Saturday, June 20, 2015

ADAKAH HIKMAH BERISRTRII TIGA



 ADAKAH  HIKMAH BERISRTRII DUA  
By   Muhammad Rakib SH.,M.Ag 


 Hikmah al-Tasyri' wa Falsafatuh

                     Ada hikmahnya, beristritiga
                      Khususnya bagi yang kaya raya
                      Agar tidak, berbuat zina
                      Penyakit AIDS, tidak ada obatnya

Hal  yang baru dari maqashid syari’ah adalah ia menjadikan tujuan dan substansi sebagai hakim/penentu arah bagi semua sarana/media hukumnya. (Al-Ijtihad, Al-Waqi’, An-Nash wa Al-Maslahat, hlm. 112)
كلام عبد المجيد الشرفي:
وان العبرة ليست بخصوص السبب ولا بعموم اللفظ وانما بالمقاصد (الاسلام بين الرسالة والتاريخ ص82
Hikmah beristri dua, menurut Abdul Majid Al-Syarafi: Yang dipegang bukanlah kekhususan sebab dan bukan pula keumuman lafazh poligami  namun yang jadi panglima adalah tujuan pensyariatan. (Al-Islam bayn Al-Risalah wa At-Tarikh, hlm. 82)


Ada hikmahnya, beristri tiga, 
Khuausnya bagi yang kaya raya

       Agar tidak, berbuat zina
       Penyakit AIDS, tidak ada obatnya
 



كلام محمد سعيد العشماوي:
ونظام الحدود في الاسلام يؤكد ذلك أيضا فالشروط التي وضعها الفقهاء لإدانة السارق والزاني و إقامة الحد عليه يصعب ان تتحقق (أصول الشريعة ص122-124)
Sa’id Al-Asymawi: System hukum pidana Islam menguatkan hal itu pula; bahwa syarat-syarat yang diberikan fuqoha untuk menghukum pencuri dan pezina sulit untuk diwujudkan. (Ushul Al-Syari’ah, hlm. 122-124)
تطبيق الرجم يبدو أنه من خصوصيات رسول الله صلى الله عليه وسلم (ص122)
Penerapan hukuman rajam tampak bahwa ia adalah salah satu keistimewaan Rasulullah saja. (Ibid., hlm. 122)
كلام الصادق بلعيد:
فإن هذه العقوبات لا تتفق مع روح الإسلام وأحكامه لأنها تقرنه بالعنف والتشدد والقسوة أمام الرأي العام العالمي (القرآن والتشريع ص 197)
Shadiq Bal’id: Sanksi-sanksi pidana itu tidak sesuai dengan spirit ajaran Islam dan hukum-hukumnya, karena dinilai sadis, keras dan kejam oleh opini public internasional. (Al-Al-Qur’an wa At-Tasyri’, hlm. 197)
B. Konsep Maqashid Syari’ah dalam Pandangan Ulama Islam:
Cendekiawan liberal itu baru lahir belakangan, dan nihil penguasaan epistemologi dan falsafah di balik kemunculan konsep maqashid syariah. Sebaliknya, ulama salaf yang melahirkan konsep aslinya, berangkat dari keterangan Al-Quran, sunnah dan prinsip-prinsip umum syariah setelah dilakukan istiqra’ (induksi) seluruh bentuk formal syariah dan substansinya, baik dalam persoalan ibadah, muamalah, pernikahan, hudud, qisas dan lain-lain.
Maka sewajarnya kita memahami konsep maqashid ini dan menerapkannya sesuai dengan kerangka berfikir (framework) ulama salaf yang melahirkannya, bukan malah keliru membacanya sesuai hasil pembacaan kaum liberalis yang sudah jauh menyimpang, bias, dan rancu, terhadap konsep ini. Berikut adalah highlights pandangan ulama salaf dalam mendudukkan maqashid syariah: 
لم يخرج الشاطبي عن النظام الأصولي البياني السلفي مادام يعتبر العربية هي الأساس الأول في معرفة المقاصد
Imam Al-Syathibi Rahimahullah tidak keluar atau merevolusi system dan kerangka ushul fiqh bayani ala salaf yang dibangun oleh Imam Syafi’I Radhiyallahu ‘Anhu, sebab ia selalu menekankan dimensi bahasa/redaksi Arab sebagai titik tolak memahami maqashid.
Sebagai perbandingan, mari kita cermati seksama pernyataan kedua tokoh tersebut:
كلام الإمام الشافعي:
ليست تنزل بأحد من أهل دين الله نازلة الا في كتاب الله الدليل على سبيل الهدى فيها (الرسالة ص 20)
بأن استنباط الأدلة يكون إما بنص القرآن او سنة نبوية او ما فرض الله على خلقه من الاجتهاد وفي طلبه (ص 21-22)
Penegasan Imam Syafi’i: Tiada satupun perkara/peristiwa yang dialami oleh pemeluk Islam kecuali di dalam kitabullah terdapat dalil petunjuk yang meneranginya… Konklusi hukum Islam dapat ditempuh dengan cara ditarik dari petunjuk teks/nash Al-Al-Qur’an dan sunnah atau ijtihad yang telah Allah wajibkan kepada makhluknya untuk mencari petunjuk-Nya. (Ar-Risalah, hlm.20-22)
كلام الشاطبي:
ان القرآن فيه بيان كل شيء من امور الدين والعالم به على التحقيق عالم بجملة الشريعة ولا يعوزه منها شيء (الموافقات 3\333)
Imam Syatihibi: Al-Al-Qur’an di dalamnya ada penjelasan segala sesuatu dari urusan agama, orang yang menguasainya adalah orang yang faham keseluruhan syariah dan ia tidak akan kekurangan suatu apapun dari perkara agama itu. (Al-Muwafaqat, vol.3/333)
لا بد في كل مسألة يراد تحصيل علمها على أكمل الوجوه أن يلتفت الى أصلها في القرآن (3\339)
Dalam tiap masalah yang ingin dipecahkan , dan harus peroleh ilmunya secara sempurna, maka harus merujuk kepada pokoknya di dalam Al-Al-Qur’an. (Ibid., vol.3/339) 
إذا تعارض النقل والعقل على المسائل الشرعية فعلى شرط ان يتقدم النقل فيكون متبوعا و يتأخر العقل فيكون تابعا فلا يسرح العقل في مجال النظر إلا بقدر ما يسرحه النقل (الموافقات 1\78)
Jika dalil naqli dan akal bertentangan dalam soal-soal cabang syariah maka syaratnya harus didahulukan dalil naql sbb ia harus diikuti, dan dibelakangkan dalil akal sb ia harus mengekor. Dalil akal tidak boleh lepas begitu saja dalam menilai persoalan kecuali dalam batas yang telah disisakan/ditinggalkan oleh dalil naql. (Ibid., vol.1/78)
والعقل إنما ينظر من وراء الشرع (1\36)
Akal itu hanya dapat menilai sesuatu dari belakang syara’/dalil naql. (Ibid., vol.1/36)
فالعقل غير مستقل البتة ولا ينبني على غير أصل وإنما ينبني على أصل متقدم مسلم على الاطلاق ولا أصل مسلم إلا من طريق الوحي (الاعتصام 1\45)
Akal itu tidak independen sama sekali dan bukan tanpa dasar/asas yang kuat. Tetapi akal itu harus berdiri di atas fondasi kuat yang disepakati/ditaati secara absolut. Dan tak lain fondasi yang absolut itu adalah wahyu/naqli. (Al-I’tishom, vol.1/45)
لأن العقل اذا لم يكن متبعا للشرع لم يبق له الا الهوى والشهوة (الاعتصام 1\50)
Karena jika akal tidak mengikuti petunjuk syar’I, maka yang tersisa hanyalah hawa nafsu dan syahwat belaka. (Ibid., vol.1/50)
واذا ثبت هذا وان الأمر دائر بين الشرع والهوى تزلزلت قاعدة حكم العقل المجرد فكأن ليس للعقل في هذا الميدان مجال إلا من تحت نظر الهوى فهو إذا اتباع للهوى بعينه في تشريع الأحكام (1\52-53)
Jika telah terbukti bhw pilihan antara aturan syar’I dan hawa nafsu, maka akan goncanglah kaidah hukum akal. Seakan-akan akal tidak memiliki wilayah apapun kecuali dibawah kendali hawa nafsu. Yaitu mengikuti nafsu semata dalam membina hukum syariat. (Ibid., vol.1/52-53)
على الناظر في القرآن ان يسلك في الاستنباط منه والاستدلابه مسلك كلام العرب في تقرير معانيها و منازعها في انواع مخاطباتها خاصة فإن كثيرا من الناس يأخذون أدلة القرآن بحسب ما يعطيه العقل فيها لا بحسب ما يفهم من طريق الوضع وفي ذلك فساد كبير وخروج عن مقصود الشارع (الموافقات 1\41)
Orang yang ahli Al-Al-Qur’an dalam menggali dan mencari dalil darinya, harus menempuh metode orang Arab dalam menetapkan makna redaksionalnya dan kecenderungannya dalam jenis-jenis pembicaraannya. Terlebih, banyak orang yang mengambil dalil-dalil Al-Qur’an hanya sebatas apa yang diberikan akal, dan bukan dalam batasan apa yang difahami dari metode peletakan asal makna dlm bahasa Arab. Inilah pangkal kerusakan yang besar dan mengangkangi maksud/tujuan syari’. (Al-Muwafaqat, vol.1/41)
إن الفارق الأساسي بين الإسلاميين والعلمانيين في البحث عن المقاصد أن الأولين يبحثون عن مقاصد الشارع سبحانه وتعالى ومراده من النص. أما الأخرون فيبحثون عن مقاصد أنفسهم ومرادات عقولهم ومطالب أهوائهم.
Perbedaan mencolok antara Islamis dan sekularis dalam penentuan maqashid syariah adalah: kaum Islamis mencari dan menggalinya dari teks, dan kaum sekularis mencari-cari maksud/tujuan mereka semata sesuai kemauan akal dan tuntutan nafsu mereka saja.
مقاصد الشريعة مبدأ أصولي له ضوابطه ومعاييره التي تحكمه حتى لا تصبح ذريعة يتوسل بها الى تورخة النص والغائه وتمييعه فإن تحديد مقاصد الشارع لا ينبني على ظنون وتخمينات غير مطردة. إن الشاطبي مؤسس علم المقاصد هو نفسه الذي يحدد هذه الضوابط, فهل يلتزم العلمانيون بذلك؟
Maqashid Syariah adalah suatu prinsip dasar ilmu ushul fiqh yang memiliki aturan dan standar pasti agar tidak dijadikan alat untuk merelatifkan teks, dan menganulirnya. Sebab penetapan tujuan-tujuan syar’I tidak bisa dibangun oleh asumsi-asumsi dan prakiraan yang labil. Oleh sebab itu, Imam Syathibi sebagai peletak dasar ilmu maqashid telah menetapkan berbagai aturan bagi upaya menggali maqashid syari’ah. Namun apakah kaum sekuleris mau mendisiplinkan diri dengan beragam aturan itu?
       Secara khusus tulisan ini akan mengkaji hikmah puasa dalam konteks kekinian, bagi penanganan krisis kemanusiaan, yang berupa penyakit-penyakit fisik dan psikis, dimana puasa digunakan sebagai alternatif bagi penanggulangan terhadap hal-hal tersebut. Berbagai hikmah puasa yang terdapat dalam Kitab karya al-Jurjawi tersebut, ada beberapa hikmah puasa yang dikelompokkan dalam empat aspek: spiritual, sosiologis, medis, dan psikologis yang memiliki dayaguna bagi penyelesaian problematika kemanusiaan dan lingkungan hidup.
       Meskipun secara praktis, oleh al-Jurjawi tidak diuraikan secara detail dalam bentuk operasionalnya, namun melalui analisis kontekstual dapat dikemukakan bentuk alternatif yang menjadikan puasa sebagai salah satu kunci utama penanganan problem yang muncul di era kekinian. Al-Jurjawi muncul dari setting historis pendudukan Perancis berusaha menguak makna dari puasa yang telah disyariatkan oleh Allah dari zaman ke zaman.
        Pengkajian akan hikmah puasa dalam konteks kekinian terkait dengan nilai-nilai utama: aplikasi watak kasih sayang dan kepedulian akan nasib orang lain yang disertai dengan jiwa kesabaran dan keikhlasan; aktualisasi konsep taubat, di mana kesadaran akan dosa diaplikasikan dalam pola-laku yang mendatangkan manfaat bagi kehidupan sesama; minimalisir konflik kejiwaan yang dicurahkan bagi ketenangan hidup; menjadikan puasa sebagai tonggak penyembuhan; dan menjadikan puasa sebagai kunci penataan moral individual maupun kolektif.
        Diharapkan diaplikasikan oleh umat Islam, sehingga mampu menghadapi sebagian tantangan zaman yang kian kompleks. Ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat Islam umumnya terhadap berbagai aturan keagamaan masih berhenti pada konsep aplikasi formal, belum menyentuh pada pemahaman filosofis, dan tidak/belum memiliki orientasi pemanfaatan nilai-nilai syari'at sebagai alternatif pemecahan masalah bagi kehidupannya.


Masalah pokok yang menjadi kajian skripsi ini adalah kontekstualisasi hikmah puasa dalam konteks kekinian, yang didasarkan pada Pendapat Syekh Ali al-Jurjawi yang tertuang dalam
Kitab Hikmah al-Tasyri' wa Falsafatuhu. Secara khusus skripsi ini akan mengkaji hikmah puasa dalam konteks kekinian, bagi penanganan krisis kemanusiaan, yang berupa penyakit-penyakit fisik dan psikis, dimana puasa digunakan sebagai alternatif bagi penanggulangan terhadap hal-hal tersebut. Berbagai hikmah puasa yang terdapat dalam Kitab karya al-Jurjawi tersebut.

 Ada Beberapa Hikmah Puasa yang dikelompokkan dalam empat aspek: spiritual, sosiologis, medis, dan psikologis yang memiliki dayaguna bagi penyelesaian problematika kemanusiaan dan lingkungan hidup. Meskipun secara praktis, oleh al-Jurjawi tidak diuraikan secara detail dalam bentuk operasionalnya, namun melalui analisis kontekstual dapat dikemukakan bentuk alternatif yang menjadikan puasa sebagai salah satu kunci utama penanganan problem yang muncul di era kekinian.

         Al-Jurjawi muncul dari setting historis pendudukan Perancis berusaha menguak makna dari puasa yang telah disyariatkan oleh Allah dari zaman ke zaman. Pengkajian akan hikmah puasa dalam konteks kekinian terkait dengan nilai-nilai utama: aplikasi watak kasih sayang dan kepedulian akan nasib orang lain yang disertai dengan jiwa kesabaran dan keikhlasan; aktualisasi konsep taubat, di mana kesadaran akan dosa diaplikasikan dalam pola-laku yang mendatangkan manfaat bagi kehidupan sesama; minimalisir konflik kejiwaan yang dicurahkan bagi ketenangan hidup;

        Menjadikan Puasa Sebagai Tonggak Penyembuhan; dan menjadikan puasa sebagai kunci penataan moral individual maupun kolektif. Hasil penelitian ini diharapkan diaplikasikan oleh umat Islam, sehingga mampu menghadapi sebagian tantangan zaman yang kian kompleks. Ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat Islam umumnya terhadap berbagai aturan keagamaan masih berhenti pada konsep aplikasi formal, belum menyentuh pada pemahaman filosofis, dan tidak/belum memiliki orientasi pemanfaatan nilai-nilai syari'at sebagai alternatif pemecahan masalah bagi kehidupannya.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook