Tuesday, March 3, 2015

TEMPE (Teknik Mengatasi Penjajahan Ekonomi). Pendidikan ekonomi keterampilan dan agama



Orangtua Adalah Sekolah Pertama


Catatan M.Rakib  Muballigh  IKMI  Pekanbaru Riau Indonesia. 2015

     Pernah dalam hayalan penulis ingin menciptakan sekolah TEMPE (Teknik Mengatasi Penjajahan Ekonomi). Pendidikan ekonomi keterampilan dan agama memegang peranan sebagai pembentuk karakter, orang tua masa kini berlomba mencari sekolah dengan nama berbau agama yang menagajarkan  keterampilan, tersebar di mana mana. Tetapi yang musti lebih dalam direnungkan adalah dalam sehari berapa lama anak berada di sekolah dan berapa lama waktu di luar sekolah (rumah dan lingkungan luar sekolah). Ilmu yang didapatkan disekolah haruslah berkesinambngan dengan praktek yang ada di luar sekolah. 

Peran orang tua sangatlah besar pada point ini, ayah dan bunda adalah teladan utama bagi anak anaknya. Ketika di sekolah anak diberi asupan ilmu tentang ibadah yang baik dan tata karma serta perkataan yang bermanfaat, akan menjadi sinkron apabila anak melihat praktek ilmu itu pada perilaku sehari hari orang terdekatnya yaitu ayah dan bundanya.

        Dalam pandangan al-Qur'an tidak semua aksi yang menimbulkan ketakutan dan kengerian terlarang, tentunya yang dibarengi dengan kemampuan dan kekuatan yang memadai sehingga dapat menampilkan misi risalah tanpa mencederai dan melukai sasaran. Sebab, dalam pandangan Islam, menyebarkan risalah Islam adalah sebuah keharusan, demikian pula memelihara simbol-simbol keagamaan. Itu tidak dapat terlaksana tanpa kekuatan dan kemajuan yang menggentarkan lawan/musuh sehingga tidak menyerang. Dengan pengertian ini, memiliki kekuatan untuk 'menggentarkan' lawan demi tersebarnya risalah kedamaian adalah sebuah keharusan, tentunya dengan cara-cara yang konstruktif. Sebaliknya, aksi teror yang menimbulkan kengerian dengan menggunakan cara-cara destruktif; merusak fasilitas umum, mengancam jiwa manusia tak berdosa, mengganggu stabilitas negara dan lainnya tertolak dalam pandangan Islam.
Al-Qur'an dengan tegas menyebut beberapa tindakan kekerasan yang mengarah pada hal-hal yang negatif/destruktif aan mengecam serta mengancamnya dengan balasan yang setimpal, antara lain melalui kata:
1.        Al-Baghy seperti tersebut pada QS. al-Nahl [16]: 90. Melalui ayat ini, al-Qur'an melarang umat Islam untuk melakukan permusuhan dengan tindakan yang melampaui batas, sebab menurut al-Ashfahani, al-baghy berarti melampaui batas kewajaran.[1]
2.        Thughyan seperti pada QS. Hud [11]: 112. Allah berfirman:
"Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."
Kata thughyan pada mulanya digunakan untuk menggambarkan ketinggian puncak gunung, tetapi dalam perkembangannya ia digunakan untuk segala sesuatu yang melampaui batas ketinggian seperti ungkapan thaghdl ntd'u yang berarti air meluap.[2] Demikian pula orang yang sombong, angkuh, dan zalim diungkapkan dengan thdghiyah atau thaghut. Sikap ini sangat dikecam oleh al-Qur'an seperti pada QS. an-Naba' [78]: 22 yang menjanjikan balasan keras berupa neraka jahannam bagi orang-orang yang melampaui batas (thaghin).
Pakar tafsir asal Tunisia, Ibnu 'Asyur, menjelaskan, ungkapan Id tathghaw pada QS. Hud [11]: 112 di atas mencakup larangan untuk melakukan segala bentuk kerusakan (ushul al-mafdsid). Dengan demikian, ayat tersebut menghimpun upaya mencapai kemaslahatan melalui sikap istiqdmah, konsisten pada prinsip-prinsip agama, dan menghindari berbagai kerusakan yang tergambar dalam kata thughyan.[3]
3. Azh-Zhulm (kezaliman)                                                          
Kata ini dan derivasinya disebut dalam al-Qur'an sebanyak 315 kali. Pengertiannya yang populer seperti dikeinukan para penyusun Mu'jam Alfdzh al-Qur'an al-Karim adalah meletakkan atau melakukan sesuatu tidak pada tempatnya, baik berupa kelebihan atau kekurangan. Karena itu melampaui atau menyeleweng dari kebenaran juga disebut zhulm, dan dapat terjadi dalam hubungan manusia dengan Tuhan dalam bentuk kekafiran atau syirik (QS. Luqman [31]: 17) dan kemunafikan, dalam hubungan antara manusia dan manusia dalam bentuk penganiayaan atau lainnya (Q5. asy-Syura [42]: 42), dan dalam hubungan antara manusia dan dirinya (QS. Fathir [35]: 32).
Dalam banyak ayat disebutkan ancaman bagi para pelaku kezaliman yaitu siksa dan balasan yang menistakan (lihat: QS. al-Furqan [25]: 19; QS. asy-Syu'ara' [26]: 227; QS. az-Zukhruf [43]:
65). Dalam sebuah Hadits qudsi, Allah dengan tegas melarang kezaliman. Allah berfirman, "Wahai hamba-hamba-Ku, Aku telah mengharamkan kezaliman untuk diri-Ku, dan Aku tetapkan kezaliman bagi kalian sebagai sesuatu yang haram/terlarang dilakukan, maka janganlah kalian saling menzalimi."[4]
4. Al-'Udwan (Permusuhan)
Kata 'udwdn dan derivasinya berasal dari akar kata yang terdiri atas huruf 'ain-ddl-waw yang makna asalnya 'lari'. Sebab, dengan berlari orang dapat melampaui sesuatu, sehingga segala tindakan melampaui batas dan kebenaran juga disebut dengan 'udwdn atau 'addwah. Dengan demikian, ia juga dapat bermakna kezaliman yang juga sangat terlarang (lihat: QS. al-Baqarah [2]: 19; QS. al-Ma'idah [5]: 87).
5. Al-Qatl (Pembunuhan)
Di atas telah disinggung, aksi kekerasan pertama yang terjadi dalam sejarah kemanusiaan adalah pembunuhan atau penganiayaan terhadap jiwa manusia tak bersalah. Membunuh satu jiwa tak berdosa dipersamakan dengan membunuh umat manusia (QS. al-Ma'idah [5]: 32). Balasan yang disadiakan bagi orang yang dengan sengaja melakukan pembunuhan sangatlah berat. Dalam QS. an-Nisa' [4]: 93 disebutkan, siapa saja yang dengan sengaja membunuh saudaranya yang "Mukmin akan disediakan neraka jahannam untuk ditempati selaina-lamanya, akan dimurkai dan dilaknat oleh Allah dan akan mendapatkan siksa yang pedih dan menistakan.
6. Al-Hirdbah
Sebuah term dalam al-Qur'an yang paling dekat dengan pengertian terorisme dalam pengertian modern adalah al-kirdbah. Dalam kitab Hdsyiyat Qalyubi wa 'Umayrah, kata al-hirdbah didefinisikan dengan, "aksi perampokan, atau pembunuhan, atau menimbulkan kecemasan dan kekacauan".[5] Sayyid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah mendefinisikannya dengan, "Aksi kekerasan dan bersenjata yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam sebuah negara dengan tujuan menciptakan kekacauan dan ketidak-stabilan dalam negeri, pertumpahan darah, perampasan harta, perenggutan harga diri dan perusakan terhadap lingkungan dan kelangsungan hidup manusia".[6] Termasuk dalam kategori al-hirabah, masih menurut Sayyid Sabiq, mafia pembunuhan, penculikan anak, perampokan bank dan rumah, penculikan wanita untuk prostitusi, pembunuhan tokoh politik dengan tujuan mengganggu stabilitas keamanan, pembalakan hutan dan perusakan lingkungan yang mengganggu flora dan fauna.
Al-Qur'an mengecam keras aksi al-hirdbah, dan menganggapnya sebagai tindakan memusuhi atau memerangi Allah dan Rasul-Nya. Atau dengan kata lain, terorisme dengan pengertian negatif dan destruktif yang membawa kerusakan di muka bumi dipersamakan dengan perlawanan terhadap Allah dan rasul-Nya. Karena itu, sanksi yang disediakannya pun sangat berat, sesuai dengan tingkat beratnya perbuatan. Dalam QS. al-Ma'idah [5]: 33 dijelaskan beberapa bentuk sanksi yang disediakan sesuai dengan tingkat kriminalitas yang dilakukannya, yaitu:
a.        Hukuman mati bagi yang membegal dan membunuh nyawa manusia;
b.        Hukuman mati dengan penyaliban bagi yang membunuh dan merampas harta;
c.         Potong tangan atau kaki bagi yang merampas harta tetapi tidak membunuh;
d.        Pengasingan (al-nafy) bagi pembegal yang menimbulkan kengerian dan kecemasan bagi orang lain tetapi tidak merampok dan membunuh.
Dari beberapa term di atas dapat disimpulkan, Islam menentang segala bentuk kekerasan, kecuali jika berada dalam tekanan kezaliman pihak lain. Dalarn kondisi itu pun Allah memerintahkan umat Islam menahan diri untuk menggunakan kekuatan dan kekerasan, dan hanya diperkenankan untuk membalas perbuatan dengan setimpal dan untuk mengembalikan situasi kepada keadaan yang normal atau kembali seimbang. Allah berfirman dalam QS. an-Nahl [16]: 126:
"Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi, jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar".
Dengan melihat sebab pewahyuan (sabab al-nuzul) ayat di atas, akan tampak jelas metode al-Qur'an agar menahan diri dan tidak menggunakan kekuatan dalam menyikapi aksi kekerasan kecuali dalam keadaan terpaksa. Menurut sebuah riwayat, Rasulullah saw. sangat marah atas terbunuhnya Hamzah, paman beliau dalam perang Uhud secara tidak wajar menurut ukuran kemanusiaan. Dengan rasa sedih dan murka Rasulullah berkata, "Dengan nama Allah, kematian Hamzah akan kubalas dengan membunuh 70 orang dari pasukan musuh". Janji itu tidak dilaksanakan oleh Rasulullah, dan Allah pun tidak membiarkannya melakukan itu, tetapi melalui wahyu seperti pada ayat di atas Allah menetapkan metode pengendalian diri dalam peperangan. Setelah ayat di atas turun, Rasulullah lalu mengatakan, "Kami memilih bersabar ya Allah".[7]
Melalui ayat ini, al-Qur'an menjelaskan, hanya ada dua cara menghadapi kekerasan; membalas dengan yang setimpal tanpa melampaui batas dan bersabar, tetapi jalan yang kedua, yaitu sabar, yang sangat dianjurkan.
Jika dalam keadaan terpaksa al-Qur'an masih memberikan aturan, apalagi dalam kondisi tidak memerlukan kekerasan atau kekuatan. Islam melarang keras penggunaan segala bentuk kekerasan, termasuk intimidasi atau upaya menimbulkan kengerian dan kecemasan; baik terorganisir maupun tidak; terang-terangan dalam bentuk pembunuhan, penyiksaan dan lainnya maupun tersebunyi seperti tekanan ekonomi atau sosial; dari penguasa maupun dari rakyat jelata. Semuanya terlarang. Bahkan, menimbulkan kecemasan dan rasa tidak nyaman pada orang lain, walaupun sekadar bercanda juga terlarang. Dalam sebuah riwayat Amir bin Rabi'ah, suatu ketika ada seseorang yang mengambil sandal orang lain dengan maksud bercanda. Setelah peristiwa itu dilaporkan kepada Rasulullah, beliau bersabda: "Jangan membuat seorang Muslim cemas, sebab membuat seorang Muslim cemas adalah sebuah kezaliman yang luar biasa".[8]
Islam melarang menimbulkan kengerian (teror) pada orang lain dengan hanya sekadar mengangkat dan mengacungkan senjata/pedang. Rasulullah saw. bersabda:
"Seseorang tidak boleh mengacungkan/'mengangkat senjata ke hadapan orang lain. Karena boleh jadi dia tidak tahu setan akan mengendalikan tangannya yang dengannya ia dapat membunuh sehingga terjerumus ke neraka”.[9]
Bahkan sekadar melihat orang lain dengan pandangan yang menakutkan juga dilarang dalam Islam. Dalam kesempatan lain Rasulullah bersabda:
"Barangsiapa memandang orang lain dengan pandangan menakutkan tanpa alasan yang benar, maka dia akan diperlakukan yang sama berupa pandangan yang menakutkan dari Tuhan di hari kiamat".[10]
Karena itu, salah satu bentuk sedekah kepada orang lain adalah pandangan dan senyuman manis kita di hadapan orang lain, demikian sabda Rasul.
Dalam pandangan al-Qur'an semua manusia yang hidup telah diberi kemuliaan (takrim) oleh Allah swt. berupa hak-hak yang harus dihormati, terlepas dari perbedaan agama, jenis kelamin, ras, dan suku (QS. al-Isra' [17]: 70)


Diposkan oleh ahmad subair di 19.57

Oleh : Dr. Eni Purwati
 Pendahuluan
Tak seorangpun menginginkan terjadinya tindak kekerasan, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara damai dan edukatif. Namun kenyataannya masih banyak, bahkan hampir semua sekolah/madrasah belum dapat memberikan hak anak, bahkan melakukan kekerasan terhadap anak. Tanpa disadari hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap Undang-undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan  Deklarasi PBB tentang hak-hak anak
Hukuman secara fisik dan emosional dari guru terhadap murid merupakan hal yang lumrah terjadi di dalam sistem pendidikan di Indonesia. Banyak guru biasa mencubit, memukul anak-anak bahkan menghina mereka, baik di sekolah-sekolah negeri maupun sekolah yang berbasis keagamaan. Kadang guru tidak menyadari bahwa hal ini sebetulnya terlarang dalam hukum Indonesia. Undang-undang Perlindungan Anak No. 23, bab 54 secara tegas menyatakan bahwa guru dan siapapun lainnya di sekolah dilarang untuk memberikan hukuman fisik kepada anak-anak. Terlebih lagi Indonesia merupakan salah satu penanda tanganan dari konversi PBB untuk Hak-hak Anak, disebutkan dalam artikel 37 yang mengharuskan negara menjamin bahwa: ”Tak seorang anakpun boleh mendapatkan siksaan atau kekejaman lainnya, tindakan tidak manusiawi ataupun perlakuan yang merendahkan atau hukuman”. Meski demikian, tampaknya undang-undang tersebut belum dipahami oleh kebanyakan pelaku pendidikan, hal ini sebagaimana laporan penelitian Ibu Nur Hidayati, dkk, dari penelitian lapangan terhadap 8 Madrasah Ibtidaiyah di propinsi Riau ditemukan bahwa hukuman jasmani lumrah terjadi di semua madrasah yang dituju, dengan kisaran antara 50% - 80%, anak-anak melaporkan bahwa mereka pernah mengalami hal ini dari guru-guru mereka secara rutin.[1]
Ibarat gunung es, kasus di atas baru di permukaan. Masih banyak tindak kekerasan dalam pendidikan yang tidak tampak. Demikian rapuhnya dunia pendidikan kita, hingga aksi kekerasan dan pelanggaran HAM para pelajar, para remaja, para penerus generasi bangsa terus meningkat.

Hak Anak dalam Pendidikan
Dalam Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights)  Pasal 1 disebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Pendidikan hendaknya diselenggarakan secara bebas (biaya), sekurang-kurangnya pada tingkat dasar. Di samping itu, pendidikan dasar haruslah bersifat wajib; pendidikan keahlian dan teknik hendaknya dibuat secara umum dapat diikuti oleh peminatnya; dan pendidikan tinggi hendaknya dapat diakses secara sama bagi semua orang atas dasar kelayakan.
Dalam Pasal 2 Deklarasi HAM juga dinyatakan bahwa pendidikan hendaknya diarahkan untuk mengembangkan secara utuh kepribadian manusia dan memperkokoh penghormatan terhadap HAM dan kebebasan asasi. Pendidikan hendaknya mendorong saling pengertian, toleransi, dan persahabatan antar berbagai bangsa tanpa memandang perbedaan ras dan agama, dan hendaknya meningkatkan kegiatan PBB untuk memelihara perdamaian.
Sedangkan pada Pasal 3 disebutkan bahwa orang tua memiliki hak utama untuk menentukan jenis pendidikan yang semestinya diberikan kepada anak-anak mereka. PBB menindaklanjuti pasal-pasal ini melalui berbagai kegiatan untuk memelihara perdamaian dunia. Dengan kata lain, pendidikan damai adalah upaya menyeluruh PBB melalui proses belajar mengajar yang humanis, dan para pendidik damai yang memfasilitasi perkembangan manusia. Mereka berjuang melawan proses dehumanisasi yang ditimbulkan akibat kemiskinan, prasangka diskriminasi, perkosaan, kekerasan, dan perang.
Dalam upaya global, para pendidik berupaya memajukan pengajaran nilai, standar dan prinsip yang terwujud dalam instrumen sebagaimana Pemusnahan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on Elimination of all Form of Discrimination Against Women, CEDAW),[2]Descrimination Based on Religion or Belief).[3] Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child, CRC), dan Deklarasi Sedunia tentang Pendidikan untuk semua (Education for all).
Secara khusus dalam CRC terdapat empat prinsip dasar dalam menyelenggarakan pendidikan yang dapat memenuhi hak anak, yaitu: non-discrimination (non diskriminasi), the best interests of the child (kepentingan terbaik bagi anak), the right to life, survival and development (hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan), dan respect for the views of the child (penghargaan terhadap pendapat anak).
Pertama, Non-Discrimination. Yang dimaksud non diskriminasi adalah penyelenggaraan pendidikan anak yang bebas dari diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang etnis, agama, jenis kelamin, ekonomi, keluarga, bahasa dan kelahiran serta kedudukan anak dalam status keluarga. Untuk mengimplementasikan prinsip ini pemerintah memiliki kewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang layak.[4]
Kedua, The Best Interests of The Child. Yang dimaksud dengan prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak adalah dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan, kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga peradilan, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.[5]
Ketiga, The Right to Life, Survival and Development.Yang dimaksud dengan prinsip hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang harus dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orangtua.[6] Karena itulah KHA memandang pentingnya pengakuan serta jaminan dari negara bagi kelangsungan hidup dan perkembangan anak, seperti dinyatakan dalam pasal 6 ayat 1, bahwa negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memilki hak yang melekat atas kehidupan (inherent right to life)”, serta ayat 2 “ negara-negara peserta secara maksimal mungkin akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan anak (survival and development of child)”.[7]
Keempat, Respect for The Views of The Child. Yang dimaksud dengan penghargaan terhadap pendapat anak adalah penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya.[8]
Pembelajaran Berbasis Pemenuhan Hak Anak

a. Menciptakan suasana kondusif
Suasana yang kondusif akan meningkatkan minat dan motivasi belajar anak. Oleh karenanya, suasana yang kondusif perlu terus dijaga ketika proses pembelajaran dan latihan dilakukan. Sebab dengan suasana tersebut internalisasi nilai dan sikap menjadi efektif. Bila dijumpai perusak suasana hendaklah segera diatasi agar tidak merusak keseluruhan proses. Dari sebuah penelitian menunjukkan bahwa lingkungan sosial atau suasana kelas merupakan penentu utama psikologis yang mempengaruhi belajar akademis. Di samping itu, guru akan mencapai hasil lebih tinggi jika mereka mampu menyingkirkan segala amcam ancaman, melibatkan emosi siswa dan membangun hubungan yang humanistik.[9]
Bobbi dePorter menyarankan terpenuhinya enam suasana agar dapat membangkitkan minat, motivasi, dan keriangan anak mengikuti proses belajar. Pertama, menumbuhkan niat belajar. Keyakinan seseorang mengenai kemampuan dirinya amat berpengaruh pada kemampuan itu sendiri. Dalam proses belajar-mengajar, baik guru maupun siswa hendaknya dapat membangkitkan niat tersebut dari dalam dirinya sendiri. Bila dijumpai siswa yang kurang bersemangat, maka mentalitas guru terhadap iklim belajar akan menjadi teladan dan berpengaruh bagi keseluruhan proses belajar. Memperhatikan emosi siswa juga dapat membantu percepatan pembelajaran mereka. Bila niat tidak mudah tumbuh dari dalam diri sendiri, dorongan orang lan, dalam hal ini terutama guru, amat diperlukan, agar tidak mempengaruhi semangat belajar yang lain.
Kedua, menjalin rasa simpati dan saling pengertian untuk menumbuhkan kepedulian sosial, sikap toleransi dan saling menghargai di antara siswa. Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh, seperti:
  • Memperlakukan siswa sebagai manusia sederajat
  • Mengetahui apa yang disukai siswa, cara pikir mereka, dan perasaan mereka mengenai hal-hal yang terjadi dalam kehidupan mereka
  • Membayangkan apa yang siswa lakukan
  • Mengetahui hal yang menghambat para siswa dalam memperoleh hal yang benar-benar mereka inginkan. Jika guru memang tidak mengetahui hal yang diinginkan siswa, maka sebaiknya ditanyakan kepada siswa. Hindari sejauh mungkin sikap sok tahu.
  • Berbicara dengan jujur kepada para siswa dengan cara yang membuat mereka mendengarkan dengan jelas dan halus.
  • Melakukan kegiatan yang menyenangkan bersama para siswa.
Ketiga, menciptakan suasana riang. Kegembiraan membuat siswa lebih mudah untuk belajar dan bahkan dapat mengubah sikap negatif. Belajar dalam iklim menyenangkan, tanpa ada paksaan dan tekanan, akan menimbulkan kesadaran untuk menemukan sendiri jawaban atas persoalan yang dihadapi. Sebaliknya suasana tegang dan tertekan mengakibatkan siswa belajar dengan terpaksa. Menciptakan suasana riang dapat dilakukan dengan membiasakan membuat selingan. Misalkan, bertepuk tangan, berteriakan ‘hore’ menghentikkan jari, menulis poter, membuat catatan pribadi, membuat kejutan, pengakuan atas prestasi siswa, pujian maupun penguatan. Hal terpenting dar langkah ini adalah menjaga suasana riang agar tidak berubah menjadi senda gurau.
Keempat, mengambil risiko. Sebagai gambaran, kita bisa mengingat saat-saat belajar naik sepeda di masa kecil? Pada mulanya susah,…namun terus dicoba. Kadang kala jatuh, tapi masih tetap mau bangun. Tidak jarang terluka karena kurang hati-hati. Memang berisiko, tetapi tetap menyenangkan. Keberanian mengambil risiko yang menantang itulah terletak keasyikan belajar. Hal-hal itulah yang hendaknya diwujudkan dalam suasana belajar di ruang kelas: tidak mudah menyerah, terus berpikir untuk memecahkan masalah. Belajar dengan tantangan bisa mengurangi kejenuhan dan rasa bosan.
Kelima, menciptakan rasa saling memiliki. Sebab, rasa saling memiliki membentuk kebersamaan, kesatuan, kesepakatan dan dukungan dalam belajar. Rasa saling memiliki juga memeprcepat proses mengajar dan meningkatkan kepemilikan. Kebanyakan konflik kekerasan yang muncul adalah akibat ketiadaan rasa saling memiliki. Pendidikan damai amat mementingkan kebersamaan, kesatuan dan kesepakatan bersama untuk saling menghargai perbedaan dan menyelesaikan konflik tanpa keerasa.
Keenam, menunjukkan teladan yang baik. Perilaku nyata akan lebih berarti daripada seribu kata. Hal-hal yang diperbuat oleh guru akan menjadi cermin bagi para murid. Untuk itu, sebaiknya mendahulukan bukti-bukti berupa sikap, sikap damai, kasih sayang, empati, disiplin dna lain sebagainya, sebelum mengajarkan dengan kata kepada orang lain tentang damai, kasih sayang dan seterusnya.
Langkah ini bisa dilakukan dengan beberapa cara berikut.
  • Memberikan teladan dalam wujud komunikasi yang jelas
  • Mengakui setiap usaha siswa
  • Murah senyum
  • Menggunakan energi untuk menciptakan lebih banyak energi
  • Menjadi pendengar yang baik
  • Mengungkapkan pikiran para siswa melalui kata-kata Anda sendiri.
    • Menyatakan kembali situasi negatif untuk menemukan hal-hal yang positif di dalamnya.
b. Meningkatkan kualitas emosi positif
Contoh-contoh kualitas emosi positif adalah sikap jujur, toleransi, saling menghargai, empati terhadap sesama, rasa percaya diri, sabar, dan sebagainya. Emosi positif ini umumnya dimiliki oleh siswa atau remaja dari interaksi sosialnya, seperti keluarga, sekolah dan pergaulan mereka di tengah masyarakat. Pendidikan keluarga yang baik akan mendukung keberhasilan anak atau remaja di sekolah. Begitu pula halnya dengan masyarakat. Ketiganya berinteraksi secara sinergis, saling mempengaruhi. Anak yang pembohong umumnya berasal dari keluarga yang suka bohong. Sebaliknya, keluarga yang hidup membiasakan kejujuran, rasa tolerasi, saling menghargai, percaya diri sabar dan lain-lain. Menyebabkan anak atau remaja akan terpola dengan kualitas emosional tersebut. Kualitas emosional yang demikian sepatutnya ditingkatkan melalui pendidikan formal di sekolah.
Pendidikan berfungsi menanamkan kualitas emosi positif kepada peserta didiknya. Proses internalisasi nilai positif bukanlah pengetahuan tentangnya, seperti memperkenalkan apa itu jujur, bagaimana konsep toleransi, atau menjelaskan apa itu empati. Sama sekali bukan pengetahuan tentangnya. Proses internalisasi nilai positif adalah penciptaan suasana, teladan, penerapan strategi belajar dan interaksi sosial dalam komunitas pendidikan. Penanaman kualitas emosi positif berguna bagi pembentukan watak (character building)
Membangun watak tergolong dalam hidden curriculum  yang pencapaiannya bergantung pada proses pendidikan ketimbang pada substansinya. Watak tidak dapat diajarkan, melainkan diperoleh melalui pengalaman anak yang perlu dilatih. Model pembiasaan akan menghasilkan pengalaman yang dapat membangun watak. Karenanya, yang perlu dikontrol adalah kondisi yang memberikan pengalaman belajar mereka.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook