Monday, March 2, 2015

Kejahatan Orangtua: tidak memberi pendidikan kepada anak



ADAT DAPAT DIJADIKAN PERTIMBANGAN DALAM MENETAPKAN HUKUM


M.Rakib  IKMI  Pekanbaru  Riau  Indonesia. 2015



Kejahatan Orangtua: tidak memberi pendidikan kepada anak
Ada syair Arab yang berbunyi, “Anak yatim itu bukanlah anak yang telah ditinggal orang tuanya dan meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan hina. Sesungguhnya anak yatim itu adalah yang tidak dapat dekat dengan ibunya yang selalu menghindar darinya, atau ayah yang selalu sibuk dan tidak ada waktu bagi anaknya.”
Perhatian. Itulah kata kuncinya. Dan bentuk perhatian yang tertinggi orang tua kepada anaknya adalah memberikan pendidikan yang baik. Tidak memberikan pendidikan yang baik dan maksimal adalah bentuk kejahatan orang tua terhadap anak. Dan segala kejahatan pasti berbuah ancaman yang buruk bagi pelakunya.
Perintah untuk mendidik anak adalah bentuk realisasi iman. Perintah ini diberikan secara umum kepada kepala rumah tangga tanpa memperhatikan latar belakang pendidikan dan kelas sosial. Setiap ayah wajib memberikan pendidikan kepada anaknya tentang agamanya dan memberi keterampilan untuk bisa mandiri dalam menjalani hidupnya kelak. Jadi, berilah pendidikan yang bisa mengantarkan si anak hidup bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.
Perintah ini diberikan Allah swt. dalam bentuk umum. “Hai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Adalah sebuah bentuk kejahatan terhadap anak jika ayah-ibu tenggelam dalam kesibukan, sehingga lupa mengajarkan anaknya cara shalat. Meskipun kesibukan itu adalah mencari rezeki yang digunakan untuk menafkahi anak-anaknya. Jika ayah-ibu berlaku seperti ini, keduanya telah melanggar perintah Allah di surat Thaha ayat 132. “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.”
Rasulullah saw. bersabda, “Ajarilah anak-anakmu shalat saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (bila tidak melaksanakan shalat) pada usaia sepuluh tahun.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Shalah, hadits nomor 372).
Ketahuilah, tidak ada pemberian yang baik dari orang tua kepada anaknya, selain memberi pendidikan yang baik. Begitu hadits dari Ayyub bin Musa yang berasal dari ayahnya dan ayahnya mendapat dari kakeknya bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Maa nahala waalidun waladan min nahlin afdhala min adabin hasanin, tak ada yang lebih utama yang diberikan orang tua kepada anaknya melebihi adab yang baik.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Birr wash Shilah, hadits nomor 1875. Tirmidzi berkata, “Ini hadits mursal.”)


 

Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum.Kaidah ini mempunyai beberapa kaidah turunan yang berperan pokok, di antaranya adalah :
1.      Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan di kalangan pedagang seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat.
2.      Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan nash.
3.      Sesuatu yang diketahui oleh pedagang berdasarkan kebiasaan seperti telah disyaratkan di antara mereka.
4.      Tidak diingkari bahwa perubahan hukum terjadi karena perubahan zaman.Dengan demikian, Kaidah Hukum yang berfungsi marginal adalah kaidah hukum yang cakupannya kecil atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan kepada banyak furu’.
2. Pembagian Kaidah Fiqh dari Segi Mustasnayat
Dari sumber pengecualian, Kaidah Hukum dapat dibedakan menjadi dua : yaitu Kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan kaidah yang memiliki pengecualian. Kaidah Hukum yang tidak memiliki pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad saw (dalil hukum kedua) yang dianggap sebagai Kaidah Fiqh, sebagai contoh :
Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat.Disamping itu, Kaidah Fiqh yang hampir tidak memiliki pengecualian, karena menurut sifatnya, ia bersifat pada umumnya, tapi hakikat kaidah fiqh tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan adanya pengecualian sangat kecil. Sebagai contoh adalah :
Keyakinan tidak hilang dengan keraguan.Kaidah tersebut merupakan inti dari sabda Nabi Muhammad saw :
Artinya : Apabila seseorang mendapat sesuatu di dalam perutnya kemudian ia ragu; apakah sudah keluar sesuatu atau belum, orang tersebut tidak boleh keluar dari masjid sebelum mendapat suara angin (kentut) dan mendapatkan baunya.
Kaidah Fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian. Kaidah yang tergolong pada kelompok ini adalah kaidah yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.
3. Pembagian Kaidah Fiqh dari Segi Kualitas
Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi lima, yaitu :a. Kaidah Kunci Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya dapat dikembangkan kepada satu kaidah, yaitu :
Menolak kemafsadatan dan mendapatkan kemaslahatan.Kaidah ini adalah merupakan kaidah kunci karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya, ia mendapatkan maslahat. Nilai kebenaran syari’ah (dan kaidah fiqh adalah salah satu media untuk berupaya agar mencapai kebenaran tersebut), menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, adalah keadilan, rahmat, maslahat, dan mengandung hikmah. Kaidah asasi atau yang lebih dikenal dengan Kaidah Kubra merupakan penyederhanaan (penjelasan yang lebih mendetail) dari kaidah inti tersebut.b. Kaidah AsasiKaidah Fiqh Asasi adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum Islam. Kaidah Fiqh tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Perbuatan atau perkara itu bergantung pada niatnya.
2.      Keyakinan tidak hilang dengan keraguan.
3.      Kesulitan mendatangkan kemudahan.
4.      Kesulitan harus dihilangkan.
5.      Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan dan menerapkan hukum.
       Lima kaidah fiqh tersebut adalah merupakan kaidah pokok yang menurut penulis, semua masalah fiqh dapat dikembalikan kepada lima kaidah tersebut. c. Kaidah yang diterima oleh semua aliran SunniKaidah Fiqh yang diterima oleh seluruh aliran hukum Sunni sebagaimana disebutkan oleh Ali Ahmad An Nadwi adalah Majallatul Ahkam al-Adliyyah. Kaidah ini dibuat pada abad XIX M oleh Lajnah Fuqaha’ Utsmaniyah. Di antara Kaidah Fiqh yang terdapat dalam Majallatul Ahkam al-Adaliyyah tersebut sebagaimana diinformasikan oleh Subhi Mahmashshanni adalah sebagai berikut :
1.      Pengikut (tetap berkedudukan sebagai) pengikut.
2.      Hukum yang mengikut (pengikut) tidak dapat berdiri sendiri.
3.      Siapa saja yang memiliki sesuatu (dengan sendirinya), ia memiliki bagian yang penting darinya.
4.      Apabila pokok telah jatuh (tiada) cabang ikut jatuh pula.
5.      Pengikut dengan sendirinya akan jatuh dengan jatuhnya yang diikut.
Cabang-cabang kadang-kadang tetap karena ketiadaan pokok.
1.      Apabila sesuatu batal, maka yang dikandungnyapun ikut batal.
2.      Meneruskan lebih mudah daripada memulai.
3.      Orang yang berhak memperoleh keuntungan, berkewajiban juga menanggung kerugian.
4.      Keuntungan sepadan dengan kerugian; dan kerugian sepadan dengan keuntungan.
5.      Sesuatu yang haram diambil, haram pula diberikan (kepada yang lain)
6.      Sesuatu yang haram dikerjakan, haram pula mencarinya.
Apabila terjadinya pertentangan antara cegahan dan tuntutan, yang diutamakan adalah yang mencegah; yang menggadaikan tidak (boleh) menjual benda yang telah digadaikan selama benda tersebut berada di tangan yang menggadai.
1.      Penggantian sebab kepemilikan menempati tempat pergantian zat.
2.      Siapa saja yang tergesa-gesa (mengerjakan sesuatu) sebelum tiba waktunya, mendapatkan sanksi karena pekerjaan itu.
3.      Pegangan dalam transaksi adalah maksud dan maknanya, bukan lafazh dan bentuknya.
4.      Tidak (boleh) menyulitkan (orang lain) dan juga tidak boleh dipersulit (oleh orang lain)
5.      Kesulitan harus dihilangkan.
6.      Kesulitan tidak dihilangkan dengan kesulitan pula.
7.      Apabila pokok batal, ia dikembalikan kepada pengganti.
8.      Transaksi belum sempurna sebelum (benda yang diakadkan) dikuasai.
9.      Kebijakan pemimpin atas rakyat (harus) mempertimbangkan maslahat.
10.  Kekuasaan yang bersifat khusus lebih kuat daripada kekuasaan yang bersifat umum.
11.  Perkataan tidak disandarkan kepada yang diam, tetapi diam bagi sikap penolakan kebutuhan adalah penjelasan.
12.  Tulisan (surat) sepadan dengan pesan (lisan).
13.  Kedudukan isyarat dari orang-orang yang bisu sepadan dengan penjelasan dengan lisan.
14.  Sesuatu yang didasarkan pada perkiraan yang jelas salahnya, tidak dianggap (tidak diperhitungkan).
15.  Sesuatu yang dihubungkan dengan syarat, ia wajib ada ketika syarat itu terpenuhi.
16.  Pemeliharaan syarat diwajibkan selama memungkinkan.
17.  Sewa dan penggantian (kerusakan) tidak dapat disatukan.
18.  Pekerjaan disandarkan (dibebankan) kepada pelakunya, bukan kepada yang memerintahkan, selama tidak dipaksa.
19.  Apabila berkumpul antara pelaksana langsung dan pelaksana secara tidak langsung, sanksi dibebankan kepada pelaksana langsung.
20.  Kebolehan berdasarkan syara’ bertentangan dengan keharusan penggantian kerugian.
21.  Pelaku secara langsung (harus) bertanggungjawab meskipun tidak disengaja.
22.  Pihak yang berbuat secara tidak langsung (tidak dapat dimintai) pertanggungjawab kecuali (pekerjaan) dilakukan dengan sengaja.
23.  Tindakan binatang tidak dapat diminta penggantian kerugian kepada pemiliknya.
24.  Perintah untuk mengelola harta milik orang lain adalah batal.
25.  Seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin (dari pemiliknya).
26.  Seseorang tidak dibolehkan mengambil harta orang lain tanpa sebab yang dibenarkan oleh syara’.
 Kaidah yang diikhtilafkan di Kalangan Sunni
Kaidah ada yang diterima oleh mazhab tertentu tapi ditolak oleh mazhab yang lain. Ikhtilaf tersebut dapat dilihat pada kasus sewa dan pembayaran kerusakan bagi Hanafiyah dan Jumhuriyah. Menurut Hanafiyah, sewa dan pembayaran kerusakan tidak pernah dapat disatukan, masing-masing berdiri sendiri. Oleh karena itu, hanafiyah mengatakan bahwa :
Sewa dan pembayaran kerusakan tidak (bisa) digabungkan.Berbeda dengan Hanafiyah, Syafi’iyah mengatakan bahwa antara upah dan penggantian kerusakan dapat digabungkan. Oleh karenanya Syafi’iyah mengatakan :
Sewa dan penggantian kerusakan (dapat) digabungkan.
Kaidah yang diikhtilafkan Ulama yang Sealiran
Di dalam Kaidah Fiqh terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama yang selairan. Sebagai contoh adanya perbedaan antara Muhammad dengan Abu Yusuf yang sama-sama mazhab Hanafi. Perbedaan tersebut adalah mengenai wangi-wangian sebelum berihram. Menurut Muhammad wangi-wangian yang digunakan sebelum berihram – dan ketika berihram wangi-wangiannya masih tercium – adalah boleh, karena wangi-wangian itu dipakai sebelum berihram dan wangi-wangian yang dilarang oleh Rasul adalah wangi-wangian ketika berihram. Oleh karena itu Muhammad berpendapat :
Sesuatu yang terjadi (dan kekal) sebelumnya, boleh dilakukan untuk memulai yang lain.Abu Yusuf berbeda pendapat dengan Muhammad. Menurut Abu Yusuf, menggunakan wangi-wangian ketika berihram dilarang oleh Rasul. Oleh karena itu, menggunakan wangi-wangian sebelum berihram – dan wanginya masih tercium ketika berihram – tidak dibolehkan. Atas dasar itu, Abu Yusuf membuat kaidah :
Sesuatu yang terjadi (dan kekal) sebelumnya tidak boleh dilakukan untuk memulai yang lain
Kesimpulan
1. Kaidah Fiqhiyah (hukum) adalah dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’ yang bersifat mencakup (sebahagian besar bahagian-bahagiannya) dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas (singkat padat) yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada peristiwa-peristiwa yang dapat dimasukkan pada permasalahannya.
2. Sejarah Perkembangan Kaidah Fiqhiyah mengalami tiga fase, yaitu Fase Pertumbuhan dan Pembentukan (1-3 H); Fase Perkembangan dan Kodifikasi (4 – X H); dan Fase Kematangan dan Penyempurnaan (XI – H-Kini).
3. Kaidah Fiqhiyah memiliki kegunaan yang sangat besar bagi ahli fiqh sebab kaidah fiqh adalah sebagai pengikat (ringkasan) terhadap beberapa persoalan fiqh. Menguasain suatu kaidah berarti menguasai sekian bab fiqh.
4. Kaidah Fiqhiyah dapat dibagi kepada tiga bahagian besar, yaitu Kaidah Fiqh dari segi fungsinya; Kaidah Fiqh dari segi Mustasnayatnya (pengecualaiannya); dan Kaidah Fiqh dari segi Kualitasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Asjmuni, Prof. Drs. H., Qawa’id Fiqhiyah : Arti, Sejarah dan Beberapa Qaidah Kulliyah, (Yogyakarta : Suara Muahammadiyah, 2003).Al-Jauziyyah, Ibnu Qoyyim, I’lamu al-Muwaqqi’ien ‘An Rabbi al-‘Alamien, (Beirut : Darul Jail, t.t), III. An-Nadwi, Ali Ahmad, Al-Qowa’idul Fiqhiyah, Mafhumuha, Nisya’atuha, Tathowwuruha, dirasatu Muallifatiha, adillatuha, Muhimmatuha, Tathbiqatuha, (Damaskus, Daru al-Qalam, 1414 H / 1994 M).Mahmashshanni, Subhi, Falsafatu al-Tasyri’ al-Islami, (Beirut : Darul ‘Ilmi Lil Malayin, 1961).Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh, Sejarah dan Kaidah Asasi, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002).Mujib, Abdul, Drs. H., Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih : Al-Qawa’idul Fiqhiyyah, (Jakarta : Kalam Mulia, 2004). Usman, Muchlis, Drs. MA. H., Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah : Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002).

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook