Thursday, February 26, 2015

TIDAK ADA BENTURAN ANTARA UU 23 DENGAN FIQIH



MELAWAN KEKERASAN TANPA KEKERASAN

M.Rakib  Muballigh  IKMI Pekanbaru Riau Indonesia

BENTURAN  ANTARA UU 23 DENGAN FIQIH



Penerapan hukum Islam dalam terma kenegaraan secara serius dan sistematis dimulai pada masa Umar bin Abdul Aziz. Negara pada saat itu merupakan lembaga eksekutif yang menerapkan hukum Islam sebagaimana dirumuskan oleh otorita hukum setempat di masing-masing daerah. Kumpulan hukum (fiqh) yang mengatur hal-hal pokok dilaksanakan secara seragam, namun berkaitan dengan hal-hal yang detail banyak terjadi perbedaan karena praktek-praktek setempat dan variasi-variasi yang berbeda sebagai hasil ijtihad para ulama.

Pembaruan hukum keluarga dalam format perundang-undangan hukum keluarga dimulai pada tahun 1917 dengan disahkannya The Ottoman Law of Family Rights (Undang-undang tentang hak-hak keluarga) oleh Pemerintah Turki. Pembaruan hukum keluarga di Turki merupakan tonggak sejarah pembaruan hukum keluarga di dunia Islam dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan hukum keluarga di negara-negara lain.

Pembaruan hukum keluarga Turki telah dimulai pada tahun 1876. Pada tahu tersebut Turki telah mempersiapkan sebuah undang-undang civil yang didasarkan pada mazhab Hanafi, yaitu yang disebut dengan Majallat al-Ahkam al-Ardliyyah, tetapi di dalamnya belum ada aturan perkawinan dan warisan.
Pada tahun 1915, kerajaan mengeluarkan dua dekrit yang mereformasi hukum matrimonial (yang berhubungan dengan perkawinan) dalam mazhab Hanafi yang secara lokal terkait dengan hak-hak perempuan terhadap perceraian. Dalam dekrit tersebut digunakan prinsip takhayyur (eklektik) dengan mengambil sumber dari mazhab Hanbali dan Hanafi. Dinyatakan dalam dua dekrit tersebut bahwa perempuan diperbolehkan mengupayakan perceraian atas dasar ditinggalkan suami atau karena penyakit yang di deritanya[
Dua tahun kemudian, Imperium mengeluarkan undang-undang tentang hukum matrimonial. UU tersebut terdiri dari 156 pasal yang berisi tentang hak-hak dalam keluarga (minus pasal mengenai waris). UU inilah yang kemudian diberi nama Qanun Qarar al-Huquq al-‘Ailah al-Uthmaniyyah (the Ottoman Law of Family Rights) Tahun 1917. Penetapan UU ini didorong semangat takhayyur, proses legilslasi yang mulai menjadi ternd pada era itu dan kemudian diperkenalkan ke seluruh dunia muslim sebagai cita-cita umum kodifikasi dan reformasi hukum keluarga.
Beberapa tahun setelah pencabutan hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917, situasi politik di Turki memberikan sedikit ruang untuk melakukan pembaruan hukum. Pasca konferensi Perdamaian Laussane tahun 1923, pemerintah Turki membentuk komisi hukum untuk mempersiapkan hukum perdata baru. Komisi tersebut berusaha menempatkan hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 Majallat al-Ahkam al-Ardliyyah tahun 1876 dan hukum tradisional yang tidak tertulis ke dalam hukum baru yang menyeluruh. Namun perbedaan pendapat yang tajam di kalangan modernis dan tradisional - seperti pengambilan materi dari mazhab yang berbeda dalam hukum Islam, yang bersumber dari hukum adat atau hukum luar - menjadikan komite hukum kacau dan dibubarkan.

Guna mengisi kekosongan hukum pasca kegagalan komisi hukum tersebut, Pemerintah Turki mengadopsi hukum perdata Swiss tahun 1912 (The Civil Code of Switzerland, 1912) dengan beberapa perubahan yang disesuaikan dengan kondisi Turki dan diundangkan dalam hukum perdata Turki tahun 1926 (The Turkish Civil Code of 1926). Dalam beberapa hal ketentuan dalam hukum perdata Turki tahun 1926 sangat menyimpang dari hukum Islam tradisonal, seperti ketentuan waris dan wasiat yang mengacu pada hukum perdata Swiss tahun 1912. Materi yang menonjol dalam hukum perdata Turki tahun 1926 adalah ketentuan-ketentuan tentang pertunangan (terutama masalah taklik talak), batas usia minimal untuk kawin, larangan menikah, poligami, pencatatan perkawinan, pembatalan perkawinan, perceraian, dan lain-lain.

Hukum keluarga di Turki telah mengalami beberapa kali perubahan. Hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 (The Ottoman Law of Family Rights) diperbarui dengan Hukum Perdata Turki Tahun 1926 (Turkish Civil Code, 1926), kemudian diamandemen dua kali, tahapan tahun 1933-1956 dan tahun 1988-1992.
 

Ada sedikit  benturan yang cukup berarti antara Hukum Islam dan Undang-undang Perlindungan Anak

 Hal yang seringkali dianggap sekuler oleh banyak kalangan dalam memandang kekerasan pada pemberitaan hukuman dalam mendidik anak. Walaupun secara umum masih dapat dibedakan antara kekerasan sebagai hukuman dalam mendidik anak yang cenderung terukur, tidak keluar dari batas yang telah ditentukan serta memiliki maksud dan tujuan  yang jelas, dengan bentuk kekerasan sebagai penganiayaan yang cenderung tanpa batas dan lebih hanya sekedar pelampiasan lua
pan emosi terhadap anak atau bahkan dengan maksud yang jelas-jelas direncanakan sebagai penyiksaan. Kekrasan dapat terjadi apabila potensi mental pada diri seseorang tidak sesuai dengan realisasi aktualnya.28Hal ini berarti ada orang lain yang mempengaruhi dan ada cara untuk mempengaruhinya, jadi ada subject dan object yang dalam hal ini adalah manusia serta adanya tindakan.29Kekerasan dapat dilakukan oleh siapapun dan dalam kondisi apapun, tanpa terkecuali kekerasan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anknya. Hal ini menurut Erich Fromm tidak bisa terlepas dari situasi dan kondisi lingkungan orangtua 28Yayah Kisbiyah (et al), Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan, cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 3. 29I. Marsana Windu, Kekuasaan dan Kekeraaan Menurut Johan Galtung,cet. IV (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm.67-68. 22
semasa kecilnya, seperti pendidikan, teladan-teladan buruk dan tatanan sosial yang dapat mempengaruhi terjadinya tindakan yang beersifat destruktif.30Teori-teori di ataslah yang akan digunakan sebagai landasan berfikir dalam melihat fenomena tindak kekerasan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak yang terjadi dalam rumah tangga. Seda
ngkan prinsip dasar yang digunakan sebagai ruh atas kerangka teori di atas akan diambil dari al-Qur'an, as-Sunnah dan kaidah-kaidah fiqhiyyah sebagaimana akan disebutkan berikut ini: Sebagaimana firman Allah dalam surat
al-Qas}as}:

#&23

 4
 5 678 #&9% ­
31Ayat ini memberikan pemahaman bahwa manusia dilarang berbuat kerusakan di muka bumi ini. Kerusakan adalah segala
sesuatu yang dapat membuat kerugian bagi pihak lain, sehingga Allah sangat membenci para pelaku kerusakan. Tindakan pengrusakan ini sendiri dapat menimpa siapa saja dan apa saja serta dalam bentuk apapun juga, seperti pembunuhan,
penganiayaan dan perbuatan keji lainnya yang secara jelas diharamkan oleh Allah SWT. Dalam ayat lain Allah berfirman:
30Erich Feomm, Akar Kekerasan: Analisis Sosio-Psikologis Atas Watak Manusia, cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 34. 31Al-Qas}as} (28) : 77. Wabtaghi   fima  atakumullah   
­
‑,

­
32
Ayat ini menjelaskan bahwa orangtua harus memperlakukan anak-anak mereka dengan baik. Kata
<"dalam "" tidak hanya bermakna membunuh jiwa sang anak, melainkan dapat diartikan
larangan pembunuhan kreativitas, perasaan, potensi, serta ruang gerak s
ang anak. Anak akan berkembang secara tidak wajar dan akan menjadi musu
h bagi orangtua akibat dari ketidakhati-hatian orangtua dalam mendidik ana
knya.33Adapun kaidah fiqh yang digunakan dalam teori ini antara lain:
Kaidah tersebut menekankan bahwa, walau bagaimanapun ke-madarat-an harus dihilangkan. Artinya, segala bentuk perbuatanyang dapat merugikan orang lain adalah perbuatan yang dilarang
dalam Islam. Kaidah lain yang berkaitan dengan ini adalah:
35
32Al-An’a>m (6) : 151. Lihat juga M. Anies, Anak, hlm. 2. 33 M. Anies, "Anak dalam Perspektif Al-Qur'an: Kajian
dari Segi Pendidikan,"Jurnal Al-Jami'ah, No. 54, Th. 1994, hlm. 3. 34 Asmuni Abdurrahman, Qawa>’idul Fiqhiyyah, cet. I (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 85. 35Ibid.,24 Sikap antisipatif ditawarkan oleh kaidah ini. Bagaimanapun juga menolak atau menghindari
ke-mad}a>ra>t-an harus lebih diutamakan dari pada mendatangkan kemaslahatan. Kemudian pertimbangan un
tuk bersikap arif dan bijaksana dalam menghadapi persoalan juga sangat di
tekankan oleh para alim ulama, sebagaimana tersirat dalam kaidah berikut:
Di samping itu juga terdapat teori kekuasaan yang dirumuskan oleh Max Weber. Kekuasaan diartikan sebagai kemampuan untuk mengontrol tindakan dari orang lain. Dalam sosiologi, kekuasaan sering diartikan sebagai wewenang dan pengaruh (influence), yang keduanya merupakan unsur dari kekuasaan itu sendiri. Weber berpendapat bahwa sese
orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang berhak untuk menentukan kebijakan-kebijakan atau sanksi atas pelanggaran yang terjadi atas apa yang telah ditetapkan, terhadap orang lain atau kelompok yang berada di bawah kekua
saannya.37Jika berkaca pada pendapat Weber, orangtua dalam satu keluarga memiliki wewenang dan bertanggungjawab atas perkembangan dan pertumbuhan anak baik jasmani maupun rohani. Kekuasaan dan wewenang tersebut, orangtua berhak melakukan apapun terhadapanaknya (selama tidak melampaui batas-batas
syar’i>
Perlindungan anak Perspektif fiqh dan perundang
-
undanganDjaenabAl-Risalah | Volume 10 Nomor 1Mei 20103
Kesejahteraan Anak, dan sebagainya. Dalam makalah ini akan dilakukan analisis
komparatif.PEMBAHASANAnak adalah amanat Allah Swt yang harus senantiasa dipelihara. Apapun
statusnya, pada dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang
harus dijunjung tinggi. Namun, pada kenyataannya betapa banyak anak yang
terlantar, tidak mendapatkan pendidikan karena tidak mampu, bahkan menjadi
korban tindak kekerasan. Hidupnya tidak menentu, masa depan tidak jelas dan rentan
terhadap berbagai upaya eksploitasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Untuk mengatasi masalah
-
masalah ini, banyak upaya dilakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap anak tersebut. Hal inilah yang akan dibahas dalam makalah ini dari perspektif Fiqh dan perundang-undangan di Indonesia.1.Konsep dan Implementasi Perlindungan Anak Perspektif FiqhSyari’at Islam merupakan piranti perlindungan anak
dari tindak eksploitasi. Hukum Islam sebagai salah satu norma yang dianut dalam masyarakat perlu dijadikan
landasan dalam mengkaji persoalan perlindungan anak. Elastisitas hukum Islam dengan prinsip “
Shalih li Kulli Zaman wa Makan” dan prinsip “ al-Hukmu Yadurru ma’al Illati Wujudan wa ‘Adaman
” menghendaki dilakukannya analogi dan interpretasi baru sesuai dengan konteks fenomena kejahatan yang terjadi pada anak saat ini. Nilai transedental yang melekat pada norma hukum Islam, merupakan kelebihan tersendiri
yang menyebabkan penganutnya lebih yakin bahwa jika ajaran agama dipahami dengan baik, maka akan disadari pula betapa agama tidak menghendaki terjadinya
eksploitasi sesama manusia. Nilai
-
nilai penegakan keadilan, pencegahan kezaliman,
dan perlunya kerjasam
a dalam mengatasi masalah
-
masalah sosial merupakan misi
kemanusiaan yang dibawa agama. Namun demikian, nilai
-
nilai tersebut perlu
senantiasa diaktualkan dan diinterpretasikan kembali sesuai dengan perkembangan
terbaru modus kejahatan.
Antisipasi normatif
hukum Islam urgen dilakukan, karena tindak kekerasan
terhadap anak banyak diwarnai aksi perlakuan sadis, tidak berprikemanusiaan, atau
tidak lagi ada rasa kasih sayang pada dir
i pelaku. Padahal Rasulullah S
AW
menekankan perlunya kasih sayang dan saling men
ghargai di antara sesama,
sebagaimana hadis riwayat Anas bin Malik:

بن

Risalah
| Volume 10 Nomor 1 Mei 2010
Dari Anas bin Malik menuturkan, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “tidak
termasuk golongan umatku mereka yang (tua) tidak menyayangi yang muda,
dan mereka yang (muda) tidak menghormati yang tua.” (HR
. Al
-
Nasaiy).
Mahmud Mahdi al
-
Istanbuli menegaskan, bahwa hati yang kosong dari rasa
cinta dan kasih sayang terhadap anak
-
anak, pertanda hati tersebut kasar dan keras.
Perlakuan dari hati yang kasar dan keras hanya akan menyebabkan anak
-
anak tumbuh
dalam
kubangan kebodohan dan kemalangan, karena memang sudah menjadi tabiat
anak
-
anak sejak mereka dilahirkan selalu membutuhkan bimbingan, arahan,
perhatian, dan asuhan.
5
Orang tua seharusnya menyayangi anaknya dengan segala prilaku, pemberian,
termasuk dalam memerintahkan anakn
ya. Suatu perintah harus dilandasi kasih
sayang, bukan amarah, kebencian, sehingga cenderung bersifat eksploitatif. Begitu juga
sebaliknya, anak seharusnya menghormati orang tuanya dengan tulus dan ikhlas,
bukan karena keterpaksaan.
Jika benar orang tua m
encurahkan kasih sayangnya, maka ia tidak mungkin
memaksa anaknya melakukan sesuatu, apalagi hal itu bertentangan dengan
kemaslahatan dirinya. Begitu juga sebaliknya, anak tidak akan mudah menentang
orang tua, jika ia benar
-
benar ingin memberikan penghorma
tan kepada orang tuanya.
Kedurhakaan anak atau orang tua tidak akan terjadi dalam keluarga yang penuh
dengan kasih sayang timbal balik.
6
Keluarga itu akan bahagia sebagaimana yang
digambarkan dalam QS. al
-

sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
bena
r
-
benar terdapat tanda
-
tanda bagi kaum yang berfikir.
Seorang anak tidak boleh dipekerjakan di luar batas kemampauannya. Sebagai
contoh Nia (15 tahun) diajak tetangganya bekerja di kota Bandung, orang tuanya
mengizinkannya pergi dengan harapan dapat memba
ntu ekonomi keluarga. Akan
tetapi, Nia dipekerjakan di pabrik tekstil dengan beban kerja yang sangat berat. Ia
bekerja dari pukul 07.00 sampai pukul 17.00 dan gajinya ditahan selama 10 bulan agar
5
Mahmud Mahdi al
-
Istanbuli,
Nisa’ Haula al
-
Rasul,
diterjemahkan oleh Ahmad Sarbaini dengan
judul
Isteri
-
isteri dan Puteri
-
puteri Rasulullah Saw serta Peranan Beliau terhadap Mereka
(Cet. II; Bandung:
Irsyad Baitus Salam, 2003), h. 231.
6
Faqihuddin Abdul Kodir dkk
., Fiqh Anti Trafiking
(Cet. I; Cirebon: Fahmina Institute, 2006), h.
100
-
101.
Perlindungan anak Perspektif fiqh dan perundang
-
undangan
Djaenab
Al
-
Risalah
| Volume
10
Nomor
1
Mei 2010
5
Nia tidak lari dari perusahaan.
7
Dalam kasu
s seperti ini perlu dilihat perspektif
fiqhnya.
Dalam pandangan fiqh, kasus ini merupakan pelanggaran dan kezaliman yang
berakibat pada kehidupan manusia. Pihak orang tua telah mengabaikan keselamatan
anaknya, karena anaknya bekerja di luar kemampuannya s
ebagai anak
-
anak. Tetangga
yang mengantar anak itu juga terlibat sebagai orang yang membukakan jalan
terjadinya kezaliman. Tetapi yang paling besar kesalahannya adalah majikan yang
mempekerjakan anak itu. Ia menahan gaji dan memberikan beban kerja lebih da
ri jam
kerja tanpa istirahat. Dasar pertimbangannya adalah bahwa dalam Islam dilarang
melakukan kezaliman baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.
8

Dari Abi Durr, ia berkata, Raulullah Saw menyampaikan hadis dari
Allah
yang Maha Suci dan Maha Tinggi: “Aku haramkan
kezaliman terhadap
diri
-
Ku dan terhadap hamba
-
Ku, maka
janganlah kamu saling menzalimi
satu sama lain.”
Demikian pula halnya majikan di
larang menahan upah buruh tanpa alasan
yang dapat dibenarkan.
Contoh kasus lain, Sudira (67) sudah yang keempat kalinya menawarkan setiap
anak yang dilahirkan isterinya kepada siapapun yang mau mengadopsinya. Mulai dari
anak pertama sampai anak yang keemp
at, ia serahkan kepada orang lain dengan
imbalan satu sampai tiga juta rupiah. Ia merasa tidak sanggup menghidupi anak dan
isterinya dari pekerjaan sebagai tukang becak di Jawa Barat. Ketika ditangkap dan
ditanya, ia menjawab terpaksa memberikan anak itu k
arena kemiskinan yang
melilitnya. Ia tidak bermaksud menjual anak, tetapi mengamanatkan kepada orang
lain yang sanggup memberi nafkah dan mendidiknya. Tetapi anehnya, ia tidak
mempedulikan ke mana anak itu di bawa, oleh siapa, dan dengan siapa ia hidup.
10
Dalam pandangan fiqh, anak adalah karunia sekaligus amanah. Oleh karena
itu, orang tua harus menjaga dan memeliharanya dengan baik. Islam mengecam tradisi
jahiliyah yang tega membunuh anak
-
anak mereka karen
a kesulitan ekonomi. Dalam
QS. al
-
An’am (6): 151, Allah Swt berfirman:
7
Ibid
., h. 143.
8
Ibid.
9
Abi Husain Muslim bin Hajjaj al
-
Qusyairiy al
-
Naisaburiy,
Shahih Muslim
, Juz 4 (Beirut: Dâr al
-
Kitab al
-
Ilmiyah, 1992M/1413 H), h. 132.
10
Faqihjuddin Abdul Kodir dkk.,
op. cit.
, h. 243.
Perlindungan anak Perspektif fiqh dan perundang
-
undangan
Djaenab
6
Al
-
Risalah
| Volume 10 Nomor 1 Mei 2010
(
Ÿ

Dan janganlah kamu membunuh anak
-
anak kamu Karena takut
kemiskinan, kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan
jang
anlah kamu mendekati perbuatan
-
perbuatan yang keji, baik yang nampak
di antaranya maupun yang tersembunyi.
Ayat ini menegaskan bahwa orang tua tidak berhak merampas masa depan
anak, dengan menjualnya karena kekurangan biaya (ekonomi), Kata “membunuh”
dala
m ayat di atas, tidak hanya berarti membunuh keberlangsungan hidupnya, tetapi
juga menjerumuskan anak pada masa depan yang suram. Dalam ayat lain Allah Swt
memberikan wasiat agar setiap orang berpikir serius dan mempersiapkan anak
-
anaknya agar di kemudian
hari tidak menjadi orang yang lemah dan hina. QS. al
-
Nisa’(4): 9

Dan hendaklah takut kepada Allah orang
-
orang yang seandainya
meninggalkan
dibelakang mereka anak
-
anak yang lemah, yang mereka khawa
tir
terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada
Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar.
Abdurrahman bin Muhammad, seorang mufti Hadhramiyah, menyatakan:
tidak boleh menjual anak demi mencukupi ke
butuhan mereka, karena
memperdagangkan orang merdeka hukumnya haram.
11
Men
urut al
-
Syarbini, ayah tidak boleh mengajari pekerjaan yang justru
menghinakan anaknya, dan tidak boleh bagi orang tua mengajari anaknya pekerjaan
yang buruk, demi menjaga kemaslahatan anak. Wajib bagi orang tua, kakek, dan wali
mendidik dan mengajari anak
-
anaknya, bila anak tidak memiliki harta, maka biaya
pendidikannya dibebankan kepada orang yang wajib menafkahinya.
12
Jika yang diperdagangkan adalah anak maka dosa
nya lebih besar dibanding
orang dewasa, sebab menelantarkan mereka dari kesempatan untuk memperoleh hak
pendidikan dan perlindungan. Perdagangan anak juga berakibat pada problem
psikologis dan sosial. Yaitu, menjauhkan anak dari kasih sayang orang tuanya s
endiri
secara paksa. Tindakan ini merupakan sesuatu yang diharamkan dan termasuk dosa
besar. Ada dua pertimbangan mengapa hal ini diharamkan.
Pertama
, karena pada
dasarnya memperdagangkan manusia itu haram.
Kedua
, lebih dari itu karena anak
masih berada pa
da usia perlindungan dan belum memiliki pola pikir kedewasaan,
sehingga memiliki kerentanan sangat tinggi untuk dieksploitasi di luar kepentingan
dirinya. Ia justru seharusnya memperoleh hak
-
hak yang membuatnya bisa tumbuh
11
Abdurrahman bin Muhammad,
Bugyah al
-
Mustarsyidin
(Beirut: Dar al
-
Fikr, t.th.), h. 243.
12
Muhammad Khatib al
-
Syarbini,
Mugni al
-
Muhtaj
, Juz 3 (Beirut: Dar al
-
Fikr, t.th.), h. 458.



MUNZIR HITAMI (2)
1.Dipukul anak tidak shalat, apabila cara lain tidak ada lagi.
2.Di mana dikenal  istilah Hukum Islam
3.Bagaimana keberadaan hukum Ta’zir.

SUDIRMAN (3)
1.Kapan Konvensi PBB dan diratifikasi oleh Indonesia menjadi UU No.23 tahun (Analisis Sejarah)
2.Apakah ada keterangan tentang kekerasan non fisik, tapi juga bisa dipidana.
3.Apa yang dimaksud dengan Hukum Keluarga.

AMIR LUTHFI (4) 
1.Bagaimana penelitian dengan pendekatan sosiologis ?
2.Hukum Islam sebagai pembanding dari UU 23 th 2002 khususnya tentang konsep "kekerasan" terhadap anak. 

SAFRINALDI (5)
1.Hukum Islam dan UU Perlindungan anak, berbicara tentang obyek yang sama, yaitu tentang kekerasan.
2.Kekerasan terhadap anak, bukan hanya kekerasan fisik.
3.Bagaimana Law in forcmen perlindugnan anak.
4.Analisis harus dipertajam.

ARRAFII ABDUH (6)
1.Perhatikan Loc Cit  dan OP Cit
2.Perbedaan terjemahan dan tafsir.
3.Gunakan tafsir ayat-ayat hukum.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook