Friday, March 13, 2015

BAGIAN KE-19 NOVEL PELACUR INTELEKTUAL (Empat Profesor Satu Cinta




BAGIAN KE-19
NOVEL PELACUR INTELEKTUAL
(Empat Profesor Satu Cinta) Karya M.Rakib Pekanbaru Riau Indonesia 2015)

Pak  Ummin         :   Belum juiga selesai disertasimu , penyair?
Sang Penyair       :   Itulah Pak, belum juga sampai hari ini, hanya disertasi saja, sudah  empat tahun, dan teman sebelumku, malah enam tahun. Oh ya Allah, kan gara-gara dosen killer juga tu Pak.
Pak Ummin           : Itulah kau terlalu PD, belum selesai disertasinya, sudah diceritakan kepada orang-orang di sekelilingmu. Akhinya kan, malu sendiri. Orang kampung saya di Kampar menamakanya sikapmu itu dengan istilah “Perhelatan belum dimulai, tapi egung sudah lama berbunyi.(Kamu harus tahu diri ya.  Sejak saat itu issu kulah sang penyair yang tak kunjung rampung menjadi bahan olok-olok Pak Ummin dan teman-temanya. Bahakan mereka mampu melakukan caracter assasinasion, membunuh karakter sang penyair dengan tidak mengikutkannya dalam berbagai kegiatan di kantor mereka.)
Sang Penyair     :  Apakah menurut Pak Ummin, Prof Amar Makruf dosenku yang terlalu lama mengulur waktu koreksi tulisanku itu termasuk dosen killer?. Sebetulnya apa artinya dosen killer itu?
Pak Ummin         :  Istilah killer? Dalam kacamata mahasiswa dosen killer adalah dosen yang memberi nilai atau memeriksa disertasi yang tidak sesuai dengan harapan mahasiswa, atau dosen yang dianggap oleh mahasiswa menghambat keinginan mahasiswa, atau dosen yang disiplin menerapkan peraturan akademik sehingga kurang kolaboratif dengan harapan mahasiswa. Ciri-ciri dosen killer ala mahasiswa antara lain disiplin, tidak ada toleransi dalam hal nilai (obyektif), seribu satu alasan ketika terlambat atau tidak kumpul tugas tidak diterima, tidak mau ditemui di rumah, tidak ada toleransi dalam penerapan peraturan akademik,
       Lalu apa harapan mahasiswa? Tentu saja memperoleh nilai yang tinggi dengan modal belajar yang minimal..he..he.. Atau seperti mahasiswa yang sedang menyelesaikan skripsi. Mahasiswa inginnya cepat selesai tanpa memperhatikan kualitas skripsinya. Mahasiswa yang menghilang setelah selesai penelitian misalnya lalu mereka tiba-tiba datang menjelang yudisum lalu mendesak dosen untuk bisa menyetujui skripsinya. Alasannya orangtua minta kepadanya segera lulus pada periode tersebut. Atau seperti mahasiswa yang datang sangat terlambat ketika ujian minta keistimewaan yaitu waktu khusus. Atau seperti mahasiswa yang mendapat nilai rendah lalu mereka minta agar nilainya bisa dinaikkan dengan cara memberi tugas. Atau seperti mahasiswa yang kehadiran kuliahnya kurang 75% lalu diperbolehkan ujian.  Atau mahasiswa yang aktif dalam ekstrakurikuler minta keistimewaan, yaitu misalnya bisa hadir kuliah < 75%, nilai yang bagus tanpa usaha. Kalau mahasiswa mencontek dibiarkan saja… Atau dosen jarang masuk tapi nilai bagus. Dan masih banyak harapan mahasiswa yang tidak bisa diuraikan satu persatu.
Itulah harapan mahasiswa! Ketika dosen tidak mengabulkan maka dosen tersebut dicap sebagai dosen killer. Lalu mahasiswa bisa saja membuat ulah seperti menggembosi ban kendaraan dosen, atau perilaku lain sebagai balas dendam. Lalu mereka menyebar gossip bahwa dosen itu killer. Ini membuat mahasiswa lain menjadi takut mengambil matakuliah tersebut. Ketika ada permintaan penilaian dari pihak fakultas atau universitas, sudah tentu dosen killer memperoleh nilai pas-pasan atau malah buruk.
Ada sebuah kasus bahwa dosen killer justru lebih sukses mentransfer ilmu, sebab: 1. mahasiswa serius mengikuti kuliah, konsentrasi dan  mencatat; 2. tugas dikumpulkan tepat waktu; 3.  mereka belajar mati-matian menjelang ujian. Bahkan banyak kasus alumni ketika bekerja sangat disiplin sebab mereka belajar dari dosen killer. Nilai-nilai disiplin tertanam dalam diri mereka
Dosen dalam tugasnya diikat oleh peraturan akademik. Mereka harus melaksanakan peraturan akademik itu agar diperoleh lulusan yang berkualitas tinggi. Sayangnya tidak semua dosen mentaati peraturan itu, sehingga terjadi perbedaan persepsi dalam kalangan mahasiswa. Padahal tidak jarang dosen yang dinilai killer oleh mahasiswa itulah yang berusaha menerapkan peraturan akademik. Mereka memberi nilai sesuai dengan kinerja mahasiswa. Jika mahasiswa kurang mau belajar maka wajar jika mereka mendapat nilai yang rendah. Jika mahasiswa mau belajar keras dan itu terbukti memperoleh nilai tinggi maka wajar juga jika dosen memberi nilai yang bagus. Penilaian dilakukan secara obyektif. Dosen yang dinilai killer biasanya mencoba mensosialisasikan nilai-nilai moral seperti kejujuran, obyektivitas, keadilan dll. Oleh sebab itu, ketika mahasiswa mencontek maka mereka mengganjar nilai E. Kejamkah? Tidak, malah itu pembelajaran yang bagus bagi mahasiswa.
Dalam suatu wawancara, seorang dosen kiler ditanya mengenai hal ini. Dosen itu menjawab bahwa ia tidak ingin mahasiswanya memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tanggung. Para mahasiswa kelak akan menjadi abdi negara yang padanya bergantung nasib rakyat, bangsa dan negara. Hanya abdi negara yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang lebih dari cukup yang mampu melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik. Bila sampai terjadi permasalahan nanti saat bertugas, maka para pengajar selama kuliah di kampus kedinasan tersebut akan turut mendapatkan sorotan. Oleh karena itu ia hanya akan meluluskan mahasiswa yang memang pantas lulus karena berusaha keras untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya).
Bukan berarti dosen tidak perlu memperhatikan aspirasi mahasiswa. Dosen harus memperhatikan aspirasi mahasiswa  sebagai salah satu upaya perbaikkan proses belajar mengajar (PBM). Kritik dan saran mahasiswa bagi perbaikkan PBM patut diacungkan jempol, namun penilaian itu harus didasarkan kepada peraturan akademik yang berlaku dan obyektif.  Harapan mahasiswa bisa dijadikan salah satu evaluasi atas PBM yang dilakukan oleh dosen selama itu realistis dan sesuai dengan aturan akademik. Dosen harus profesional dan mampu mendidik dan mengajar mahasiswa sehingga mereka nantinya menjadi manusia yang berilmu dan berketerampilan yang tinggi dan berakhlaq mulia.
BULLYING  DOSEN TERHADAP MAHASISWA
M.Rakib Pekanbaru  Riau Indonesia. 2015
      Bullying oleh dosen menahan tandatangannya, tidak mengesahkan tulisan mahasiswanya, padahal masa studinya hampir habis. Kalau guru di sekolah, lain lagi. Guru bisa memukul anak tidak solat apakah termasuk bulying. Apa pula tujuan Tuhan yang membolehkan anak dipukul setelah berumur 10 tahun. Apa hikmah atau tujuan Allah dalam ketentuan hukum yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam kisah berikut ini:  Suatu waktu Nabi Muhammad SAW melarang kaum muslimin menyimpan daging kurban kecuali dalam batas tertentu, sekedar bekal untuk tiga hari. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian peraturan yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad itu dilanggar oleh para sahabat. Permasalahan itu disampaikan kepada Nabi Muhammad. Beliau membenarkan tindakan para sahabat itu sambil menerangkan bahwa larangan menyimpan daging kurban adalah didasarkan atas kepentingan Al Daffah (tamu yang terdiri dari orang-orang miskin yang datang dari perkampungan sekitar Madinah). Setelah itu, Nabi Muhammad bersabda, "Sekarang simpanlah daging-daging kurban itu, karena tidak ada lagi tamu yang membutuhkannya".
Dari kasus tersebut terlihat, adanya larangan menyimpan daging kurban diharapkan tujuan syariat dapat dicapai, yakni melapangkan kaum miskin yang datang dari dusun-dusun di pinggiran Madinah. Setelah alasan pelarangan tersebut tidak ada lagi, maka larangan itu pun dihapuskan oleh Nabi SAW.
Dari ketetapan tersebut terlihat bahwa sejak masa Nabi Muhammad, Maqasid Al Syariah telah menjadi pertimbangan sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Upaya seperti itu, seterusnya dilakukan pula oleh para sahabat. Upaya demikian terlihat jelas dalam beberapa ketetapan hukum yang dilakukan oleh Umar Ibn al Khattab. Kajian Maqasid Al Syariah ini kemudian mendapat tempat dalam ushul fiqh, yang dikembangkan oleh para ushuli dalam penerapan qiyas, ketika berbicara tentang Masalik Al Illah. Kajian demikian terlihat dalam beberapa karya ushul fiqh, seperti Ar-Risalah oleh Al Syafii, Al-Musthafa karya Al Ghazali, Al-Mu'tamad karya Abu Al Hasan Al Bashri, dan lain-lain. Kajian ini kemudian dikembangkan secara luas dan sistematis oleh Abu Ishaq Al Syathibi.1
       Memukul anak tidak salat, berkaitan dengan kekerasan yang dilakukan orangtua tanpa disadari. Umumnya para orangtua, guru dan masyarakat mengganggap fenomena bullying di sekolah juga termasuk  hal biasa dan baru meresponnya jika hal itu telah membuat korban terluka hingga membutuhkan bantuan medis dalam hal bullying fisik. sementara bullying sosial, verbal dan elektronik masih belum ditanggapi dengan baik. Hal ini diakibatkan karena kurangnya pemahaman akan dampak buruk dari bullying  terhadap perkembangan dan prestasi anak di sekolah dan tidak adanya atau belum dikembangkannya mekanisme anti bullying di sekolah kita. Selain itu anak-anak juga masih jarang diberikan pemahaman tentang bullying dan dampaknya.
       Anak yang menjadi korban bullying akan menderita secara fisik, tertekan, tidak dapat berkonsentrasi dengan baik di sekolah atau bahkan menarik diri dari lingkungan sosialnya. Anak korban bullying juga akan mencari pelampiasan yang bersifat negatif seperti merokok, mengonsumsi alkohol atau bahkan narkoba. Karena stres yang berkepanjangan korban bullying bisa terganggu kesehatannya. Bahkan dalam situasi yang sangat ekstrim seorang korban bullying sosial bisa melakukan tindakan bunuh diri.
Pelaku bullying akan mengganggap bahwa penyelesaian masalah dengan cara-cara kekerasan atau mengintimidasi orang lain adalah cara yang harus ditempuh dalam memenuhi keinginannya. Hal ini akan mendorong sifat premanisme yang akan terbawa hingga dewasa. Sehingga tanpa sadar kita telah menjadikan sekolah kita  sebagai tempat latihan bagi para calon preman yang nantinya akan menjadi profesi mereka saat dewasa nanti.
Dari mana anak-anak kita belajar atau terinspirasi melakukan bullying? Anak-anak umumnya mengikuti perilaku orang dewasa di sekitarnya seperti orangtua dan guru. Cara mendidik anak yang cenderung menggunakan kekerasan di rumah dan di sekolah tanpa sadar mengajarkan anak-anak kita untuk melakukan hal yang sama kepada teman-temannya. Menghukum anak dengan cara-cara yang negatif akan mengajarkan anak untuk berkuasa terhadap anak lain serta  membenarkan tindakan kekerasan kepada anak lain yang lebih lemah. Sering karena terbatasnya pengetahuan dan pemahaman kita tentang bullying tanpa sadar kita mendorong anak-anak kita melakukan bullying di sekolah atau di lingkungan kita.
Lalu apa yang mesti kita lakukan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan bullying di sekolah kita? Pertama, di lingkungan sekolah harus dibangun kesadaran dan pemahaman tentang bullying dan dampaknya kepada semua stakeholder di sekolah, mulai dari murid, guru, kepala sekolah, pegawai sekolah hingga orangtua. Sosialisasi tentang program anti bullying perlu dilakukan dalam tahap ini sehingga semua stakeholder memahami dan pengerti apa itu bullying dan dampaknya.
Kemudian harus dibangun sistem atau mekanisme untuk mencegah dan menangani kasus bullying di sekolah. Dalam tahap ini perlu dikembangkan aturan sekolah atau kode etik sekolah yang mendukung lingkungan sekolah yang aman dan nyaman bagi semua anak dan mengurangi terjadinya bullying serta sistem penanganan korban bullying di setiap sekolah. Sistem ini akan mengakomodir bagaimana seorang anak yang menjadi korban bullying bisa melaporkan kejadian yang dialaminya tanpa rasa takut atau malu, lalu penanganan bagi korban bullying, dll.
Tidak kalah pentingnya adalah menghentikan praktek-praktek kekerasan di sekolah dan di rumah yang mendukung terjadinya bullying seperti  pola pendidikan yang ramah anak dengan penerapan positive discipline di rumah dan di sekolah.
Langkah ini membutuhkan komitmen yang kuat dari guru dan orangtua untuk menghentikan praktek-praktek kekerasan dalam mendidik anak. Pelatihan tentang metode positif disiplin perlu dilakukan kepada guru dan orangtua dalam tahap ini.  
Terakhir adalah membangun kapasitas anak-anak kita dalam hal melindungi dirinya dari pelaku bullying dan tidak menjadi pelaku. Untuk itu anak-anak bisa diikutkan dalam pelatihan anti Bullying serta berpartisipasi aktif dalam kampanye anti bullying di sekolah. Dalam tahap ini metode dari anak untuk anak (child to child) dapat diterapkan dalam kampanye dan pelatihan.
Lalu bagaimana peran pemerintah? Sudah saatnya pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan memberikan perhatian terhadap isu bullying di sekolah serta berupaya membangun kapasitas aparaturnya dalam mengatasi isu ini. Langkah strategis yang perlu diambil adalah memasukkan isu ini ke dalam materi pelatihan guru serta mengembangkan program anti bullying di tiap sekolah. Dalam kasus tertentu bullying bisa bersentuhan dengan aspek hukum, maka melibatkan aparat penegak hukum dalam program anti bullying akan sangat efektif.
Sekolah  sebagai lembaga yang bertugas mencerdaskan bangsa sudah seharusnya menjadi tempat yang aman,  nyaman dan bermartabat bagi anak-anak kita sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Dengan  demikian maka  kita telah mempersiapkan generasi mendatang yang unggul dan siap menjadi warga negara yang baik. 

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook