Saturday, May 23, 2015

BERUBAH HUKUM KARENA BERUBAHNYA ZAMAN POLITIK HUKUM SANGAT BERPERAN




Segi  Kerahasiaan  Hikmah Hukum

OLEH M.RAKIB  LPMP  PEKANBARU  RIAU  INDONESIA  2014
BERUBAH HUKUM KARENA BERUBAHNYA ZAMAN
POLITIK HUKUM SANGAT BERPERAN
PARA ULAMATERUS, MEMIJKIRKAN
BENTUK REPUBLIK ATAU KERAJAAN

Sistem pemilihan Kepala Negara, sejak wafat Nabi SAW lagi telah memperlihatkan bentuk luaran yang berbeda-beda.
1.    Perlantikan Abu Bakar RA melalui permuafakatan di Saqifah Bani Saidah.
2.   Abu Bakar mencalonkan‘Umar RA yang diterima usulan itu tanpa pemilihan.
3. Umar pula menyodorkan enam nama tokoh besar untuk bermusyawarah sehingga terlantik Saidina Uthman RA.
4.  Saidina ‘Ali menggambilalih tampuk kepimpinan tertinggi negara melalui persetujuan beberapa orang  Ahl al-‘Aqdi wa al- H allidi Madinah.Peristiwa di atas merupakan suatu panduan yang dikatakan mengikat (ijma‘)oleh sebahagian besar penulis politik Islam. Al-Mawardi misalnya menggunakancontoh-contoh tersebut bagi menyatakan bentuk pemilihan ketua negara yang melahirkan dua kaedah yaitu melalui pemilihan oleh anggota Ahl al-‘Aqd wa  Halli dan melalui penunjukkan oleh kepimpinan yang sudah ada semasa hidupnya (‘ahdial-Imam).
             Blessing In Disguise" (untuk menekankan  segi  kerahasiaan  hikmah).  Rechtspolitiek untuk politik hukum sebagai salah satu istilah yang mandiri, yang dalam artian mampu ketika menjelaskan cabang-cabang ilmu apa saja termasuk pengetahuan mengenai hukum. Pada awalnya kita mengenal undang-undang sebagai sesuatu yang diidentikkan dengan hukum, ternyata persepsi tersebut keliru. Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini lebih luas produknya ketimbang dengan undang-undang, UU hanya memiliki produk DPR sementara peraturan perundan-undangan adalah semua produk Badan pembuat UU dan produk Badan atau pejabat negara.
Dari uraian singkat di atas penting kiranya kita lebih memahami menganai politik hukum secara lebih spesifik. Agar wawasan kita berkembang dengan baik, kiranya dapat menyimak uraian di bawah ini.
Istilah politik hukum sendiri dapat kita lihat terdiri dari dua kata yaitu politik dan hukum . antara keduanya banyak para ahli yang menganggap bahwa hukum dan politik merupakan satu kesatuan yang paradok. Hukum ialah segala sesuatu yang sudah pasti kejelasannya, sementara politik sutu hal yang masih mengandung unsur ketidakpastian selalu berubah-ubah seiring berjalannya waktu dan bergantinya para pelaku politik.
Oleh karennya, dari pengertian di atas turut mengndang para ahli untuk mendefinisikan politik hukum, sebagai berikut :
1. Satjipto Rahardjo
Politik Hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara – cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat.
2. Padmo Wahjono disetir oleh Kotam Y. Stefanus
Politik Hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan criteria untuk menghukumkan sesuatu ( menjadikan sesuatu sebagai Hukum ). Kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum dan penerapannya.
3. L. J. Van Apeldorn
Politik hukum sebagai politik perundang – undangan . Politik Hukum berarti menetapkan tujuan dan  isi peraturan perundang – undangan . ( pengertian politik hukum terbatas hanya pada hukum tertulis saja.
HIKMAH    AL-TASYRI’ WA FALSAFAFATUHU

Mengajarkan  Kitab  Suci  Dan  Hikmah  kepada mereka.
Karena  cakupan  maknanya  yang  demikian   luas,   "hikmah"
diterangkan   kedalam   berbagai   pengertian   dan  konsep,
diantaranya wisdom atau  kewicaksanaan  (dari  bahasa  Jawa,
untuk   membedakannya   dari   kata  "kebijaksanaan"),  ilmu
pengetahuan, filsafat, malahan "blessing in disguise" (untuk
menekankan  segi  kerahasiaan  hikmah). [6] Mendasari konsep
itu ialah kesadaran bahwa suatu "hikmah"  selalu  mengandung
kemurahan dan rahmat Ilahi yang maha luas dan mendalam, yang
tidak seluruhnya kita mampu  menangkapnya.  Maka  disebutkan
bahwa  siapa dikaruniai hikmah, ia sungguh telah mendapatkan
kebajikan yang berlimpah-ruah. [6]

Jika  "hikmah"  itu  kita  hubungkan  kembali  pada  istilah
"muhkam"  (kedua kata itu terambil dari akar kata yang sama,
yaitu h-k-m), maka  dalam  menumbuhkan  tradisi  intelektual
yang  integral  dan  kreatif  berdasarkan  kaidah taqlid dan
ijtihad itu  memerlukan  kemampuan  menangkap  hikmah  pesan
Ilahi  seperti yang terlembagakan dalam ajaran-ajaran agama.
Berkenaan dengan ini, dan dikaitkan  pada  keterangan  dalam
Kitab  Suci  tentang  adanya ayat-ayat mahkam dan mutasyabih
tersebut, menarik sekali kita mengangkat penafsiran A. Yusuf
Ali atas makna muhkam itu: [7]

...  The  Commentators  usually  understand  the  verses "of
established meaning" (muhkam) to refer  to  the  categorical
orders  of  the  Shari'at  (or  the Law), which are plain to
everyone's understanding. But perhaps the meaning is  wider:
"the mother of the Book" must include the very foundation on
which all Law  rests,  the  essence  of  God's  Message,  as
distinguished   from   the  various  illustrative  parables,
allegories, and ordinances.

If we refer to xi. 1 and xxxix. 23, [8] we shall  find  that
in  a  sense  the  whole of the Qur'an has both "established
meaning"  and  allegorical  meaning.  The  division  is  not
between  the verses, but between the meanings to be attached
to them. Each is but a Sign or Symbol: what it represents is
something  immediately applicable, and something eternal and
independent of time and space, - the  "Forms  of  Ideas"  in
Plato's  Philosophy. The wise man will understand that there
is an "essence" and an illustrative clothing  given  to  the
essence,  throught the Book. We must try to understand it as
best we can, but not waste our energies in  disputing  about
matters beyond our depth.[9]

Sesuatu  dari  ajaran  Kitab Suci yang abadi dan tak terikat
oleh waktu dan ruang (eternal and independent  of  time  and
space)  dalam pengertian tentang muhkam itu tidak lain ialah
makna, semangat, atau tujuan universal  yang  harus  ditarik
dari  suatu materi ajaran agama yang bersifat spesifik, atau
malah  mungkin  ad-hoc.  Kadang-kadang  makna   dan   tujuan
universal  dibalik  suatu  ketentuan  spesifik itu sekaligus
diterangkan langsung dalam  rangkaian  firman  itu  sendiri.
Tapi,  kadang-kadang  makna itu harus ditarik melalui proses
konseptualisasi atau ideasi (ideation). Contoh yang  pertama
ialah  firman  Ilahi  yang mengurus perceraian Zaid (seorang
bekas budak yang dimerdekakan dan diangkat anak  oleh  Nabi)
dari  istrinya,  Zainab  (seorang  wanita  bangsawan Quraisy
dengan status sosial tinggi dan rupawan), dan perceraian itu
kemudian  diteruskan dengan dikawinkannya Nabi dengan Zainab
oleh Tuhan. Maka terlaksanalah perkawinan  seseorang  -dalam
hal  ini  Nabi  menikahi  bekas isteri anak angkatnya. Namun
kejadian yang bagi orang-orang  tertentu  terdengar  sebagai
skandal  ini  justru -katakanlah- dirancang oleh Tuhan untuk
suatu maksud  yang  mendukung  nilai  universal  yang  sejak
semula  menjadi  klaim  ajaran  Islam,  yaitu  nilai sekitar
konsep  kealamian  (naturalness)  yang  suci,  yakni  konsep
fithrah.  Dalam  hal  ini,  anak  angkat bukanlah anak alami
seperti anak  (biologis)  sendiri,  sehingga  juga  tidaklah
alami  dan  tidak  pula  wajar  jika hubungannya dengan ayah
angkatnya dikenakan ketentuan yang sama dengan  anak  alami,
termasuk  dalam  urusan  nikah.  Maka,  kejadian ad-hoc yang
menyangkut Zaid, Zainab dan Nabi  itu  langsung  diterangkan
tujuan  universalnya,  yaitu  "agar  tidak ada halangan bagi
kaum beriman untuk mengawini (bekas) isteri-isteri anak-anak
angkat  mereka."  [10]  Tujuan  ini  jelas  langsung terkait
dengan segi universal yang lebih  menyeluruh,  yaitu  konsep
atau  ajaran  fithrah,  yang  mengimplikasikan  bahwa segala
sesuatu dalam tatanan hidup  manusia  ini  hendaknya  diatur
dengan  ketentuan  yang  sealami mungkin sesuai dengan hukum
alam (Qadar) [11] dan hukum sejarah (Sunnat-u  'l-Lah)  yang
pasti  dan  tak  berubah-ubah.  [12]  Pandangan bahwa segala
sesuatu harus sealami  mungkin  adalah  benar-benar  sentral
namun menuntut pemahaman mendalam yang disebut sebagai agama
ftthrah yang hanif.

Itulah hikmah pesan agama dalam arti yang seluas-luasnya dan
secara  global. Dalam arti yang lebih terinci, konsep hikmah
agama dinyatakan  dalam  berbagai  ungkapan,  seperti  telah
menjadi  tema  dan  judul  sebuah  buku yang cukup terkenal,
Hikmat al-Tasyri' wa Falsafatuhu. [13]  Hikmah  pesan  agama
ini  juga  dikenal  dengan  istilah  lain  sebagai  maqashid
al-syari'ah (maksud dan tujuan syari'ah).  Berkaitan  dengan
ini  berbagai konsep yang telah mapan dalam pembahasan agama
Islam, khususnya  pembahasan  bidang  hukum  (syari'ah  -par
excellence),  seperti  konsep sekitar 'illat al-hukm (Latin:
ratio legis), yang juga sering disebut dengan manath al-hukm
(sumbu perputaran hukum). Konsep-konsep ini dibuat berkenaan
dengan perlunya menemukan  suatu  rationale  yang  mendasari
penetapan  suatu  hukum.  Contoh  nyata penerapan konsep ini
ialah yang  dikenakan  pada  hukum  khamr.  Bahwa  rationale
diharamkannya  minuman  keras  (alkoholik,  seperti  khamar)
ialah sifatnya yang memabukkan.  Kemudian  sifat  memabukkan
itu   sendiri  dihukumnya  sebagai  tidak  baik,  karena  ia
mengakibatkan suatu jenis kerusakan, yaitu kerusakan mental.
Dan  selanjutnya,  kerusakan  mental  itu  -betapa pun jelas
negatif-  masih  bisa  dilihat  rationalenya   sehingga   ia
negatif,  yaitu  bahwa  ia berarti hilangnya akal sehat yang
menjadi bagian  dari  fithrah  manusia.  Padahal  memelihara
fithrah  itulah,  justru merupakan salah satu ajaran sentral
agama Islam. [14]

IJTIHAD

Uraian di atas dibuat dengan tujuan memberi  gambaran  bahwa
masalah  taqlid  dan  ijtihad, lebih dari pada yang dipahami
umum, menyangkut hal-hal yang  cukup  rumit,  mendalam,  dan
meluas  serta  kompleks. Karena itu di kalangan ulama klasik
ada pendapat hampir merata bahwa ijtihad adalah suatu  tugas
yang   penuh   gengsi,   tapi  justru  karena  itu  menuntut
persyaratan banyak dan berat. Maka  ijtihad  bisa  dilakukan
hanya  oleh  orang-orang  tertentu  yang  benar-benar  telah
memenuhi  syarat  itu.  Syarat-syarat  itu  sekarang   boleh
kedengaran  kuno,  namun  ia  dibuat  dengan tujuan menjamin
adanya kewenangan dan tanggung jawab.

Hanya  saja,  pelukisan  tentang  kegiatan  ijtihad  sebagai
sesuatu yang amat eksklusif telah melahirkan persepsi salah.
Dalam sejarah masyarakat Muslim sempat tumbuh pandangan yang
hampir  menabukan  ijtihad. Sikap penabuan dengan sendirinya
tidak dapat dibenarkan meskipun sesungguhnya ia muncul  dari
obsesi  para  ulama  pada  ketertiban  dan  ketenangan  atau
keamanan, yaitu tema-tema teori politik Sunni, khususnya  di
masa-masa  penuh  kekacauan  menjelang  keruntuhan  Baghdad.
Tapi, dalam perkembangan selanjutnya penabuan itu juga dapat
dilihat  sebagai  kelanjutan  masa kegelapan (obskurantisme)
dalam pemikiran Islam.

Kini, ijtihad itu diajukan orang  sebagai  salah  satu  tema
pokok  usaha  reformasi  atau  penyegaran  kembali pemahaman
terhadap  agama.  Melalui  tokoh-tokoh   pembaharu   seperti
Muhammad  Abduh  dan  Sayid  Ahmad Khan, ijtihad dikemukakan
kembali  sebagai  metode  terpenting  menghilangkan  situasi
anomalous  dunia  Islam  yang  kalah  dan dijajah oleh dunia
Kristen Barat.  (Disebut  anomalous,  karena  selama  paling
kurang  tujuh atau delapan abad, orang-orang muslim terbiasa
berpikir bahwa dunia ini  milik  mereka,  dan  hak  mengatur
dunia  hanya  ada  pada  mereka,  sebagai  salah satu akibat
penguasaan  mereka  atas  daerah-daerah  sentral   peradaban
manusia,  terutama  daerah  Nil  sampai  Ozus, jantung kawan
(Oikoumene).

Para pembaharu mendapati  bahwa  praktek  taqlid  yang  umum
menguasai  orang-orang muslim, baik awam maupun ulama, telah
berkembang menjadi suatu  sikap  mental,  jika  bukan  malah
pandangan  teologis,  yang  meliputi  penolakan secara sadar
terhadap segala sesuatu yang baru, khususnya jika  berbentuk
unsur  dari  budaya  asing.  [15]  Ini  dengan mudah dilihat
gejala xenophobia. Xenophobia itu sendiri merupakan  gejala,
paling  untung  chauvinisme,  paling  celaka  kecemasan  dan
rendah diri. Gejala ini  pula  yang  hari-hari  ini  dilihat
al-Makki,  seorang  pemikir  Makkah  dari madzhab Maliki. Ia
melukiskan semangat kosmopolit zaman klasik Islam, khususnya
zaman  'Umar.  Sebab,  sepanjang  penuturannya, 'Umar adalah
seorang  yang  "berpikiran  luas,  yang  tidak   segan-segan
mengambil  apa  saja yang baik dari umat-umat lain, meskipun
umat itu kafir. [16] Bahkan  'Umar  "tidak  memandang  semua
perkara    bersifat    ta'abbudi    (bernilai    'ubudiyyah,
devotional), dan tidak memandang baik terhadap  sikap  jumud
dalam   hukum,   tetapi   mengikuti   berbagai  pertimbangan
kemaslahatan dan melihat makna-makna  yang  merupakan  poros
penetapan  hukum  (manath  al-tasyri')  yang  diridlai Allah
s.w.t."  [17]  Pandangan  'Umar  ini  sejalan  dengan,   dan
merupakan konsekwensi dari, penegasannya bahwa "tidaklah ada
gunanya  berbicara  tentang  kebenaran  namun  tidak   dapat
dilaksanakan." [18]
                                            (bersambung 3/4)

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Kairo  Mesir : Maktabah Wahbah, h. 288. dilandaskan kepada “ sesungguhnya aku dapati masyarakat di Syam tidak seperti masyarakat di Madinah”
. Beliau juga pernah mengungkapkan bahwa (memperbaharui hukum terhadap manusia berdasarkan kepada kadar kerosakan yang mereka lakukan).Ini menunjukkan pengaruh perubahan dan perkembangan bagi isu kontemporer, turut  mempengaruhi keputusan hukum. Perubahan-perubahan inilah yang menjadi titik kajian bagi menghasilkan apa yang diistilahkan oleh al-Qaradawi  sebagai Fiqhal-W aqi‘i . Konsep Fiqh al-W a qi‘i Fiqh al-W aqi‘i menurut  al-Qaradawi   berkonsepkan pengetahuan tentang keadaan realitas . Pengetahuan ini mencakupi realitas dari segi positif mahupun yang  negatif. Ia menilai sesuatu faktor yang mempengaruhi keadaan realiti secaraobjektif. Fakta ditimbang tidak bersandar kepada imiginatif dan sebagainya yangboleh mencacatkan pemahaman terhadap keadaan realiti. Dengan itu fiqh ini akanmemandu pengkaji bagi memahami realiti dengan menilai keadaan yang ada secarailmiah, topikal dan juga objektif.
Hal yang sama dijelaskan oleh Paizah Ismail tentang  Fiqh al-W aqi‘
. Menurut  beliau faham  yang mendalam tentang realitas hidup. Ia akan ditemukan melalui pembacaan, penelitian dan penyelidikan ilmiah tentang realitas hidup  di zaman ini  dalam satu waktu semasa dalam berbagai-bagai aspek yang berkaitan.
Apa yang difokuskan tentang fiqh ini ialah berkaitan dengan:i.Perubahan hukum kerana perubahan kemaslahatanii.Perubahan ‘uruf dan tempat.
i.                    Perubahan Hukum Karena Perubahan Kemaslahatan
Hukum-hukum Syariat yang dilandasi dengan kemaslahatan semasa bolehmenerima perubahan hukum jika sandaran kepada kemaslahatan itu sendiri telahberubah. Ini sesuai dengan kaedah “sesuatu yang dilandaskan kepada suatu ‘illatberkisar menurut ‘illatnya ada atau tidak ada”
Sebagai contoh dalam masalah untuk membezakan antara penganut pelbagaiagama. ‘Umar ‘Abd al-‘Aziz memutuskan “kerana mereka (ahl al-Dhimmah)bercampur dengan orang Islam, maka mereka perlu dibedakan dengan kita.

Pengaruh Perubahan Dalam Pembinaan Hukum Siyasah Syar‘iyyah
Peristiwa ini tujuannya supaya dapat mengelakkan mereka diperlakukan seperti orang Mus-lim. Kemungkinan mereka mati secara mendadak di tengah jalan, sedangkan  identitas mereka tidak diketahui hingga dilakukan solat jenazah dan dikuburkan dikawasan orang Islam. Peristiwa  ini tentu tidak dapat diterima oleh keluarga mangsa  korban dan juga orang Muslim. Menurut al-Qaradawi  peristiwa  ini perlu di perhatikan serius sesuai dengan pada awal pembukaan daerah-daerah baru sebagai langkah  berhati-hati.
Asas kemaslahatan untuk membezakan identiti agama seseorang mengikutagamanya seperti cara pada masa lalu (iaitu berasaskan pengenalan pada pakaian)boleh menerima perubahan. Bahkan perbezaan atas hal tersebut tidak diterimaramai. Malahan pada masa ini ia telah dipermudahkan caranya dengan adanyapasport atau kad pengenalan yang tidak menyinggung perasaan penganut agamalain. Justeru, mewajibkan pakaian tertentu sahaja atau apa-apa yang berkaitandengannya tidak perlu lagi dikuatkuasakan oleh pemerintah.
Perubahan ‘Uruf dan Tempat
          Penggunaan  ‘uruf, tempat dan masa antara faktor berpengaruh dalam penetapan hukum pada masa lalu akibat dari berlakunya perubahan atas faktor-faktor tersebut. Sebagai contoh, pengguguran saksi kerana dia berjalan tanpa  menutup kepala (serban atau kopiah), kebiasaan makan minum di gerai-gerai tepi jalan, mencukur janggut, suka mendengar lagu-lagu dan lain-lain lagi dari berbagaitradisi atau budaya yang mengalami perubahan. Kasus-kasus tersebut mengandung nilai dari sudut pandangan masyarakat yang berbeda–beda sekaligus memberikesan terhadap penerimaan atau penolakan nilai tersebut.Fakta di atas pada asasnya telah diterima dengan baik oleh kalanganfuqaha apabila mereka merumuskan kaedah penetapan hukum berdasarkan‘uruf, masa dan tempat akan berubah jika faktor tersebut telah berubah. Di bawah ini akan dibawa beberapa contoh isuberkaitan dengan perubahan ‘uruf dan tempat yang mempunyai kesan terhadappolitik.
Isu Perubahan Realitas Dalam Konteks Sejarah Politik Islam
Orang Islam pernah memegang tampuk pemerintahan dalam tempoh yang panjang  sehingga kejatuhan sistem Khalifah ‘Uthmaniyyah di Turki pada 1924. Dalam  masa pemerintahan tersebut, berbagai bentuk isu dan peristiwa yang memerlukan
Untuk itu beberapa kejadian akan  dikemukakan sebagai contoh.
a.Sistem Pemilihan Pemimpin
Sistem pemilihan Kepala Negara, sejak wafat Nabi SAW lagi telah memperlihatkan bentuk luaran yang berbeda-beda.
1.    Perlantikan Abu Bakar RA melalui permuafakatan di Saqifah Bani Saidah.
2.   Abu Bakar mencalonkan‘Umar RA yang diterima usulan itu tanpa pemilihan.
3. Umar pula menyodorkan enam nama tokoh besar untuk bermusyawarah sehingga terlantik Saidina Uthman RA.
4.  Saidina ‘Ali menggambilalih tampuk kepimpinan tertinggi negara melalui persetujuan beberapa orang  Ahl al-‘Aqdi wa al- H allidi Madinah.Peristiwa di atas merupakan suatu panduan yang dikatakan mengikat (ijma‘)oleh sebahagian besar penulis politik Islam. Al-Mawardi misalnya menggunakancontoh-contoh tersebut bagi menyatakan bentuk pemilihan ketua negara yang melahirkan dua kaedah yaitu melalui pemilihan oleh anggota Ahl al-‘Aqd wa  Halli dan melalui penunjukkan oleh kepimpinan yang sudah ada semasa hidupnya (‘ahdial-Imam).
Pengiktirafan kepada proses perlantikan melalui lantikan semasa hidup pada asasnya merupakan suatu bentuk penerimaan kepada real yang ada. Halini dianggap sebagai usaha bagi mengatasi kebimbangan berlaku ketidakstabilan jika tiada penjelasan tentang bakal kepimpinan masa hadapan.
” atas kekuatan yang dimiliki olehkeluarga Umayyah telah berakar umbi dalam pemerintahan negara. Pertukarankepimpinan luar daripada lingkungan keluarga tersebut berpotensi melahirkankeadaan yang tidak stabil dan menggugat keharmonian.
         Contohnya dalam peperangan Uhud. Rasulullah SAW meminta pandangan para Sahabat untuk menentukan tempat berperang menentang Musyrikin, apakah  perlu  bertahan di kota Madinah saja atau keluar dari Madinah. Akhirnya Baginda  menyetujui pandangan Sahabat untuk keluar dari Madinah.
Contohnya dalam peperangan Khandak, Rasulullah SAW mau berbaik-baik denganBani Ghassan dengan memberi sebahagian dari hasil tanaman Madinah. Rasulullahberbuat demikian kerana tidak mau mereka menyerang umat Islam. Namun rancangan Baginda ini dibantah oleh Sahabat seperti Sa‘ad bin Ubâdah dan Sa‘adbin Mu‘az. Rencana atau cadangan balas dari Sahabat  Rasul tersebut diterima oleh Baginda.
Negatif pula melalui cadangan yang dikemukakan sendiri oleh paraSahabat kepada Rasulullah SAW dan Baginda merestuinya. Contohnya Bagindamenyetujui cadangan al-Hubâb Ibn al-Mundhir berkhemah berhampiran dengansumber air pihak musuh di dalam peperangan Badar.iii.Syura
di antara kedua-duanya iaitu keadaan Baginda yang bertekad untuk melakukan sesuatu dengan memulainya hingga di pertengahan dan menilainyasemula melalui Sy
Dilihat dari aspek ini, nyatalah bahawa pada zaman Rasulullah SAW syuradirealisasikan dengan berbagai cara. Pelaksanaan demikian dari sudut ilmiahmengundang pentafsiran dan analisis yang menunjukkan
sunnah fi‘liyyah
Dalam  kes aatau kejadian ini bukanlah sebagai satu-satunya model yang mutlak dan abadi. Ini keranaperjalanan syura pada masa Baginda dilaksanakan dalam bentuk yang sederhana.Selepas Rasulullah SAW wafat, bentuk pelaksanaan syura berubah. Ia bermuladengan pemilihan ketua kerajaan. Dua golongan yang mempunyai kepentingan secara langsung yaitu Muhr. Dialog perbincangan mereka itu  akhirnya mencapai kata sepakat dengan terangkat Abu Bakar sebagai khalifahpertama negara Islam. Syura pada masa itu menjadi institusi penting dengankeanggotaan terdiri daripada Ann, para tokoh masyarakat sertadaripada golongan ulama.Seterusnya institusi ini dijalankan berdasarkan kebijaksanaan pemerintah.Lantaran itu, pada masa Umawi institusi ini ditubuhkan di bawah kawasan-kawasanpentadbiran di Damsyik, Madinah, Iraq, Khurasan (Iran) dan Mesir. Ahli majlistersebut terdiri daripada tiga unsur iaitu tokoh masyarakat Arab, golongan pimpinantentera, para ulama, cerdik pandai dan para profesional. Perkembangan bentuk ini mempunyai indikasi yang besar kerana ia melibatkan rakyat dalam prosespengambilan keputusan semakin banyak dan menyeluruh.
Tindakan demikian juga pada asasnya merupakan tuntutan yang diperlukan bagi reformasi.
siyasah pada penggunaannya di sudut bahasa bermaksud ‘mentadbir sesuatu perkara dengan baik’ atau ‘pemerintah mentadbir urusan rakyat’.
Perkataan Syari`ah berasal dari perkataan “Syari`at dalam bahasa Arab, yang dalam penggunaan biasanya dimengertikan sebagai ‘sumber air minum atau pembawaan yang jelas’  Perkataan  ‘Syari`ah’ juga dipakai oleh al-quran dalam banyak ayat antaranya ada yang bermaksud sebagai peraturan hidup yang terkandung dalam suruhan dan larangan dan ada juga yang bermaksud seluruh ajaran agama yang merangkumi aspek keimanan, perundangan dan akhlak.
Manakala ‘Syari`at Islam’ ialah seluruh apa yang disyari`atkan oleh Allah di dalam agama sama ada dengan wahyu atau dengan sunnah rasul saw. Ianya termasuklah perkara-perkara yang berkaitan dengan persoalan akidah dan keimanan, akhlak-akhlak yang mulia dalam perhubungan sesama anggota masyarakat dan hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan perbuatan para mukallaf sama ada halal, haram, wajib, sunat dan harus yang dikenali sebagai fiqh dan juga perundangan Islam.

·      Definasi Siyasah Syar`ieyyah Menurut Istilah.

Para fuqaha’ pula mentakrifkannya sebagai: “Tindakan pemerintah terhadap sesuatu perkara kerana mendapatkan suatu kemaslahatan walaupun tindakan itu tidak mempunyai dalil pada juzu’nya.” Dalam penakrifan lain mereka berkata: “Menguruskan kemaslahatan manusia dengan mengikut  ketentuan syarak.”
Kebanyakan  tulisan yang berkaitan dengan siyasah syar`ieyyah mendefinasikan pengertian siyasah dengan definasi yang berkisar di atas kedua-dua takrif tersebut.
Siyasah syar`ieyyah ialah ilmu yang membincangkan mengenai pentadbiran sesebuah kerajaan Islam yang terdiri daripada undang-undang dan sistem yang  berasaskan kepada asas-asas Islam atau mentadbir urusan umum daulah Islamiah dengan cara yang membawa kebaikan kepada manusia dan mengelakkan mereka daripada kemudharatan, tanpa melanggar sempadan syarak dan asas-asas kulliah walaupun dalam perkara yang tidak disepakati oleh ulama’ mujtahidin.
Oleh itu topik perbincangan siyasah syar`ieyyah dikalangan para fuqaha’ ialah sistem, peraturan dan undang-undang yang diperlukan di dalam mengurus sesebuah negara bertepatan dengan asas-asas agama bagi menjamin pencapaian kemaslahatan kepada manusia, menunaikan segala keperluan mereka dan menjauhkan mereka daripada kemudaratan dunia dan akhirat.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook