Wednesday, March 4, 2015

Seksologi dalam Ajaran Leluhur PANTUN



   PANTUN 


 
OLEH M.RAKIB  SH., M.Ag. Muballigh Pekanbaru IKMI Riau Indonesia


Kalau salah, melepas hasrat
Seksual yang fitrah, menjadi laknat
Akan disumpah, sepanjang adat
Ualama tak akan, mau mendekat.

Bujang dan gadis, jangan berduaan,
Agar tidak, disatukan Setan
Gaya tarik, tak akan terelakkan
Kuncinya hanya, jangan berdekatan.



        Falsafah sekologi  adat  ini juga tidak muncul dengan serta merta begitu saja, akan tetapi juga telah melalui proses atau tahap-tahap perubahan. Setidaknya ada beberapa tahap yang dilalui masyarakat Melayu  dan Minangkabau di Riau dan Sumbar yang animistik sampai mengikis kabiasaan hindu dan budha, akhirya sampai ke deklarasi ”adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” :
  1. Sebelum Islam datang orang Minangkabau tidak mengenal kehidupan setelah mati (alam akhirat), adat hanya dibuat sebatas untuk orang hidup, sedangkan kalau sudah mati maka akan manjadi tanah, tidak ada lagi aturan yang akan menghukum, keyakinan mereka watu itu adalah ”hiduik di kanduang adat mati di kanduang tanah”, artinya, selama hidup manusia hidup dalam aturan adat, sedangkan kalau sudah mati mereka akan tinggal dalam tanah dan habis lah segala bentuk peraturan.
  2. Sewaktu Islam mulai masuk ke daerah Minagkabau, masyarakat banyak yang enggan menerima nilai-nilai Islam karena para da’I kurang sopan santun dan menarik simpati dalam menyampaikan dakwah Islam, timbullah sindiran yang mengatakan bahwa ”syarak batilanjang adat basisampiang” maksudnya, agama terlalu berterus terang, sedangkan adat bahasanya lebih halus. Perlu diingat bahwa pada saat itu pada dasarnya masyarakat Minangkabau tidak terbiasa dengan hal yang terlalu terus terang dan ”tegas” seperti bahasa agama.
  3. Untuk membendung arus Islam di masyarakat yang takut akan kehilangan identitas adat lama yang mereka pertahankan, makanya para pemuka adat dan cerdik pandai memuat suatu benang merah dengan membuat falsafah ”adat basandi alua syarak basandi kitabullah” artinya, adat itu berlandaskan pada kepatutan, sedangkan agama belandaskan pada kitabullah (al Quran). Dalm hal ini terlihat bahwa masih ada pemisahan antara adat dan agama.
  4. Melalui pembatasan itu, laju dakwah di rasa berjalan lamban di Minangkabau, maka pada waktu itu para ulama melakukan pendekatan secara kooperatif ”syarak mandaki adat manurun” syarak itu sehubungan dengan hal vertikal kepada Tuhan, adat berkenaan dengan kehidupan sosial.
Posted on Februari 10, 2011 by Diemas Dhamardjati
Masyarakat Jawa memandang perempuan sebagai makhluk indah yang dengan kecantikannya menunjukkan sisi keserasian dan keindahan.
Menurut falsafah Jawa, perempuan adalah bumi yang subur, yang siap menumbuhkan tanaman. Perempuan adalah bunga yang indah, menebarkan bau harum mewangi dan membuat senang siapa saja yang melihatnya.
Wanita ideal dalam budaya Jawa digambarkan panyandra. Panyandra merupakan lukisan keindahan, kecantikan, dan kehalusan melalui ibarat.
Membincang seksualitas perempuan dahulu dimulai dari hubungan-hubungan sosial pada masa remaja dalam sistem sosial Jawa yang erat sangkut-pautnya dengan proses tercapainya tingkat kedewasaan biologis.
Masalah seks tidak pernah dibicarakan secara terbuka dalam keluarga dan masyarakat Jawa umumnya, meskipun dalam percakapan banyak lelucon mengenai seks. Bahkan, seorang rohaniawan juga sering bercerita tentang seks kepada pendereknya. Pembicaraan dan pengetahuan tentang seks mengalir di antara teman akrab, kawan seprofesi, atau kawan bermain, dan ada juga yang mendapatkan dari wanita-wanita tunasusila di warung-warung pinggir jalan.
Oleh karena ada rasa tabu dalam pembicaraan seks, orang Jawa memiliki simbol lingga yoni.
Lingga melambangkan falus atau penis, alat kelamin laki-laki. Yoni melambangkan vagina, alat
kelamin perempuan. Simbol-simbol ini sudah lama dipakai oleh masyarakat nusantara sebagai penghalusan atau pasemon dari hal yang dianggap jorok.
Simbol lain seperti lesung alu, munthuk cobek, dan sebagainya juga bermakna sejenis. Pelukisan seksual dalam khazanah filsafat Jawa dikenal dengan isbat curiga manjing warangka yang arti lugasnya adalah keris masuk ke dalam sarungnya.
Dalam melambangkan proses pembuahan ini Hariwijaya mengungkapkannya sebagai berikut.
Manusia dalam kosmologi Jawa berasal dari tirta sinduretna yang keluar saat pertemuan antara
lingga yoni, kemudian berkembang menjadi janin dan dikandung dalam gua garba.
Tirta sinduretna merupakan lambang dari air mani atau sperma laki-laki. Gua garba merupakan melambangkan untuk menghaluskan fungsi rahim seorang wanita.
Proses magis spiritual ini disimbolkan dalam kalimat alegoris bothok bantheng winungkus godhong asem kabitingan alu  bengkong. Secara harfiah, kalimat tersebut berarti sejenis sambal yang dibungkus daun asam yang diberi lidi alubengkong. Bothok bantheng bermakna sperma; godhong asem bermakna kemaluan wanita; alu bengkong sebagai simbol alat kelamin pria.
Dengan demikian, makna adalah bahwa asal-usul manusia berasal dari sperma yang membubuhi sel telur dari rahim wanita yang terjadi dalam proses persenggamaan.
Dalam pandangan yang lain istilah dalam bathok bantheng adalah simbol keberadaan zat, hidup manusia; godhong asem sebagai simbol sifat manusia; alu bengkong melambangkan tingkah-laku.
Maknanya, hidup manusia selalu  terbungkus oleh sifat dan perilakunya.
Hubungan seksual dalam pandangan Jawa merupakan sesuatu yang luhur, sakral, dan memiliki fungsi untuk menjaga keharmonisan dan kelangsungan hidup manusia. Keharmonisan akan beraroma kenikmatan tinggi jika menggunakan seluruh tubuh untuk mencari dan mengekspresikan kepuasan satu sama lain.
Hubungan seksual demikian adalah seks yang sesungguhnya dan memberi arti yang sangat dalam.
Seks memberikan nilai keharmonisan hidup. Pemenuhan seksual (sexual fulfilment) adalah suatu hal ketika keduanya mencapai suatu momen yang memabukkan (ecstasy), menggambarkannya sebagai berikut;
Saya hanya bisa seperti apa bagi seorang pria, namun saya ya….. ketika saya dapat mencapai satu macam ikatan, ketika Anda sedang bersetubuh dan ……..Anda mendekati jiwa pasangan orang lain yang Anda tidak bisa dapatkan di kesempatan lain …. Ketika Anda lihat ke dalam mata pasangan, Anda seperti bisa melihat ke dalam jiwa mereka dan itu adalah ikatan— saya rasa, vagina saya menjadi jiwa saya juga… dan ketika kita berhubungan itu, seperti menggabungkan dua jiwa, dan itulah bentuk ikatan, lalu sensasi suatu rasa bahwa Anda telah menciptakan kepuasan seksual.
Hubungan seksual jika didasari oleh rasa cinta merupakan pemenuhan spiritual. Hal ini barangkali tak akan lebih mudah dipahami dalam konteks keagamaan.
Dalam ajaran leluhur kuno, hasrat jiwa untuk menjadi satu dengan Tuhan biasanya diekspresikan secara simbolik dengan terma cinta manusia dan hasrat seksual.
Dalam tasawuf, seks orgasme merupakan jalan menyatukan diri hamba dengan Tuhannya. Oleh karena itu, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki hak-hak untuk dapat menikmati hubungan seks yang mereka lakukan.
Menurut ajaran Jawa kuno, dalam hubungan seksual itu, unsur laki-laki adalah upaya atau alat untuk mencapai kebenaran yang agung, sedangkan unsur wanita merupakan prajnaa atau kemahiran yang membebaskan. Dipahami bahwa persenggamaan adalahdarma suami terhadap istri, dan sebaliknya merupakan kewajiban suami terhadap istrinya.
Asmaragama ini ditunjukan kepada sepasangan kerohanian. Latihan untuk memahami teori seksual ini diperlukan kesungguhan,keajegan, ketenangan batin, dan sakralitas karena seks merupakan ritual suci sakral yang hanya boleh dilakukan oleh mereka yang telah menuju kedewasaan dalam kerohanian keutamaan hidup.
LESUNG
Suaramu tak lagi mengalun
karena antan sudah haram menjamah
Dewi Sri yang ramah kini hanya mampu meratap
pak Tani dan mbok Tani tak lagi berdendang
di saat fajar subuh menjelang

Buah lakum,  di samping rumah,
Dibuat sambal, di pagi hari.
Kuat hukum negara, tidak singkirkan agama,
Kuat agama tidak, anti aturan negeri.


Air deras, hanyutlah peti,
Buku Hamka, di seberang.
Aku cemas , bersedih hati,
Melihat KaPeKa, dilemahkan orang.


Orang di  suarau, bersorak-sorak
Menabuh gendang,  dengan rebana.
Alangkah risau, hati awak.
Pelindung hukum, dapat  bencana.


Ingin tahu,  cara menyayat,
Lihatlah pandan nan berduri
Sungguh malang,  nasib rakyat,
Pengawal hukum, perkaya diri.


Memancing di belakang gudang
Nasi masak,  gulai tertumpah
Menangis rakyat, me minta uang
Konglomerat,  menganggapnya  sampah


Kucing takut, sampai  menggigil,
Melihat tikus, membawa lidi.
Buat yang patut, jangan mengganjil,
Gunakan kepekaan, hatinurani.


Seekor tikus, dingin  menggigil,
Melihat kucing, membawa lidi.
Koruptor melakukan, perbuatan ganjil,
Terlalu rakus, pura-pura mengabdi.



Orang langkat,  membeli batik,
Batik dijual,  anak seberang.
Terbang semangat, ahli politik,
Melihat teroris, terus  berjuang.


Tudung saji,  hanyut terapung
Hanyut terdampar,  di air sungai
Si Alim seorang, pencuri kampung,
Ingin melerai,  tangan tak sampai.





Dari Malaka,  ke negeri Pahang
Singgah ke kedai,  beli kuini
Rakyat  pribumi, bagaikan  menumpang
Pemodal asing, makmur di sini
.



Kalau masak,  buah papaya,
Pakailah motor,  bawa  ke Bali.
Kalau Indonesia ingin,  kaya  raya,
Lenyapkan koruptor, dari bumi.



Ramai orang, di pinggir jalan,
Menjual koran,  menjual manggis.
Ingin hati,  menegakkan  keadilan, 
Tiada pengangguran, tiada lagi  pengemis
.



Dua tiga,  toko di Padang
Sebuah saja,  toko besi.
Dua tiga, pulau  yang  hilang,
Tambang emas, jangan dihabisi
.



Puntung hanyut,  api pun padam
Orang memancing,  di sungai kulim,
Buku kubaca, di tengah malam,
Kapan Israel, tak lagi zalim.


Anak raja,  bermain keris
Keris dikerat,  di Apar lama.
Usahlah si miskin,  duduk menangis
Hidupnya konglomerat,  takkan lama.



Sungguh dalam,  lautan teduh
Kapal berlayar,  di tengah malam
Gila harta,  bisa sembuh
Gila cinta,  semakin dalam.



Tudung periuk, milik putri
Mainan anak,  di aatas kapal.
Jalanan   buruk, akibat korupsi,
Gedung roboh, pemborongnya nakal.



Ke ladang,  menabur benih,
Di  dalam lukah, ikan juara.
Di mana hati, takkan sedih,
Anak kena narkoba,  suami di penjara.



Buah nangka, buah   kuini,
Untuk bekal,  orang di sawah
Cobalah terka,  pantunku ini,
Apa  hukumannya,  pencuri  cinta.



Orang memancing,  ikan belanak,
Dapat sepasang,  di  dalam lukah.
Terlalu  dimanja, seorang  anak,
Akhirnya  menjadi, anak durhaka.



Buah lada,  rasanya pedas
Jatuh sebiji buah masaknya
Meski otak pintar dan cerdas
Tidak berbudi apa gunanya.



Kalau pandai,  memakai bedil,
Selamat dari,  para   peneyerang.
Kalau pemimpin, bertindak adil,
Rakyat suka, Tuhan pun sayang.


Pukat bukan,  sembarang pukat,
Pukat penjala,  ikan beledang.
Bukan adat, sembarang adat
Adat pusaka nenek moyang.



Hukum adat, berbuhul sentak,
Hukum agama,  berbuhul mati.
Keadilan tegak,  di pintu syarak,
Orang durhaka, menzalimi  diri.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook