Thursday, January 1, 2015

SANKSI HUKUMAN DALAM HUKUM ISLAM



C. SANKSI HUKUMAN DALAM HUKUM ISLAM




By  Muhammad Rakib SH.,M.Ag   Muballig IKMI Riau 2015
    1. Pengertian Sanksi Hukuman

          Sanksi  dalam Islam Hukum Islam disebut al-‘Uqubaah yang berkaitan dengan hukuman jika ada hal yang merugikan maupun tindak kriminal. Nama lain dari al- ‘Uqubah adalah al-Jaza’ atau hudud.[1]Beberapa ulama berpendapat bahwa hukuman adalah bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia.Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafaz ‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata عَقبَ yang sinonimnya خَلفهُ وَجَاءَبعَقبهِ artinya mengiringnya dan datang di belakangnya. Dalam pengertian yang agak mirip dan mendekati pengertian istilah, barangkali lafal tersebut bisa diambil dari lafal عَاقَبَ yang sinonimnya جَزَاهُ سَوَاءً بِماَ فَعَلَ artinya membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya.

       2. Tujuan Sanksi Hukuman

Tujuan dari penetapan dan penerapan hukuman dalam syari’at Islam adalah:

       a) Pencegahan ( الرّدْعُ وَالزّجْرُ )
Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya. Di samping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan perbuatan yang sama.
Menurut Ibn Hammam dalam fathul Qadir bahwa hukuman itu untuk mencegah sebelum terjadinya perbuatan (preventif) dan menjerakan setelah terjadinya perbuatan (represif).

        b) Perbaikan dan Pendidikan ( الاِصْلاحُ والتّهْذِ يْبُ )

Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Di sini terlihat bagaimana perhatian syari’at Islam terhadap diri pelaku. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat rida dari Allah SWT.

        c)  Kemaslahatan Masyarakat

Memberikan hukuman kepada orang yang melakukan kejahatan bukan berarti membalas dendam, melainkan sesungguhnya untuk kemaslahatannya, seperti dikatakan oleh Ibn Taimiyah bahwa hukuman itu disyariatkan sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya dan sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk ihsan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, sepantasnyalah bagi orang yang memberikan hukuman kepada orang lain atas kesalahannya harus bermaksud melakukan ihsan dan memberi rahmat kepadanya.
Menurut Andi Hamzah dan A. Simanglipu, sepanjang perjalanan sejarah, tujuan pidana dapat dihimpun dalam empat bagian, yakni:
1. Pembalasan (revenge).
Seseorang yang telah menyebabkan kerusakan dan malapetaka pada orang lain, menurut alasan ini wajib menderita seperti yang ditimpakan kepada orang lain.
2. Penghapusan Dosa (ekspiation).
Konsep ini berasal dari pemikiran yang bersifat religius yang bersumber dari Allah.
3. Menjerakan (detern).
4. Memperbaiki si pelaku tindak kejahatan (rehabilitation of the criminal).
Pidana ini diterapkan sebagai usaha untuk mengubah sikap dan perilaku jarimun agar tidak mengulangi kejahatannya.
Abdul Qadir Awdah mengatakan bahwa prinsip hukuman dalam Islam dapat disimpulkan dalam dua prinsip pokok, yaitu menuntaskan segala perbuatan pidana dengan mengabaikan pribadi terpidana dan memperbaiki sikap terpidana sekaligus memberantas segala bentuk tindak pidana. Memberantas segala bentuk tindak pidana bertujuan untuk memelihara stabilitas masyarakat, sedangkan untuk pribadi terpidana bertujuan untuk memperbaiki sikap dan perilakunya. Oleh sebab itu, menurutnya hukuman bagi segala bentuk tindak pidana yang terjadi harus sesuai dengan kemaslahatan dan ketentraman masyarakat yang menghendaki.
C. SYARAT-SYARAT PELAKSANAAN HUKUMAN
1. Hukuman Harus ada Dasarnya dari Syara’
Hukum dianggap mempunyai dasar (syar’iyah) apabila ia didasarkan kepada sumber-sumber syara’ seperti: Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, atau undang-undang yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang (ulil amri) seperti dalam hukuman ta’zir. Dalam hal hukuman ditetapkan oleh ulil amri maka disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syara’. Apabila bertentangan maka ketentuan hukuman tersebut menjadi batal.
Perbuatan dianggap salah jika ditentukan oleh nas. Prinsip ini yang dalam bahasa hukum disebut dengan istilah asas legalitas. Hukum pidana Islam mengenal asas ini secara substansial sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya:
– Surat Al-Isra’ ayat 15:
وَمَاكُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتَّى نبْعَثَ رَسُوْﻻً…
”…dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang Rasul”.
– Surat Al-Baqarah ayat 286:
ﻻََيُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِﻻَّوُسْعَهاَ
“Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya…”.
Berikut ini kaidah yang dirumuskan oleh para ahli hukum yang diambil dari sunstansi ayat-ayat tersebut:
ﻻَجَرِيْمَةَ وَﻻَعُقُوْبَةَ اِﻻَّ بِالنَّصِّ
“Tidak ada tindak pidana dan tidak ada hukuman kecuali adanya nas”.
2. Hukuman Harus Bersifat Pribadi (Perorangan)
Ini mengandung arti bahwa hukuman harus dijatuhkan kepada orang yang melakukan tindak pidana dan tidak mengenai orang lain yang tidak bersalah. Syarat ini merupakan salah satu dasar dan prinsip yang ditegakkan oleh syariat Islam dan ini telah dibicarakan berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban.
3. Hukuman Harus Bersifat Universal Dan Berlaku Umum
Ini berarti hukuman harus berlaku untuk semua orang tanpa adanya diskriminasi, baik pangkat, jabatan, status, atau kedudukannya.
Di dalam hukum pidana Islam, persamaan yang sempurna itu hanya terdapat dalam jarimah dan hukuman had atau qishash, karena keduanya merupakan hukuman yang telah ditentukan oleh syara’. Setiap orang yang melakukan jarimah hudud akan dihukum dengan hukuman yang sesuai dengan jarimah yang dilakukannya. Sedangkan persamaan yang dituntut dari hukuman ta’zir adalah persamaan dalam aspek dampak hukuman terhadap pelaku, yaitu mencegah, mendidik, dan memperbaikinya. Sebagian pelaku mungkin cukup dengan hukuman peringatan, sebagian lagi perlu dipenjara, dan sebagian lagi mungkin harus didera atau bahkan ada pula yang harus dikenakan hukuman mati.
D. MACAM-MACAM HUKUMAN
Menurut Abdul Qadir Audah macam-macam hukuman adalah sebagai berikut :
1. Penggolongan ini ditinjau dari segi pertalian antara satu hukuman dengan hukuman yang lainnya, dan dalam hal ini ada empat macam hukuman yaitu:
a. Hukuman pokok (‘Uqubah Ashliyah), yaitu hukuman yang ditetapkan untuk jarimah yang bersangkutan sebagai hukuman yang asli, seperti hukuman qishash untuk jarimah pembunuhan, atau hukuman potong tangan untuk jarimah pencurian.
b. Hukuman pengganti (‘Uqubah Badaliyah), yaitu hukuman yang menggantikan hukuman pokok, apabila hukuman pokok tidak dapat di laksanakan karena alasan yang sah, seperti hukuman diyat (denda) sebagai pengganti hukuman qishash.
c. Hukuman tambahan (‘Uqubah Taba’iyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan tersendiri seperti larangan menerima warisan bagi orang yang melakukan pembunuhan terhadap keluarga.
d. Hukuman pelengkap (‘Uqubah Takmiliyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada keputusan tersendiri dari hakim, dan syarat inilah yang menjadi ciri pemisahnya dengan hukuman tambahan. Contohnya mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong di lehernya.
2. Penggolongan kedua ini ditinjau dari kekuasaan hakim dalam menentukan berat ringannya hukuman. Dalam hal ini ada dua macam hukuman:
a. Hukuman yang hanya mempunyai satu batas, artinya tidak ada batas tertinggi atau batas terendah, seperti hukuman jilid (dera) sebagai hukuman had (80 kali atau 100 kali).
b. Hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan batas terendahnya, dimana hakim diberi kebebasan memilih hukuman yang sesuai antara kedua batas tersebut, seperti hukuman penjara atau jilid pada jarimah-jarimah ta’zir.
3. Penggolongan ketiga ini ditinjau dari segi besarnya hukuman yang telah ditentukan, yaitu:
a. Hukuman yang telah ditentukan macam dan besarnya dimana hakim harus melaksakannya tanpa dikurangi atau di tambah, atau diganti dengan hukuman yang lain. Hukuman ini disebut hukuman keharusan.
b. Hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk dipilihnya dari sekumpulan hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh syara’ agar dapat disesuaikan dengan keadaan pembuat dari perbuatannya. Hukuman ini disebut hukuman pilihan.
4. Penggolongan ditinjau dari segi tempat dilakukannya hukuman, yaitu:
a. Hukuman badan, yaitu yang dijatuhkan atas badan seperti hukuman mati, dera, dan penjara.
b. Hukuman jiwa, yaitu dikenakan atas jiwa seseorang, bukan badannya, seperti ancaman, peringatan atau teguran.
c. Hukuman harta, yaitu yang dikenakan terhadap harta seseorang, seperti diyat, denda dan perampasan harta.
5. Penggolongan kelima ditinjau dari segi macamnya jarimah yang diancamkan hukuman, yaitu:
a. Hukuman hudud, yaitu hukuman yang ditetapkan atas jarimah-jarimah hudud.
b. Hukuman qishash dan diyat, yaitu yang ditetapkan atas jarimah-jarimah qisas diyat.
c. Hukuman kifarat, yaitu yang ditetapkan untuk sebagian jarimah qishash dan diyat dan beberapa jarimah ta’zir.
d. Hukuman ta’zir, yaitu yang ditetapkan untuk jarimah-jarimah ta’zir.
E. PEMBERLAKUAN HUKUMAN
Dalam perkembangannya, pemberlakuan sanksi dalam hukum pidana Islam muncul 3 kalangan, yaitu:
1. Kalangan Tradisional.
Kalangan ini beranggapan bahwa hukuman harus dijalankan sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
2. Kalangan Modernis.
Kalangan ini beranggapan bahwa hukum Islam memang ada dan berlaku tetapi tergantung bagaimana metode pelaksanannya.
3. Kalangan Reformatif.
Kalangan ini mencoba menggabungkan kalangan tradisionalis dan kalangan modernis. Artinya kalangan ini tetap meyakini hukum Islam ada pada nash dan dilaksanakan menurut metode nash.
Akibat dari pemecahan 3 kalangan tersebut dalam kehidupan kita muncul 2 sanksi, yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan, perbedaannya adalah:
1. Sanksi pidana dan sanksi tindakan. Dimana masing-masing mempunyai prinsip dan tujuan dengan teori serta filosofis yang dipahaminya.
2. Sanksi pidana bersumber pada ide dasar-dasar “mengapa diadakan pemidanaan”?
3. Sanksi tindakan bertolak pada ide dasar “untuk apa diadakan pemidanaan”?
v Hukuman Hudud
1. Hukuman Zina
Zina secara harfiah berarti fahisyah, yaitu perbuatan keji. Secara istilah adalah hubungan kelamin antara seorang lelaki dengan seorang perempuan juga satu sama lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan. Nabi Muhammad SAW telah menyatakan bahwa zina merupakan dosa paling besar kedua setelah syirik (mempersekutukan Allah). Beliau bersabda:
قال عليه الصلاة والسلام مامررس يعد السرل اعظم مرعيرالله مريطعه ومعها رحل فى رحم لايعل له
“Nabi SAW telah bersabda: Tak ada dosa yang lebih besar setelah syirik di sisi Allah selain dari seorang lelaki yang mencurahkan maninya di tempat/kandungan yang tidak halal baginya”.
عن أبوهديرة رفي الله عنه ان النبى صلى الله عليه وسلم قال ان الله كتب على ابن ادم حظّه من الزناأدرك ذلك لامحالة فذناالعينين النطروزنااللسان النّطق والنفس تمو وتشتهي والفرج يصدّ ق ذلك اويكذبه
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwasanya: Nabi SAW bersabda: Allah SWT telah menentukan bahwa anak Adam cenderung terhadap perbuatan zina. Keinginan tersebut tidak dapat dielakkan, yaitu melakukan zina mata dalam bentuk pandangan, zina mulut dalam bentuk penuturan, zina perasaan melalui cita-cita dan keinginan mendapatkannya. Namun, kemaluanlah yang menentukan dalam bentuk zina atau tidak”.
عن أبي هريرة رفي الله عنه قال سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول إذازنت أمة أحدكم فتبين زناهافليجلد هاالحدولايثرب عليها ثم إن زنت فليجلد هاالحدولايثرب ثم إن رنت الثالثة فتبين زناهافيبعهاولوبحبل من شعر
“Diriwayakan dari Abu Hurairah ra, katanya: Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: Apabila seorang hamba perempuan milik salah seorang diantara kamu melakukan zina dan telah terbukti, maka hukumlah dia dengan cambukan rotan dan janganlah kamu memaksanya. Dan jika dia mengulanginya lagi dua kali ketiganya dan terbukti,maka jualah dia walaupun dengan harga sehelai rambut”.
Hukuman zina ditetapkan tiga hukuman, yaitu dera, pengasingan dan rajam. Hukuman dera dan pengasingan ditetapkan untuk pembuat zina tidak muhshan, dan hukuman rajam dikenakan pada terhadap zina muhshan. Kalau kedua pelaku zina tidak muhshan keduanya, maka keduanya dijilid atau diasingkan. Akan tetapi keduanya muhshan keduanya dijatuhi hukuman rajam.

a. Hukuman Jilid
Hukuman jilid seratus kali diancamkan atas perbuatan zina yang dilakukan oleh orang yang tidak muhshan. Hukuman jilid dijatuhkan untuk mengimbangi faktor psikologis yang mendorong diperbuatnya jarimah zina, yaitu keinginan untuk mendapatkan kesenangan. Faktor psikologis penentangnya yang menyebabkan seorang meninggalkan kenangan tersebut ialah ancaman sengsara yaitu yang ditimbulkan oleh seratus jilid. Kalau faktor pendorong zina lebih kuat daripada faktor penghalaunya maka derita hukuman yang dijatuhkan cukup melupakan kesenangan yang sudah diperoleh, sehingga bisa mendorongnya untuk memikirkannya kembali.
b. Hukuman pengasingan
Terhadap pembuat zina tidak muhshan dikenakan hukuman pengasingan selama satu tahun selain hukuman jilid.
c. Hukuman rajam
Hukuman rajam ialah hukuman mati dengan jalan dilempari batu dan yang dikenakan adalah pembuat zina muhshan, baik lelaki maupun perempuan. Hukuman rajam tidak tercantum dalam Al-Qur’an, oleh karena itu fuqaha-fuqaha khawarij tidak memakai hukuman rajam. Menurut jarimah-jarimah zina dikenakan hukuman jilid saja, baik pelaku muhshan atau belum.
Orang yang sudah muhshan mendapat hukuman lebih berat, yaitu hukuman rajam karena biasanya keihshanan seseorang cukup menjauhkannya dari pemikiran tentang perbuatan zina. Akan tetapi kalau ia masih juga memikirkannya maka hal ini menunjukkan kekuatan birahi dan keinginan akan kelezatan, dan oleh karena itu maka harus dijatuhi hukuman yang berat, sehingga ketika ia menginginkan jarimah tersebut terbayang pula derita dan sengsara yang akan menimpa dirinya.
Akan tetapi apabila sudah kawin maka sudah tidak ada jalan bagi jarimah zina, sebab tali perkawinan itu sendiri bukanlah perkara abadi yang tidak boleh putus, sehingga oleh karena itu apabila perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi, maka suami bisa menceraikan istri.
2. Hukuman Qadzaf
Salah satu delik pidana dalam hukum pidana Islam, yaitu al Qadzfu. Qadzf secara harfiah berarti melemparkan sesuatu. Istilah qadzaf dalam hukum Islam adalah tuduhan terhadap seseorang bahwa tertuduh telah melakukan perbuatan zina.
Qadzaf atau fitnah merupakan suatu pelanggaran yang terjadi bila seseorang dengan bohong menuduh seorang muslim berzina atau meragukan silsilahnya. Ia merupakan kejahatan yang besar dalam Islam dan yang melakukan disebut pelanggar yang berdosa oleh Al-Qur’an. QS. 24/An-Nur: 4. Sanksi bagi yang menuduh orang banyak melakukan zina dengan berulang kali ucapan adalah hadd yang berulang kali pula sesuai dengan jumlah pengulangan ucapan yang ia lakukan, akan tetapi apakah sanksi bagi yang menuduh orang banyak (melakukan zina) dengan satu kali ucapan itu satu kali hadd atau berulang kali sesuai dengan jumlah orang yang dituduh.
Dalam Qawl Qadim, Imam Syafi’i berpendapat bahwa orang yang menuduh orang banyak (melakukan zina) dengan satu kali ucapan itu dihukum dengan satu kali hadd: karena perbuatannya sepadan dengan menuduh satu orang melakukan zina (dikatakan sekali ucapan). Sedangkan dengan menuduh satu orang melakukan zina (dikatakan sekali ucapan). Sedangkan dalam Qawl Jadid Imam Syafi’i berpendapat bahwa orang yang menuduh orang banyak (melakukan zina) dengan satu kali ucapan itu dihukum dengan berulang kali hadd sesuai dengan jumlah orang dengan dituduh, menuduh orang banyak dengan satu kali ucapan sepadan dengan menuduh orang banyak dengan berulang kali ucapan.
Jarimah qadzaf dikenakan hukuman pokok, yaitu jilid delapan puluh kali, dan hukuman tambahan, yaitu tidak menerima persaksian pembuatnya. Hukuman tersebut dijatuhkan apabila berisi kebohongan. Apabila berisi kebenaran maka tidak ada jarimah qadzaf.
Banyak faktor yang menimbulkan jarimah qadzaf, antara lain iri hati, dengki, balas dendam dan persaingan. Akan tetapi kesemuanya bertujuan satu, yakni menghina korban dan melukai hatinya. Dengan jarimah qadzaf pembuat bermaksud menimbulkan kejiwaan dan oleh karena itu maka harus diimbangi pula dengan derita badan yang ditanggung oleh pembuat jarimah, disamping derita kejiwaan pula yang harus diterimanya dari masyarakat, yakni dinyatakan hapus keadilannya dan oleh karena itu maka ia tidak bisa menjadi saksi, serta mendapatkan cap abadi orang fasik.
3. Hukum Minum Minuman Keras
Jarimah minum minuman keras dijatuhi hukuman delapan puluh jilid. Menurut Imam Syafi’I hukuman jarimah tersebut adalah empat puluh jilid sebagai hukuman had, sedang empat puluh jilid lainnya tidak termasuk hukuman had, melainkan sebagai hukuman ta’zir, artinya sebagai hukuman yang dijatuhkan apabila dipandang perlu oleh hakim.
Faktor yang mendorong seseorang untuk minum khamer ialah keinginannya untuk melupakan penderita jiwanya dan kenyataan hidupnya untuk menuju mendapatkan kebahagian khayalan yang ditimbulkan oleh lezatnya khamer. Faktor pendorong ialah yang diperangi oleh syariat dengan hukuman jilid yang selain menimbulkan derita kejiwaan juga menimbulkan derita badan.
4. Hukuman Pencurian
Pencurian adalah orang yang mengambil benda atau barang milik orang lain secara diam-diam untuk dimiliki.
Pencurian diancamkan hukuman potong tangan dan kaki, sesuai dengan firman Allah SW
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Al-Maidah 38)
Di kalangan fuqaha sudah sepakat bahwa didalam pengertian kata-kata “tangan” (yad) termasuk juga kaki. Apabila seseorang melakukan pencurian untuk pertama kalinya, maka tangan kanannya yang dipotong, dan apabila pencurian tersebut diulangi, maka kaki kirinya yang dipotong.
Seseorang yang mencuri ketika meniatkan perbuatannya maka sebenarnya ia menginginkan agar usahanya (kekayaannya) ditambah dengan kekayaan orang lain, dan ia meremehkan usaha-usaha halal. Ia tidak mencukupkan dengan hasil usahanya sendiri, melainkan mengharapkan usaha orang lain, agar dengan demikian ia bertambah daya nafkahnya atau tidak bersusah-susah bekerja atau dapat terjamin hari depannya. Dengan perkataan lain tambahnya usaha atau kekayaan itulah yang menjadi factor pendorong adanya pencurian. Sebagai imbangan dari factor tersebut Syariat Islam menetapkan hukuman potong tangan (dan kaki) karena terpotongnya tangan dan kaki sebagai alat kerja penyambung kerja yang utama yang mengurangi usaha dan kekayaan, serta mengakibatkan hari depannya terancam.
5. Hukuman Gangguan Keamanan
Terhadap gangguan keamanan (hirabah) dikenakan empat hukuman, yaitu hukuman mati biasa, hukuman mati dengan salib, hukuman dengan potong tangan dan kaki dan pengasingan.
§ Hukuman Mati
Hukuman ini dijatuhkan atas pengganggu keamanan (pembegal, penyamun) apabila ia melakukan pembunuhan. Hukuman tersebut hukuman had dan bukan hukuman qisas. Oleh karna itu maka hukuman tersebut tidak boleh dimaafkan. Naluri keinginan hidup sendiri merupakan pendorong bagi pembuat untuk melakukan jarimahnya itu. Kalau ia menyadari bahwa ketika ia membunuh orang lain, sebenarnya ia membunuh dirinya sendiri pula pada galibnya ia tidak akan meneruskan perbuatannya. Jadi faktor kejiwaan disini dilawan pula dengan factor kejiwaan agar ia menghindari jarimah.

§ Hukuman Mati Disalib
Hukuman ini dijatuhkan apabila pengganggu keamanan melakukan pembunuhan serta merampas harta benda. Jadi hukuman tersebut dijatuhkan atas pembunuhan dan pencurian harta bersama-sama. Dimana pembunuhan tersebut merupakan jalan untuk memudahkan pencurian harta. Hukuman tersebut juga merupakan hukuman had yang tidak bisa dimaafkan.
Penjatuhan hukuman tidak beda dengan dasar penjatuhan hukuman mati. Akan tetapi karena harta benda disini menjadi pendorong bagi perbuatan jarimahnya maka hukuman harus diberatkan, sehingga apabila ia meniatkan jarimah-jarimah tersebut beserta hukumannya yang berat, maka ia akan mengurungkan niatnya.
§ Pemotongan Anggota Badan
Pemotongan tangan kanan pembuat dan kaki kirinya sekaligus, yakni tangan dan kaki berseling-seling. Jatuhan hukuman tersebut sama dengan penjatuhan hukuman pencurian. Akan tetapi jarimah ini biasanya dikerjakan dijalan-jalan umum yang jatuh dari keramaian, maka pengganggu keamanan pada galibnya yakin akan berhasilnya perbuatan yang dilakukannya dan akan keamanan dirinya. Keadaan demikian itulah yang menjadi penguat factor kejiwaan yang menjauhkannya. Oleh karena itu hukuman harus diperberat agar kedua factor tersebut dapat seimbang.
Hukuman gangguan keamanan disini sama dengan hukuman pencurian dua kali, dan pelipatan disini adalah adil, karena bahaya gangguan keamanan tidak kalah dengan bahayanya pencurian biasa dan karena kesempatan untuk meloloskan diri lebih banyak daripada kesempatan dalam pencurian biasa.
§ Pengasingan
Hukuman ini dijatuhkan apabila pengganggu keamanan hanya menakut-nakuti orang yang berlalu lintas, tetapi tidak mengambil harta dan tidak pula membunuh. Boleh jadi perbuatannya ia maksudkan mencari ketenaran nama diri oleh karna itu maka ia harus diasingkan, sebagai salah satu cara untuk mengurangi ketenarannya. Boleh jadi dengan perbuatannya tersebut pengganggu keamanan bermaksud meniadakan keamanan dijalan-jalan umum sebagai bagian dari negri, dan oleh karna itu maka ia akan dihukum dengan meniadakan keamanan diri nya dari semua bagian negri. Baik alasan itu tepat atau tidak, namun yang jelas ialah bahwa factor kejiwaan ditandingi pula dengan factor kejiwaan yang lain.
6. Hukuman Jarimah Murtad dan Pemberontakan
Perbuatan murtad diancam dengan dua hukuman, yaitu hukuman mati sebagai hukuman pokok dan dirampas harta bendanya sebagai hukuman tambahan.
§ Hukuman Mati
Syariat Islam menghukum perbuatan murtad, karena perbuatan tersebut ditujukan terhadap agama Islam sebagai system social bagi masyarakat Islam. Ketidak-tegasan dalam menghukum jarimah tersebut akan berakibat goncangnya system tersebut. Dan oleh karena itu pembuatnya perlu ditumpas sama sekali untuk melindungi masyarakat dan sitem kehidupannya, dan agar menjadi alat pencegahan umum. Sudah barang tentu hanya hukuman mati saja yang bisa mencapai tujuan tersebut.
Kebanyakan Negara-negara didunia pada masa sekarang dalam melindungi system masyarakatnya memakai hukuman berat yaitu hukuman mati. Yang dijatuhkan terhadap orang yang menyeleweng dari system tersebut atau berusaha merobohkannya.
§ Perampasan Harta
Perampasan harta merupakan hukuman tambahan, menurut Imam-imam Malik dan Syafi’I dan pendapat yang kuat dalam madzhab Hambali, semua harta orang dirampas. Menurut imam Abu Hanifah dan pendapat yang tidak kuat dalam madzhab Hambali, hanya harta yang diperolehnya sesudah murtad itu saja yang dirampas, sedang harta yang diperoleh sebelum murtad diberikan kepada keluarga ahli waris yang beragama Islam.
§ Hukuman Pemberontakan
Hukuman pemberontakan ialah hukuman mati. Syariat mengambil tindakan keras terhadap jarimah pemberontakan, karena apabila tidak demikian maka akan timbul fitnah, kekacauan serta ketidak-tenangan dan pada akhirnya akan mengakibatkan kekacauan masyarakat dan kemundurannya. Tindakan keras tersebut tidak lain adalah hukuman mati. Pada masa sekarang hampir seluruh dunia menjatuhkan hukuman mati terhadap pemberontakan.
 Hukuman Jarimah Qishash-Diyat

Qisas-diyat ada lima yaitu pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan tidak sengaja, penganiayaan sengaja dan penganiayaan tidak sengaja. Hukum-hukum yang diancamkan terhadap jarimah-jarimah tersebut ialah qisas, diyat, kifarat, hilangnya hak mewaris, dan hak hilangnya menerima wasiat. Hukuman-hukuman tersebut akan dibicarakan satu-persatu.
1. Qishash
Pengertian qisas adalah agar pembuat jarimah dijatuhi hukuman setimpal dengan perbuatannya, jadi dibunuh kalau ia membunuh, atau dianiaaya kalau ia menganiaaya. Hukuman qisas dijatuhkan atas pembunuhan sengaja dan penganiaayan sengaja.
§ Qisas pada Hukum Positif
Hukum positif juga mengenal hukuman qisas. Akan tetapi hanya ditetapkan untuk jarimah pembunuhan saja yang dihukum dengan hukuman mati, sedang terhadap jarimah penganiayaan tidak dijatuhi hukuman qisas, melainkan dicukupkan dengan hukuman denda dan hukuman kawalan atau dengan salah satu hukuman tersebut.
§ Pengampunan si Korban
Korban atau walinya diberi wewenang untuk mengampuni qisas, baik dengan imbangan diyat atau tidak memakai imbangan sama sekali. Akan tetapi untuk hapusnya hukuman qisas penguasa masih mempunyai hak untuk menjatuhkan hukuman ta’zir yang sesuai.
2. Diyat
Diyat adalah hukuman pokok bagi pembunuhan dan penganiayaan semi sengaja dan tidak sengaja. Meskipun bersifat hukuman, namun diyat merupakan harta yang diberikan kepada korban, bukan kepada perbendaharaan Negara. Dari segi ini diyat lebih mirip dengan ganti kerugian apa lagi besarnya dapat berbeda-beda menurut perbedaan kerugian material yang terjadi dan menurut perbedaan kesengajaan atau tidaknya terhadap jarimah.
§ Antara Pembunuhan Sengaja dengan Pembunuhan Semi-Sengaja
Syariat Islam mengadakan pemisahan antara hukuman pembunuhan sengaja dengan hukuman pembunuhan semi sengaja, dimana untuk perbuatan pertama dikenakan hukuman qisas dan untuk perbuatan kedua dikenakan hukuman diyat berat. Perbedaan ini disebabkan karena pada pembunuhan sengaja pembuat meniatkan matinya korban sedang pada pembunuhan semi sengaja ia meniatkan demikian.
§ Antara Jarimah-jarimah Sengaja dengan Jarimah-jarimah Tidak Sengaja
Pada Jarimah-jarimah sengaja, pembuat mensengajakan dan melaksanakannya, agar dengan demikian ia bisa mewujudkan kepentingan-kepentingan moral atau material bagi dirinya sendiri atau bagi orang lain. Akan tetapi pada jarimah-jarimah tidak sengaja pembuat tidak menyegajakan jarimah atau memikirkannya serta tidak ada factor yang mendorong untuk memperbuatnya.
§ Siapa Yang Menanggung Diyat
Pada umumnya para fuqaha sudah sepakat pendapatnya untuk mengikut-sertakan keluarga pembuat yang disebut “Aqilah” dalam pembayaran diyat. Yang dimaksud dengan keluarga adalah sanak-saudara yang datang dari pihak ayah. Keluaga yang jauh dikutsertakan karena mereka jugavbisa menjadi ahli waris kalu keluarga yang dekat tidak ada, tanpa disyaratkan menjadi ahli waris yang nyata.
§ Alasan Kelurga Menanggung Diyat
ü Kalau kita hanya memegangi prinsip “seseorang hanya menanggung dosanya sendiri”. Maka akibatnya ialah bahwa sesuatu hukuman hanya dapat dikenakan terhadap pembuat jarimah yang kaya saja, sedang jumlah mereka lebih sedikit, dan tidak bisa dikenakan terhadap pembuat jarimah yang miskin, sedang jumlah mereka lebih besar.
ü Meskipun diyat merupakan hukuman namun ia menjadi hak kebendaan bagi korban atau walinya. Kalau pembuat saja yang membyarnya, maka kebanyakan korban atau walinya tidak akan dapat menerimanya, karena biasanya kekayaan perseorangan lebih kecil dari pada jumlah diyat, yaitu 100 unta.
ü Keluarga hanya menanggung diyat dalam jarimah-jarimah tidak sengaja dan dalam jarimah semi sengaja yang dapat dipersamakan dengan jarimah tidak sengaja.
ü Kehidupan keluarga dan masyarakat menurut tabiatnya ditegakkan atas dasar tolong-menolong dan kerja sama.
ü Keharusan memelihara jiwa seseorang dan tidak boleh menyia-nyiakan, sedang diyat ditetapkan sebagai pengganti dan memelihara jiwa.
§ System Keluarga Pada Masa Sekarang
System pembayaran diyat oleh keluarga, meskipun dapat menjamin terwujudnya keadilan dan persamaan antara pembuat-pembuat jarimah dan korban-korbannya, namun system tersebut adalah adanya keluarga. Sudah barang tentu keluarga dalam arti tersebut hampir tidak terdapat lagi pada masa sekarang.
3. Pencabutan Hak-mewaris
Pencabutan hak mewaris merupakan hukuman tambahan bagi jarimah pembunuhan, selain hukuman pokok yaitu hukuman mati, apabila antara orang yang membunuh dengan korbannya ada hubungan keluarga.
4. Pencabutan Hak Menerima wasiat
Pencabutan hak menerima wasiat merupakan hukuman tambahan, disamping hukumannya yang pokok.
v Hukuman Kifarat
Adalah membebaskan seseorang hamba mu’min, merupakan hukuman pokok. Kalau tidak bisa mendapatkan hamba tersebut atau tidak bisa memperoleh uang harganya, maka orang wajib berkifarat diwajibkan berpuasa dua bulan, berturut-turut jadi puasa merupakan hukuman pengganti yang tidak akan terdapat kecuali apabila hukuman pokok tidak bisa dijalankan.

 Hukumn Ta’zir
Jenis-jenis hukuman ta’zir adalah:
1) Hukuman mati.
2) Hukuman jilid.
3) Hukuman tahanan / kawalan.
4) Hukuman pengasingan (At-Taghrib wa Al-Ib’ad).
5) Hukuman salib.
6) Hukuman pengucilan (Al-Hajr).
7) Hukuman ancaman (Tahdid), teguran (Tanbih), dan peringatan.
8) Hukuman denda (Al-Gharamah).
9) Hukuman-hukuman lain yang sifatnya spesifik dan tidak bisa diterapkan pada setiap jarimah ta’zir, di antara hukuman tersebut adalah pemecatan dari jabatan atau pekerjaan, pencabutan hak-hak tertentu, perampasan alat-alat yang digunakan untuk melakukan jarimah, penayangan gambar penjahat di muka umum, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Imam Aby Al-Husaini Muslim Ibn Al-Hajj Al-Qusaiy An-Naisabury. Shahih Muslim. Juz 3
Ali, Prof. Dr. H. Zainuddin, MA, Hukum Pidana Islam
‘Audah, Abdul Qadir. Tanpa tahun. At-Tasyri’ Al-Jina’iy Al-Islamy. Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Araby.
Djazuli, H. A., Prof, Drs. 1997. Fiqh Jinayah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Furqan, H. Arif, dkk. 2002. Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum. Jakarta: Departemen Agama RI, Direktorat Jenral Kelembagaan Agama Islam.
Hanafi, Ahmad. 1990. Asas-Asas Hukum Pidana Islam Cet. 4. Jakarta: Bulan Bintang.
Kumpulan Hadis Riwayat Bukhary dan Muslim. 2002.
Munajat, Makhrus, M. Hum, Drs. 2004. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Jogjakarta: Logung Pustaka
Rahman I Doi, Prof. Abdur. 1992. Tindak Pidana Dalam Syariat Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta
Wardi Muslich, Ahmad, Drs, H. 2004. Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafik.
C.  Tujuan Hukum Islam
           1. Memahami Tujuan Hukum Islam
         Tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan atau menciptakan kemaslahatan hidup bagi seluruh umat manusia di muka bumi ini, menegakkan keadilan dan mendidik. Berikut ini akan diuraikan beberapa hal mengenai Hukum Islam:
a)      Primer
Tujuan primer hukum Islam adalah tujuan hukum yang mesti ada, yang  hanya bisa dicapai bila terpeliharanya lima tujuan hukum Islam yang disebut al-dlaruriyyat al-khams atau al-kulliyaat al-khams atau sering juga disebut maqasid al-syariah yaitu lima tujuan utama hukum Islam yang disepakati bukan saja oleh ulama Islam melainkan oleh keseluruhan agamawan. Kelima tujuan utama ialah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan/kehormatan dan harta.[2]

b) Sekunder

Tujuan hukum Islam sekunder adalah terpeliharanya tujuan kehidupan manusia yang terdiri atas berbagai kebutuhan sekunder hidup manusia itu. Kebutuhan hidup sekunder itu bila tidak terpenuhi atau terpelihara akan menimbulkan kesempitan yang mengakibatkan kesulitan hidup manusia. Namun demikian kesempitan hidup tersebut tidak akan mengakibatkan kerusakan hidup manusia secara umum. Kebutuhan hidup yang bersifat sekunder itu terdapat dalam ibadat, adat, muamalat dan jinnayat.[3]

c) Tertier

Tujuan tertier Hukum Islam ialah tujuan yang ditujukan untuk menyempurnakan hidup manusia dengan cara melaksanakan apa-apa yang baik yang paling layak menurut kebiasaan dan menghindari hal-hal yang tercela menurut akal sehat. Pencapaian tujuan tertier Hukum Islam ini biasanya terdapat dalam bentuk budi pekerti yang mulia atau al-akhlaq al-karimah. Budi pekerti atau akhlak mulia ini mencakup etika hukum, baik etika hukum ibadah, muamalah dan adat yang baik.[4]

 Imam as-Suddiy mengartikan tujuan Hukum Islam dengan kata maqashid dan al-syariah.[5] Kata maqashid adalah kata yang berasal dari kata kerja dalam bentuk fii'l tsulasi yaitu kata ق ص د، يقصد، قصدا, kalimat ini seringkali dipergunakan dengan makna yang berbeda. Di antara makna tersebut adalah :
           al- I'timad wa al- I'tisham  الإعتماد والإعتصام، وطلب الشئى
            Adil dan moderat, atau tidak berpihak pada satu sisi, sebagaimana firman Allah ta’ala  ومنهم مقتصد, sedangkan kata al-syir'ah menurut bahasa Arab artinya adalah masyra'at al-maa' (sumber air), yakni maurid al-syaaribah allatiy yasyra'uhaa al-naas, fa yasyrabuuna minhaa wa yastaquuna (sumber air minum yang dibuka oleh manusia, kemudian mereka minum dari tempat itu, dan menghilangkan dahaga).[6]Al-Raaziy di dalam Kamus Mukhtaar al-Shihaah menyatakan bahwa Lafadz al-Syari'ah bermakna masyra'at al-maa' (maurid al-syaaribah: sumber air)[7] Mahmud Syaltut mendefinisikan al-Syarii'ah dengan aturan-aturan (system) yang Allah telah syariatkan, atau mensyariatkan pokok dari aturan-aturan tersebut, agar manusia mengadopsi aturan-aturan tersebut untuk mengatur hubungan dirinya dengan Tuhannya, dan hubungan dirinya dengan saudaranya yang Muslim dan saudara kemanusiaannya (non Muslim), dan hubungan dirinya dengan alam semesta dan kehidupan".[8] Pengertian ini tentu lebih ke arah pengertian secara istilah. 
Kehadiran hukuman qishash, pada hakekatnya bukan balas-membalas perbuatan baik (jahat) dibalas dengan baik (jahat)“. Dalam al-Qur’an kata syariah digunakan dalam arti “agama sebagai jalan lurus yang ditetapkan Allah untuk diikuti oleh manusia agar memperoleh keselamatan”. Beberapa ahli tafsir al-Qur’an klasik seperti Mujahid (104 H/722 M) menafsirkan kata-kata “al-syari’ah” dan “al-syir’ah” sebagai “agama” (al-din). Namun di lain pihak terdapat pula pendapat yang membedakan syari’ah dengan “al-din” (agama). Syari’ah merujuk kepada aspek–aspek hukum dari agama, sementara “al-din” merupakan aspek aqidah dari agama. Qatadah (118 H/736 M).
            Ahli tafsir lainnya, dilaporkan dalam konteks penafsiran al-Maidah (5): 48 menyatakan bahwa agama (yang dibawa oleh semua Nabi) itu satu, tetapi syari’ah-nya berbeda. Maksudnya adalah inti ajaran agama semua Nabi yaitu ajaran tauhid adalah sama.[9] Yang berbeda adalah ketentuan-ketentuan hukum dalam masing-masing agama Nabi tersebut. Sejalan dengan Qatadah adalah Abu Hanifah (150 H/820 M) yang membedakan antara syari’ah dan din di mana syari’ah merupakan kewajiban agama yang harus dijalankan, sedangkan “al-din” adalah pokok-pokok keimanan seperti kepercayaan kepada Allah kepada hari kiamat dan lainnya. Para majikan merasa berhak untuk menghukum bawahan-bawahan mereka sekehendak hati mereka. Polisi dan aparat pengadilan adalah petugas-petugas yang melakukan hukuman atas mereka.. Secara singkat kita akan mencatat perbedaan pandangan tersebut adalah: Pandangan yang pro terhadap hukuman fisik, sebagian pakar pendidikan menganggap hukuman untuk anak-anak dan remaja masih diperlukan dan masih bisa diandalkan,[10]      
           Posisi Islam, pada konpergensi, mengabungkan antara pro dan kontra, tapi tidak sekedar  gabungan, bahkan bersikap moderat (wasathan) berkaitan dengan fitrah manusia. Aristoteles  yang pro dengan hukuman fisik, mengatakan, "Rasa takut akan hukuman itu lebih efektif (untuk membina manusia-penerj.) dari ajakan-ajakan untuk berbuat baik. Dan ini diakui oleh orang-orang yang suka menggunakan nalarnya. Orang yang membuat peraturan berkewajiban mengajak manusia pada hal-hal yang utama dan juga memberikan hukuman kepada orang-orang yang suka melanggar." Powelson mengatakan, "Tanpa rasa takut alias rasa hormat atas wacana hukuman maka pendidikan tidak akan berjalan efektif." Karena pendidikan adalah pembiasaan dan pemaksaan adalah termasuk salah satu cara didalamnya.
       2. Sekilas Rahasia Hukum Islam
           Sekilas meninjau rahasia-rahasia Hukum Islam sering disebut sebagai “Asrarul Ahkam” dan ada juga yang menyebutkan Asrarut Tasyri’ atau Asrarus Syari’ah, tentang Asrarul Ahkam merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari falsafah hukum islam. Bahkan Addahlawi menyebutkan bahwa ilmu yang paling tinggi martabatnya adalah ilmu-ilmu syari’ah yang membahas rahasia agama yang menerangkan hikmah-hikmah hukum.        
          Sebenarnya ada rahasia perintah shalat sejak dini adalah untuk mendidik anak usia dini dan boleh dipukul jika sudah berumur sepuluh tahun masih lalai dalam beribadah, supaya menjadi kebiasaannya, hikmahnya si anak tidak akan meninggalkannya (kemudian hari). Imam Azra’iy membahas tentang budak/hamba sahaya kafir yang mengucapkan dua kalimat syahadah bahwa disunatkan memerintahkan kepadanya shalat dan puasa dengan mengajaknya melakukannya shalat dan puasa tanpa memukul. Tujuannya agar ia terbiasa dengan kebaikan saat baligh nanti, sekalipun hukum ini bertentangan dengan maksud hukum dari perintah Rasulullah. Demikian Imam Azra’iy.[11] 

            Kewajiban ayah, ibu mendisiplinkan mumaiyiz yang telah sempurna umurnya sepuluh tahun boleh dipukul, tapi tidak melukai karena meninggalkan shalat walaupun shalat qadha’ atau karena meninggalkan sebuah syarat dari shalat. Kewajiban memukul ini berdasarkan Hadits Shahih, bahwa apabila ia telah berusia sepeuluh tahun. Anak yang sanggup mengerjakan puasa diperintahkan oleh orangtuanya saat berusia tujuh tahun. Anak adalah pembela orang tuanya di dunia dan di akhirat,  akan terwujud  jika diikuti dengan cara menurut ajaran Islam dan menumbuhkan akhlak  mulia. Anak  yang sering berbuat nakal, bagaimana menasehatinya, dan bagaimana  bertindak bijaksana.




             [1] A. Rahman Ritonga,
                [2]Abdul Wahab Khalaf, Khulastut Tarikh Tasyri’ al-Islami. Dalam H. Roibin, Penetapan Hukum Islam dalam lintas Sejarah, Malang, UIN-Maliki Press, 2010, hlm. 31
              [3] Ibid
              [4] Ibid, hlm 32
              [5] Hasbi Ashiddieqy, Falaasafah Hukum Islam, (Bulan Bintang : Jakarta, 1975), 380 Asrarul Ahkam” dan ada  juga yang menyebutkan Asrarut Tasyri‟ atau Asrarus Syari‟ah, tentang Asrarul Ahkam merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari falsafah Hukum Islam. Lihat juga Ash-Shabuni, Muhammad Ali, Rawâi’ul Bayân fi Tafsîr Ayat al-Ahkâm min al-Qurân, (Mekah: Dâr al-Qur’an, 1972), hlm 265

 [6] Hamzah, Muchotob, Studi Al-Qur'an Komprehensif. (Gama Media, Yogyakarta:2003),hal 118.Bandingkan Jalaludin as-Suyuthi, al-Itqon, juz II Muhammad bin Alwi al-Maliki, Zubdatul Itqan fi ulumil Quran.   Lihat juga Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-'Arab, juz 8, hal. 175
  [7]  Imam al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, juz 1, hal. 161
             [8] Syaikh Mahmud Syaltut, Al-Islaam, 'Aqiidah wa Syarii'ah, hal. 12
             [9]Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim Jilid 6/423] cet.2 Dar Thaibah) tth ,hlm 423 menafsirkan ayat itu,  bersifat umum mencakup segala permasalahan. Yaitu apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan hukum atas suatu perkara, maka tidak boleh bagi seorang pun untuk menyelisihinya dan tidak ada lagi alternatif lain bagi siapapun dalam hal ini, tidak ada lagi pendapat atau ucapan -yang benar- selain itu.
             [10]Yusuf Qardhawi, Op.Cit, hal 151, kemudian Khoja Nashiruddin Thusi mengatakan, "Ajari ia (anak-anak) dengan keras agar tidak melakukan perbuatan buruk. Jangan sampai dari kecil sudah terbiasa melakukan perbuatan jelek.Mereka itu suka berdusta, memiliki sifat hasud, suka mencuri, suka mengadu domba, dan juga bandel, suka mencampuri urusan orang lain. Setelah memberikan pendidikan yang sangat keras maka didiklah agar mereka memiliki sikap sopan-santun. Jadi didiklah anak-anak sejak kecil dengan disiplin. Jangan lupa pula untuk memuji sikap-sikap yang baik darinya, waspadailah agar anak-anak tidak memiliki kebiasaan buruk karena seperti peribahasa Al-Insânu hârisun 'ala ma' muni'a (manusia itu penasaran dengan larangan). Manusia itu suka terhadap hal-hal yang menyenangkan dan tidak tahan dengan penderitaan. Seorang pendidik harus bisa membuat anak didiknya sadar dengan perbuatannya sehingga tidak berani lagi mengulangi perbuatan buruknya."
            [11]Zakiah Darajat, Ilmu Fiqih, jilid II. (Yogyakarta: Penerbit Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm 92

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook