Saturday, March 7, 2015

BAGIAN KE- 13 NOVEL EMPAT PROFESOR SATU CINTA



BAGIAN KE-  13   NOVEL  EMPAT PROFESOR SATU CINTA

 
Karya M.Rakib  Pekaanbaru
Riau Indonesia. 2015


MENULIS DISERTASI SAMBIL MENANGIS


Profesor  Awaluddin       :  Ada dua pertanyaan saya, pertama mengapa judul ini yang anda pilih. Kedua anda mengatakan bahwa anda menulis disertasi ini, sambil menangis, mengapa demikian?(Saat itu istri sang profesor, tidak di rumah. Suasana JL.Todak Gang Udang di Pekanbaru Riau ini, di tengah hari agak sepi,  beliau menyambut kedatangan sang penyair, dengan mengenakan celana pendek dan memakai singlet saja, masalahnya sang penyair dan sang profesor ini, sejak dahulu memang sudah akrab. Umr keduanya hanaya berbeda 6 tahun.)

Sang Penyair                        :  Saya jawab yang kedua saja dahulu ya Pak, karena ketika saya menerangkan yang kedua itu, maka yang pertama akan sekaligus terjawab.

Profesor  Awaluddin           :  Sebenarnya kata pengantar dari disertasi anda ini, sudah saya baaca, saya juga menagis membacanya, akan tetapi kisah yang membuat orang menangis ini, tidak boleh masuk dalam disertasi, karena disertasi tidak boleh pakai perasaan, hanaya boleh pakai logika saja, namanya juga karya ilmiyah. Tapi Saya ingin tahu juga di sisi mana kisah itu yang membuat anda menangis?

Sang Penyair                     :  Judul disertasi saya ini  kan Pak, Analis Konsep kekerasan pada hukuman fisik terhadap anak menurut Hukum Perlindungan Aanak dan Hukum Islam. Nah saya menemukan bacaan di surart kabar, berupa kisah nyata tentang orangtua yang melakukan kekerasan terhadap anak, dengan memukul tangan anak kecil yang bernama Dita. Kisah ini sangat menusuk batin saya. Waaaaaaalaupun kisah ini sudah saya ratusan kali, saya akan menangis ratusan kali pula.


        Tapi Bapak jangan ikut menangis ya Pak, kisah ringkasnya begini: Ada sepasang suami isteri – seperti pasangan lain di kota-kota besar selalu meninggalkan anak-anak dan diasuh pembantu rumah sewaktu bekerja. Anak tunggal pasangan ini, adalah perempuan cantik berusia tiga setengah tahun. Sendirian ia di rumah dan kerap kali dibiarkan saja oleh pembantunya karena sibuk bekerja di dapur. Bermainlah dia bersama ayunan di atas buaian yang dibeli Ayahnya, atau memetik bunga di halaman rumahnya.

        Suatu hari dia melihat sebatang paku berkarat. Si Anak pun mencoret lantai tempat mobil Ayahnya diparkirkan, namun karena lantainya terbuat dari marmer maka coretan tidak kelihatan. Lalu dicobanya lagi pada mobil baru Ayahnya. Ya.. mobil itu bewarna gelap, maka coretannya tampak jelas. Apalagi anak ini pun membuat coretan sesuai dengan kreativitasnya. Kebetulan hari itu Ayah dan Ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin menghindari macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan maka ia beralih ke sebelah kiri mobil. DIbuatnya gambar Ibu dan Ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikut imaginasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh si pembantu rumah.

       Saat pulang petang, terkejutlah pasangan suami istri tersebut melihat mobil yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. Si Bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus menjerit, "Kerjaan siapa ini !!!"...
Pembantu rumah yang tersentak mendengar jeritan itu pun segera berlari keluar. Dia juga beristighfar. Mukanya merah padam ketakutan, lebih-lebih melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan "Saya tidak tahu, Tuan". "Kamu di rumah sepanjang hari, apa saja yang kau lakukan?" hardik si isteri lagi.
Si Anak yang mendengar suara Ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata "Dita yang membuat gambar itu Ayahhh.. cantik.. kan...!", katanya sambil memeluk Ayahnya sambil bermanja seperti biasa.

        Si Ayah yang sudah hilang kesabaran mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di depan rumahnya, terus dipukulkannya berkali-kali ke telapak tangan sang Anak. Si Anak yang tak mengerti apa apa menangis kesakitan, pedih sekaligus ketakutan. Puas memukul telapak tangan, si Ayah memukul pula belakang tangan anaknya.Sedangkan si Ibu hanya berdiam diri, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman yang dikenakan pada sang Anak. Pembantu rumah terbengong, tidak tahu harus berbuat apa. Si Ayah cukup lama memukul-mukul tangan kanan dan kemudian ganti tangan kiri anaknya.

       Setelah puas memukul, si Ayah masuk ke rumah diikuti si Ibu, pembantu rumah tersebut menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar. Dia terperanjat melihat telapak tangan dan belakang tangan si Anak kecil luka-luka dan berdarah. Pembantu rumah memandikan anak kecil itu. Sambil menyiramnya dengan air, dia ikut menangis. Anak kecil itu juga menjerit-jerit menahan pedih saat luka-lukanya itu terkena air. Lalu si pembantu rumah menidurkan anak kecil itu. Si Ayah sengaja membiarkan anak itu tidur bersama pembantu rumah.
Keesokkan harinya, kedua belah tangan si Anak bengkak. Pembantu rumah mengadu ke majikannya. "Oleskan obat saja!", jawab Bapak.
Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang menghabiskan waktu di kamar pembantu. Si Ayah konon bermaksud ingin memberi pelajaran pada anaknya. Tiga hari berlalu, si Ayah tidak pernah menjenguk anaknya sementara si Ibu pun demikian, meski setiap hari dia bertanya kepada pembantu rumah. "Dita demam, Bu...", jawab pembantunya ringkas. "Kasih panadol saja," balas si Ibu. Sebelum si Ibu masuk kamar tidur dia menjenguk kamar pembantunya. Saat dilihat anaknya Dita dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu kamar pembantunya.
Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan tuannya bahwa suhu badan Dita sangat panas. "Yah, sore nanti kita bawa ke klinik," kata majikannya itu.
Sampai saatnya si Anak yang sudah lemah dibawa ke klinik. Dokter merujuk agar ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya susah serius. Setelah beberapa hari dirawat inap dokter memanggil Bapak dan Ibu anak itu. "Tidak ada pilihan lagi..." kata dokter tersebut yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena sakitnya sudah terlalu parah dan infeksi akut… "Ini sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawa anak Bapak dan Ibu, maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke bawah" kata dokter itu. Bagaikan terkena halilintar si Bapak dan Ibu mendengar kata-kata itu. Terasa dunia berhenti berputar, tapi apa yang dapat diucapkan lagi.

       Si Ibu meraung merangkul si Anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata isterinya, si Ayah bergetar tangannya menandatangani surat persetujuan pembedahan. Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius yang disuntikkan habis, si Anak menangis kesakitan. Dia juga keheranan melihat kedua tangannya berbalut kasa putih. Ditatapnya muka Ayah dan Ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan menahan sakit, si Anak bersuara dalam linangan air mata.

"Ayah.. Ibu.. Dita tidak akan melakukannya lagi… Dita tak mau Ayah pukul lagi. Dita janji tidak nakal lagi.. Dita sayang Ayah.. Dita sayang Ibu...", katanya berulang kali membuatkan si Ibu gagal menahan rasa sedihnya. "Dita juga sayang Mbok Narti..." katanya memandang wajah pembantu rumah, sekaligus membuat wanita itu meraung histeris.
"Ayaaah.. kembalikan tangan Dita..!! Untuk apa diambil.. Dita janji tidak akan mengulanginya lagi..!! Bagaimana Dita mau makan nanti?… Bagaimana Dita mau bermain nanti?… Dita janji tidak akan coret-coret mobil lagi, Dita janji...!!!"


Kata-katanya   itu,  diucapkan  berulang-ulang.
Hancur hati si Ibu mendengar kata-kata anaknya. Meraung-raung dia sekuat hati namun takdir yang sudah terjadi tiada manusia dapat menahannya. Nasi sudah jadi bubur.
Pada akhirnya si Anak cantik itu meneruskan hidupnya tanpa kedua tangan dan ia masih belum mengerti mengapa tangannya tetap harus dipotong meski sudah minta maaf.
Tahun demi tahun kedua orang tua tersebut menahan kepedihan dan kehancuran batin, sampai suatu saat sang Ayah tak kuat lagi menahan kepedihannya dan wafat diiringi tangis penyesalannya yang tak bertepi...
Namun, si Anak dengan segala keterbatasan dan kekurangannya tersebut tetap hidup tegar bahkan sangat sayang dan selalu merindukan Ayahnya..
Semoga bermanfaat dan dapat diambil Hikmahnya …

      Sebenmarnya anak berumur  3 setengah tahun, belum boleh di pukul, yang boleh dipkul jika sudah beumur 10 sampai  13 tahun.  Ini dalilnya : HADITS TTG UMUR 13 TAHUN BOLEH DIPUKUL…

Catatan M.Rakib IKMI  Pekanbaru Riau Indonesia 2015


                Seorang anak diakikahkan pada hari ketujuh dan diberi nama, dibersihkan dari penyakit, maka apabila dia sudah berumur enam tahun hendaklah dididik, apabila sudah berumur sembilan tahun hendaklah dipisahkan tempat tidurnya, apabila sudah berumur “ tiga belas tahun, hendaklah dipukul apabila meninggalkan shalat dan puasa, dan apabila sudah berumur 16 tahun hendaklah dinikahkan, kemudian dia memegang tangannya seraya mengatakan: aku telah mendidik dan mengajarmu dan juga menikahkanmu, aku berlindung dari fitnah yang kau bawa di dunia dan siksaanmu di akhirat.[1]
          Di dalam hadits ini  dinyatakan: 
Apabila sudah berumur “ tiga belas tahun, hendaklah dipukul apabila meninggalkan shalat dan puasa.Segala sesuatu selain dari  zikir  adalah  sia-sia, atau melalaikan,  kecuali empat hal: 1. Perjalan seorang dengan dua tujuan. 2. Memanah, 3. Mendidik kuda tunggangan, bersenda-gurau dengan keluarganya, dan  4. Mengajarinya anak berenang.[2]
              Kesalahan besar orang tua, jika berpendirian bahwa anak tidak boleh mengungkapkan pendapat! Penerapannya bisa saja keliru bahwa haram hukumnya anak tidak melaksanakan perintah orang. Apakah jika seorang anak yang harus menururti keinginan orang tua jika tidak boleh memilih jurusan sekolah sesuai kemampuan anak dan hanya menuruti ego orang tua agar bersekolah sesuai keinginan nya? Ada pula tindakan orang tua yang selalu mengumpat anaknya,[3] dan selalu marah-marah? Bagaimana orang tua yang sibuk bekerja lalu saat pulang ke rumah menumpahkan kekesalan, sementara anak tidak boleh melawan, tidak boleh sakit hati.
           c. Makna Menghukum Anak Yang Tidak Shalat
            Setiap yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya pasti memiliki  maqashid,[4] atau hikmah dan tujuan. Dalam hal perintah dan larangan Allah, secara umum manusia terbagi menjadi dua golongan, yaitu (1) orang yang cukup menerima nasihat dengan dalil kitab dan sunnah dan (2) orang yang membangkang. Golongan yang kedua inilah yang perlu diterapkan hukuman padanya. Maqashid itu di antaranya bermakna manfaat, misalnya manfaat besi adalah untuk memerangi orang-orang kafir dan untuk menegakkan qishash. Ini adalah manfaat yang sangat nampak, sebab manusia akan takut pada pedang sehingga mereka pasrah pada agama Allah. Maqashid atau manfaat memukul anak karena meninggalkan sholat, bertujuan untuk antara lain:
1)      Memberi pelajaran kepada anak bahwa hak Allah adalah sangat lebih besar, dibandingkan hak manusia, misalnya Ibrahi yang mengorbankan anaknya, menjadi contoh bahwa segala sesuatu akan menjadi hina di hadapan-Nya. Tubuh yang seharusnya dipelihara dan tidak boleh (haram) disakiti, tapi demi hukum, menjadi halal dan harus merasakan sakit lantaran meremehkan hak Penciptanya.
2)      Menampakkan kepada anak bahwa orang tua memiliki kekuasaan dalam melazimkan hukum-hukum Allah kepada mereka, sehingga tidak ada pilihan baginya kecuali pasrah dan menyerah kepada Rabbnya.
3)      Memberi pelajaran kepada anak bahwa manusia setinggi apapun kedudukannya, status sosialnya dan nasab keturunannya, tidak memiliki kebebasan mutlak dalam mengikuti kehendaknya yang bertentangan dengan kehendak Allah.
6. Analisis Terhadap Hukuman Fisik Yang Sesuai Dengan Syari’ah
    a. Memukul anak
              Penulis merasa berkewajiban memberikan catatan bahwa, ada perbedaan  yang sangat prinsipil, antara memukul biasa, dengan memukul  yang diatur oleh  syari’at.[5] Memukul menurut kebiasaan sebagian orang tua atau pendidik yang mudah emosi dan suka memukul. Suka memukul adalah akhlaq tercela. Perhatikan nasehat Rasulullah SAW., kepada Fatimah binti Qais, ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya dilamar oleh dua orang sahabat, salah satunya adalah Abu Jahm. Karenanya Rasulullah bersabda,”Adapun Abu Jahm, sebenarnya suka memukul wanita (maksudnya selalu memberikan hukuman fisik, akhlaqnya tidak baik).”[6]
             Nilai filosofis  dari memukul anak secara ringan, hanyalah agar anak takut, sehingga tunduk kepada perintah Allah bukan agar si anak takut kepada bapaknya semata, sehingga makin berwibawa. Maksud memukul adalah agar anak mengamalkan perintah Allah dengan ikhlas karena-Nya. Sesungguhnya tidak ada manfaatnya bila seorang anak nampak taat kepada Allah di hadapan orang tuanya sementara di balik itu ia tidak bertaqwa kepada-Nya.
           b. Memukul Yang Melampaui Batas
             Orang-orang yang  memukul anak-anak hendaknya takut kepada Allah. Jangan sampai  termasuk golongan orang-orang yang tidak masuk surga bahkan tidak mencium baunya. Di antaranya  sekelompok manusia yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia.[7] Ada ulama fiqih yang menyatakan bahwa yang dimaksud orang yang boleh memukul, bisa saja guru, para polisi, satpam, mandor-mandor pada jaman sekarang ini.[8] Mereka berkeliling dengan tongkat lalu memukuli dan menendang siapa saja, hanya karena mengatur dan megamankan. Lalu bagaimana caranya  mereka dapat  mengamankan dan mengatur tanpa berbuat aniaya? Jawabnya, dengan anjuran taqwa kepada Allah, nasihat dan pengarahan dengan lisan, dengan cara yang baik atau dengan tangan tanpa menyakiti karena kezhaliman adalah kegelapan di akhirat! Aturan yang paling populer selama ini adalah anak-anak harus berhati-hati dengan ‘kekeramatan’ orang tua. Tapi patut diingat, secara religi ada lima,[9] kejahatan orang tua yang wajib dihindarkan. Pertama, apabila suka memaki. Kedua menghina anak sendiri. Ketiga melebihkan anak dari yang lain. Keempat mendoakan keburukan anak. Kelima tidak memberi pendidikan anak. Merupakan kemuliaan bangsa, jika orang tua dan guru, mampu menjadikan generasi muda, cerdas lahir batin, bermoral mulia dan berbhakti kepada orang tua, sesama, bangsa dan semesta.




             [1]H.R.Ibnu Hiban. Bandingkan pula hadits Rasulullah secara rinci tentang fase-fase perkembangan anak sekaligus cara atau metode yang harus diterapkan sesuai dengan perkembangan anak. Rasulullah SAW bersabda artinya : “Berkata Anas bersabda Nabi Muhammad SAW, anak itu pada hari ketujuh dari lahirnya disembelihkan aqiqah, diberi nama dan dicukur rambutnya. Kemudian setelah umur 6 tahun dididik kesusilaan, setelah umur 9 tahun dipisahkan tempat tidurnya, bila telah berumur 13 tahun dipukul karena meninggalkan sholat dan puasa, serta umur 16 tahun hendaklah orang tua mengawinkannya, kemudian orang tua berjabatan tangan dan berikrar, saya telah mendidik, mengajar dan mengawinkan kamu, ya Allah lindungilah aku dari fitrahmu di dunia dan siksaanmu di akhirat”.
             [2]H.R.Thabrani.
            [3]Pakar pendidikan ini ingin mengatakan bahwa hukuman memang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam membina anak-anak, malahan dalam situasi tertentu mutlak diperlukan sekali. Tetapi pada saat yang sama ia sama sekali tidak setuju secara mutlak dengan hukuman fisik. Ia tidak Dia keberatan dengan hukuman-hukuman non-fisik tapi bukan hukuman non-fisik yang berat.Ia menambahkan, “Perlu diingat bahwa jangan sekali-kali memberikan hukuman yang akan merendahkan harga diri anak, seperti hukuman badan, ancaman dengan siksaan atau apa saja demi menghancurkan keinginan buruknya. Kemudian, jangan menghukum anak di saat marah. Lihat Ayah Edi Wahono, Mengapa Anak Saya Suka Melawan dan Susah Diatur, (PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010), hlm. 31.
          [4]Sudah tidak asing di kalangan para ulama yang berkecimpung dalam juresprudensi Islam (ushul al-fiqh) mengenai teori maqashid al-Syari’ah yang disistematisasi dan dikembangkan oleh al-Syathibi. Bahkan Musthafa Said al-Khin dalam bukunya al-Kafi al-Wafi fi Ushul al-Fiqh al-Islamy  membuat kategorisasi baru dalam aliran Ilmu Ushul Fiqh. Bila sebelumnya hanya dikenal dua aliran saja, yaitu Mutakallimin dan fuqahaatau Syafi’iyyah dan Hanafiyyah, maka al-Khin membaginya menjadi lima bagian:MutakalliminHanafiyyahal-Jam’iTakhrij al-Furu’ ‘alal Ushul dan  Sya-thibiyyah (al-Khin, 2000: 8). Dengan demikian, pembagian tersebut telah menempatkan pemikiran Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat menjadi salah satu bagiatn corak aliran yang terpisah dari aliran ushul fiqih lainnya. Hal ini karena dalam coraknya, al-Syathibi mencoba menggabungkan teori-teori (nadhariyyat) ushul fiqh dengan konsep maqashid al-syari’ah sehingga produk hukum yang dihasilkan lebih hidup dan lebih kontekstual. Menurut Darusmanwiati, Ada dua nilai penting apabila model al-Syathibi ini dikembangkan para ulama sekarang dalam menggali hukum: Pertama, dapat men-jembatani antara “aliran kanan” dan “aliran kiri”. “Aliran kanan” yang dimaksud adalah mereka yang tetap teguh berpegang pada konsep-konsep ilmu ushul fiqh sedangkan “aliran kiri” adalah mereka yang terakhir ini vokal dengan idenyatajdid ushul al-fiqh dalam pengertian perlu adanya dekonstruksi ushul fiqih demi menghasilkan produk fiqih yang lebih kapabel …. Kedua, model al-Syathibi ini akan lebih menghasilkan produk hukum yang dalam istilah Ibnu al-Qayyim, al fiqh al-hayy, fiqih yang hidup. Karena itu, fiqih yang terlalu teksbook yang penulis istilahkan dengan Fiqh Ushuly akan berubah menjadi Fiqh Maqashidy Darusmanwiati, Islamlib: 309.
             [5]Suruhlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat pada usia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika tidak mau melaksanakannya pada usia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.”[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (II/ 180, 187), Abu Dawud (no. 495), Al-Hakim (I/197), Al-Baihaqi (III/84), Ibnu Abi Syaibah (no. 3482), Ad-Daruquthni (I/230), Al-Khathib (II/278), dan Al-‘Uqaili (II/167), dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma. Lihat juga Shahihul Jami’ (no. 5868)] Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi berkaitan dengan pukulan kepada anak ini, yaitu:
a. Anak mengerti atas alasan apa dia dipukul. b. Orang yang memukulnya adalah walinya, misalkan ayahnya. c. Tidak boleh memukul anak secara berlebihan. d. Kesalahan yang dilakukan oleh sang anak memang patut untuk mendapatkan hukuman. e. Pukulan dimaksudkan untuk mendidik anak, bukan untuk melampiaskan kemarahan.[Lihat Al-Qaulul Mufid (II/473-474) dan Bekal Menanti Si Buah Hati tt, hlm. 55-56.
                 [6] Muhammad Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dhahak At-Tarmizi, Sunan Turmuzi,  Juz 2, h. 210.
               [7]HR. Muslim : 2128
               [8]Lihat  Jurnal al Mawaddah Edisi 4 tahun ke-3, November 2009
                [9] Tribun Pontianak.Co.id - Peristiwa kaburnya model cilik, Ruvita Sari Siahaan, 9 Januari 2012. Ada pelajaran bagi orangtua di tengah kehidupan global yang "lebih" mendewakan materi daripada nilai-nilai religi dan budaya.  Vita, sapaan akrab Ruvita Sari, nekat kabur ke Sorong, Papua Barat bukan tanpa sebab. Kenekatan model iklan berusia 13 tahun ini, berlatar tekanan psikis hebat dari ibunya, Ny Lily.Setelah ditemukan polisi di rumah orangtua angkatnya, Bunda Maya di Sorong, Kamis (26/1/2012) sore, Vita mengaku sering dipukul ibunya kalau menolak syuting.Tidak sampai di situ, sang ibunda "terlalu" mengatur selera dan kehidupan anak. Mulai urusan busana hingga rileks (jalan-jalan), Vita perlu menangis. Vita pun mengalami memar akibat pukulan sang ibu, manakala model iklan cokelat pasta itu pulang pukul 21.00 WIB. Sang Ibu tak mengelak, mengakui pernah juga menarik rambut Vita dan menjepret kaki putrinya menggunakan karet. Benarkah cara orangtua pada buah hatinya ini? Prinsipnya, tak seorang orangtua pun di muka bumi, ingin menzalimi anak kandungnya.Harimau yang paling buas sekalipun, tak pernah memakan anak-anaknya, meski kelaparan. Kaum sufi psikologi maupun agama, justru meyakini cinta orangtua kepada anak, lebih besar dibanding cinta anak kepada orangtuanya. Editor Tribun Pontianak.Co.id - Peristiwa kaburnya model cilik, Ruvita Sari Siahaan, 9 Januari 2012.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook