dan keadilan yang menjadi tujuan dari hukum Islam.

  SEJARAH FILSAFAT HUKU ISLAM


        Kegiatan penelitian terhadap penelutian hukum (Maqasid al-Sya’riah) telah dilakukan oleh para ahli Ushul fiqh terdahulu. al-Juwaini, dapat dikatakan ahli ushul fiqh pertama yang menekankan pentingnya memahami maqasid sya’riah dalam menetapkan hukum. Ia secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak dikatakan mampu menetapkan hukum dalam islam, sebelum ia dapat memahami bener tujuan Allah menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya . Kemudian ia mengelaborasi lebih lanjut Maqasid as-Sya’riah itu dalam kaitannya dengan pembahasan illat pada masalah qias. Menurut pendapatnya, dalam kaitannya dengan illat, ashl dalam dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu: kelompok Daruriyyat, al-Hajat al-Amanat, Makramat, dan sesuatu yang tidak termasuk ketiga kelompok sebelumnya. Pada dasarnya al-juwaini mengelompokkan ashl atau tujuan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu daruriyyat dan makramat. Yang terakhir, dalam istilah lain disebut Tahsiniyyat.

Kerangka berpikir al-juwaini di atas di kembangkan oleh muridnya al-ghazali. Dalam kitabnya Syifa al-Ghali, al-Ghazali menjelaskan maksud syariat dalam kaitannya dengan pembahasan al-Munasabat al-Mashlahiyyat dalam qiyas, sementara dalam kitabnya yang lain ia memebicarakannya dalam pembahasan Istishlah. Mashlahat, baginya adalah memelihara maksud al-Syari, pembuat hukum. Kemudian ia memerinci Maslhahat itu menjadi lima, yaitu: Memelihara agama, jiwa, akal keturunan dan harta. Kelima aspek mashlahat ini menurut al-Ghazali, berada pada peringatan yang berbeda, bila ditinjau dari segi tujuannya, yaitu peringkat daruriyya, hajiat dan tahsiniyyat. Dari sini teori makhasid al-Syariah susah kelihatan bentuknya. Ahli fiqh yang berikutnya yang membahas secara khusus aspek utama Maqasid al- Syariah, adalah Izz al-Din Ibn Abd al-Salim dari kalangan mazhab Syafii.

         Dalam kitabnya Qowaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, ia lebih banyak mengelaborasi hakikat maslahat yang diejawantahkan dalam bentuk Daru al-Mafasid wa jalwu al-Manafi (menghindari mafsadat dan menarikmanfaat ). Baginya Mashlahat dunyawiyyat tidak dapat dilepaskan dari tiga peringkat, yaitu: daruriyyat, hijayyat, dan tatimmat atau takmillat. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa taklif bermuara pada kemaslahat manusia, baik di dunia maupun diakhirat. dengan demikian dapat dikatakan, bahwa Ibn Abd al-Salam telah mencoba mengembangkan inti mashlahat yang menjadi pembahasan dalam Maqashid al-Syariah. Dalam pandangan ahli fiqh lain dijelaskan tentang pembahasan mashlahat yang menjadi bagian sangat penting karena tujuan Allah mengsyariatkan hukumnya adalah untuk kemashlahatan manusia. Oleh karena itu taklif dalam bidang hukum harus bermuara pada tujuan-tujuan hukum tersebut. Sebagaimana ulama sebelumnya, ia juga membagi peringkat maslahat menjadi tiga peringkat, yaitu: Daruriyyat, Hajiyyat, Tahsiniyyat. Yang dimaksud dengan mashlahat baginya adalah memelihara lima aspek utama, yaitu: Agama, Jiwa, Akal, Keturunan dan Harta.


Al – Qur`an dan Terjemahannya, Depag RI.
Chotib, Ahmad, Falsafat Hukum Islam, Fakultas Syari`ah IAIN Jakarta, Surabaya : 1989.
Endang Saifuddin Anshari, M.A., Ilmu, Filsafat dan Agama cet. VII, Surabaya, Bina Ilmu : 1987.
Al – Ghazali, Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Muhammad, al-Mustashfa Min `ilmi Al-Ushul,t.t.: Nur al-Saqafat al-Islamiyyat, t.th.
__________, Syifa al-Ghalil fi Bayan al-Syibh wa al-Mukhilwa Masalik al-Ta`lil, Baghdad, Matba`at al-Irsyad, 1971.
Harun Nasution, Prof. Dr. Filsafat Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1991.
Harjono, Anwar, Drs. SH., Hukum Islam Keluasan Dan Keagungannya, Jakarta : Bulan Bintang.
Djamili, Fathurrahman, Dr. MA. Filsafat Hukum Islam, jakarta: LogosWacanaIlmu,1997S

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook