Tuesday, March 31, 2015

Penerimaan Otoritas Hukum Islam

teori ini dengan teori penerimaan otoritas hukum. Gibb, Teori Penerimaan Otoritas Hukum Islam Kebuntuan Hukum Teori HAR Gibb Orang Islam Kalau Sudah Menerima Islam sebagai agamanya maka ia menerima otoritas hukum Islam terhadap dirinya”. Ichtijianto, menyebut teori ini dengan teori penerimaan otoritas hukum. Gibb, menggambarkan bahwa dalam masyarakat Islam ada dalam hukum Islam karena ditaati oleh orang-orang Islam. Orang Islam menaati hukum Islam karena diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, karena kalau mereka telah menerima islam sebagai agamanya, mereka menerima otoritas hukum islam terhdap dirinya. Masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, pada dasarnya memperjuangkan syariat Islam bagi umat Islam merupakan suatu keharusan baginya. Salah satunya bentuknya dengan berupaya memberlakukan hukum pidana Islam sebagai salah satu solusi kebuntuan hukum yang dianggap pada saat sekarang ini. Pemberlakuan hukum pidana Islam sepertinya dapat terwujud jika menoleh pada pemberlakuan ketentuan hukum perdata Islam yang telah diimplemnetasikan dalam sistem perundang-undangan nasional, seperti perkawinan dan kewarisan. Hal ini merupakan langkah awal dari pemberlakukan hukum Islam di Indonesia melalui hukum positif. Pemerintah sudah mengajukan draf yang berisi RUU KUHP nasional sebagai salah satu bentuk realisasi untuk mengakomodir aspirasi umat islam yang menjadi penduduk mayoritas di negri ini. Draf ini sudah bertahun-tahun dibahas oleh para ahli dan praktisi hukum kita, namun hingga sekarang belum mencapai kata sepakat karena pandangan sebelah pihak terhadap hukum pidana Islam oleh sebagian masyarakat. Hingga akhir ini belum ada kepastian tentang pemberlakuan RUU KUHP yang pembahasan utama RUU KUHP tersebut adalah pasal-pasal baru yang memuat ketentuan hukum pidana Islam (HPI). Segala puji milik Allah SWT. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan pada Rasulullah SAW. Karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Hukum adalah sebagai salah satu alat memperjuangkan Hak Asasi Manusia, namun realita yang ada hukum positif yang sekarang dipakai dianggap mengalami kebuntuan dalam hal efektifitasnya, Beranjak dari permasalahan tersebut, sudah saatnya pidana Islam menjadi solusi atas permsalahan hukum yang ada di bumi Pertiwi. Di dalam penyusunan karya tulis ini, tidak sedikit kendala yang penulis hadapi. tetapi penulis mengerti bahwa kelancaran didalam penyusunan karya tulis ini tidak lain berkat pertolongan, dorongan, serta tuntunan semua pihak, hingga kendala-kendala yang penulis hadapi bisa diselesaikan. Karya tulis ini disusun supaya pembaca bisa memperluas pengetahuan perihal permasalahan hukum yang ada, khusunya bagi kaum muslimin. yang di sajikan menurut pengamatan dari beragam sumber informasi, referensi, serta berita. Wahai para pejuang-pejuang Islam dalam menegakan syariat Islam. Penulis sadar bahwa makalah ini ada banyak kekurangan serta jauh dari sempurna. oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kebaikan karya tullis kedepanya. Terima kasih atas perhatinya, kebenaran datang dati Allah SWT, kesalahan datangnya dari setan. Mohon maaf bila banyak kesalahan. Masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, pada dasarnya memperjuangkan syariat Islam merupakan suatu keharusan baginya Salah satunya memberlakukan hukum pidana Islam di Indonesia. Namun, kejam dan tidak manusiawi. begitulah kesan sebagian masyarakat terhadap hukum pidana Islam (Fiqh Jinayah). Tiap mendengar pidana Islam, yang terbayang biasanya hukuman potong tangan, rajam dan qishash yang dapat dikaegorikan sebagai `vonis`. Padahal, studi yang obyektif dan mendalam terhadap hukum ini kana menunjukan bahwa kesan sperti ini muncul, karena hukum pidana Islam dilihat secara tidak utuh atau parsial. Seharusnya, hukum pidana Islam dibaca dalam konteks yang menyeluruh dengan bagian lain dari syariat Islam. Hukum potong tangan contohnya, sering dituding telalu lampau kejam dan tidak adil. padahal, hukuman ini baru dijatuhkan ketika sejumlah syarat yang ketat telah dipenuhi. Selain itu, situasi dan kondisi pada lingkungan masyarakat itu menjadi pertimbangan diberlakukanya hukum pidana Islam. Sebagai contoh, di masa kahlifah Umar bin Khotob, hukuman potoang tangan tidak pernah diberlakukan karna terjadinya krisis kebutuhan pokok dimasyarakat. Kalau hukuman itu diberlakukan, maka ini tidak sesuai dengan maqosid asy-syariat atau tujuan hukumnya. Saat ini, di negeri kita marak terjadi akasi kejahatan yang amat meresahkan dan menakutkan masyarakat. seperti pembegalan dijalan-jalan, pencurian, pencopetan, bahkan pada bulan Juli 2001, di sekitar Bekasi terjadi pembunuhan yang didahului pemerkosaan terhadap ibu dua orang anak dua. Mayat korban lalu dibakar dan dikubur di tempat kejadian. Sementara itu, kejahatan seksualpun merebak dengan pesat. pornografi makin tak terkendali, pelecehan seksual terjadi dimana-mana. penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang semakin bertambah, dan tindak pidana korupsi yang kian tak terbendung. Dalam kondisi seperti ini, reaksi masyarakat terhadap pelaku kejahatan juga kian tak terkontrol. sudah lebih dari sepuluh orang yang yang dianggap mencuri hangus dibakar oleh massa, sudah puluha nyawa melayang sia0sia karena salah sasaran. Masyarakat marah dan geram karena kejahatan begitu mudah mengambil korban. huku, seolah tak lahi ada, karena daya efektifitasnya melemah. Para pelaku kejahatan sepertinya tidak lagi takut pada sanski. Penjara pun menjadi tempat yang paling aman untuk berlibur dan transaksi narkoba. Disaat seperti inilah, masyarakat butuh suatu sistem penanggulangan kejahatan yang betul-betul melindungi dan member rasa aman. namun sayangnya, ketika berbicara soal hukum pidana Islam dan sanskinya, sebagian masyarakat sudah bersikap apriori. 1.2 PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang diatas,dapat dirumuskan persamalahan yang ada, yaitu: 1. Landasan atau teori apa yang melatarbelakangi perlu diberlakukan hukum Islam? 2. Mengapa hukum pidana Islam belum bisa ditegakan di Indonesia secara menyeluruh? 3. Bagaimana cara agar Hukum pidana Islam bisa menjadi solusi kebuntuan Hukum Nasional? 1.3 TUJUAN PENULISAN Tujuan karya tulis ini agar dapat mengetahui dan memahami: 1. Landasan atau teori apa yang melatarbelakangi perlu diberlakukan hukum Islam 2. Mengapa hukum pidana Islam belum bisa ditegakan di Indonesia secara menyeluruh 3. Bagaimana cara agar Hukum pidana Islam bisa menjadi solusi kebuntuan Hukum Nasional 1.4 METODE PENGUMPULAN DATA Penulis memperoleh data sebagai bahan dalam penulisan Karya Ilmiah ini dari kajian pustaka, dan melakukan browsing internet. TEORI BERLAKUNYA HUKUM ISLAM DI INDONESIA Teori- teori berlakunya hukum Islam di Indonesia, yaitu: a. Teori HAR Gibb Teori ini di kemukakan oleh HAR Gibb dalam bukunya” The Moderm Trends Of Islam”. Teori ini mengatakan bahwa “ orang Islam kalau sudah menerima Islam sebagai agamanya maka ia menerima otoritas hukum Islam terhadap dirinya”. Ichtijianto, menyebut teori ini dengan teori penerimaan otoritas hukum. Gibb, menggambarkan bahwa dalam masyrakat Islam ada dalam hukum Islam karena ditaati oleh orang-orang Islam. Orang Islam menaati hukum Islam karena diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, karena kalau mereka telah menerima islam sebagai agamanya, mereka menerima otoritas hukum islam terhdap dirinya. HAR Gibb juga berpendapat bahwa hukum Islam berdeda dengan hukum Romawi dan hukum modern pada umunya, hukum Islam bukanlah hasil karya budaya yang gradual dari manusia, melainkan ketentuan agama. b. Teori Receptio In Complexu Teori ini dikemukana oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem Cristiaan van den Berg (1845-1927), yang mengatakan Bahwa “ bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam sebab dia telah memeluk agama Islam walaupun dalam pelaksanaanya terdapat penyimpangan-penyimpangan”. atau “bagi rakyat pribumi maka berlaku bagi mereka adalah hukum agamanya”. 2.3 PENGERTIAN HUKUM PIDANA ISLAM Istilah hukum Islam berasal dari tiga kata dasar, yaitu ‘hukum’, ‘pidana’, dan ‘Islam’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘hukum’ diartikan dengan (1) peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah, atau otoritas; (2) undang-undang, peraturan, dsb. untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; (3) patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dsb.) yang tertentu; dan (4) keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan); vonis (Tim Penyusun Kamus, 1997: 360). Secara sederhana hukum dapat dipahami sebagai peraturan-peraturan atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa (M. Daud Ali, 1996: 38). Dalam ujudnya, hukum ada yang tertulis dalam bentuk undang-undang seperti hukum modern (hukum Barat) dan ada yang tidak tertulis seperti hukum adat dan hukum Islam. Kata yang kedua, yaitu ‘pidana’, berarti kejahatan, (tentang pembunuhan, perampokan, korupsi, dan lain sebagainya); kriminal (Tim Penyusun Kamus, 1997: 871). Adapun kata yang ketiga, yaitu ‘Islam’, oleh Mahmud Syaltut didefinisikan sebagai agama Allah yang diamanatkan kepada Nabi Muhammad Saw. untuk mengajarkan dasar-dasar dan syariatnya dan juga mendakwahkannya kepada semua manusia serta mengajak mereka untuk memeluknya (Syaltut, 1966: 9). Dengan pengertian yang sederhana, Islam berarti agama Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. untuk disampaikan kepada umat manusia untuk mencapai kesejahteraan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dari gabungan ketiga kata di atas muncul istilah hukum pidana Islam. Dengan memahami arti dari ketiga kata itu, dapatlah dipahami bahwa hukum pidana Islam merupakan seperangkat norma atau peraturan yang bersumber dari Allah dan Nabi Muhammad Saw. untuk mengatur kejahatan manusia di tengah-tengah masyarakatnya. Dengan kalimat yang lebih singkat, hukum pidana Islam dapat diartikan sebagai hukum tentang kejahatan yang bersumber dari ajaran Islam. Hukum Pidana Islam (HPI) dalam khazanah literatur Islam biasa disebut Al-Ahkam Al-Jinaiyyah , yang mengatur pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang mukallaf dan hukuman-hukuman baginya (Khallaf, 1978: 32). Para ulama menggunakan istilah jinayah bisa dalam dua arti, yakni arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Syara’ dan dapat mengakibatkan hukuman had (hukuman yang ada ketentuan nash-nya seperti hukuman bagi pencuri, pembunuh, dll), atau ta’zir (hukuman yang tidak ada ketentuan nash-nya seperti pelanggaran lalu lintas, percobaan melakukan tindak pidana, dll) Dalam arti sempit, jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang 6 dilarang oleh Syara’ dan dapat menimbulkan hukuman had, bukan ta’zir (A. Jazuli, 2000: 2). Istilah lain yang identik dengan jinayah adalah jarimah. TUJUAN HUKUM PIDANA ISLAM Tujuan hukum pidana Islam sejalan dengan tujuan hidup manusia serta potensi yang ada dalam dirinya dan tidak menyimpang dari cita-cita nasional re[ublik Indonesia dan potensi yang datang dari luardirinya, yakni kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat, atau dengan ungkapan yang singkat, untuk kemaslahatan manusia. Tujuan ini dapat dicapai dengan cara mengambil segala hal yang memiliki kemaslahatan dan menolak segala hal yang merusak dalam rangka menuju keridoan Allah sesuai dengan prinsip tauhid. Menurut al-Syathibi, salah satu pendukung Mazhab Maliki yang terkenal, kemaslahatan itu dapat terwujud apabila terwujud juga lima unsur pokok. Kelima unsur pokok itu adalah agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta (Bakri, 1996: 71). Menurut al-Syathibi, penetapan kelima pokok kebutuhan manusia di atas didasarkan pada dalil-dalil al-Quran dan Hadis. Dalil-dalil tersebut berfungsi sebagai al-qawaid al-kulliyyah (kaidah-kaidah umum) dalam menetapkan al-kulliyyah al-khamsah (lima kebutuhan pokok). Ayat-ayat al-Quran yang dijadikan dasar pada umumnya adalah ayat-ayat Makkiyah yang tidak dinasakh (dihapus hukumnya) dan ayat-ayat Madaniyah yang mengukuhkan ayat-ayat Makkiyah. Tujuan berikutnya adalah menjamin keperluan hidup (keperluan sekunder) atau Hajiyat. tujuan ketiga dari perundang-undangan Islam adlah membuat berbagai perbaikan, yaitu menjadikan manusia mampu mengatur dan menghiasi kehidupan sosialnya lebih baik (keperluan tersier) atau tahsinat. 2.5 PELUANG, HAMBATAN, DAN TANTANGAN HUKUM PIDANA ISLAM DI INDONESIA a. Peluang 1. Sejarah panjang eksistensi hukum Isla sebagai the living law 2. Semaraknya kegiatan Islam 3. Ajaran Islam yang bersifat terbuka untuk semua manusia 4. Pemidanaan dalam Islam sesuai dengan prinsip keadilan dan kemanusiaan 5. Indonesia oleh beberapa kalangan dikategorikan sbg negara Islam b. Hambatan: 1. Kendala Kultural atau sosiologis yaitu adanya Umat Islam yang masih belum bisa menerima hukum pidana Islam diberlakukan; 2. Kendala Fikrah (Pemikiran), yaitu banyaknya pandangan negatif terhadap hukum pidana Islam dan kurang yakin dengan efektifitasnya; 3. Kendala Filosofis berupa tuduhan bahwa hukum ini tidak adil bahkan kejam dan ketinggalan zaman serta bertentangan dengan cita-cita hukum nasional; 4. Kendala yuridis yang tercermin dari belum adanya ketentuan hukum pidana yang bersumber dari syariat Islam; 5. Kendala konsolidasi, yakni belum bertemunya para pendukung permberlakuan syariat Islam (dari berbagai kalangan) yang masih menonjolkan dalil (argument) dan metode penerapanya masing-masing; 6. Kendala akademis, terlihat dari belum meluasnya pengajaran hukum pidana Islam di kampus-kampus secara komprehensif; 7. Kendala perumusan yang terlihat dari belum adanya upaya yang sistematis untuk merumuskan hukum pidana yang sesuai syariat Islam sebagai persiapan mengganti hukum pidana Barat; 8. Kendala struktural yang terlihat dari belum adanya struktur hukum yang dapat mendukung penerapan hukum pidana Islam; 9. Kendala ilmiah, tercermin dari kurang banyaknya literatur ilmiah yang mengulas tentang hukum pidana Islam; dan 10. Kendala politis, terlihat dari tidak cukupnya kekuatan politik untuk menggolkan penegakan hukum pidana Islam melalui proses politik.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook