Tuesday, March 10, 2015

ASAS HUKUM MERUPAKAN INDUK META-KAIDAH YANG BERADA DI BELAKANG KAIDAH



ASAS HUKUM MERUPAKAN  INDUK META-KAIDAH YANG BERADA DI BELAKANG KAIDAH


M.Rakib Pekanbaru Riau Indonesia. 0823 9038 1888

‘Asas Hukum merupakan meta-kaidah yang berada di belakang kaidah, yang memuat kriteria nilai yang untuk dapat menjadi pedoman berperilaku memerlukan penjabaran atau konkretisasi ke dalam aturan-aturan hukum’.

Asas-asas hukum berfungsi, antara lain, untuk menetapkan wilayah penerapan aturan hukum pada penafsiran atau penemuan hukum, sebagai kaidah kritis terhadap aturan hukum, kaidah penilai dalam menetapkan legitimitas aturan hukum, kaidah yang mempersatukan aturan-aturan atau kaidah-kaidah hukum, menjaga/memelihara konsistensi dan koherensi aturan-aturan hukum.

Ikuti kami: feed rss facebook twitter English
hukumonline

   
Bila Hukum Positif Bertentangan dengan Asas Hukum
Fungsi asas kan sebagai yang melatarbelakangi hukum positif yang dapat dijelmakan dalam uu dan putusan hakim. Pertanyaannya bolehkah hukum positif di suatu negara dengan tidak mengindahkan asas-asas hukum itu sendiri? Apakah ada sanksi jika suatu hukum positif tidak mengindahkan asas-asas hukum itu? Apa perbedaan adagium dan asas? Mohon bantuannya. "sebaik - baik orang adalah yang bermanfaat bagi orang lain" thanks.
mahasiswa hukum semester 1

Jawaban:
Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D.
http://images.hukumonline.com/frontend/lt52f9f92ae1f9f/lt52fa1425d7f66.jpg

Adagium adalah ungkapan hukum, yang berbeda dengan asas hukum. Contoh adagium hukum: ‘ubi societas, ibi ius’.


Berkaitan dengan asas hukum, Arief Sidharta (tanpa tahun) menyatakan tiap aturan hukum itu berakar pada suatu asas hukum, yakni ‘suatu nilai yang diyakini berkaitan dengan penataan masyarakat secara tepat dan adil’. Mengutip Paul Scholten, ia mengatakan bahwa asas hukum adalah ‘pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan putusan-putusan individual tersebut dapat dipandang sebagai penjabarannya’.


Dengan demikian, menurut Arief Sidharta, ‘asas hukum merupakan meta-kaidah yang berada di belakang kaidah, yang memuat kriteria nilai yang untuk dapat menjadi pedoman berperilaku memerlukan penjabaran atau konkretisasi ke dalam aturan-aturan hukum’.


Asas-asas hukum berfungsi, antara lain, untuk menetapkan wilayah penerapan aturan hukum pada penafsiran atau penemuan hukum, sebagai kaidah kritis terhadap aturan hukum, kaidah penilai dalam menetapkan legitimitas aturan hukum, kaidah yang mempersatukan aturan-aturan atau kaidah-kaidah hukum, menjaga/memelihara konsistensi dan koherensi aturan-aturan hukum.


Asas hukum dapat diidentifikasi dengan mengeneralisasi putusan-putusan hakim dan dengan mengabstraksi dari sejumlah aturan-aturan hukum yang terkait pada masalah kemasyarakatan yang sama. Dengan kata lain, asas hukum dapat ditemukan dari putusan hakim ataupun hukum positif pada umumnya. Semestinya tiap hukum positif memuat asas hukum, baik secara tersurat (dalam bentuk pasal) ataupun tersirat.


Dalam praktik, berbagai asas hukum dapat saja saling bertentangan. Dalam hal terjadi demikian, penggunaan asas hukum tertentu akan ditentukan oleh akal budi dan nurani manusia. Arief Sidharta mengutip D.H.M. Meuwissen, menggolongkan asas-asas hukum ke dalam klasifikasi berikut:

1.      asas-asas hukum materiil:
              respek terhadap kepribadian manusia
             respek terhadap aspek-aspek kerohanian dan aspek-aspek kejasmanian dari
2. keberadaan manusia sebagai pribadi
              asas kepercayaan yang menuntut sikap timbal-balik
              asas pertanggungjawaban
              asas keadilan
2.      asas-asas hukum formal:
              asas konsistensi
              asas kepastian
              asas persamaan
MUDAH MEMBID’AHKAN ATAU MEMURTADKAN

Islam sebagai ideologi cenderung menjadi dogma yang berpotensi besar untuk me-liyan-kan orang-orang yang dianggap menyimpang. Sebagai ideologi, Islam bisa dengan mudah membid’ahkan atau memurtadkan seseorang yang sejatinya masih muslim. Dan harus dicatat baik-baik, takfir adalah hal yang sangat dihindari dalam paham Ahlus Sunnah wal Jamaah. Maka upaya Gus Dur adalah mengedepankan gerakan kultural dan membumikan ajarannya sehingga mudah diresapi orang awam.  
Asas Legalitas, Kebebasan Hakim Menafsirkan Hukum, dan Kaidah Yurisprudensi
Assalamualaikum. Saya mau tanya. Katanya hukum tidak boleh berlaku surut, dan jika tidak ada UU maka Yurisprudensi bisa dilakukan. Terus bagaimana dengan Asas Legalitas? Berarti orang bisa dong kena hukuman walaupun tidak ada UU-nya, yaitu lewat Yurisprudensi?
AtaurRazaq
Seseorang dapat dihukum meskipun tidak ada peraturan yang mengatur larangan perbuatan yang dilakukan orang tersebut. Namun, kemungkinan tersebut bukan karena yurisprudensi. Untuk lebih jelasnya, simak penjelasan di bawah ini.
Asas legalitas berlaku dalam ranah hukum pidana dan terkenal dengan adagium legendaris von Feuerbach yang berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Secara bebas, adagium tersebut dapat diartikan menjadi “tidak ada tindak pidana (delik), tidak ada hukuman tanpa (didasari) peraturan yang mendahuluinya”. Secara umum, von Feuerbach membagi adagium tersebut menjadi tiga bagian, yaitu:
1)    tidak ada hukuman, kalau tak ada Undang-undang,

2)    Tidak ada hukuman, kalau tak ada kejahatan

3)    Tidak ada kejahatan, kalau tidak ada hukuman, yang berdasarkan Undang-undang.


Adagium tersebut merupakan dasar dari asas bahwa ketentuan pidana tidak dapat berlaku surut (asas non-retroaktif) karena suatu delik hanya dapat dianggap sebagai kejahatan apabila telah ada aturan sebelumnya yang melarang delik untuk dilakukan, bukan sesudah delik tersebut dilakukan.
Sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak sama seperti sistem hukum Anglo-Saxon yang menganut aliran freie rechtslehre yang memperbolehkan hakim untuk menciptakan hukum (judge made law). Sistem hukum di Indonesia menganut aliran rechtsvinding yang menegaskan hakim harus mendasarkan putusannya kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 20 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (“AB”) yang menyatakan bahwa hakim harus mengadili berdasarkan undang-undang. Namun demikian, hakim tetap memiliki kebebasan untuk menafsirkan dan berpendapat. Hakim memiliki keterikatan yang bebas (vrije gebondenheid) dalam melaksanakan tugasnya mengadili suatu perkara.


Pada beberapa kesempatan, hakim akan dihadapkan kepada keadaan harus mengadili suatu perkara yang tidak memiliki dasar hukum atau pengaturan hukumnya tidak jelas. Dalam keadaan ini, hakim tidak dapat menolak untuk mengadili perkara tersebut dengan dalih tidak ada hukum yang mengatur.


Hal ini sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”) yang berbunyi:

“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”


Juga dengan Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 yang berbunyi:

“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Selain dua ketentuan tersebut, Pasal 22 AB juga menyatakan bahwa hakim yang menolak untuk mengadili dengan alasan undang-undangnya bungkam, tidak jelas atau tidak lengkap, dapat dituntut karena menolak untuk mengadili.
Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa hakim harus mendasarkan putusannya dalam mengadili kepada peraturan perundang-undangan dan bebas untuk menafsirkan dan menginterpretasikan hukum tersebut. Meskipun demikian, dalam hal perkara yang diadili tidak ada atau tidak jelas dasar hukumnya, hakim pun tetap wajib untuk mengadili perkara tersebut. Sehingga pada prinsipnya, asas legalitas harus dijadikan pedoman awal bagi hakim untuk mengadili kasus yang sedang mereka tangani.


Dalam hal putusan tersebut sudah berlangsung sekian lama dan diputus oleh pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung), maka putusan tersebut dapat menjadi yurisprudensi. Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum formal selain undang-undang, kebiasaan, dan traktat.

Menurut S.J. Fockema Andreae dalam Rechtsgeleerd Handwoordenboek, yurisprudensi dapat berarti ajaran hukum yang diciptakan dan dipertahankan oleh peradilan
Dalam Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi (Ahmad Kamil dan M. Fauzan, hal. 10), Prof. Subekti memberikan pengertian yurisprudensi sebagai:
“Putusan-putusan hakim atau pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi, atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap, maka barulah dapat dikatakan ada hukum yang dicipta melalui yurisprudensi.”
Ahmad Kamil dan M. Fauzan (hal. 11) juga menyatakan bahwa Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) telah mengeluarkan syarat-syarat suatu putusan dapat dianggap sebagai yurisprudensi, antara lain:

1.    Putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturan perundang-undangannya;

2.    Putusan tersebut harus merupakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap;

3.    Telah berulang kali dijadikan dasar untuk memutus perkara yang sama;

4.    Putusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan;
5.    Putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung.

Hakim di Indonesia tidak terikat untuk melaksanakan yurisprudensi. Yurisprudensi hanya dianggap sebagai pedoman atau arahan untuk memutus suatu perkara. Apabila terdapat pertentangan antara hukum yang ada dengan yurisprudensi, yang berlaku adalah hukum. Untuk memahami lebih jelas mengenai pengertian yurisprudensi dan perbedaan sifat mengikatnya dengan preseden silakan baca Perbedaan Sifat Mengikat antara Preseden dengan Yurisprudensi.
Dengan demikian, harus dicermati bahwa kebolehan hakim untuk menghukum seseorang tanpa adanya dasar hukum bukan karena yurisprudensi, melainkan karena hal tersebut adalah prinsip dari kekuasaan kehakiman untuk mencari keadilan.
Inilah yang membedakan Gus Dur dengan, misalnya, Cak Nur yang cenderung elitis. Gus Dur bukan intektual yang berada di menara gading, tapi sangat populis, organik, dan terjun ke lapangan, meski kadang harus dicerca oleh beberapa elit agamawan. Dalam kolom-kolomnya pun Gus Dur menulis dengan cukup populer, memakai adagium dan kaidah fiqh—satu hal yang membedakan dengan tulisan-tulisan Cak Nur yang “berat”, penuh catatan kaki dan rujukan.
Populisme dan berani menyatakan kebenaran meski harus menghadapi resiko dicela itulah hal istimewa dari Gus Dur dan mulai jarang kita dapati pada ulama dan pemimpin masa kini.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook