Saturday, March 7, 2015

UMUR 13 TAHUN BOLEH DIPUKUL



HADITS TTG UMUR 13 TAHUN BOLEH DIPUKUL

Catatan M.Rakib IKMI  Pekanbaru Riau Indonesia 2015


                Seorang anak diakikahkan pada hari ketujuh dan diberi nama, dibersihkan dari penyakit, maka apabila dia sudah berumur enam tahun hendaklah dididik, apabila sudah berumur sembilan tahun hendaklah dipisahkan tempat tidurnya, apabila sudah berumur “ tiga belas tahun, hendaklah dipukul apabila meninggalkan shalat dan puasa, dan apabila sudah berumur 16 tahun hendaklah dinikahkan, kemudian dia memegang tangannya seraya mengatakan: aku telah mendidik dan mengajarmu dan juga menikahkanmu, aku berlindung dari fitnah yang kau bawa di dunia dan siksaanmu di akhirat.[1]
          Di dalam hadits ini  dinyatakan: 
Apabila sudah berumur “ tiga belas tahun, hendaklah dipukul apabila meninggalkan shalat dan puasa.Segala sesuatu selain dari  zikir  adalah  sia-sia, atau melalaikan,  kecuali empat hal: 1. Perjalan seorang dengan dua tujuan. 2. Memanah, 3. Mendidik kuda tunggangan, bersenda-gurau dengan keluarganya, dan  4. Mengajarinya anak berenang.[2]
              Kesalahan besar orang tua, jika berpendirian bahwa anak tidak boleh mengungkapkan pendapat! Penerapannya bisa saja keliru bahwa haram hukumnya anak tidak melaksanakan perintah orang. Apakah jika seorang anak yang harus menururti keinginan orang tua jika tidak boleh memilih jurusan sekolah sesuai kemampuan anak dan hanya menuruti ego orang tua agar bersekolah sesuai keinginan nya? Ada pula tindakan orang tua yang selalu mengumpat anaknya,[3] dan selalu marah-marah? Bagaimana orang tua yang sibuk bekerja lalu saat pulang ke rumah menumpahkan kekesalan, sementara anak tidak boleh melawan, tidak boleh sakit hati.
           c. Makna Menghukum Anak Yang Tidak Shalat
            Setiap yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya pasti memiliki  maqashid,[4] atau hikmah dan tujuan. Dalam hal perintah dan larangan Allah, secara umum manusia terbagi menjadi dua golongan, yaitu (1) orang yang cukup menerima nasihat dengan dalil kitab dan sunnah dan (2) orang yang membangkang. Golongan yang kedua inilah yang perlu diterapkan hukuman padanya. Maqashid itu di antaranya bermakna manfaat, misalnya manfaat besi adalah untuk memerangi orang-orang kafir dan untuk menegakkan qishash. Ini adalah manfaat yang sangat nampak, sebab manusia akan takut pada pedang sehingga mereka pasrah pada agama Allah. Maqashid atau manfaat memukul anak karena meninggalkan sholat, bertujuan untuk antara lain:
1)      Memberi pelajaran kepada anak bahwa hak Allah adalah sangat lebih besar, dibandingkan hak manusia, misalnya Ibrahi yang mengorbankan anaknya, menjadi contoh bahwa segala sesuatu akan menjadi hina di hadapan-Nya. Tubuh yang seharusnya dipelihara dan tidak boleh (haram) disakiti, tapi demi hukum, menjadi halal dan harus merasakan sakit lantaran meremehkan hak Penciptanya.
2)      Menampakkan kepada anak bahwa orang tua memiliki kekuasaan dalam melazimkan hukum-hukum Allah kepada mereka, sehingga tidak ada pilihan baginya kecuali pasrah dan menyerah kepada Rabbnya.
3)      Memberi pelajaran kepada anak bahwa manusia setinggi apapun kedudukannya, status sosialnya dan nasab keturunannya, tidak memiliki kebebasan mutlak dalam mengikuti kehendaknya yang bertentangan dengan kehendak Allah.
6. Analisis Terhadap Hukuman Fisik Yang Sesuai Dengan Syari’ah
    a. Memukul anak
              Penulis merasa berkewajiban memberikan catatan bahwa, ada perbedaan  yang sangat prinsipil, antara memukul biasa, dengan memukul  yang diatur oleh  syari’at.[5] Memukul menurut kebiasaan sebagian orang tua atau pendidik yang mudah emosi dan suka memukul. Suka memukul adalah akhlaq tercela. Perhatikan nasehat Rasulullah SAW., kepada Fatimah binti Qais, ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya dilamar oleh dua orang sahabat, salah satunya adalah Abu Jahm. Karenanya Rasulullah bersabda,”Adapun Abu Jahm, sebenarnya suka memukul wanita (maksudnya selalu memberikan hukuman fisik, akhlaqnya tidak baik).”[6]
             Nilai filosofis  dari memukul anak secara ringan, hanyalah agar anak takut, sehingga tunduk kepada perintah Allah bukan agar si anak takut kepada bapaknya semata, sehingga makin berwibawa. Maksud memukul adalah agar anak mengamalkan perintah Allah dengan ikhlas karena-Nya. Sesungguhnya tidak ada manfaatnya bila seorang anak nampak taat kepada Allah di hadapan orang tuanya sementara di balik itu ia tidak bertaqwa kepada-Nya.
           b. Memukul Yang Melampaui Batas
             Orang-orang yang  memukul anak-anak hendaknya takut kepada Allah. Jangan sampai  termasuk golongan orang-orang yang tidak masuk surga bahkan tidak mencium baunya. Di antaranya  sekelompok manusia yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia.[7] Ada ulama fiqih yang menyatakan bahwa yang dimaksud orang yang boleh memukul, bisa saja guru, para polisi, satpam, mandor-mandor pada jaman sekarang ini.[8] Mereka berkeliling dengan tongkat lalu memukuli dan menendang siapa saja, hanya karena mengatur dan megamankan. Lalu bagaimana caranya  mereka dapat  mengamankan dan mengatur tanpa berbuat aniaya? Jawabnya, dengan anjuran taqwa kepada Allah, nasihat dan pengarahan dengan lisan, dengan cara yang baik atau dengan tangan tanpa menyakiti karena kezhaliman adalah kegelapan di akhirat! Aturan yang paling populer selama ini adalah anak-anak harus berhati-hati dengan ‘kekeramatan’ orang tua. Tapi patut diingat, secara religi ada lima,[9] kejahatan orang tua yang wajib dihindarkan. Pertama, apabila suka memaki. Kedua menghina anak sendiri. Ketiga melebihkan anak dari yang lain. Keempat mendoakan keburukan anak. Kelima tidak memberi pendidikan anak. Merupakan kemuliaan bangsa, jika orang tua dan guru, mampu menjadikan generasi muda, cerdas lahir batin, bermoral mulia dan berbhakti kepada orang tua, sesama, bangsa dan semesta.




             [1]H.R.Ibnu Hiban. Bandingkan pula hadits Rasulullah secara rinci tentang fase-fase perkembangan anak sekaligus cara atau metode yang harus diterapkan sesuai dengan perkembangan anak. Rasulullah SAW bersabda artinya : “Berkata Anas bersabda Nabi Muhammad SAW, anak itu pada hari ketujuh dari lahirnya disembelihkan aqiqah, diberi nama dan dicukur rambutnya. Kemudian setelah umur 6 tahun dididik kesusilaan, setelah umur 9 tahun dipisahkan tempat tidurnya, bila telah berumur 13 tahun dipukul karena meninggalkan sholat dan puasa, serta umur 16 tahun hendaklah orang tua mengawinkannya, kemudian orang tua berjabatan tangan dan berikrar, saya telah mendidik, mengajar dan mengawinkan kamu, ya Allah lindungilah aku dari fitrahmu di dunia dan siksaanmu di akhirat”.
             [2]H.R.Thabrani.
            [3]Pakar pendidikan ini ingin mengatakan bahwa hukuman memang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam membina anak-anak, malahan dalam situasi tertentu mutlak diperlukan sekali. Tetapi pada saat yang sama ia sama sekali tidak setuju secara mutlak dengan hukuman fisik. Ia tidak Dia keberatan dengan hukuman-hukuman non-fisik tapi bukan hukuman non-fisik yang berat.Ia menambahkan, “Perlu diingat bahwa jangan sekali-kali memberikan hukuman yang akan merendahkan harga diri anak, seperti hukuman badan, ancaman dengan siksaan atau apa saja demi menghancurkan keinginan buruknya. Kemudian, jangan menghukum anak di saat marah. Lihat Ayah Edi Wahono, Mengapa Anak Saya Suka Melawan dan Susah Diatur, (PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010), hlm. 31.
          [4]Sudah tidak asing di kalangan para ulama yang berkecimpung dalam juresprudensi Islam (ushul al-fiqh) mengenai teori maqashid al-Syari’ah yang disistematisasi dan dikembangkan oleh al-Syathibi. Bahkan Musthafa Said al-Khin dalam bukunya al-Kafi al-Wafi fi Ushul al-Fiqh al-Islamy  membuat kategorisasi baru dalam aliran Ilmu Ushul Fiqh. Bila sebelumnya hanya dikenal dua aliran saja, yaitu Mutakallimin dan fuqahaatau Syafi’iyyah dan Hanafiyyah, maka al-Khin membaginya menjadi lima bagian:MutakalliminHanafiyyahal-Jam’iTakhrij al-Furu’ ‘alal Ushul dan  Sya-thibiyyah (al-Khin, 2000: 8). Dengan demikian, pembagian tersebut telah menempatkan pemikiran Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat menjadi salah satu bagiatn corak aliran yang terpisah dari aliran ushul fiqih lainnya. Hal ini karena dalam coraknya, al-Syathibi mencoba menggabungkan teori-teori (nadhariyyat) ushul fiqh dengan konsep maqashid al-syari’ah sehingga produk hukum yang dihasilkan lebih hidup dan lebih kontekstual. Menurut Darusmanwiati, Ada dua nilai penting apabila model al-Syathibi ini dikembangkan para ulama sekarang dalam menggali hukum: Pertama, dapat men-jembatani antara “aliran kanan” dan “aliran kiri”. “Aliran kanan” yang dimaksud adalah mereka yang tetap teguh berpegang pada konsep-konsep ilmu ushul fiqh sedangkan “aliran kiri” adalah mereka yang terakhir ini vokal dengan idenyatajdid ushul al-fiqh dalam pengertian perlu adanya dekonstruksi ushul fiqih demi menghasilkan produk fiqih yang lebih kapabel …. Kedua, model al-Syathibi ini akan lebih menghasilkan produk hukum yang dalam istilah Ibnu al-Qayyim, al fiqh al-hayy, fiqih yang hidup. Karena itu, fiqih yang terlalu teksbook yang penulis istilahkan dengan Fiqh Ushuly akan berubah menjadi Fiqh Maqashidy Darusmanwiati, Islamlib: 309.
             [5]Suruhlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat pada usia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika tidak mau melaksanakannya pada usia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.”[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (II/ 180, 187), Abu Dawud (no. 495), Al-Hakim (I/197), Al-Baihaqi (III/84), Ibnu Abi Syaibah (no. 3482), Ad-Daruquthni (I/230), Al-Khathib (II/278), dan Al-‘Uqaili (II/167), dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma. Lihat juga Shahihul Jami’ (no. 5868)] Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi berkaitan dengan pukulan kepada anak ini, yaitu:
a. Anak mengerti atas alasan apa dia dipukul. b. Orang yang memukulnya adalah walinya, misalkan ayahnya. c. Tidak boleh memukul anak secara berlebihan. d. Kesalahan yang dilakukan oleh sang anak memang patut untuk mendapatkan hukuman. e. Pukulan dimaksudkan untuk mendidik anak, bukan untuk melampiaskan kemarahan.[Lihat Al-Qaulul Mufid (II/473-474) dan Bekal Menanti Si Buah Hati tt, hlm. 55-56.
                 [6] Muhammad Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dhahak At-Tarmizi, Sunan Turmuzi,  Juz 2, h. 210.
               [7]HR. Muslim : 2128
               [8]Lihat  Jurnal al Mawaddah Edisi 4 tahun ke-3, November 2009
                [9] Tribun Pontianak.Co.id - Peristiwa kaburnya model cilik, Ruvita Sari Siahaan, 9 Januari 2012. Ada pelajaran bagi orangtua di tengah kehidupan global yang "lebih" mendewakan materi daripada nilai-nilai religi dan budaya.  Vita, sapaan akrab Ruvita Sari, nekat kabur ke Sorong, Papua Barat bukan tanpa sebab. Kenekatan model iklan berusia 13 tahun ini, berlatar tekanan psikis hebat dari ibunya, Ny Lily.Setelah ditemukan polisi di rumah orangtua angkatnya, Bunda Maya di Sorong, Kamis (26/1/2012) sore, Vita mengaku sering dipukul ibunya kalau menolak syuting.Tidak sampai di situ, sang ibunda "terlalu" mengatur selera dan kehidupan anak. Mulai urusan busana hingga rileks (jalan-jalan), Vita perlu menangis. Vita pun mengalami memar akibat pukulan sang ibu, manakala model iklan cokelat pasta itu pulang pukul 21.00 WIB. Sang Ibu tak mengelak, mengakui pernah juga menarik rambut Vita dan menjepret kaki putrinya menggunakan karet. Benarkah cara orangtua pada buah hatinya ini? Prinsipnya, tak seorang orangtua pun di muka bumi, ingin menzalimi anak kandungnya.Harimau yang paling buas sekalipun, tak pernah memakan anak-anaknya, meski kelaparan. Kaum sufi psikologi maupun agama, justru meyakini cinta orangtua kepada anak, lebih besar dibanding cinta anak kepada orangtuanya. Editor Tribun Pontianak.Co.id - Peristiwa kaburnya model cilik, Ruvita Sari Siahaan, 9 Januari 2012.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook