Friday, June 19, 2015

HIKMAH MEMUKUL




KAJIAN HIKMAH MEMUKUL ANAK
 

M.Rakib Muballigh  IKMI  Pekanbaru Jl.Ciptakarya Panam Riau Indonesia 2015
Memukul anak itu, ada hikmahnya. Ketika hal ini saya ungkapkan kepada seorang profesor, beliau menghina saya, karena saya sering ceramah  di pinggiran kota Pekanbaru Riau Indonesia,  tentang “Hikmah” di surau-suarau, belau mengatakan “ ah itu biarlah kajian disruau-suarau saja”, dengan nada yang sangat merendahkan. Sakit rasanya di sini, di  hati ini, nada merendahkan itu yang berlebihan. Pertanyaan saya kepada beliau (Prof A..Lf) tidak pernahkah Bapak membaca buku Maqoshid al-Syari’ah karya Al_syatiby?
Hikmah memukul anak yang tidak shalat, merupakan bagian dari kajian Falsafah asy-syari’ah, yang mengungkapkan masalah ibadah, muammalah, jinayah dan ‘uqabah dari materi hukum Islam. Falsafah syari’ah mencakup asrar al-ahkam, khasha’ilah al-ahkam, mahasin al-ahkam dan thawabi’ al-ahkam.
–          Falsafah Tasyri’, yaitu filsafat yang memancarkan hukum islam, menguatkan dan memeliharanya. Falsafah tasyri’ meliputi ushul al-ahkam, maqasid al-ahkam dan qawa’id al-ahkam.
–          Hikmah at-Tasyri wa Falsafatuh, yaitu kajian mendalam dan radikal tentang prilaku mukallaf dalam mengamalkan hukum Islam sebagai undang-undang dan jalan kehidupan yang lurus.
             Menurut Prof.Dr.Muhaya di radiao, … 4 tahap bagaimana mendidik anak mengikut sunnah Rasulullah s.a.w adalah :

1)   Umur anak-anak 0-6 tahun. Pada masa ini, Rasulullah s.a.w menyuruh kita untuk memanjakan, mengasihi dan menyayangi anak dengan kasih sayang yg tidak berbatas. Berikan mereka kasih sayang tanpa mengira anak sulung mahupun bongsu dengan bersikap adil terhadap setiap anak-anak. Tidak boleh dipukul sekiranya mereka melakukan kesalahan walaupun atas dasar untuk mendidik.
Sehingga, anak-anak akan lebih dekat dengan kita dan merasakan kita sebagai bagian dari dirinya saat besar, yang dapat dianggap sebagai teman dan rujukan yang terbaik. Anak-anak merasa aman dalam meniti usia kecil mereka karena mereka tahu anda (ibu bapak) selalu ada disisi mereka setiap masa.

2)   Umur anak-anak 7-14 tahun.  Pada tahap ini kita mula menanamkan nilai DISIPLIN dan TANGUNGJAWAB kepada anak-anak. Menurut hadits Abu Daud, “Perintahlah anak-anak kamu supaya mendirikan shalat ketika berusia tujuh tahun dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat ketika berumur sepuluh tahun dan asingkanlah tempat tidur di antara mereka (lelaki dan perempuan). Pukul itu pula bukanlah untuk menyiksa, cuma sekadar untuk mengingatkan mereka. Janganlah dipukul bagian muka karena muka adalah tempat penghormatan seseorang. Allah SWT mencipta sendiri muka Nabi Adam.
Sehingga, anak-anak akan lebih bertanggungjawab pada setiap suruhan terutama dalam mendirikan sholat. Inilah masa terbaik bagi kita dalam memprogramkan kepribadian dan akhlak anak-anak mengikut acuan Islam. Terserah pada ibu bapak apakah ingin menjadikan mereka seorang muslim, yahudi, nasrani ataupun majusi.

3)   Umur anak-anak 15- 21 tahun. Inilah fasa remaja yang penuh sikap memberontak. Pada tahap ini, ibubapa seeloknya mendekati anak-anak dengan BERKAWAN dengan mereka. Banyakkan berborak dan berbincang dengan mereka tentang perkara yang mereka hadapi. Bagi anak remaja perempuan, berkongsilah dengan mereka tentang kisah kedatangan ‘haid’ mereka dan perasaan mereka ketika itu. Jadilah pendengar yang setia kepada mereka. Sekiranya tidak bersetuju dengan sebarang tindakan mereka, hindari menghardik atau memarahi mereka terutama dihadapan saudara-saudaranya yang lain tetapi gunakan pendekatan secara diplomasi walaupun kita adalah orang tua mereka. Sehingga, tidak ada orang ketiga atau ‘asing’ akan hadir dalam hidup mereka sebagai tempat rujukan dan pendengar masalah mereka. Mereka tidak akan terpengaruh untuk keluar rumah untuk mencari kesenangan lain karena memandangkan semua kebahagian dan kesenangan telah ada di rumah bersama keluarga.

4)   Umur anak 21 tahun dan ke atas. Fase ini adalah masa ibu bapak untuk memberikan sepenuh KEPERCAYAAN kepada anak-anak dengan memberi KEBEBASAN dalam membuat keputusan mereka sendiri. Ibu bapak hanya perlu pantau, menasehati dengan diiringi doa agar setiap tindakan yang diambil mereka adalah betul. Berawal dari pengembaraan kehidupan mereka yang benar di luar rumah. InsyaAllah dengan segala displin yang diasah sejak tahap ke-2 sebelum ini cukup menjadi benteng diri buat mereka. Ibu bapak jangan lelah untuk menasihati mereka, kerana kalimat nasihat yang diucap sebanyak 200 kali atau lebih terhadap anak-anak mampu membentuk tingkah aku yang baik seperti yang ibu bapak inginkan.
  1. C. Maqashid Syari’ah dalam Wacana Global
Al-Qur’â n dan al-Sunnah banyak meyinggung tentang maqâ shid baik dalam ibadah, muâ malah, sosial dan sebagainya. Keduanya merupakan sumber otentik syari’ah Islam telah memberikan alternatif dalam setiap pembahasan yang berkaitan dengan dimensi kehidupan. Sedangkan syari’ah Islam datang untuk menghilangkan kesusahan dan kesusahan manusia, meminimalisir bahaya dan mencari nilai mashlahah bagi manusia. Kalau ada orang yang mengatakan bahwa syari’at Islam itu, hanya membahas tentang akhirat saja, sebenarnya mereka lupa bahwa syari’at Islam juga mengatur tentang siklus kehidupan manusia di dunia, sebagaimana firman Allah swt: “Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang kamu dari padanya. Aku tidak bermaksud  kecuali (mendatangkan) perbaikan  selama aku masih berkesanggupan.” (QS.Hud:88) . Dari sini nampak jelas bahwa tasyrî’ hukum senantiasa memperhatikan mashlahah manusia, yang diimplementasikan lewat maqâ shid syari’ah tadi.

1. Definisi Maqashid Syari’ah
Secara etimologis, maqashid berasal dari kata qasada yang berarti menghadap pada sesuatu. Sedangkan secara terminologis adalah sasaran-sasaran yang dituju oleh syari’at dan rahasia-rahasia yang diinginkan oleh Syâ ri’ dalam setiap hukum-hukum-Nya untuk menjaga kemaslahatan manusia.
Sebagian ulama memberikan definisi dengan membagi maqâ shid dalam beberapa bagian, diantaranya:

a. Imam Syatibi. Menurutnya maqâ shid syarî ah terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Kemauan taklîf, maknanya adalah kemauan seorang mukallaf dalam mengerjakan beban yang telah ditentukan oleh Syâri’. Selanjutnya as-Syatibi mengatakan bahwa perkara yang maklum adalah yang sesuai dengan perbuatan mukallaf. Sedangkan keterkaitan antara perbuatan dengan perkara tersebut, itulah yang dimaksud oleh Syâri’.
2.    Maqâshid sebagai dalalah dari khithâb syara’ atau menurut ahli ushûl adalah nash.
3. Maqâshid syari’ah dari hukum, yaitu menarik kemaslahatan dan menghindari  kesusahan.

b. Imam Muhammad at-Thâhir  ibn Ashûr. Menurutnya maqâ shid terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Maqashid al syarî’ah al ‘ammah adalah makna-makna dan hukum yang telah didiskripsikan oleh Syâ ri’ dalam segenap permasalahan syara’ tanpa mengkhususkan pada hal-hal tertentu. Pembahasannya meliputi: Karakteristik syari’ah, Tujuannya secara umum, makna-makna yang mempunyai korelasi dengan pensyari’atan dan sebagainya.
2. Maqâ shid al syarî’ah al khã shah adalah tata cara yang dimaksudkan oleh syara’ untuk merealisasikan maqâ shid manusia yang mempunyai nilai kemanfaatan atau untuk menjaga mashlahah manusia dalam aktifitasnya.
Lebih spesifik lagi, sasaran maqâ shid syariî’ah adalah melestarikan tatanan dunia dengan jaminan hak-hak asasi manusia, sebagai subyek dalam pelestarian dan pemakmuran alam. Perspektif ini berusaha untuk memelihara hak-hak manusia yang pada implementasinya terarah pada akidah, mengekspresikan amal dan juga status sosial individu di tengah masyarakat. Karena reformasi yang dicita-citakan oleh Islam adalah perbaikan yang menyeluruh pada setiap permasalahan umat manusia. Kreatifitas seseorang sangat di pengaruhi oleh keleluasaannya dalam mengaplikasikan hak-haknya, dan kesalehannya sangat dipengaruhi oleh kelurusan akidah sebagai sumber etika dan pemikiran. Adapun pemberdayaan sosial diawali oleh kesalehan individu plus aturan syari’at dan lingkungan yang mempengaruhinya.

2. Pembagian Maqâshid Syari’ah
Inti dari tasyrî’ Islam adalah jalbu al-mashâ lih dan dar’u al-mafsadah. Inilah yang dimaksud dengan pelestarian tatanan dunia dan pengaturan perilaku manusia sehingga terhindar dari tindakan-tindakan destruktif. Akan tetapi, mashlahah ini terkait oleh besar atau kecilnya pengaruh dari kesalehan ummah atau jamaah. Tinjauan mashlahah dari sisi pengaruh ini terbagi kedalam dlarû riyah, hâ jjiyah dan tahsî niyah.
Secara garis besar maqâ shid syarî’ah terbagi dua bagian: Pertama, maqâ shid yang dikembalikan kepada maksud syâri’. Syâri’ menurunkan hukum bagi makhluknya dengan satu illat yaitu kemaslahatan manusia, baik kemaslahatan duniawi, maupun kemaslahatan ukhrawi. Kedua, hukum syari’ah yang dikembalikan kepada maksud mukallaf. Hal ini dapat diimplementasikan dalam tiga visi; dlarû riyah, hâ jjiyah dan tahsî niyah
Menjaga maqshâ shid syarî’ah sebagaimana yang digariskan oleh ahli Ushul Fiqh terbagi kepada tiga tingkatan: dlarû riyah, hâ jjiyah dan tahsî niyah. Dalam fiqh aulawiyâ t kita dituntut untuk mendahulukan dlarû riyah dari pada yang hâ jjiyah. Demikian halnya jika terjadi pergesekan antara hâ jjiyah dan tahsî niyah, kita dituntut untuk mendahulukan hâ jjiyah daripada tahsî niyah. Pertama, dlarû riyah adalah bentuk kemaslahatan primer yang mendesak untuk dipenuhi oleh masyarakat baik secara kolektif maupun oleh masing-masing individu. Sekiranya terabaikan maka akan mengakibatkan destruktif bagi manusia sendiri atau tatanan yang telah mapan.
Dalam kaitannya dengan dlarû riyah ini — sebagaimana yang akan dirinci nanti dibagi menjadi lima bagian—hifdz al dîn lebih diprioritaskan daripada hifdz al nafs, dan hifdz al nafs lebih diprioritaskan daripada hifz al ‘aql dan begitu seterusnya.
Kedua, hâjjiyah adalah kemaslahatan yang diperlukan oleh masyarakat demi peningkatan kestabilan tatanan hidup, atau guna terciptanya kondisi yang lebih baik. Jika mashlahah ini terabaikan bahayanya tidak sampai mengganggu kemapanan yang ada, hanya terjadi kekurang serasian hidup. Seperti pensyari’atan rukhshah (keringanan) dalam hifdz al din, dan hifdz nashl menasabkan anak hasil adopsi kepada orang tua asli dan diperbolehkannya berbuka puasa bagi musafir serta yang sakit. Termasuk dalam hal ini penciptaan cara-cara lain sebagai sad al dzarâi’.
Ketiga, tahsî niyât adalah hal-hal yang dibutuhkan untuk menumbuhkan sikap kepribadian dan kemuliaan akhlaq, berorientasi pada legitimasi sosial yang tidak kontradiktif dengan syari’at. Kemashlahatan tahsnî yât melahirkan kondisi umat yang mendekati kesempurnaan, sehingga bisa menarik simpati dari umat lain terhadap masyarakat Islam. Seperti disyari’atkannya menjaga kebersihan,  berhias dan dalam mu’amalah terdapat pelarangan menjual barang najis dan kotoran yang membahayakan kesehatan umum.
Lebih terperinci lagi, maqâ shid syari’ah dalam visi dlarû riyah terbagi menjadi lima yang kemudian lebih dikenal dengan al-kulliyâ t al-khams, diantaranya: Pertama, hifdz al dî n; (Perlindungan terhadap keyakinan agama). Shari’ah Islam mengajarkan untuk menciptakan sikap hormat dan menjaga keyakinan yang ada, agar dalam masyarakat yang berada di dalam naungan shari’ah Islamiyyah, agama yang bervariasi dapat hidup berdampingan secara damai, saling menjaga dan menghormati, tidak terjadi saling intervensi dan interpolasi ajaran sehingga keyakinan masing-masing tergambar jelas, (QS. Al-Kafirun 109: 1-6). Shari’ah Islam juga melarang ada pemaksaan untuk memeluk agama di luar keyakinannya (QS. Al-Baqarah 2: 256). Dampaknya adalah membuahkan kerjasama yang seimbang antara ummat beragama dalam kegiatan social, ekonomi, pertahanan, keamanan, lingkungan hidup dan lain sebagainya. Yang digambarkan oleh QS. Al-Mumtahanah 60: 8.
Kedua, hifdz al nafs (Perlindungan terhadap keselamatan jiwa); Islam mengajarkan untuk memelihara dan menghormati keamanan dan keselamatan diri manusia, dan menjadi tetap dihormatinya kemuliaan, martabat manusia sebagai anugrah dari Alah SWT. Dampaknya adalah terjaminnya ketentraman dan kondisi masyarakat yang santun dan beradab (masyarakat madani/civil society), (QS. Al-an’am 6: 151), (al-Baqarah 2: 179).
Ketiga, hifdz al áql (Perlindungan terhadap eksistensi akal); akal adalah dimensi paling penting dalam kehidupan manusia. Keberadaanya menjadi pembeda utama dengan makhluk lain serta menjadi alas an mengapa Allah menetapkan kewajiban-kewajiban-Nya kepada manusia. Akal juga amat menentukan baik buruknya perilaku hidup dan peradaban. Oleh karena itu, shari’ah Islam mengajarkan untuk memelihara dan mengembangkan kejernihan apemikiran manusia serta amannya produk pemikiran manusia, sehingga tidak mudah kegalauan dan kebingungan yang dapat menimbulkan keberingasan. Oleh karena itu apapun yang dapat merugikan fungsi pemikiran, baik dalam bentuk fisik maupun non fisik, dicegat oleh shari’at Islam.
Perlindungan terhadap kerusakan pemikiran maupun fungsi aqliyah manusia merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi masyarakat yang menginginkan kemajuan, sebab hal ini merupakan kebutuhan semua orang tanpa memandang suku, bangsa ataupun agama. (QS. Al-Maidah 5: 90).
Keempat, Hifdz al nasl (Perlindungan terhadap keturunan); Islam mengajarkan untuk memelihara dan menghormati system keluarga (keturunan), sehingga masing-masing orang mempunyai nisbah dan garis keluarga yang jelas demi kepentingan di dalam masyarakat guna mewujudkan kehidupan yang tenteram dan tenang. (QS. Al-Rum 30: 21)
Kelima, Hifdz al mâl (Perlindungan terhadap harta); Islam mengajarkan untuk menjamin perkembangan ekonomi masyarakat yang saling menguntungkan, menghormati dan menjaga kepemilikan yang sah sehingga akan tercipta dinamika ekonomi yang santun dan beradab (economical civility). Untuk itu Islam mengajarkan tata cara memperoleh harta, seperti hukum bolehnya jual beli disertai persyaratan keridlaan dua belah pihak dan tidak ada praktik riba dan monopoli, (QS. Al-Baqarah 2: 275), (QS. An.Nisa 4: 29)

  1. D. Maqashid Syari’ah dalam konteks  ke Indonesiaan.
Indonesia merupakan Negara dengan kemajemukan yang sangat banyak. Berbagai macam suku, ras, budaya, bahasa dan agama berkeliaran di negeri ini. Maka menjadi keniscayaan ketika perbedaan-perbedaan itu tidak lagi melahirkan konflik. Para funding father memiliki cita-cita mulia ketika membuat landasan bangsa kita.  perdamaian, kesetaraan dan saling menghargai adalah kunci untuk mewujudkan cita-cita tersebut, maka lahirlah Pancasila yang akhirnya hingga kini menjadi ideology Negara kita. Dengan lambang garuda yang bertuliskan Bhinneka tunggal Ika, dan semua itu bukanlah diciptakan hanya untuk menjadi symbol atau formalitas belaka. Sungguh sangat disayangkan ketika masih saja terjadi kekerasan dan peperangan yang dimulai karena perbedaan. Apalagi Negara ini adalah Negara demokrasi, maka semangat demokrasi seharusnya menjadi semangat untuk menjadi mediasi perbedaan yang ada pada masyarakat, mempromosikan pluralisme, menghormati minoritas serta perbedaan etnis dan agama.
Dan semua itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan tujuan diturunkannya al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan kepada Rosulullah saw, di tengah semrawutnya tatanan kehidupan masyarakat ketika itu di mana struktur social  budayanya patriarki, system ekonominya opresif, politiknya despotic dan juga koruptif. Di tengah system sedemikian rupa kehidupan tidak lagi berharga. Perbudakan merajalela, perempuan dimarjinalkan dan dijadikan barang mainan, para kapitalis berkuasa sementara kaum miskin akan terus hidup menderita. Al-Qur’an turun untuk memperbaiki kerusakan itu, kembali mengangkat jati diri manusia dari penindasan dan kesengsaraan dan menciptakan sebuah masyarakat yang adil (al-‘adalah), egaliter (musawah), merdeka (al-huriyah), serta damai dan rukun (as-salamah, al-mashlahah).
Dalam konteks inilah Allah melalui al-Qur’an menetapkan bahwa riba adalah haram, sementara jual beli itu halal, poligami halal, tetapi gonta ganti pasangan haram, tabarruj (bersolek) haram, akan tetapi berjilbab wajib bagi kaum perempuan, hudud dikenakan bagi pelaku tindak kriminalitas dan rajam bagi pezina, dan begitulah seterusnya. Hukum-hukum ini yang dalam perkembangan selanjutnya dielaborasi secara rinci oleh fuqaha dan mufassirin, sehingga melahirkan disiplin ilmu yang dikenal dengan fiqh, ushul fiqh dan tafsir. Inilah  yang dimaksudkan Fazlur Rahman dalam tulisannya “(pewahyuan) al-Qur’an merupakan respon ilahiah pada waktu al-Qur’an diturunkan, yang menembus nalar nabi Muhammad, terkait dengan situasi moral-sosial kawasan Arabia tempat Nabi tinggal.
Dengan nada yang sama Abdullah Ahmed An-Na’im , ketika mengomentari hukum Islam yang berhubungan dengan urusan public seperti hudud, qishas dan sejenisnya mengatakan “hukum public yang terkandung dalam shari’ah adalah sepenuhnya dapat dijadikan landasan dan konsisten dengan konteks historisnya. Akan tetapi tidak dapat dijadikan alasan dan tidak secara konsisten bersesuaian dengan konteks kekinian”.  Nasr Hamid abu Zaid meringkas dengan mengatakan al-Qur’an sebagai muntaj tsaqafi (Produk budaya). Apa yang tersirat dalam masalah ini adalah hukum-hukum al-Qur’an sangat dipengaruhi nuansa social-budaya, ekonomi, politik masyarakat Arab diabad ke tujuh. Oleh sebab itu, bukanlah sikap yang bijak ketika mengadopsi apa yang ditetapkan dalam nash secara literal dan formal legalistic tanpa lebih jauh mengapresiasi tujuan serta hikmah terdalam dari hukum tersebut. Karena setiap hukum yang lahir pasti bertujuan mencari kemaslahatan dan ini sangatlah sesuai dengan prinsip Maqashidus syari’ah, maka hukum pun harus menyesuaikan pada waktu dan tempat.

  1. E. Kesimpulan
Imam al-Syatibi membagi kemaslahatan dalam tiga tingkatan, yaitu pertama, Kemaslahatan yang bersifat primer (al-dharuriyyat), yaitu kemaslahatan yang mesti menjadi acuan utama bagi implementasi syari’at. sebab jika tidak, maka akan terjadi ketimpangan dan ketidakadilan yang mengakibatkan ambruknya tatanan social. Kemaslahatan dalam kategori menjadi penyeimbang dan mediasi antara kecenderungan ukhrawi dan duniawi. Titik temunya terletak pada upaya pembumian nilai-nilai yang diidealkan Tuhan untuk kemanusiaan universal.
Yang dimaksud kemaslahatan primer yaitu perlunya perlindungan agama (hifzh al-din, melindungi jiwa (hifzh al-nafs), melindungi akal (hifzh al-‘aql), melindingi keturunan (hifzh nasaab) dan melindungi harta (hifzh al-mal). Setiap manusia mesti menghargai keberagamaan orang lain, menghormati jiwa, menghargai kebebasan berfikir dan berpendapat, menjaga keturunan (hak reproduksi) serta menghargai kepemilikan harta setiap orang. Imam Syatibi menegaskan, bahwa kemaslahatan yang bersifat primer tersebut merupakan inti semua agama dan ajaran.
Kedua, kemaslahatan yang bersifat sekunder (al-hajiyat), yaitu kemaslahatan yang tidak menyebabkan ambruknya tatanan social dan hukum. Misalnya dalam hal ibadah, bahwa dalam praktek peribadatan diberikan dispensasi (al-rukhash al-mukhaffafah) apabila dal;am pelaksanaannya terdapat kesulitan. Bagi mereka yang melakukan perjalanan jauh, sakit dan orang tua renta diberikan keringanan yang diatur dalam fiqih. Kemaslahatan sekunder ingin memberikan pesan, bahwa dalam pelaksanaan peribadatan pun diberikan beberapa keringanan dalam rangka memberikan kemaslahatan dan kenyamanan bagi pemeluknya, sehingga beragama dan beribadah tidak merasa adanya keberatan dan keterpaksaan.
Ketiga, kemaslahatan yang bersifat suplementer (al-tahsiniyat), yaitu kemaslahatan yang memberikan perhatian pada masalah estetika dan etiket. Misalnya, ajaran tentang kebersihan, berhias, shadaqah dan bantuan kemanusiaan. Kemaslahatan ini juga menjadi penting dalam rangka menyempurnakan kemaslahatan priomer dan sekunder.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook