Saturday, February 7, 2015

anak-anak telah menjadi salah satu masalah di Inggris. Sistem sosial yang rusak ditambah sistem pendidikan rusak



 KEJAHATAN ANAK-ANAK DI BARAT


M.RAKIB  MUBALLIGH  IKMI  RIAU  INDONESIA 2015    
        Kejahatan anak-anak telah menjadi salah satu masalah di Inggris. Sistem sosial yang rusak ditambah sistem pendidikan rusak seperti menyelipkan pendidikan seks di sekolah telah menggiring semakin menjamurnya kejahatan pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak-anak.
       Apa yang telah kita saksikan berupa kejahatan seksual yang dilakukan oleh anak-anak di Barat menunjukkan kerusakkan akibat tantanan sistem sosial dan sistem pendidikan seks yang telah diterapkan di masayakat Barat. Semua itu menunjukkan kegagalan sistem kapitalisme Barat untuk membangun peradaban yang benar.
       Sungguh sangat aneh, bila di negeri Muslim terbesar di dunia ini, mala para pemegang kebijakan mencoba memaksakan penerapan pendidikan seks melalui program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR). Padahal, kita telah menyaksikan kesehatan seks bukan menjadi solusi atas meningkatnya kehamilan yang tidak diinginkan. Justru sebaliknya, dari beberapa data, pergaulan bebas yang dilakukan oleh anak-anak remaja semakin meningkat.
Program KRR telah disisipkan di dalam mata pelajaran IPA – Biologi di tingkat SMP. Beberapa buku pelajaran IPA untuk kelas 3 SMP, dalam pembahasan Reproduksi, telah disisipkan pengetahuan tentang cara-cara Kontrasepsi. Bila mau jujur, kita bertanya-tanya untuk kepentingan apa sebenarnya pengetahuan kontrasepsi dan reproduksi vulgar tersebut diberikan kepada anak-anak seusia SMP? Bukankah usia mereka tidak diperkenankan untuk menikah, karena sistem yang ada telah memperlambat pernikahan pada usia dini?
Bukan hanya itu saja, disadari atau tidak, upaya perusakkan generasi muda juga telah disisipkan di dalam pembelajaran internet. Melalui mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), lagi-lagi usia SMP telah diajarkan bahasan internet. Hal tersebut menggiring anak-anak belia tersebut berselancar di dunia maya. Apa yang mereka lakukan, apakah untuk mencari informasi dan pendidikan. Hanya sedikit yang demikian. Fakta menunjukkan Indonesia termasuk negeri yang paling banyak mengakses situs-situs porno. Beberapa komputer yang disediakan di warnet pun dipenuhi dengan file-file yang merusak tersebut.
Upaya perusakkan generasi muda melalui tatanan sosial semakin nyata lagi. Tidak adanya kontrol dalam acara-acara televisi yang dipenuhi dengan adegan-adegan syahwat gentayangan di setiap rumah. Hal ini telah menggiring para remaja untuk berperilaku ala barat. Kini, diskotik telah masuk ke rumah-rumah kaum Muslim. Para remaja dan generasi Muda Muslim telah digiring untuk bergaul bebas tanpa aturan Islam. Beberapa perusahaan kapitalis telah memberikan sponsor untuk acara perusakkan generasi Muda Muslim tersebut.
Bila demikian yang terjadi, sungguh betapa besarnya tanggung jawab penguasa dan para pemegang kebijakan di negeri ini. Yakin, di akhirat kelak mereka semua akan dimintai pertanggungjawaban atas segala tindakan dan kebijakannya yang telah membiarkan rakyatnya bermaksiyat. Bukan hanya para pemegang kekuasaan yang telah membiarkan perusakkan generasi muda ini, tetapi semua pihak yang mendukung perusakkan generasi muda tersebut. Termasuk di dalamnya, para penyedia program televisi yang tak mendidik, para pembuat kurikulum pendidikan yang sekular, dan juga para sponsor yang telah memberikan biaya.
Bagi kaum Muslim, sudah saatnya kita menyadari bahwa semua terjadi akibat pemaksaan sistem kapitalisme sekularisme ke tengah-tengah kaum Muslim. Sementara Islam sebagai tatanan paripurna dari Maha Pencipta malah diinjak-injak oleh para penganutnya. Sudah saatnya, kaum Muslim bangkit termasuk generasi mudanya. Tinggalkan ide-ide rusak seperti kapitalisme, sekularisme, demokrasi dan liberalisme. Semua ide tersebut hanya layak disimpan di tong sampah. Saatnya kini, kita mengambil Islam sebagai satu-satunya aturan yang mampu membangung peradaban manusia dengan benar. Hal itu dapat terwujud di bawah naungan Khilafah Rasyidah. Insya Allah, tidak akan lama lagi segera berdiri. [m/h/mail/l6/syabab.com]
PERLINDUNGAN ANAK  MODEL KAPITALIS LIBERAL BARAT
JIKA DITERAPKAN DI INDONESIA (M.RAKIB MUBALLIGH IKMI RIAU INDONESIA.2015) HP 0823 9038 1888

A.Perlindungan anak Indonesia
             Hukuman fisik bagi anak-anak, yang  menjadi  dilema bagi guru, orang tua dan  anak-anak [1] itu sendiri, karena melanggar HAM dan UU RI No.23 tahun 2002. Sedangkan hukum Islam membolehkannya, dalam batas-batas tertentu, sejak 15 abad yang lalu. Kemudian Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor. 23 tahun 2002 Bab 54 secara tegas menyatakan bahwa, “guru dan siapapun lainnya di sekolah, dilarang memberikan hukuman fisik, kepada anak-anak.” [2] Hal yang lebih menguatkan lagi, Indonesia merupakan salah satu negara  anggota penandatanganan dari konvensi PBB untuk hak-hak Anak, disebutkan dalam artikel 37 yang mengharuskan negara menjamin bahwa: ”Tidak seorang anakpun boleh mendapatkan siksaan atau kekejaman lainnya, tindakan tidak manusiawi ataupun perlakuan yang merendahkan atau hukuman, karena itu diajukan tuntutan  sebagai berikut:

1.      Tuntutan penghapusan hukuman fisik

Russel menambahkan, "Hukuman fisik yang ringan memang tidak begitu berbahaya, tapi tetap saja tidak ada gunanya,[3] dalam pendidikan. Hukuman seperti itu baru efektif kalau bisa menyadarkan si anak. Sementara hukuman fisik seperti itu biasanya tidak bisa membuat jera.

2.      Hukuman fisik bermasalah

  Hukuman fisik itu membuat si anak merasa terpaksa memperbaiki diri dan bukan atas niatnya sendiri."Jawabannya bahwa anak-anak akan menyadari kekeliruannya melalui hukuman itu, dan kemudian dia akan lebih mengerti bahwa perbuatannya tidak disenangi orang lain,  karena ingin diterima oleh orang lain, ia  berusaha menyesuaikan keinginannya dengan keinginan orang lain, supaya bisa mendapatkan bantuan atau memperoleh apa yang diinginkannya dari orang lain. Dengan demikian, hukuman fisik yang ringan pun masih ada gunanya jika diberikan dengan kadar dan waktu yang tepat.
Hukuman fisik dilakukan dengan tujuan  menanamkan rasa takut kepada  anak, tapi  tidak pula membuat  anak seperti robot, harus mengikuti suatu perintah. Proses pendidikan yang kaku, sangat membahayakan perkembangan jiwa  anak, karena akan melahirkan anak-anak yang bermental budak yang harus tunduk terhadap segala perintah. Tentunya hukuman itu harus ringan dan mengena kepada sasaran.[4]

 3.Batasan perlindungan terhadap hukuman fisik
         
             Ruang lingkup dan batasan, kewenangan negara dalam memberikan perlindungan terhadap anak-anak ialah:
1. Perlindungan yang bersifat yuridis meliputi , bidang hukum publik  dan juga bidang hukum perdata.
2. Perlindungan yang brsifat non yuridis, terdiri dari bidang sosial, dan juga bidang kesehatan dan bidang pendidikan.
              Pengertian perlindungan  anak menurut para sarjana :
1.  Arif  Gosita, perlindungan anak suatu usaha melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajiban.
2. Abdul Hakim Garuda Nusantara, masalah perlindungan   hukum   bagi   anak  me-rupakan satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia, tidak saja pendekatan yuridis, tapi perlu pendekatan lebih luas , ekonomi, sosial dan budaya.
Perlindungan Anak dapat dirumuskan :
1. Suatu perwujudan adanya keadilan dalam masyarakat, merupakan dasar utama perlindungan anak.
2. Suatu usaha bersama untuk melindungi anak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya secara manusiawi dan positif
3.
Secara dimensional perlindungan anak beraspek mental.
              Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perlindungan anak:
1. Ruang lingkup perlindungan meliputi, perlindungan pokok antara lain, sandang, pangan , pemukinan, pendidikan  kesehatan dan hukum,  jasmaniah dan rohaniah, keperluan primer dan sekunder.[5]
2. Jaminan pelaksanaan perlindungan, hendaknya dituangkan dalam suatu peraturan yang tertulis baik dalam bentuk undang-undang atau perda, yang perumusannya sederhana teapi dapat dipertanggungjawabkan serta disebarluaskan secara merata dalam masyarakat. Kemudian pengaturannya harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi di Indonesia. Hak dan kewajiban orang tua,[6] menurut UU No. 1 Tahun 1974:
1. Memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
2.Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka
3.Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya manakala sudah tua.
4.Anak yang belum dewasa berada di bawah kekuasaan orang tua kecuali sudah melangsungkan perkawinan.
5.Orang tua mewakili anak di bawah umur dan belum pernah kawin mengenai segala perbutaan hukum.
6.Orang tua tidak boleh memindahkan hak /menggadaikan benda yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun. Perlu juga diperhatikah hak perdata bagi anak.

4. Kepidanaan dan  keperdataan anak-anak:
    4.1. Hak dan kewajiban anak, orang tua, dan pemerintah  terhadap anak-anak.
    4.2. Pemberian Identitas anak dengan pencatatan kelahirannya;
    4.3. Pencabutan kekuasaan terhadap orang tua atau kuasa asuh yang lalai.[7]
    4.4. Pengasuhan dan pengangkatan anak serta perwalian.
    4.5. Perlindungan Anak dalam beragama, kesehatan, pendidikan dan sosial Anak.
           Perlindungan anak dalam perkara pidana,[8] dikategorikan sebagai perlindungan khusus yang membutuhkan perlakuan khusus dalam penanganan perkaranya. Sedangkan masalah perlindungan anak adopsi:
1. Adopsi  adalah suatu perbuatan pegambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang yang memungut anak dengan anak yang diangkat timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.
2 . Menurut UU No 23 Tahun 2002 ( UU Perlindungan Anak ) Pasal 1 ayat 9 anak angkat adalah anak yang  haknya dialihkan dari lingkungan kekeuasaan orang tua wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan .
5. Anak-anak menjadi korban yang kekerasan
           Korban kekerasan dalam rumah tangga,  berhak melapor kepada polisi, apabila si anak tidak dapat melapor, maka orang lain dalam rumah tangga si anak, bahkan orang lain yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya kekerasan di sekolah atau dalam rumah tangga, wajib melindungi si anak. Perlindungan Undang-Undang Kekerasan dalam rumah tangga yang diberikan kepada anak yang menjadi korban  di   sekolah, [9] dan  dalam rumah tangga,  antara  lain:
a. Perlindungan dari keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan advokat, lembaga sosial atau pihak lainnya maupun perlindungan yang didapatkan berdasar penetapan pengadilan
b.  Pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan korban secara medis
c.  Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
d.  Didampingi oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan
e. Pelayanan bimbingan rohani

B.  Urgensi  Undang-Undang  Nomor 23 Tahun 2002

1. Menjamin, terpenuhinya hak-hak anak        
           UU Nomor 23 Tahun 2002 ini dapat dengan jelas dilihat dalam pasal 3  bahwa perlindungan anak, bertujuan untuk menjamin, terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
            Terkait dengan tujuan tersebut, selanjutnya UU ini mengatur lebih lanjut dalam pasal-pasal lain. Dalam hal menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, UU ini mengatur hak tesebut dalam BAB III pasal 4 (Hak dan Kewajiban Anak). Selanjutnya UU ini juga mengatur hak anak untuk mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi dalam pasal 13.  Khusus dalam partisipasi mereka dalam proses pembangunan.
2.Setiap anak harus didengar pendapatnya.
           Undang-Undang ini secara tegas mengakui hak anak untuk menyatakan pendapatnya. Termuat dalam Pasal 10 yang berbunyi “Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.”[10] Dan pada pasal 24 yang  menyataakan: “Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.”
            Pentingnya pemberian perlindungan hukum bagi anak, baru disadari pemerintah pada  tahun 1997 dengan lahirnya Surat Keputusan Menteri Sosial RI No: 81/huk/1997 tentang Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak. Namun dengan persiapan yang sangat lama tersebut, menjadikan kebijakan yang diambil terkesan sangat lambat dan terlalu birokratis. Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia, merupakan potensi dari penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki ciri dan sifat khusus memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembngan fisik, mental sosial secara utuh, serasi,selaras dan seimbang.



              [1]  Djauhari, Seminar Nasional,  Dilema Guru Dalam Proses Pendidikan, 6 Oktober  , 2011. Di antara saran yang paling mengemuka ialah mengoptimalkan Lembaga Bantuan Hukum guna pendampingan kepengacaraan apabila ada anggota guru yang terkena jerat hukum. 4.      Segera diadakan amandemen/perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002 khususnya terkait sanksi bagi guru yang dianggap melakukan kekerasan terhadap anak didik. Terkait perlindungan anak dengan berlakunya UU Nomor 23 Tahun 2002 membuat para guru gelisah, tidak nyaman, dan tidak berdaya dalam melakukan pembelaan terkait suatu tindakan guru terhadap anak didik yang dapat dikategorikan sebagai tindakan kekerasan.sebagaimana yang diatur dalam Pasal 80 – 82, memberi ancaman pidana paling rendah selama 3 (tiga) tahun dan paling tinggi 15 (lima belas) tahun dan denda paling rendah Rp.60.000.000,– (enam puluh juta rupiah) dan paling tinggi Rp.300.000.000,– (tiga ratus juta rupiah).
              [2] Jean Soto menulis, "Semua penderitaan manusia, ketidakadilan, dan sebagainya berakar dari hukuman-hukuman dan kekerasan-kekerasan yang diterima oleh anak-anak dari orangtua mereka. Karena itu hukuman-hukuman itu harus dihapus sama sekali agar penderitaan umat manusia ini bisa sirna." Tetapi argumentasi beliau ini bisa dijawab dengan; pertama-tama , itu hanyalah klaim dan belum tentu bisa dibuktikan secara ilmiah. Yang kedua , seandainya kita terima pernyataan seperti itu bahwa penderitaan manusia itu berakar dari hukuman-hukuman keras yang diterima dari orangtuanya, maka akarnya adalah terlalu kerasnya hukuman tersebut dan bukan hukuman itu. Hukuman ekstrim itulah yang menjadi sumber penderitaan umat manusia. Lihat juga Khalid Bin Ali Al-Musyaiqih, op.cit.,121
             [3] Joan Durant yang merupakan kepala peneliti dan rekannya Ron Ensom dari Children's Hospital of Eastern Ontario di Ottawa, mengatakan bahwa hukuman fisik akan membuat anak menjadi agresif dan anti sosial, selain itu juga menyebabkan gangguan kognitif dan gangguan pertumbuhan. Penelitian terbaru juga memperlihatkan bahwa hukuman fisik akan mengurangi materi abu-abu pada otak, yang berkaitan dengan intelijen atau IQ. "Hukuman fisik pada anak tidak hanya akan mengakibatkan sikap agresif pada anak, hal ini juga bisa membuat anak mengalami banyak kesulitan, misalnya saja depresi dan penggunaan narkoba," ujar Durant. "Tidak ada penelitian yang menunjukkan hasil positif jangka panjang dari hukuman fisik," tambahnya. Hukuman fisik sudah tidak boleh diterapkan di 32 negara, tetapi masih banyak orang tua yang mempertahankan hukuman ini. Harapan Joan Durant dari penelitian ini, para orang tua tidak hanya melihat hukuman fisik sebagai hal mereka, tetapi melihat efek buruk dari perspektif medis yang akan diderita anak dalam waktu yang sangat lama. Terkait dengan tindak kekerasan guru terhadap siswa, data KPAI melalui hot line service dan pengaduan ke KPAI memperlihatkan angka kenaikan, pada tahun 2007 dilaporkan 555 kasus kekerasan pada anak, 18 % dilakukan oleh guru, sementara pada tahun 2008 terjadi 806 kekerasan anak yang dilaporkan, 39 % dilakukan oleh guru (Kompas 6-3-2009)..

            [4] Ibid, 78. Bandingkan dengan Van S. Lambroso dengan teori Lambroso, yang menyebutkan sebab-sebab kejahatan seorang hanya dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk fisik dan psikis serta ciri, sifat dari tubuh seseorang. Sebab-sebab kejahatan menjadi faktor utama dalam proses terbentuknya tindak pidana baik secara langsung maupun tidak langsung.Untuk mencari faktor yang lebih esensial dari bentuk tindak pidana/ kejahatan yang dilakukan secara sempurna kedudukan ini dapat diartikan dengan faktor kejahatan yang timbul secara ekstern (faktor luar) maupun intern (faktor dalam) dari pelaku tindak pidana kejahatan seseorang. Secara implisit berbagai faktor dapat dijadikan sebagai sistem untuk merumuskan kejahatan pada umumnya ataupun kejahatan anak pada khususnya. Berbeda dengan seseorang anak dalam melakukan kejahatan, tampak bahwa faktor-faktor apapun yang di dapat pada diri anak yang jelas semuanya tidak terstruktur maupun disikapi terlebih dahulu. Masyarakat yang baik di masa yang akan mendatang bergantung dan diawali pada perilaku anak-anak sekarang sebagai generasi penerus. Anak-anak yang baik dalam berperilaku sangat menunjang terbentuknya sistem sosial masyarakat. Oleh karena itu permasalahan perilaku jahat anak-anak perlu segera mendapat ekstra perhatian demi terbentuknya sistem sosial masyarakat yang baik.

             [5] Merekai yang  pro dengan hukuman fisk dalam pendidikan, sebagian pakar menerima hukuman sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan, tapi tidak secara mutlak. Hukuman adalah instrumen sekunder dan diberikan dalam kondisi serta syarat tertentu. Jadi, menurut mereka, kalau guru atau orangtua masih bisa menangani anak didiknya dengan nasihat-nasihat atau dengan penjelasan rasional, maka tidak perlu lagi memberikan hukuman. Hukuman itu boleh diberikan setelah nasihat-nasihat verbal atau apa saja tidak lagi dapat mengusik kesadarannya. Dalam kaitan ini, Russel menulis, "Saya sendiri secara pribadi ingin mengatakan bahwa hukuman dalam proses pendidikan sangat tidak berarti, bahkan mungkin hanya masuk sebagai alternatif kedua."John Locke menulis, "Benar bahwa hukuman fisik kadang-kadang diperlukan. Lihat juga TM.Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Islam Dan Hak Asasi Manusia, , (Semarang,  Pustaka Rizki Putra  : 1997), 12
            [6]  Pasal 41 huruf a UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), yang berbunyi, Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan. Selanjutnya, Pasal 45 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan, Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
          [7] Tidak seorangpun menginginkan terjadinya tindak kekerasan, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara damai dan edukatif. Namun kenyataannya masih banyak, bahkan hampir semua sekolah/madrasah belum dapat memberikan hak anak, bahkan melakukan kekerasan terhadap anak. Tanpa disadari hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap Undang-undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan  Deklarasi PBB tentang hak-hak anak. Hukuman secara fisik dan emosional dari guru terhadap murid merupakan hal yang lumrah terjadi di dalam sistem pendidikan di Indonesia. Banyak guru biasa mencubit, memukul anak-anak bahkan menghina mereka, baik di sekolah-sekolah negeri maupun sekolah yang berbasis keagamaan. Kadang guru tidak menyadari bahwa hal ini sebetulnya terlarang dalam hukum Indonesia. Undang-undang Perlindungan Anak No. 23, bab 54 secara tegas menyatakan bahwa guru dan siapapun lainnya di sekolah dilarang untuk memberikan hukuman fisik kepada anak-anak. Terlebih lagi Indonesia merupakan salah satu penanda tanganan dari konversi PBB untuk Hak-hak Anak, disebutkan dalam artikel 37 yang mengharuskan negara menjamin bahwa: ”Tak seorang anakpun boleh mendapatkan siksaan atau kekejaman lainnya, tindakan tidak manusiawi ataupun perlakuan yang merendahkan atau hukuman”. Meski demikian, tampaknya undang-undang tersebut belum dipahami oleh kebanyakan pelaku pendidikan, hal ini sebagaimana laporan penelitian  Nur Hidayati, dari penelitian lapangan terhadap 8 Madrasah Ibtidaiyah ditemukan bahwa hukuman jasmani lumrah terjadi di semua madrasah yang dituju, dengan kisaran antara 50% - 80%, anak-anak melaporkan bahwa mereka pernah mengalami hal ini dari guru-guru mereka secara rutin.
              [8] :
             [9] Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan rasa prihatin masih banyaknya kasus-kasus kekerasan di sekolah, termasuk kekerasan Mauro Billy Fiesandy (9), siswa SDN Kepatihan, Banyuwangi. Kekerasan di sekolah selama ini menduduki peringkat kedua setelah kekerasan di rumah yakni sekitar 25% dari semua kasus  kekerasan yg dilaporkan ke KPAI selama tahun 2008 dan 2009. "Kekerasan terhadap anak di sekolah terjadi karena beberapa sebab. Selain minimnya pengetahuan guru tentang hak-hak anak, juga karena guru  kurang profesional, miskin metode kreatif sehingga selalu mengambil metode hukuman kekrasan untuk mendisiplinkan murid," kata Ketua KPAI, Hadi Supeno dalam rilis yang diterima detikcom, Senin (2/8/2010)..Padahal, kata dia, banyak metode untuk mendisiplinkan anak. Pihaknya selama ini  sering menerima keluhan guru yang merasa terhambat tugasnya gara-gara UU Perlindungan Anak. Ini fenomena aneh karena menginginkan guru dikecualikan dalam UU PA. "Pendidikan tak hanya mensosialisasikan UU Sisdiknas, tetapi juga UU Perlindungan Anak, agar para guru dan birokrasi pendidikan tahu akan hak-hak anak," tambahnya. Padahal, pasal 54 UU PA menyebutkan sekolah wajib melindungi anak dari segala bentuk kekerasan yg dilakukan oleh guru, siswa, maupun penyelenggara pendidikan. Bagi yg melanggar, bisa dikenai pasal 80 UU PA dengan ancaman hukuman 3,6 tahun penjara dan atau denda uang Rp 7,2 juta untuk kekerasan ringan dan 5 tahun penjara dan atau denda 100 juta untuk kekerasan berat. Lihat UU.RI Nomor 23 Tahun 2002, ( Jakarta, , Sinar Grafika  : 2008) ,28
           [10] Ada 10 kesalahan orang tua yang tidak disadari 1. Menyatakan “Saya tidak salah, orang lain yang salah.Setiap ia mengalami suatu peristiwa dan terjadi suatu kekeliruan, maka yang keliru atau salah adalah orang lain, benda lain & situasi tertentu,  dan dirinya selalu benar. Yang pantas untuk diberi peringatan sanksi, atau hukuman adalah orang lain yang . Akibatnya ketika dewasa.Sulit mengakui kesalahan diri sendiri ( sulit untuk intropeksi diri ) Selalu menyalahkan pihak lain atau situasi tertentu. Susah diberi masukan 2. “Mengajari Anak untuk Membalas Ketika anak memukul atau dipukul, sebagian orang tua biasanya tidak sabar melihat anaknya disakiti dan memprovokasi anak kita unutuk membalasnya. Secara tidak langsung mengajari anak balas dendam. Akibatnya ketika dewasa.Sering membalas, melawan balik atau membalikkan apa yang orang lain sampaikan kepadanya. 3.  Televisi sebagai agen Pendidikan Anak..Banyak orang tua yang tidak mau pusing dan tidak mau repot untuk mendidik karakter anak sejak dini dan suk-kontrakan tanggung jawab mendidik ini kepada televisi, pembantu di rumah atau guru di sekolah. Anak dibiarkan berjam-jam menonton TV supaya orang tua bisa melakukan aktivitas lain. Akibatnya ketika dewasa: Banyak pola pikir salah yang menetapkan dalam pikirannya , Kekerasan , Materialisme, Balas dendam,Sifat kurang kreatif dan produktif .
Romantisme yang salah 4.  Mudah terpancing emosi ketika keinginan anak tidak terpenuhi, si anak sering kali rewel atau merengek, menangis, berguling dsb, dengan tujuan memancing emosi orang tua yang pada akhirnya ortu marah atau malah mengalah. Jika terpancing, anak akan merasa menang, dan merasa bisa mengendalikan orang tuanya. Akibatnya ketika dewasa: Mudah manipulasi orang lain dengan pura2 sakit, minta dikasihani Suka menuntut keinginannya dipenuhi à bila tidak : malas – marah -  balas dendam 5.  “Berbohong Kecil – Tidak tepati janji  Tanpa sadar kita sebagai orang tua setiap hari sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya.  Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih berbohong dengan mengalihkan perhatian si kecil ke tempat lain, setelah itu kita buru-buru pergi?Akibatnya ketika dewasa: Mudah janji pada orang lain, tetapi tidak menepati ( integritas ) Suka berbohong  6. “Banyak Mengancam“Adik, jangan naik ke atas meja! nanti jatuh dan nggak ada yang mau menolong!””Ini salah.....itu tidak benar...., nanti dihukum Bu Guru loh” “….nanti Mama/Papa marah!”Akibatnya ketika dewasa: Tidak percaya diri – takut salah  Kurang kreatif 7.  Memberi julukan yang buruk Kebiasaan memberikan julukan yang buruk pada anak bisa mengakibatkan rasa rendah diri, tidak percaya diri/mimder, kebencian juga perlawanan.  Akibatnya ketika dewasa: Minder 8. Mengejek / Menggoda ( yang tidak disukai anak ) Orang tua yang biasa menggoda anaknya, seringkali secara tidak sadar telah membuat anak menjadi kesal. Hal ini akan membangun ketidaksukaan anak pada kita dan yang sering terjadi anak tidak menghargai kita lagi. Akibatnya ketika dewasa: Kurang hargai orang tua Minder 9. Menghukum Anak Saat Kita Marah Jangan pernah memberikan sanksi atau hukuman apa pun pada anak ketika emosi kita sedang memuncak, karena seringkali yang keluar dari mulut kita, akan cenderung menyakiti dan menghakimi dan tidak menjadikan anak lebih baik. Akibatnya ketika dewasa: Kepahitan / terluka Tidak mudah mengampuni orang lain  Emosional ( pemarah , mudah tersinggung ) Sulit bekerja sama dalam team 10. Menekankan pada sesuat yang Salah Banyak orang tua yang sering bicara / berkomentar ketika anaknya tidak akur, suka bertengkar, malas, nakal, ulangan jelek, dsb. Namun pada saat mereka bermain dengan akur, nilai bagus, rajin belajar, kita seringkali menganggapnya tidak perlu memberi komentar.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook