Sunday, March 22, 2015

BAGIAN 22 NOVEL KARYA M.RAKIB PEKANBARU RIAU CALON DOKTOR TERMAKAN SUMPAH DALAM CINTA



BAGIAN  22  NOVEL KARYA M.RAKIB PEKANBARU RIAU
CALON DOKTOR  TERMAKAN  SUMPAH DALAM CINTA

‘’EMPAT PROFESOR  SATU CNITA’’
Sang Penyair, sudah tiga belas belas tahun  sang penyair menjadi calon doktor hukum, tapi tidak juga bisa diselesaikan, seorang profeor killer telah menyanderanya, hanya dengan alasan “disertasi anda belum layak uji”. Isteri sang penyair sudah tidak sabar lagi, dengan kaedaan kuliah suaminya sang penyair, karena kadang-kadang uang belanja rumah tangga dikurangi gara-gara kuliah di S 3. Sering rapat-rapat di tingakat RT dan RW tidak dihadiri, gara-gara desakan perbaikan disertasi di S 3. Uang jajan anak dikurangi gara-gara kuliah  di S 3. Peminta sumbangan jauh-jauh datang dari kampung, tidak mendapatkan sumbangan yang wajar, gara-gara kuliah di S3. Permintaan pengajian ibu-ibu di masjid sering ditolak, gara=gara sang penyair kuliah di S3.
Siti  Syari                    :  Bang, tidak ada di dunia ini  orang yang kuliah di perogram doktor yang selama ini. Ini pastilah kutukan buat Abang yang mengurangi belanja gara-gara kuliah. Banyak cinta yang diabaikan, termasuk masalah cinta terhadap anak dan istri. Abang lebih cinta kepada si dosen killer itu, dibandingkan isteri abang sendiri.
Sang Peyair                :     Siti Syari, istriku. Sebetulnya pernah terniat di dalam hati abang untuk berhenti saja kuliah  di program doktor ini, tapi kan Cuma tinggala disertasi saja lagi. Itupun semua profesor yang tujuh penguji itu, Cuma satu orang saja yang menahan disertasi abang, Profesor Amar Makruf namanya. Dia akan pensiun tahun depan, nah Abang menunggu tahun depan itu, di saat dia tidak menguji lagi. Abang ni kan, sudah selesai ujian tertutup, hanya menunggu ujian terbuka saja. Yang abang tunggu hanya satu tanda tangan lagi, tidak ada yang lain.
Siti  Syari                      : Abang, kita sudah menikah 26 tahun, kok Abang kuliah terus tanpa henti.
Untuk mengambil  SH, abang kuliah 11 tahun, untuk mengambil gelar MA, abang habiskan waktu 4 tahun, untuk mengambil  doktor, sudah habis tiga belas tahun, itupun belum tahu ujungnya, jangan-jangan ditambah 5 tahun lagi, sedangkan abang dua  tahun lagi  pensiun kan?..
Rupanya Siti Syari baru saja Harian Kompas tentang bahyanya dosen killer, karena suaminya sang penyair seedang menjadi korbannya. Menurut Haraia Kompas itu, Dosen killer, menjadi momok bagi para mahasiswa. Dosen killer sering kali didefinisikan sebagai dosen yang galak, jutek, banyak memberikan tugas, menunda nunda waktu untuk memberikan tandatangan, pelit memberi nilai dan beberapa hal-hal negatif lainnya. Saat kuliah pun kata seorang penulis di Kompas, “saya juga sempat mengalami berinteraksi dengan dosen killer.” Bahkan ada salah satu dosen yang bisa dikatakan level killernya tingkat tinggi, hal ini sering diceritakan oleh para kakak kelas dan alumni.
Ternyata benar, Dosen killer tersebut sangat sulit memberi nilai B apalagi A, nilai C adalah yang paling lazim diberikannya. Meskipun mendapat nilai C pada umumnya dianggap baik, namun bagi mahasiswa di perguruan tinggi kedinasan hal ini adalah tanda bahaya karena bisa menjadi penyebab Drop Out (DO) atau dikeluarkan dari sekolah kedinasan yang tidak perlu mengeluarkan biaya kuliah alias gratis. Mendapatkan nilai C di suatu mata kuliah maka di mata kuliah lain harus mendapatkan nilai minimal B agar bisa mengcovernya untuk mendapatkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) per Semester minimal 2,75. Dosen killer tersebut juga tidak segan memberikan nilai D pada mahasiswa yang dinilainya tidak berusaha maksimal atau hanya seadanya dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan apalagi ketahuan plagiat atau mencontek. Mendapatkan nilai akhir D menurut peraturan kampus kami berarti otomatis DO, yang membuatnya tidak bisa mengikut kuliah di semester berikutnya yang berarti gagal menyelesaikan pendidikan dan tidak bisa diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil.
Aduh, saat memasuki kuliah di semester lima saja,  atau mulai memasuki tahun ketiga, Dosen killer tersebut menjadi salah satu dosen saya pada mata kuliah keahlian yang tidak boleh mendapatkan nilai akhir D. Sekilas wajahnya terlihat sangar dan membuat takut mahasiswa yang baru bertemu, apalagi gaya bicaranya dengan logat khas kampungnya dan bersuara keras membuat nyali kami makin ciut. Bila sedang jam kuliah dosen tersebut, mahasiswa sudah rapi di tempat masing-masing sebelum beliau masuk kelas. Mendadak semua mahasiswa merapikan pakaiannya sesuai peraturan kampus, dosen ini sangat teliti pada hal sekecil apapun termasuk cara berpakaian, tidak seperti dosen lainnya yang kurang begitu memperhatikannya. Selama kuliah pun mahasiswa tidak berani usil dan iseng, bahkan bertanya pun sangat jarang karena khawatir atau takut salah.
Saat ujian mid semester telah dilewati, semua gembira karena dosen-dosen mengabarkan nilai-nilai kami yang cukup aman untuk mencapai batas minimal IPK di akhir semester. Namun tidak dengan mata kuliah dosen killer tersebut, hanya ada segelintir mahasiswa mendapat nilai B, banyak yang mendapat C dan beberapa orang lainnya termasuk saya mendapatkan nilai D. Sang dosen memperingatkan bahwa yang mendapatkan nilai D adalah mahasiswa yang rentan terkena DO di akhir semester bila tidak segera memperbaiki diri. Serentak terlihat wajah-wajah tegang dan pucat yang bisa diduga mendapatkan nilai D, jantung saya pun berdegup kencang mendengar pernyataan sang Dosen.
Jelas saja saya lebih intensif lagi belajar dan belajar. Meskipun begitu, namun juga tetap aktif dalam kegiatan kemahasiswaan yang salah satunya sebagai pengelola majalah kampus. Tak disangka redaktur utama majalah kampus memberikan saya tugas untuk mewawancarai dosen killer tersebut untuk dijadikan salahsatu liputan utama. Mau tidak mau saya harus datang menemui sang dosen dan meminta waktu untuk mewawancarainya. Setelah beberapa kali gagal karena kesibukan sang dosen yang juga merupakan salah satu pejabat di sebuah Kementerian, akhirnya sayapun langsung berhadap-hadapan empat mata dengan sang dosen killer di ruangan kerjanya nya sebagai pejabat, bukannya di ruangan dosen yang disediakan di kampus.
Hampir satu jam saya mewawancarainya. Beliau ternyata cukup ramah dan selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan lengkap dan tuntas. Mendekati akhir wawancara, saya nekat mengajukan pertanyaan mengenai persepsi banyak mahasiswa yang menganggapnya sebagai dosen killer bahkan super killer. Beliau sempat terdiam sebentar setelah mendengar pertanyaan, sejenak ia memandangi saya. Sayapun gugup dan khawatir, jangan-jangan sang dosen mengingat saya sebagai salah satu mahasiswa yang terancam DO karena mendapat nilai D pada ujian mid semester lalu. Tak lama sang dosen menjelaskan mengapa ia bersikap demikian. Banyak hal penting yang dijelaskannya membuat saya bisa memahami sikapnya yang membuat mahasiswa menjulukinya sebagai dosen killer.
Beliau menyatakan bahwa tidak ingin mahasiswanya memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tanggung atau setengah-setengah. Para mahasiswa kelak akan menjadi abdi negara yang padanya bergantung nasib rakyat, bangsa dan negara. Hanya abdi negara yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang lebih dari cukup yang mampu melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik. Bila sampai terjadi permasalahan nanti saat bertugas, maka para pengajar selama kuliah di kampus kedinasan tersebut akan turut mendapatkan sorotan. Oleh karena itu ia hanya akan meluluskan mahasiswa yang memang pantas lulus karena berusaha keras untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya.
Penjelasan beliau membuat saya paham sehingga menjadi malu. Saya sudah beruntung berkesempatan mengenyam bangku kuliah di perguruan tinggi bahkan berstatus negeri dan tidak perlu membayar pula, mengapa tidak berusaha lebih maksimal untuk mendapatkan hasil terbaik sebagai bentuk rasa syukur? Sayapun makin giat belajar diberbagai kesempatan. Di kelas saya sudah tidak takut lagi dengan sang dosen killer dan mulai berani mengajukan pertanyaan, memberikan pendapat hingga mengkoreksi saat beliau membuat kesalahan karena lupa atau tidak sengaja. Perubahan atau keberanian saya ini membuat teman-teman di kelas heran. Saya katakan bahwa karena terancam DO maka saya harus mengatasi rasa takut pada sang dosen dan berusaha maksimal menyerap semua ilmu yang diajarkannya. Syukurlah penjelasan dan perubahan sikap saya tersebut juga diikuti beberapa teman lain, khususnya yang senasib mendapatkan nilai D.
Hasil positif pun mulai kami dapatkan. Beberapa tugas, paper dan kuis pada mata kuliah sang dosen killer mendapatkan nilai B tidak seperti sebelumnya yang maksimal hanya mendapatkan C. Saat ujian akhirpun kami berusaha lebih keras dan bersiap dengan segala kemungkinan meski yang terburuk sekalipun yaitu harus dikeluarkan dari kampus karena nilai akhir yang tidak memenuhi syarat. Tidak berapa lama berselang tiba juga pada hari pengumuman nilai akhir IPK semester lima, hal ini akan menentukan apakah kami akan terus kuliah memasuki semester berikutnya yang merupakan semester terakhir ataukah terhenti hanya sampai semester lima.
Fokus kami hanya pada nilai masing-masing yang terpampang di kertas yang ditempelkan di papan pengumuman kampus. IPK semester lima saya adalah 2,98, meski masih masuk perkumpulan mahasiswa dua koma (PMDK) namun hal ini cukup melegakan karena berhasil melewati batas minimal IPK 2,75 sebagai syarat bisa melanjutkan ke semester berikutnya. Sayangnya seorang teman kami terpaksa harus berhenti kuliah karena mendapatkan IPK di bawah 2,75. Meski disatu sisi kami bergembira, tetap tak enak rasanya ada seorang teman kami yang gagal. Namun hidup harus tetap berlanjut. Kami yang lulus masih harus terus berjuang, begitu juga teman yang tidak lulus harus tetap berjuang meskipun tidak di kampus yang sama lagi. Itulah sebuah pengalaman mahasiswa S 1 yang curhat di Kompas.




No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook