Thursday, June 18, 2015

pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama.





 


Al-Ahwal Al-Syakhsiyah adalah istilah bagi keseluruhan hukum yang menyangkut masalah keluarga dan peradilan Islam seperti hukum perkawinan, kewarisan, wasiat dan Peradilan Agama. Pada awalnya pembahasan hukum-hukum tersebut terdapat pada bab-bab fiqh yang terpisah. Baru kemudian pada paruh kedua abad ke-19 hukum-hukum yang dikategorikan hukum keluarga dihimpun dalam satu kajian khusus, Al-Ahwal Al-Syakhsiyah.
Jurusan ini memiliki dua program studi; Program Studi Hukum Keluarga Islam dan Program Studi Peradilan Islam.


Istilah hukum keluarga berasal dari terjemahan Familierecht  ( Belanda ) atau law of familie (Inggris). Dalam konsep Ali Afandi,[1] hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah, dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua,perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir).
Ada dua hal penting dari konsep Ali Afandi tersebut, bahwa hukum keluarga mengatur hubungan yang berkaitan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan. Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama. Sedangkan kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dengan istri (suaminya).[2]
                    Tahir Mahmud, mengartikan hukum keluarga sebagai prinsip-prinsip hukum yang diterangkan berdasarkan ketaatan beragama berkaitan dengan hal-hal yang secara umum diyakini memiliki aspek religius menyangkut peraturan keluarga, perkawinan, perceraian, hubungan dalam keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian mas kawin, perwalian, dan lain-lain.[3]

                      Definisi Tahir Mahmud tersebut, pada dasarnya mengkaji dua sisi, yaitu t
entang prinsip hukum dan ruang lingkup hukum. Sedangkan ruang lingkup kajian hukum keluarga meliputi peraturan keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian mas kawin, perwalian, dan lain-lain. Apabila diperhatikan, definisi ini terlalu luas, karena menyangkut warisan, yang dalam hukum perdata BW merupakan bagian dari hukum benda.
                     Dalam definisi ini setidaknya memuat dua hal penting yaitu, kaidah hukum dan substansi (ruang lingkup) hukum. Kaidah hukum meliputi hukum keluarga tertulis dan hukum keluarga tidak tertulis. Hukum keluarga tertulis adalah  kaidah-kaidah hukum yang bersumber daru undang-undang, traktat, dan yurisprudensi. Hukum keluarga tidak tertulis merupakan kaidah-kaidah hukum keluarga yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, mamari dalam masyarakat sasak. Adapun ruang lingkup yang menjadi kajian hukum keluarga meliputi perkawinan, perceraian, harta benda dalam perkawinan, kekuasaan orang tua, pengampuan, dan perwalian.
                        Berdasarkan definisi tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum keluarga pada dasarnya merupakan keseluruhan kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan hukum yang timbul dari ikatan keluarga yang meliputi:
a)      Peraturan perkawinan dengan segala hal yang lahir dari perkawinan
b)      Peraturan perceraian
c)      Peraturan kekuasaan orang tua
d)      Peraturan kedudukan anak
e)      Peraturan pengampuan (curatele) dan
f)       Peraturan perwlian (voogdij).
Hukum perdata barat mengandung prinsip bahwa hukum keluarga pada berbagai ketentuannya pada hakikatnya erat hubungannya dengan tata tertib umum. Dengan demikian maka segala tindakan yang bertentangan dengan ketentuan itu adalah batal demi hukum.
Dalam konsepsi hukum pedata Indonesia telah diadakan pernyataan bahwa Hukum Perdata Barat (BW) tidak lagi dianggap sebagai undang-undang yang mutlak berlaku. Ada beberapa pertimbangan yang melandasi ketentuan tersebut antara lain:
1)      Ada tendensi bahwa BW mengaju pada alam liberalisme, sehingga perlu ditinggalkan dan menuju alam sosialisme Indonesia.
2)      Maklumat Mahkamah Agung tentang tidak berlakunya sementara ketentuan karena tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman dan bersifat diskriminatif.
3)      Menjadikan jati diri bangsa Indonesia yang pliralitis, sehingga berbeda jauh dengan kondisi alam barat. Misalnya, dengan keberlakuan hukum islam dan hukum adat.[4]
Pada dasanya sumber hukum keluarga dapar dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumber hukum keluarga tertulis dan sumber hukum perdata  tidak tertulis. Sumber hukum keluarga tidak tertulis merupakan norma-norma hukum yang tumbuh dan berkembang serta ditaati oleh sebagian besar masyarakat atau suku bangsa yang hidup di wilayah Indonesia. Sedangkan sumber hukum keluarga tertulis berasal dari berbagai peraturan perundang-udangan, yurisprudensi, dan perjanjian (traktat).
Sumber hukum keluarga tertulis yang menjadi rujukan di Indonesia meliputi: (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek); (2) Peraturan Perkawinan Campuran (Regelijk op de Gemengdebuwelijk), Stb. 1898 – 158; (3) Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen Jawa, Minahasa, dan Ambon (Huwelijke Ordonnnantie Christen Indonesiers), Stb. 1933 -74; (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak,dan Rujuk (beragama Islam); (5) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; (6) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Perturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; (7) Peraturan Pemeritah Nomor 10 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai  Negeri Sipil; dan (8) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam.[5]


        Kekuasaan orang tua
Seorang anak sah sampai ia mencapai usia dewasa dewasa atau kawin, berada di bawah kekuasaan orang tuanya selama kedua orang tua itu terikat dalam hubungan perkawinan.Dengan demikian kekuasaan orang tua itu mulai berlaku sejak lahirnya anak atau [dalam halnya anak luar kawin yang disahkan]. Oleh karena itu kekuasaan orang tua adalah kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu selama mereka itu terikat dalam perkawinan terhadap anak-anaknya yang belum dewasa. Demikian isi dari pasal 299. Menurut pasal 300 kekuasaan orang tua itu biasanya dilakukan oleh si ayah.
Jika bapak berada di laur kemungkinan melakukan kekuasaan itu yang melakukan kekuasaan adalah si ibu.[6]
Selanjutnya pasal 240 memuat ketentuan bahwa setelah adanya keputusan perpisahan meja dan ranjang. Hakim harus memutuskan siapa diantara orang tua harus melekukan kekuasaan orang tua terhadap anak.
di dalam hal ini bisa juga kekuasaan orang tua dilakukan si ibu. Mengenai pengertian Jadi belum dewasa perlu duperhatikan pasal-ppasal seperti berikut :
Pasal 330 : Orang yang belum dewasa adalah orang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. jka ia pernah kawin, dan ia masih belum mencapai umur 21 tahun ia tidak kembali dalam kedudukannya sebagai orang belum dewasa.
Jadi inti dari uraian di atas adalah :
1.      Belum mencapai umur 21 tahun
2.      Belum kawin.
Kembali berbica tentang kekuasaan orang tua, dari kekuasaan itu diatur dalam pasal 298-310. Isi dari kekuasaan orang tua itu dibagi menjadi 2 bagian.
1.      Kekusaan terhadap pribadi seorang anak,
2.      Kekuasaan terhadap kekayaan anak
Tentang kekuasaan tentang peribadi seorang anak terdapat ketentuan sebagai berikut:
Pasal 298 dan 301:
Tiap anak berapa pun umurnya, wajib menghormati orangtuanya.
 Tujuan
  1. Menguasai dasar ilmiah dan keterampilan bidang keahlian Hukum Keluarga dan Peradilan Islam sehingga mampu menemukan, memahami, menjelaskan, dan merumuskan cara penyelesaian masalah dalam bidang keahliannya.
  2. Mampu menerapkan keahliannya dalam kegiatan produktif dan pela­yanan kepada masyarakat dengan sikap dan perilaku yang sesuai dengan tata kehidupan bersama.
  3. Mampu bersikap dan berperilaku dalam membawakan diri dan berkarya di bidang keahlian Hukum Keluarga dan Peradilan Islam dalam kehidu­pan bersama di masyarakat.
  4. Mampu mengikuti perkembangan ilmu di bidang keahlian Hukum Ke­­luar-ga dan Peradilan Islam.
Kompetensi
    1. Memiliki kemampuan dan keahlian dalam bidang Hukum Keluarga Islam, yang meliputi hukum perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, shadaqah, wakaf, dan urusan haji, serta memahami pranata hukum Islam Iainnya (Program Studi Hukum Keluarga Islam).
    2. Memiliki kemampuan dan keahlian dalam bidang Peradilan Agama di Pengadilan Agama (Program Studi Peradilan Islam).








No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook