Sunday, May 24, 2015

MURID DURHAKA DAN GURU YANG



DI ANTARA MURID DURHAKA
DAN GURU YANG DIANGGAP ZALIM

M.Rakib Jl.Ciptakarya Panam Pekanbaru Riau Indonesia

Murid nakal itu wajar dan guru zalim itu kasar(melakukan kekerasan)

Murid disumpah, jadi batu,
Bukan badannya, yang begitu.
Hatinya yang , keras terlalu
Undang-undang, memberi tempat lalu.

      Pesan moral dari cerita Malin Kundang, ialah kisah seorang anak yang durhaka terhadap ibu kandungnya yang akhirnya dikutuk menjadi batu. Pelajaran berhara buat anak-anak bagaiamana seharusnya menghormati orang tua dan memperlakukannya. Tidak sedikit kisah-kisah mirip Malin Kundang, namun kutukan menjadi batu hanyalah kiasan belaka, namun otak dan hati nurani yang membatu. Bagaimana jika seorang murid durhaka terhadap gurunya..?
Sebaliknya guru yang “zalim”, melakukan kekerasan, atas pengaduan muridnya bisa ditahan polisi dan dimasukkan ke penjara.

        Pasal 82 UU Perlindungan Anak 2014:
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
UU Perlindungan Anak 2014 tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian perbuatan cabul. Akan tetapi, kita dapat merujuk pada pengertian perbuatan cabul yang diberikan oleh R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal” yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dsb (hal. 212).
Sebagaimana juga pernah dijelaskan dalam artikel Pasal untuk Menjerat Anak yang Lakukan Pencabulan, Ratna Batara Munti dalam artikel “Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas” menyatakan antara lain bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) mengenal istilah perbuatan cabul, yakni diatur dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP. Mengutip buku “KUHP Serta Komentar-komentarnya” karya R. Soesilo, Ratna menyatakan bahwa istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya, cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya. Menurut Ratna, dalam pengertian itu berarti, segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul.
Oleh karena itu, jika seseorang memegang bokong anak dengan maksud memang untuk melakukan perbuatan cabul yang melanggar kesusilaan, yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak,maka orang tersebut dapat dipidana dengan Pasal 82 jo. Pasal 76E UU Perlindungan Anak 2014.


Jawaban: dari konsultan hukum: Letezia Tobing, S.H., M.Kn., cukup menarik.
 
Memang dalam pertanyaan Anda tidak ada keterangan yang mengatakan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, dan sebagainya. Akan tetapi, jika anak perempuan tersebut juga tidak mau dipegang bokongnya, maka dalam hal ini ada pemaksaan, dalam artian seseorang melakukan suatu tindakan kepada orang lain yang tidak diinginkan oleh orang tersebut.
Sebagai contoh, dalam Putusan Mahkamah AgungNo. 442 K/Pid.Sus/2008 (putusan ini masih menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak – “UU Perlindungan Anak), terdakwa meraba bokong anak berumur 14 tahun yang menjaga warung, tempat terdakwa membeli rokok. Atas perbuatannya, terdakwa didakwa dengan Pasal 82 UU Perlindungan Anak. Dalam perkara ini Hakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah meyakinkan melakukan tindak pidana “memaksa anak untuk melakukan perbuatan cabul”, serta menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan denda Rp 60.000.000.- (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.
Memang pasal yang digunakan tidak sama karena UU Perlindungan Anak telah diganti dengan UU Perlindungan Anak 2014. Tetapi pada dasarnya pengaturan tindak pidana dalam Pasal 82 UU Perlindungan anak serupa dengan ketentuan dalam Pasal 76E UU Perlindungan Anak 2014:

Pasal 82 UU Perlindungan Anak:
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Teringat kisah Malin Kundang, jadi teringat pula kisah seorang Teman yang berprofesi menjadi guru disebuah sekolah di Kota. Teman datang sambil berkeluh kesah mengenai murid-muridnya bertindak layaknya Malin Kundang. Lantas dalam benak ini bertanya “murid yang dikutuk menjadi batu oleh gurunya, kejam amat gurunya…?”.
“murid-murid sekarang sudah berani dengan gurunya. Dikasih tugas masih berani tawar-menawar dan minta keringanan. Dapat PR tidak juga dikerjakan, di kelas sepertinya tak menghiraukan guru memberi penjelasan”. Masih banyak lagi cerita yang isinya hanyalah kegundahan guru menghadapi muridnya.
Memang sangat susah mencari akar permasalahan ini. Sangat kompleks jika harus merunut darimana sumber permasalahan. Apakah guru yang tak becus mengurus muridnya.?. Apakah tabiat murid yang memang sudah keluar jalur, Atau orang tua murid yang salah asuh.?. Jangan-jangan faktor lingkungan demikian juga.?.
Seremoni dan protokoler wajib sebelum masuk kelas, biarkan murid yang jalan pak Guru cukup memandang, dok.pri.
Tiba-tiba saya terbawa ke tahun 80-90an saat masih berseragam SD dan SMP. Saya dan teman-teman 1 kelompok saban 1 kali dalam seminggu selalu mendapat jatah yang namanya piket. Jam 6 pagi sudah harus tiba di sekolahan, lalu bersih-bersih ruangan kelas dan merapikan bangku dan meja. Menata meja guru dan menaruh bunga segar dan merapikan buku-bukunya. Usai itu, teman-teman menyiram bungan dihalaman kelas ada yang berlari ke kantor guru untuk minta kapur tulis.
Usai jam sekolah masih belum boleh pulang, karena harus menyapu dan mengepel lantai kelas dan mengangkat bangku-bangku diatas meja. Hampir 12 tahun pekerjaan yang bernama piket itu mampir saban 1 hari dalam seminggu. Naik kelas SMA tak jauh beda, tetep saja piket itu ada namun tak seberat saat di bangku SD dan SMP.
Kata yang punya cerita, apakah piket itu ada dijaman sekarang atau sudah digantinkan jasa kebersihan (cleaning service). Dugaan saya benar, jaman memang berubah, demikian juga kebijakan masing-masing sekolahan. Kini murid di tuntut untuk belajar yang bener, urusan kebersihan serahkan jasa kebersihan.
Pertanyaan sekarang, apa ada anak sekolah yang mau megang sapu, menenteng kain/lap pel, berlari ke kantor TU ambil kapur, dan semua kebutuhan rumah tangga kelas. Film Laskar Pelangi yang fenomenal, dalam salah satu adegannya yakni saat Ikal dan kawannya harus naik sepeda berkilo-kilo untuk berhutang kapur di toko Sinar Harapan. Pekerjaan yang melelahkan, namun tetap dijalankan sesuai dengan amanat gurunya. Apa ya sekarang ada Ikal-ikal masa kini yang mau seperti itu.
“Jangankan ambil kapur, kerjakan PR saja susah minta ampun” kata teman saya. Perubahan jaman yang kadang tak disikapi dengan strategi baru, sebab saat ini bukan saatnya ambil kapur dan ngepel lantai lagi. Sudah tidak musimnya piket-piket seperti jaman dulu yang memakasa datang lebih awal dan pulang paling akhir. Jaman sudah berubah, makanya strategi juga harus berubah.
Menurut tulisan di Kompas “Pendekatan model pak Mustar M. Djaid’din, B.A”,  yang dilukiskan Andrea Hirata dalam novel Sang Pemimpi kini mungkin akan ditentang oleh banyak orang. Dikisahkan Pak Mustar adalah seorang guru dan kepala sekolah yang antagonis di mata beberapa murid-muridnya. Keras, tegas, disiplin dan kadang sabetan tongkat bambu menghujam keras di meja kelas adalah ciri khas beliau. Cara-cara mengajar konvensional jaman dulu memang demikian dibuat untuk menghajar murid-muridnya. Memang saat itu metode disesuikan dengan situasi yang ada, walau tokoh seperti pak Balia bak protagonis dan menjadi idola murid adalah bumbu penyedapnya.
Coba sekarang mengajar dengan cara yang konvensional dijamin tak lama masuk bui gara-gara dituntut orang tua murid. Jaman sudah berubah, maka pendekatanya harus disesuikan dengan jaman bagaimana mendekati anak-anak durhaka tersebut. Anak-anak jaman dulu tak beda jauh dengan jaman sekarang, namun berbeda situasi dan kondisinya sebab waktu yang merubah mereka.
Trauma masa lalu bagaimana digampar guru, dilempar penghapus, disuruh berdiri ditiang bendera setangah hari adalah menu-menu hukuman masa lalu, yang kini sudah tidak relevan lagi bahkan dilarang. Anak-anak sekarang berbeda dan berpikir lebih cerdas, maka imbangi dengan cara yang bijak dan cerdas. Jika murid durhaka, tak ada jaminan mereka takut jadi batu maka dirubah saja orang tuanya yang disulap jadi batu. Mengapa demikian?, karena anak yang sekolah orang tua pusing tujuh keliling. Lihat saja saat Ujian Nasional dan penerimaan siswa baru, yang pusing siapa, apakah orang tua atau siswa.?

Jika memang mereka durhaka menjadi batu, maka ukir dan poles mereka agar menjadi cerdas, berpekerti yang luhur dan baik adanya, dok.pri.
Tak ada yang salah, sebab jaman memang menuntut demikian. Tantangan seorang guru bukanlah berkeluh kesah, sebab guru dibayar tidak hanya mencerdaskan anak bangsa tetapi mengubah hati dan otak yang membatu itu menjadi lunak dan dibentuk sesuai aturan dan norma-norma yang berlaku. Tak di kota atau desa, memang seperti itu karakter anak-anak. Jika anak itu tidak nakal, ibarat tak ada proses bagi dia untuk matang dalam pemikiran dan tindakan. Bentuk mereka memang kasar dan tak utuh, nah itu tugas kita untuk mengukir dan memoles menjadi anak yang cerdas, berbudi pekerti lihur. “Caranya”, tanya teman saya, “ya pikir sendiri kan kamu gurunya…?”…hahahahhaha…. “ingat kita juga pernah durhaka terhadap orang tua, guru, dosen, aparat pemerintah, bahkan Tuhan…”.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook