Friday, June 19, 2015

RAHASIA-RAHASIA HUKUM yang luar biasa



RAHASIA-RAHASIA HUKUM yang luar biasa

 

M.RAKIB  SH.,M.Ag.. Pekanbaru  Riau Indonesia 2015
RAHASIA-RAHASIA Maqashid Syari’ah dalam konteks  ke Indonesiaan.

Hadits tentang mukul isteri  atau anak, yang tidak disiplin, ada sebab-sebab turunnya: 
Asbabul Wurud Al-Hadis, mempunyai ketajaman dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dan dasar-dasar syara' dalam menetapkan hukum, mereka juga mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap bahasa mereka sendiri (Arab) yang juga bahasa al-Quran dan as-Sunnah. Dengan pengetahuan yang mereka miliki itu, mereka mampu berijtihad tanpa membutuhkan adanya kaidah-kaidah.

Pada masa tabi'in, tabi'it-tabi'in dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak di antara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam al-Quran dan as-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.

Karena banyaknya persoalan-persoalan hukum yang timbul dan karena pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang yang berkembang dengan pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad juga mencapai kemajuan yang besar dan lebih bersemarak.  Dalam pada itu, pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu daerah. Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syariah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara' dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.

Demikian pula dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan banyaknya penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam. Maka terjadilah pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan, kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan. Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan dalam memahami nash-nash syara'. Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami nash-nash syara' sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau datangnya nash-nash tersebut. Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar'iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah dalam berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Ushul Fikih.

Orang yang pertama kali merumuskan dan membukukan ilmu ushul fikih ini adalah Muhammad ibn Idris al-Syafi'i (150-204 H atau 767-820 M) dengan kitabnya berjudul al-Rislah. Sebenarnya metodologi untuk memahami hukum Islam itu sudah ada sebelum al-Syafi'i; hanya saja pada waktu itu metodologi ini belum dirumuskan dan belum pula dibukukan secara sistematis, sehingga al-Syafi'i dikenal sebagai penyusun pertama ilmu ushul fikih.

Sedangkan, menurut Murtadha Muthahari, di kalangan ulama Syiah tokoh yang pertama menyusun kitab-kitab Ushul ialah Sayyid Murtadha Alam Ul-Huda. Sejumlah kitab Ushul disusun oleh Sayyid Murtadha, yang paling masyhur di antaranya adalah Thariyah (Perantara).Sayyid Murtadha hidup selama akhir abad keempat dan awal abad kelima Hijriah. Beliau wafat pada 436 H. Setelah Sayyid Murtadha dalam tradisi Syiah, sosok figur terkenal dan penting dalam studi Ushul ialah Syaikh Tusi yang wafat pada 460 H. Tokoh selanjutnya dalam tradisi Syiah, dalam studi Ushul ialah Wahid Bahbahani (1118-1208 H) dan Syaikh Murtadha Anshari (1214-1281 H). Berikutnya adalah murid dari Syaikh Anshari yakni Mullah Khorasani.

Dalam tradisi Ahlusunnah, munculnya ilmu ushul fikih ini tidak terlepas dari kondisi pada waktu itu, di mana di satu pihak terdapat aliran ahl al-hadis yang lebih menekankan arti harfiah dalam memahami hukum; dan di lain pihak terdapat aliran ahl al-ra'y yang memahami hukum dengan banyak menggunakan rasio dan bahkan sering meninggalkan Hadis. Sayangnya, masing-masing dari kedua aliran ini tidak memiliki metodologi yang sistematis dan konsisten, sehingga menimbulkan semakin beranekanya dan meruncingnya perbedaan pendapat, yang di antaranya bahkan mengarah kepada pemahaman menurut keinginannya sendiri, terutama di kalangan aliran ahl al-ra'y. Al-Syafi'i terpanggil untuk menertibkan perbedaan pemahaman tersebut dengan memperkenalkan sebuah metodologi yang sistematis dan konsisten serta menempatkan kedua aliran itu secara proporsional. Hal ini bisa dilakukan, karena didukung juga oleh latar belakang al-Syafi'i yang pernah belajar dengan guru yang beraliran ahl al-hadis (Malik ibn Anas) dan yang beraliran ahl al-ra'y (al-Syaibani).
Indonesia merupakan Negara dengan kemajemukan yang sangat banyak. Berbagai macam suku, ras, budaya, bahasa dan agama berkeliaran di negeri ini. Maka menjadi keniscayaan ketika perbedaan-perbedaan itu tidak lagi melahirkan konflik. Para funding father memiliki cita-cita mulia ketika membuat landasan bangsa kita.  perdamaian, kesetaraan dan saling menghargai adalah kunci untuk mewujudkan cita-cita tersebut, maka lahirlah Pancasila yang akhirnya hingga kini menjadi ideology Negara kita.
 Dengan lambang garuda yang bertuliskan Bhinneka tunggal Ika, dan semua itu bukanlah diciptakan hanya untuk menjadi symbol atau formalitas belaka. Sungguh sangat disayangkan ketika masih saja terjadi kekerasan dan peperangan yang dimulai karena perbedaan. Apalagi Negara ini adalah Negara demokrasi, maka semangat demokrasi seharusnya menjadi semangat untuk menjadi mediasi perbedaan yang ada pada masyarakat, mempromosikan pluralisme, menghormati minoritas serta perbedaan etnis dan agama.
Dan semua itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan tujuan diturunkannya al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan kepada Rosulullah saw, di tengah semrawutnya tatanan kehidupan masyarakat ketika itu di mana struktur social  budayanya patriarki, system ekonominya opresif, politiknya despotic dan juga koruptif. Di tengah system sedemikian rupa kehidupan tidak lagi berharga. Perbudakan merajalela, perempuan dimarjinalkan dan dijadikan barang mainan, para kapitalis berkuasa sementara kaum miskin akan terus hidup menderita. Al-Qur’an turun untuk memperbaiki kerusakan itu, kembali mengangkat jati diri manusia dari penindasan dan kesengsaraan dan menciptakan sebuah masyarakat yang adil (al-‘adalah), egaliter (musawah), merdeka (al-huriyah), serta damai dan rukun (as-salamah, al-mashlahah).
Dalam konteks inilah Allah melalui al-Qur’an menetapkan bahwa riba adalah haram, sementara jual beli itu halal, poligami halal, tetapi gonta ganti pasangan haram, tabarruj (bersolek) haram, akan tetapi berjilbab wajib bagi kaum perempuan, hudud dikenakan bagi pelaku tindak kriminalitas dan rajam bagi pezina, dan begitulah seterusnya. Hukum-hukum ini yang dalam perkembangan selanjutnya dielaborasi secara rinci oleh fuqaha dan mufassirin, sehingga melahirkan disiplin ilmu yang dikenal dengan fiqh, ushul fiqh dan tafsir. Inilah  yang dimaksudkan Fazlur Rahman dalam tulisannya “(pewahyuan) al-Qur’an merupakan respon ilahiah pada waktu al-Qur’an diturunkan, yang menembus nalar nabi Muhammad, terkait dengan situasi moral-sosial kawasan Arabia tempat Nabi tinggal.
Dengan nada yang sama Abdullah Ahmed An-Na’im , ketika mengomentari hukum Islam yang berhubungan dengan urusan public seperti hudud, qishas dan sejenisnya mengatakan “hukum public yang terkandung dalam shari’ah adalah sepenuhnya dapat dijadikan landasan dan konsisten dengan konteks historisnya. Akan tetapi tidak dapat dijadikan alasan dan tidak secara konsisten bersesuaian dengan konteks kekinian”.  Nasr Hamid abu Zaid meringkas dengan mengatakan al-Qur’an sebagai muntaj tsaqafi (Produk budaya). Apa yang tersirat dalam masalah ini adalah hukum-hukum al-Qur’an sangat dipengaruhi nuansa social-budaya, ekonomi, politik masyarakat Arab diabad ke tujuh. Oleh sebab itu, bukanlah sikap yang bijak ketika mengadopsi apa yang ditetapkan dalam nash secara literal dan formal legalistic tanpa lebih jauh mengapresiasi tujuan serta hikmah terdalam dari hukum tersebut.  Karena setiap hukum yang lahir pasti bertujuan mencari kemaslahatan dan ini sangatlah sesuai dengan prinsip Maqashidus syari’ah, maka hukum pun harus menyesuaikan pada waktu dan tempat.

Imam al-Syatibi membagi kemaslahatan dalam tiga tingkatan, yaitu pertama, Kemaslahatan yang bersifat primer (al-dharuriyyat), yaitu kemaslahatan yang mesti menjadi acuan utama bagi implementasi syari’at. sebab jika tidak, maka akan terjadi ketimpangan dan ketidakadilan yang mengakibatkan ambruknya tatanan social. Kemaslahatan dalam kategori menjadi penyeimbang dan mediasi antara kecenderungan ukhrawi dan duniawi. Titik temunya terletak pada upaya pembumian nilai-nilai yang diidealkan Tuhan untuk kemanusiaan universal.
Yang dimaksud kemaslahatan primer yaitu perlunya perlindungan agama (hifzh al-din, melindungi jiwa (hifzh al-nafs), melindungi akal (hifzh al-‘aql), melindingi keturunan (hifzh nasaab) dan melindungi harta (hifzh al-mal). Setiap manusia mesti menghargai keberagamaan orang lain, menghormati jiwa, menghargai kebebasan berfikir dan berpendapat, menjaga keturunan (hak reproduksi) serta menghargai kepemilikan harta setiap orang. Imam Syatibi menegaskan, bahwa kemaslahatan yang bersifat primer tersebut merupakan inti semua agama dan ajaran.
Kedua, kemaslahatan yang bersifat sekunder (al-hajiyat), yaitu kemaslahatan yang tidak menyebabkan ambruknya tatanan social dan hukum. Misalnya dalam hal ibadah, bahwa dalam praktek peribadatan diberikan dispensasi (al-rukhash al-mukhaffafah) apabila dal;am pelaksanaannya terdapat kesulitan. Bagi mereka yang melakukan perjalanan jauh, sakit dan orang tua renta diberikan keringanan yang diatur dalam fiqih. Kemaslahatan sekunder ingin memberikan pesan, bahwa dalam pelaksanaan peribadatan pun diberikan beberapa keringanan dalam rangka memberikan kemaslahatan dan kenyamanan bagi pemeluknya, sehingga beragama dan beribadah tidak merasa adanya keberatan dan keterpaksaan.
Ketiga, kemaslahatan yang bersifat suplementer (al-tahsiniyat), yaitu kemaslahatan yang memberikan perhatian pada masalah estetika dan etiket. Misalnya, ajaran tentang kebersihan, berhias, shadaqah dan bantuan kemanusiaan. Kemaslahatan ini juga menjadi penting dalam rangka menyempurnakan kemaslahatan priomer dan sekunder.



No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook