Monday, July 6, 2015

KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA TIDAK MENJAWAB TANTANGAN ZAMAN



KURIKULUM  PENDIDIKAN AGAMA
TIDAK MENJAWAB TANTANGAN ZAMAN


M.RAKIB SH., M.Ag Pekanbaru Riau Indonesia. 2015


              Kurikulum pendidikan agama, harus  mampu menjawab tantangan zaman.  Kemudian masalah yang muncul dari masa ke masa, harus pula dijawab status hukumnya menurut syari’ah. Dengan sangat jelas dalam Al-Quran  dinyatakan  bahwa Al-Qur’an itu sebagai obat, untuk mengatasi segala persoalan.  Itulah sebabnya syariat Islam yang bersumber dari Al Quran dan Al- Sunnah selalu up to date, tidak pernah ketinggalan zaman, mampu menjawab tantangan..Untuk menjawab tantangan zaman itu,  para ulama melakukan istinbath (menggali) hukum-hukum syar’iy dari nash-nash syariah,  yakni Al-Quran dan Al-Sunnah,  untuk menjawab masalah baru,  apapun bentuknya, baik berupa tindakan, perbuatan maupun yang berkaitan dengan politik  bahkan tentang harta benda.

             Melalui kekuatan kata-kata dan gaya bahasa al- Quran dan Al- Sunnah,  mengikat dan memberi arah terhadap perkara apa saja yang mungkin muncul hingga hari kiamat. Apabila ditanyakan, dalil syariah tentang kebolehan menggunakan ilmu rekayasa dan  kecanggihan teknologi, paara ulama dan fuqaha’ akan meneliti dalil-dalil syari’ah untuk mengetahui hukumnya, mereka akan menemukannya dalilnya.
               Sebagai agama sempurna, Islam telah mengatur seluruh perikehidupan manusia tanpa kecuali. Mulai dari masalah teologi, moral, etika, sampai kepada masalah hak asasi manusia, sampai kepada masalah perlindungan wanita dan anak-anak. Tidak ada satupun persoalan hidup yang terjadi pada manusia,  yang tidak   dijelaskan tata aturannya. Seperti yang diisyaratkan dalam  Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 3 bahwa ajaran Islam telah disempurnakan dan Islam telah ditetapkan sebagai suatu agama. Kemudian di dalan QS Al- Nahl : 89 dinyatakan pula bahwa al-Qur’an telah menjelaskan segala sesuatu.Kemudian  di dalam QS Al Baqarah : 208 ada  perintah agar manusia masuk ke dalam Islam secara totalitas. Tidak boleh menerima sebahagian ayat Al-Quran tapi mengingkari ayat yang lain.
                Hukum Islam[1]sebagai manifestasi kehendak Syari’ dalam menjawab apapun problema yang dihadapi manusia, terjadinya dialektika antara teks dan realitas. Para fuqaha’ berusaha menemukan inovasi dan progresifitas, untuk mewujudkan kemashlahatan universal. Di antara tantangan yang harus dijawab ialah fenomena kekerasan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, berupa hukuman fisik oleh orang tua dan guru, terhadap anak-anak, terus saja terjadi

               Sebahagian dari kekerasan terhadap anak hari ini, dan terus berlangsung dengan berbagai tindakan yang bervariasi di bergagai tempat. Hal ini sangat mendesak untuk dijawab dan dicarikan solusi. Bagaimanapun juga, setiap kekerasan akhirnya berurusan dengan hukum, baik hukum Islam maupun hukum negara.  Hukum Islam tidak saja ma’qûl sekaligus  ma’mûl.[2] Sebagai upaya menjadikannya   inovatif  progresif. Berbagai langkah ditempuh agar tidak menjadi  asing pada lingkungan yang mengitarinya.[3]Tidak hanya eksis pada ranah normatif (law in book)  juga riil (law in action)  historis kritis, memperjuangkan nasib anak-anak dan  emansipasi terhadap wanita, dengan melepaskan tradisi hukuman fisik perbudakan dalam budaya Arab, bahkan ada sanksi memerdekakan budak.Tidak bisa dipisahkan dengan lingkungan hidup masyarakatnya. Hukum Islam  dituntut untuk berdialektika, sesuai dengan lingkungan sosial, budaya.
                 Hukum apapun tidak dapat dipisahakan dengan politik,[4] secara  simultant dan continue. Kemandekan pada salah satu sisinya akan menjadikan pincang dan problematik dalam segala sisi kehidupan sosial maupun kebangsaan.[5] Berdasarkan kajian segala segi Hukum Islam, sudah  banyak dilakukan oleh para ulama, dapat menjadi bahan kajian yang dinamis. Dalam kehidupan manusia, tidak ada ide hukum yang bersifat final, maka kesinambungan kajian tentang pemikiran yang berkembang,  menjadi suatu keniscayaan dan sebagai bagian dari sunnatullah di alam ini. Formulasi pemikiran yang sistematis dan benar tentunya sangat membutuhkan akan artikulasi dan kontribusi yang dialogis. Dengan demikian prospek dan perspektif hukum Islam yang akomodatif-transformatif akan bisa terwujud secara sistematis, jelas dan komprehensif. [6]
                 Indonesia sebagai negara hukum, memiliki hukum nasional sendiri yang dimaksudkan sebagai pedoman untuk melaksanakan pemerintahan. Dalam membentuk hukum nasional, bangsa Indonesia mengambil dari tiga sistem hukum,yaitu Hukum Islam dan hukum eks-Barat dan Hukum adat. Masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam, tentu saja ada keharusan melaksanakan Hukum Islam, lebih-lebih lagi dengan adanya falsafah Pancasila, dapat pula mengakomodir seluruh kepentingan komponen bangsa, di antaranya kepentingan umat Islam.[7]
                Suatu masalah yang  sangat menarik dan menjadi pemikiran penulis saat ini ialah fenomena hukuman fisik terhadap anak yang tidak salat atau tidak disiplin di madrasah, yang dituduh atau dikategorikan sebagai tindak “kekerasan.”misalnya memukul dengan rotan terhadap anak yang tidak salat. Hukuman fisik seperti ini, mendapat sorotan di seluruh dunia. Ada indikasi yang menunujukkan penentangan terhadap sebahagian ketentuan Hukum Islam, yang dituduh memiliki hukuman kekerasan terhadap anak-anak, khususnya hukuman ta’zir,[8] yang  masih terus berlangsung di madrasah dan pesantren, bahkan dalam rumah tangga, yang tujuannya untuk mencegah kenakalan anak-anak. Lebih-lebih lagi Al-Quran secara filosofis,[9] menyatakan bahwa di antara anak dan isteri, yang tidak terdidik, ada kemungkinan menjadi musuh bagi kepala keluarga karena itu harus hati-hati terhadap mereka.        Masalah memukul anak secara ringan, selama ini, setiap orang tua dan guru merasa berhak melakukannya, karena niatnya untuk mendidik. Tapi kini, tindakan ini, sudah dikategorikan sebagai tindak kriminal. Bagi orang tua dan guru hal ini menjadi sangat dilematis. Mereka mencari jawaban, apakah tindakan memukul anak, benar-benar bertentangan dengan ketentuan hukum nasional dan hukum Islam.
                  Jika anak tidak didisiplinkan, dikhawatirkan mereka akan melanggar hukum dan akan durhaka kepada guru dan orang tuanya. Tidak sedikit pula anak-anak yang berani terang-terangan melawan orang tuanya, yang berusaha mendisiplinkan dirinya. Kalau dibiarkan terus menerus, ia akan menjadi musuh bagi orang tuanya. Firman Allah  sudah mengingatkan  sejak 15 abad yang lalu, melalui al-Quran  sebagai berikut:
64:14
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[10]
              Menurut Quraish Shihab, ayat ini memberikan peringatan kepada Umat Islam, agar hati-hati dalam mendisiplinkan anak, antara lain jika menggunakan hukuman fisik, misalnya memukul anak, merotan, menjewer, demi menegakkan disiplin, karena tindakan seperti itu, untuk saat ini sudah dianggap melanggar  hak asasi anak. Terjadilah prokontra tentang penggunaan kekerasan berupa  hukuman  fisik.[11]Bagi anak yang nakal, hukuman itu bisa saja tidak berguna. Menggunakan hukuman omelan  berlebihan akan melukai harga diri anak, membuat jurang antara anak dan orang tua. Akhirnya seperti kata pepatah, bagaikan memakan buah semalakama.[12]
                           Penjelasan yang gamblang tentang hukuman yang  diberikan, menurut para ahli, sebaiknya orang tua atau guru memberikan penjelasan mengapa mereka dihukum dan dilarang melakukan sesuatu, sehingga hasilnya akan lebih baik, selain mendidik anak untuk mengatasi masalah.[13]Ironisnya, beberapa tindak kekerasan, disangkal oleh pihak sekolah yang menyatakan tindakan itu, bukan bermaksud melakukan penganiayaan.[14] Hal ini kemudian dipengaruhi oleh  penggunaan hukuman fisik dalam pemembinaan disiplin. Berbeda dengan  pendidikan kemiliteran. Jika cara-cara pendidikan kemiliteran diadopsi oleh dunia pendidikan sipil, maka cara kekerasan merfeka  juga ikut diambil alih. Berbagai tindakan kekerasan oleh guru seakan menjadi cara-cara biasa dalam membina kedisiplinan anak didik, khususnya di bidang pelajaran yang melatih fisik, bagian dari olahraga. Tidak semua guru olahraga selalu memberikan hukuman fisik, tetapi sejarahnya sering kali mengidentikkan guru olahraga dengan guru yang suka menghukum push up atau lari keliling lapangan dan pernah menampar, memukul murid yang dianggap bandel.[15]
                 Ada pandangan tentang kekerasan ini, masih dianggap sebagai sebuah kewajaran ketika siswa melakukan kesalahan. Lain halnya dalam pandangan yang dikemukakan  konvensi PBB, tentang kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswanya, akan terekam dalam alam bawah sadarnya yang sesekali bisa muncul dengan tindakan destruktif  yang jauh lebih hebat dari  yang dialaminya di sekolah. Membaca berita tentang tindakan guru orang tua  merasa khawatir, karena tindakan menampar siswa  memberikan dampak psikologis  yang tidak baik,[16]  berujung pada traumatik.
              Permasalahan pokok yang paling urgen dibahas dalam disertasi ini, ialah masalah konsep kekerasan dalam Hukum Perlindungan Anak di dalam undang-undang perlindungan anak dan Hukum Islam. Untuk melihat essensi hukuman fisik, bagi anak-anak Indonesia, tidak hanya memakai aturan hukum dari undang-undang, bahkan diadakan perbandingan.adalah paradigma literalistik dengan arti begitu dominannya pembahasan tentang teks (dalam hal ini teks berbahasa Arab) baik dari segi grammar maupun sintaksisnya dan cenderung mengabaikan pembahasan tentang maksud dasardari wahyu yang ada dibalik teks literal tersebut.
               Paradigma lama hukuman fisik terhadap anak yang menggunakan kaedah ushul fiqih,dengan merujuk kepada pemikiran para ulama ushul al-fiqhi yang dituangkan dalam magnum opusnya The Structure of Scientific Revolutions,[17]namun dalam konsepsi yang berbeda. Hal ini disebabkan karena terjadinya perubahan zaman (paradigma shift)  yang dipengaruhi pula oleh ilmu-ilmu di luar hukum, ditambah pula oleh ilmu ushul fikih masuk dalam kategori ilmu-ilmu sosial humanities. Ada  paradigma  dipadukan dengan kerangka berfikir epistemologi Islami[18] maka bisa dikatakan bahwa paradigma hukum Islam klasik[19] Secara sederhana paradigma yang dianut bertumpu pada teks baik secara langsung maupun tidak langsung (paradigma bayani).[20]Sepanjang pemantauan yang penulis lakukan di berbagai perpustakaan dan internet, belum ditemukan judul disertasi yang benar-benar sama dengan judul yang penulis ajukan, adalah:Analisis Tentang Konsep Kekerasan Pada Hukuman Fisik Terhadap Anak (Perbandingan Antara Undang-Undang  RI Nomor 23 Tahun 2002 Dan   Hukum Islam)
                 Di dalam sejarah nabi-nabi, yang terdapat di dalam Taurat dan Injil, mereka memperkenalkan hukuman fisik, berupa pukulan dengan rotan,[21] bagi anak-anak.Beberapa negara di dunia, mengutip dari kitab Taurat dan Injil, tantang prinsip hukuman fisik sebagai berikut:Hukuman bagi prilaku anak yang salah dan bukan menghukum orangnya. Sewaktu menghukum anak, tidak melihat pribadinya, supaya tidak merusak hubungan  dengan mereka. Apabila mereka gagal dalam belajar,  harus dibantu, bukan menganggap mereka anak yang bodoh. Allah menciptakan satu bagian tubuh yang banyak dagingnya yang terhindar dari luka-luka karena pukulan yaitu pantatdan betis“.Padanya terdapat hikmat, tetapi pentung tersedia bagi punggung orang yang tidak berakal budi”.[22]
               Kasus  kekerasan  pada anak adalah kasus yang sangat pelik,  kasusnya yang beragam, interprestasi mengenai kekerasan pun masih penuh dengan perdebatan. Sebagian orang menganggap bahwa kasus kekerasan digunakan sebagai hak otonominya,[23] dan bersifat pribadi, dan orang lain tidak boleh mengetahuinya karena termasuk aib yang harus ditutupi. Dengan alasan ini, sehingga banyak kasus-kasus kekerasan tidak bisa diungkap.[24]
            Menurut Seto Mulyadi: Kekerasan[25] pada anak juga dipengaruhi oleh tayangan televisi, namun semua itu harus disikapi bijaksana oleh para orangtua, seperti mengingatkan agar anak tidak banyak menonton sinetron televisi yang menayangkan kekerasan, berupa disiksa diperlakukan secara fisik, bahkan seksual dan juga terlibat atau ambil bagian dalam tawuran.   Melihat perkelahian antar pelajar mendatangkan berbagai pengaruh negatif.
B. Perumusan Masalah 
                 Berdasarkan paparan latar belakang penelitian ini, penulis merumuskan masalahnya, sebagai berikut:
1.      Bagaimana konsep  kekerasan pada hukuman fisik terhadap anak menurut Hukum Islam?
2.      Bagaimana konsep kekerasan kekerasan di dalam  hukum perlidungan anak(UU No.23 Tahun 2003) tentang hukuman fisik bagi anak-anak?
3.      Bagaimana perbandingan konsep penghukuman terhadap anak menurut fiqih,  apakah sejalan dengan konsep anti kekerasan fisik terhadap anak-anak dalam  Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002.
                Penulis membatasi penelitian terhadap anak di dunia pendidikan,[26]sehingga penulis mudah membuat spesifikasi masalahnya, dalam ruang lingkup konsep  dan  paradigma pelarangan hukuman fisik menurut  Hukum Islam dan  Undang-Undang Perlindungan anak yang  berlaku di Indonesia. Hal yang harus ditemukan adalah  konsep kekerasan yang dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi. Kemudian berusaha memberikan solusi masalah hukuman fisik, agar tidak lagi menjadi sesuatu yang dilematis.[27] Penulis juga ingin menggali nilai-nilai sosiologis dan psikologis dan maqashid al-syari’  untuk mrmpertajam tulisan ini..
C. Tujuan Penelitian
             Sebagaimana lazimnya suatu penelitian agar terarah dan mudah dipahami tentu mempunyai tujuan, maka tujuan penelitian ini ialah:
1. Menemukan pengetahuan tentang konsep kekerasan menurut Hukum Islam
2.
Menggali  dan mengembangkan pengetahuan tentang konsep dan filosofi yang terkandung dalam Hukum Perlindungan Anak (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.
3. Menguji kebenaran
konsep penghukuman terhadap anak menurut fiqih  dan kemungkinan sejalan dengan konsep anti kekerasan dalam Hukum Perlindungan Anak (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002).
             Kebtuhan terhadap penelitian ini dirasakan sangat mendesak dan sangat diperlukan, karena sampai hari ini, kekerasan terus saja berlangsung dan jatuh korban di pihak orang tua, guru dan anak-anak. Diharapkan mungkin akan ditemukan solusi,[28]dari malapeka yang ditimbulkannya, baik  di lingkungan madrasah dan pesntren, maupun di sekolah umum. Akibat langsung yang dirasakan oleh  para ustadz ialah mereka dilaporkan kepada polisi dan dimasukkan ke penjara, sesuai dengan UU No.23 Tahun 2002, ditambah dengan aturan yang lain.[29] Tidak dapat dihindari penting bagi pelajar Islam selain dari apa yang bisa disebut “hukum Islam”.[30] Hal ini karena hukum Islam merupakan salah satu ruang ekspresi pengalaman agama yang amat penting dalam kehidupan orang Muslim. Suatu norma hukum tidak bisa lepas dari konteks  dan pengetahuan masyarakat setempat (local knowledge).[31] Di Indonesia, pernyataan ini telah dibuktikan oleh sejarah dimana hukum Islam telah sejak lama menjadi salah satu sistem yang mengatur kehidupan masyarakat Muslim.[32]
               Penelitian ini, berkaitan dengan usaha penerapan hukum Islam,[33] berkaitan erat dengan karakter hukum Islam sendiri yang diyakini sebagai hukum yang memiliki watak ketuhanan (divinely ordained law).Mengaktualisasikan hukum Islam, sehingga dapat memudahkannya menjadi hukum nasional.Hukum,[34]  aturan-aturan normatif yang mengatur pola prilaku manusia. Hukum yang tidak muncul di ruang vakum, melainkan tumbuh dari kesadaran masyarakat yang membutuhkan adanya suatu aturan bersama. Oleh karena itu, hukum  berkembang dan  dapat mengadopsi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, termasuk nilai adat, tradisi, dan agama.
           Syari’ah diartikan dengan “totalitas perintah-perintah Allah”.[35] Dalam pengertian ini, syari’ah dapat diidentikkan dengan agama itu sendiri yang semua ajaran, baik teologi, etika, maupun hukum tercover di dalamnya. Sedangkan secara sempit diartikan sebagai “aturan-aturan (di luar teologi dan etika) yang ditetapkan oleh Allah untuk dipedomani manusia dalam berhubungan dengan-Nya dan semua makhluk lainnya.” [36] Di sisi lain, fiqh pada mulanya berarti “pemahaman dalam pengertiannya yang luas.”
              Kemudian fiqih, dibatasi hanya pada pemahaman yang berkaitan dengan hukum,[37] karenanya,  fikih diartikan sebagai “himpunan hukum-hukum yang bersifat praktis yang dipahami dari dalil-dalil spesifik.[38]Berdasarkan pengertian ini, dapat dipahami bahwa syari’ah adalah aturan Allah yang bersifat absolut, kekal-abadi, suci dan sakral, karena  wahyu Allah.
                Hukum Islam mencakup semua sistem tatanan yang mengatur kehidupan, individu maupun kelompok, dahulu maupun sekarang, atau mungkin yang akan datang, maka ia tidak diragukan lagi adalah fiqh. Semua karakteristik fiqh  cocok dengan kenyataan  sebagai “hukum Islam”. Berbagai kajian menunjukkan bahwa hukum Islam (fiqh), dalam rentangsejarahnya,  menghargai faktor sosial maupun kultural yang melingkupinya.[39] 

              Tantangan bagi umat Islam, bahwa tentang eksistensi Hukum Islam di Indonesia, tertera pada salah satu rumusan arah kebijakan pembangunan hukum di dalam GBHN 1999, antara lain  bahwa   menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial yang diskriminatif, termasuk ketidak adilan gender dan tidak sesuai dengan tuntutan reformasi,  melalui program legislasi(Bab IVA. 2).Dari arah kebijakan tersebut dapat dicatat beberapa hal:

  1. Sumber hukum nasional tidak tunggal. Menurut Qadry Azizy, sumber hukum nasional ada tiga:  Agama, Hukum Adat dan eks Hukum Barat.[40]
  2. Masih ada, bahkan banyak hukum nasional yang merupakan warisan kolonial, sehingga tidak relevan lagi dengan era reformasi sekarang ini. Diantara warisan kolonial tersebut adalah KUH Piana dan KUH Perdata.
  3. Pembaharuan hukum dilakukan melalui legislasi, yaitu suatu proses untuk menghasilkan peraturan perundang-undangan yang ditempuh secara prosedural dan demokratis.
             Peluang suatu ajaran agama untuk menjadi sumber hukum nasional tergantung pada dua hal. Pertama, secara internal, sejauh mana suatu agama memiliki ajaran yang bisa diadopsi untuk menjadi hukum nasional. Jika sebuah agama memang tidak memiliki sistem hukum yang dapat diadopsi, ia maksimal hanya akan menjadi kekuatan moral, tidak dapat menyumbangkan formula hukum untuk diadopsi menjadi hukum nasional. Kedua , sejauh mana agama itu dianut oleh masyarakat. Jika ia dianut oleh mayoritas masyarakat, secara politis, ia akan menjadi kekuatan perekat.[41]
Dalam Al-Qur’an, menurut al-Suyuti terdapat tidak kurang dari 500 ayat yang mengandung perintah hukum.[42]Materi hukum Islam di Indonesia dapat dikatakan belum mendapat tempat yang signifikan dalam tata hukum nasional. Hal ini dikarenakan beberapa hal. Faktor pertama, Indonesia dijajah oleh bangsa Asing selama berabad-abad. Implikasinya sangat telak bagi perjalanan bangsa selanjutnya, termasuk perjalan hukumnya.
             Pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, hukum Islam hampir tidak diberi kesempatan untuk hidup. Teori resepsi yang menyatakan bahwa hukum Islam baru berlaku apabila diterima dan telah menjadi hukum adat, pengaruhnya sangat besar terhadap pemerintah kolonial Belanda dan sarjana hukum Islam Indonesia yang belajar ke sana.[43] Pengaruh dari kebijakan pada masa kolonial masih berlangsung sampai sekarang. Terbukti hanya sebagian hukum keluarga saja yang diangkat menjadi hukum positif, sedangkan dalam hal hukum publik masih lebih banyak berkiblat ke Barat. Faktor kedua, adanya sikap Islamophobia, yaitu kekhawatiran yang berlebihan terhadap Islam. Hukum Islam terutama pidananya (jinayah) dianggap kejam, tidak sesuai dengan konsep HAM.[44] Ketiga, banyak ahli hukum Islam yang tidak memahami dengan baik hukum Barat, sebaliknya banyak pula ahli hukum Barat yang tidak memahami hukum Islam secara proporsional. Keadaan ini dapat menghambat komunikasi antara keduanya.
            Ada dua sistem hukum yang seolah-olah berbeda sama sekali, yaitu  hukum Islam dan hukum umum. Padahal seharusnya tidak demikian. Hukum Barat maupun hukum Islam sama-sama hukum. Lebih-lebih lagi hukum Islam juga diakui sebagai salah satu sistem hukum di dunia di samping Roman Law dan Anglo Saxon.[45] Ada ketentuan yang menyatakan bahwa agama yang ajaran hukumnya dapat dijadikan hukum[46]nasional, jika dianut oleh mayoritas masyarakat. Berarti secara formal telah dipenuhi oleh Islam. Pernyatan demikian ini, selain penting secara politis sebagai daya perekat, juga secara sosiologis, agama dapat dipandang sebagai hukum yang hidup (living law). [47]
              Konsepsi mengenai hukum yang hidup (living law) kali pertama dikemukakan oleh mazhab Sociological Jurisprudence,[48] yang dimotori oleh Roscoe Pound dan Eigen Ehrlich. Menurut mazhab ini,[49] secara umum, hukum dapat dilihat baik sebagai law in books maupun sebagai law in action. Law in books (hukum tertulis) merupakan suatu fenomena normatif otonom yang berupa kumpulan norma-norma yang mengatur hubungan-hubungan dalam masyarakat, dan law in actionatau living law diartikan sebagai suatu gejala sosiologis yang berupa interaksi antara norma-norma otonom tersebut dengan faktor-faktor sosial dalam masyarakat. Dengan kata lain, law in actionadalah hukum yang berlaku dalam masyarakat yang sifatnya konkrit dijelmakan dalam tingkah laku para anggotanya.[50]
D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoretis
Hasil penelitian yang diperoleh, dapat bermanfaat secara teoretis maupun praktis di lapangan:
1.1. Menambah lieratur di bidang hukum yang berkaitan dengan konsep kekerasan terhadap anak, agar adanya verifikasi terhadap tindakan orang tua atau guru yang memberikan hukuman fisik untuk mendisiplinkan anak didiknya.
1.2. Dapat dijadikan bahan perbandingan bagi peneliti lain, sehingga menambah wawasan tentang aturan yang berkaitan dengan kekerasan yang dapat dikatakan melanggar HAM .
1.3.  Menjadi bahan analisis terhadap berbagai  konsep hukuman terhadap anak menurut fiqih dan semangat anti kekerasan yang ada di dalamnya.
2. Manfaat praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan membawa manfaat sebagai berikut:
  1. Bagi aparat penegak hukum yaitu polisi, jaksa, hakim dan pengacara, sebagai bahan masukan yang berharga. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai bagian dari bahan pertimbnangan dalam pengambilan keputusan.
  2. Bagi peneliti lainnya, dijadikan bahan penelitian lebih lanjut dan diharapkan menjadi bahan rujukan dalam memecahkan masalah sanksi hukuman fisik terhadap anak di semua lembaga pendidikan.
  3. Bagi UIN Suska sebagai almamater, penelitian ini diharapkan menambah referensi dan dipergunakan bagi yang membutuhkan informasi yang memberi arahan dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan tata tertib atau sanksi disiplin terhadap anak.
E.Tinjauan Pustaka
                  Ada peneliti-peneliti lain yang karyanya penting dan langsung terkait dalam permasalahan yang  penulis hadapi yang mungkin dapat dijadikan nara sumber untuk ditelusuri karya –karya merekat:
1. Review Literatur.
Penulis memilih dan meninjau(review) beberapa hasil penelitian terdahulu.[51]Nisa Islami, disertasinya, 2006, judul: Hukuman Dalam Pendidikan Islam,[52]menyatakan hukuman itu penting, tapi harus diawasi, terutama yang berkaitan dengan (collateral).  ini penulis temukan dalam tinjauan pustaka[53],bahwa yang menjadi problem ialah hukuman fisik yang berlebihan
                Dikisahkan pada saat Nabi Muhammad SAW., shalat dan sedang sujud datanglah cucunya Hasan dan  Husein naik ke atas punggung beliau laksana mengendarai tunggangan. Nabi  memperlama sujudnya. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, anak bukan hanya sekadar pelengkap kebahagiaan, tetapi hal itu memaknai banyak simbol yang terkadang tidak terkatakan. .[54]Dalam hal ini sang korban tidak mampu membela atau mempertahankan dirinya sendiri karena lemah secara fisik atau mental.[55]
          Hal yang penting disini bukan sekedar tindakan yang dilakukan, tetapi apa dampak tindakan tersebut terhadap korbannya. Misalnya, seorang siswa mendorong bahu temannya dengan kasar; bila yang didorong merasa terintimidasi, apalagi bila tindakan tersebut dilakukan berulang-ulang, maka perilaku bullying telah terjadi. Bila siswa yang didorong tak merasa takut atau terintimidasi, maka tindakan tersebut belum dapat dikatakan bullying.
2.Penelitian terdahulu.
Berdasarkan penelusuran sampai saat ini, penulis menemukan disertasi yang menulis tentang hukum yang terkait dengan anak-anak:
2.1. Maimunah Nuh, tahun 2000,dengan disertasi yang berjudul, pendapat ulama tentang perkewinan anak di bawah umur, dalam kajian UU No.1 tahun 1974.(Studi Di Ponpes Salafiyah Bangil, Pasuruan. Ringkasan masalahnya, batas usia anak-anak menurut perspektif ulama, terdapat perbedaan yang dapat dikompromikan. Perbedaanya dengan penelitian penulis adalah tidak adanya perbandingan antara hukum Islam dengan UU Nomor 23 Tahun 2002.
2.2.Teguh Budi Setia, tahun 2004, disertasi yang berjudul, pernikahan dini.(Studi tentang pernikahan usia dini, dalam pendekatan sejarah Hukum Islam). Ringkasan masalah, menurut telaah aspek historis ditemukan batas usia yang berbeda pada setiap priode pemerintahan Islam masa lalu. Perbedaanya dengan penelitian penulis, penelitian ini, tidak menyentu tentang batas usia anak yang berkaitan dengan kebolehan menerima hukuman.[56]
2.3.Anisah,  tahun 2007, judul disertasi, Pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan    dispensasi bagi anak-anak di bawah umur. Ringkasan masalahnya, dikabulaknnya permohonan dispensasi terhadap anak-anak di bawah umur, dengan alasan bahwa hukum Islam mentolerir hal itu.
2.4.M.Fazen Anshori, 2008, Anak di bawah umur dalam perkara  dispensasi pernikahan di Peradilan Agama Kabupaten Malang. Perbedaannya dengan penelitian penulis ialah dari segi pandangan arti kekerasan. M.Fazen memandangnya dari segi pemaksaan keluarga terhadap anak untuk menikah, padahal umurnya belum sampai 16 tahun. Sedangkan penulis membahas tentang kekerasan dari segi konsepnya saja, misalnya hukuman ta’zir apakah termasuk kekerasan juga.
               Dari beberapa penelitian tersebut, nampaknya belum ada penelitian yang secara spesifik membahas tentang hukuman fisik terhadap anak-anak, khususnya dalam konteks perbandingan antara Hukum Islam dan Undang-Undang RI No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Pada umumnya penelitian terdahulu, tidak  berkaitan dengan hukuman fisik. Namun penulis tetap melacak penelitian lain, yang mungkin tidak persis sama dengan apa yang penulis cari.
             Abdullah Nasih Ulwan meneliti persyaratan memberikan hukuman pukulan, antara lain:
  1. Pendidik memberikan hukuman, tidak terburu-buru.[57]
  2. Pendidik tidak memukul ketika dalam keadaan sangat marah.
  3. Menghindari anggota badan yang peka dan sensitif,  misalnya kepala, muka, dada dan perut.
             Kekerasan yang disebut bullyng, yang bisa dilakukan oleh guru, orang tua, dan teman dari anak-anak itu sendiri. Tapi penelitinya tidak ada sama sekali mengaitkan dengan hukum Islam, seperti yang penulisnya lakukan.[58]Istilah yang diterima secara luas adalah yang dibuat Olweus, yang menyatakan bahwa siswa yang melakukan kekerasan fisik, atau bullying adalah ketika siswa secara berulang-ulang dan setiap saat berperilaku negatif terhadap seorang atau lebih. Tindakan negatif disini adalah ketika seseorang secara sengaja melukai atau mencoba melukai, atau membuat seseorang tidak nyaman. Intinya secara tidak langsung tersirat dalam definisi perilaku agresif. Berdasarkan beberapa pengertian bullying di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku pemukulan atau bullying adalah suatu tindakan negatif yang dilakukan secara berulang-ulang dimana tindakan tersebut sengaja dilakukan dengan tujuan untuk melukai dan membuat seseorang merasa tidak nyaman.
3. Hukuman fisik dalam konteks Indonesia.
Di Indonesia sering terjadi kekerasan bullying pada pendidikan formal, berupa penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau kelompok sehingga korban merasa tertekan, dan tidak berdaya.[59]Sedangkan hazing adalah perilaku yang sama namun dilakukan oleh anggota yang lebih senior kepada yuniornya. Penelitian oleh Djuwita juga menjelaskan kasus lain dari bullying yang berkenaan dengan kegiatan orientasi sekolah untuk siswa baru. Siswa senior sering “membenarkan diri” memerintah adik-adik kelasnya yang baru masuk.        
            Didapatkan informasi, “dipukuli dan dibentak adalah makanan kami sehari-hari sejak umur lima tahun, bahkan sampai remaja lima belas tahun." Begitu kata mereka. Matanya yang marah seketika berubah menjadi berair mata saat dia mencoba menceritakan satu per satu kisah hidupnya. Problem yang terungkap dari kisah itu ialah mengenai kekerasan terhadap anak dan remaja yang masih terekam sempurna dalam memori seseorang yang telah dewasa.
E. Metode Penelitian
1.Obyek Penelitian
Obyek penelitian ini adalah  hukuman fisik terhadap anak-anak, khususnya yang memberikan isyarat kepada pelarangan “memukul” dan tindak kiekerasan lannya. Sebaliknya digali pula aturan yang melegalkan hukuman fisik, sebagai objek kajian yang mempunyai banyak konsep atau definisi, karena tidak ada konsep tunggal tentang hukum.Hukum merupakan realita sosial-budaya, yang konstruksi konsepsionalnya akan tersusun berbeda-beda dari perspektif yang satu ke perspektif yang lain. Seseorang yang meninjau hukum dari perspektif filsafat atau moral, akan melihat hukum dalam manifestasinya yang lain daripada kalau  melihatnya dari perspektif politik atau sosial. Adanya pluralitas konsep tentang hukum ini dapatlah dimengerti, mengingat kenyataannya bahwa hukum itu sendiri sesungguhnya merupakan suatu konsep yang sangat abstrak, sementara itu dalam realitanya, apa yang disebut hukum itu amat beragam.
            Menurut Wignojosoebroto, jika sesorang salah memilih cara penelitian atau pencariannya, suatu  kesalahan yang akan menyebabkan kebenaran-kebenaran yang telah diperoleh melalui penelitian itu tidak laku lagi (tidak sahih) untuk menjawab masalah yang diajukan. Peringatan tentang hal ini, khususnya dalam penelitian sosial dan lebih khusus lagi dalam penelitian-penelitian hukum, mengingat kenyataan bahwa dalam ilmu dan kajian kedua bidang ini orang lebih banyak membicarakan objek-objek yang tidak berujud materi yang empiris dan kasad mata, melainkan berupa fenomena-fenomena yang eksistensinya berada di suatu alam abstrak yang dibangun lewat konstruksi-konstruksi rasional.
2.Sumber data
2.1.Data
             Penelitian ini tidak memakai data primer[60], hanya memakai data sekunder, yaitu kitab-kitab fiqih misalnya Fiqh al-Islam wa adillatuhu, karya Wahbah al-Zuhaili, dan  kitab fiqih, Yusuf Qaradhawi, serta  khususnya tentang masalah “ta’zir”,dan  kitab Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu Rusyd al-Qurtuby al-Andalusy, juga buku Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002. Data primernya juga tafsir ayat-ayat ahkam dan asbabunnuzul-nya, kemudian kitab-kitab hadits, juga jurnal tentang kriminologi sosiologi hukum dan kitab Udang-Undang Hukum Pidana.
2.1.Data Sekunder
Data sekunder penelitian ini ialah jurnal-jurnal,[61] hasil penelitian lainnya yang searah dan relevan dengan kajian yang sedang penulis lakukan.Telaah terhadap data awal, dilakukan, misalnya buku-buku tentang analisis kekerasan terhadap anak-anak.Buku-buku penunjang lainnya yang penulis pandang dapat memperjelas tentang nilai-nilai filosofis pelarangan kekerasan pada anak-anak ialah buku patologi sosial, oleh Kartini Kartono yang memberikan informasi tentang agama dan adat istiadat yang sebenarnya mempunyai nilai pengontrol dan nilai sansional terhadap tingkah laku masyarakatnya.Prosedur untuk menemukan kebenaran hukum yang objektif, yaitu  kegiatan terbuka dan dapat diulangi menemukan kebenaran hukum tersebut. Dalam penemuan kebenaran mungkin saja sebuah prosedur dirahasiakan, agar yang lain tidak dapat mendapatkan kebenaran tertentu, namun jika prosedur yang dirahasiakan itu dapat diterima oleh dunia ilmu (hukum) pada umumnya dan dapat diulangi serta menghasilkan kebenaran yang sama, sifat objektivitas prosedur keilmuan tetap terpenuhi.[62]
        Di sisi lain, disertasi yang terdapat di perpustkaan, penulis gunakan pula untuk menemukan  kerangka yang  dapat menjelaskan prosedur penemuannya.  Data tertier pada penelitian ini adalah kamus hukum, kamus agama dan ensiklopedi yang menerangkan tentang pengertian hukuman fisik, serta hukum-hukum yang terkait, atau istilah-istilah lain yang selama ini kurang dikenal. Kemudian artikel-artikel yang terpilih dari surat kabar dan majalah Tempo, Forum Keadilan, Gatra dan Sabili. Di samping media cetak itu, penulis juga menggunakan media elektronik yaitu radio dan televisi, terutama internet.
3.Fokus penelitian
              Sesuai dengan disiplin ilmu hukum, fokusnya adalah tentang hukuman fisik pada pendidikan formal, yang berkaitan dengan dasar-dasar hukum di dalam Al-Qur’an dan hadits serta pendapat ulama fiqih,[63]untuk mendapatkan dalil yang tepat yang memberikan informasi tentang hukuman fisik penulis terlebih dahulu menganalisis dan membuat perbandingan, serta merancang beberapa hal, antara lain :
             1. Pemahaman tujuan ayatnya yang jelas.
              2. Adanya keterkaitan masalah  dengan pembahasan
              3. Adanya metode pengambilan dalil  ayat hukum dan kemudian dilakukan komparatif yang tepat.
            Karena penelitian ini berupa studi kepustakaan, menelaah  teks, dari hukum yangnormatif, tidak memakai populasi dan sampel. Yang diandalkan ialah ketersediaannya buku- buku teks Tafsir ayat-ayat hukum, kitab hadits dan kitab fiqih. Dalam paradigma fiqih ini, akal dipandang tidak akan dapat memberikan pengetahuan kecuali jika  disandarkan  pada nash (teks).[64]Kecendrungan ini berlaku pada tradisi setelah Ibn Rusyd terutama pada prakarsa al-Syatibi. Berpegang pada maksud teks ini baru digunakan bila teks zahir ternyata tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang relatif baru.[65]
Paradigma ini berlangsung selama kurang lebih lima abad (dari abad ke-2 H sampai 7 H) dan mengalami perbaikan dengan munculnya asy-Syatibi pada abad ke 8  yang menambahkan teori maqashid al-syari‘ah yang mengacu pada maksud Allah sehingga tidak lagi terpaku pada literalisme teks.[66]
4.Analisis data
Pengumpulan, pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini,[67] dilakukan  terpadu,  dari analisis data diartikan sebagai upaya mengolah data menjadi informasi, sehingga karakteristik data, dapat dengan mudah dipahami dan bermanfaat untuk menjawabmasalahberkaitan dengan kegiatan penelitian ini.Dengan demikian, teknik analisisdata diartikan sebagai cara melaksanakan analisis,  mengolahdata menjadi informasi, sehingga karakteristik datanya mudah dipahami,  untuk menjawab masalahyang berkaitan dengankegiatan penelitian, baik berkaitan dengan deskripsi  maupun untuk membuat induksi, ataumenarik kesimpulan tentang karakteristik dan parameter berdasarkan data yang diperoleh dari  objek yang diteliti sebagai berikut:     4.1.Pengumpulan data
                1.Kunjungan ke perpustakaan
                2.Mengelompokkan buku-buku yang relevan
                3.Telaah dokumen  
4.2. Keabsahan data                 
                  1.Perbandingan antara hukum Islam dan UU RI No.23 tentang
                     perlindungan anak
                  2.Melihat kembali hasil penelitian memiliki tema yang sama      
4.3.Analisis data
                1.Reduksi data fenomenologis, dengan melakukan penyederhanaan
                 terhadap data yang akan digunakan
                2.Pemaparan data dengan melakukan penyusunan data pembuatan
                 ringkasan di saat pengumpulan data.
                3.Penarikan kesimpulan dengan melakukan penafsiran terhadap
                 makna dari data yang diperoleh.



               [1]Akh. Minhaji, Hukum Islam: Antara Sakralitas dan Profanitas (Perspektif Sejarah Sosial),  Istilah hukum Islam terdiri dari dua kata: Hukum dan Islam, dan secara mendasar tidak terlalu salah jika dikatakan bahwa kedua kata tersebut berasal dari bahasa Arab yang kemudian telah meng-Indonesia. Dalam bahasa Latin lainnya, hukum Islam itu dikenal dengan Islamic law (Inggris), droitmusulman (Prancis), Islam-recht (Belanda), Lihat Akh. Minhaji, Hukum Islam: Antara Sakralitas dan Profanitas (Perspektif Sejarah Sosial),Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah Sosial Pemikiran Hukum Islam Pada Fakultas Shari’ah Tanggal 25 September (Yogyakarta: UIN, 2004) , 30.
              [2]  H.R. Gibb, Mohammedanism , Kajian tentang ma’qûl (sensible)sekaligus  ma’mûl  (app-licable) yang komprehensif, baca misalnya Sayyid Shalih, Athar AL-‘Urf fi al-Tashri’ al-Islami  (Cairo:  Dar al-Kitab al-Jami’, t.t.)., 121
[3] Yayan Sopyan, Tarkh Tasyari’, Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Lihat juga Joseph Scacht, An Introduction to Islamic Law (London: Clarendon Press, 1996), 1. Pernyataan senada, yang menunjukkan arti penting hukum bagi orang Muslim, juga dilontarkan oleh Frederick M. Denny, “Islamic Theology in the New World, Some Issues and Prospects,” dalamJournal of the American Academy of Religion, Vol. LXII, No. 4 (1994), 1069; Liebesny, The Law of the Near and Midle East, Readings, Cases, and Materials (New York: State University of New York Press, 1975), 3; J.N.D. Anderson, Law Reform in the Muslim World (London: The Clarendone Press, 1976), 1; dan H.R. Gibb, Mohammedanism  (Oxford: Oxford University Press, 1967), 7.
                [4]Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), 240.
                 [5]Untuk kajian tentang masyarakat Madani (civil society), baca beberapa tulisan misalnya, Nurcholis Madjid, “Menuju Masyarakat Madani,” dalam Ulumul Qur’an, No. 2/VII (1996), 51-55; Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society ((Jakarta: LP3ES, 1999); Dawam Rahardjo, “Masyarakat Madani di Indonesia: Sebuah Penjajakan Awal,”; Bahtiar Effendy, “Wawasan al-Qur’an tentang Masyarakat Madani: Menuju Terbentuknya Negara-Bangsa yang Modern,” dan Muhammad AS Hikam, “Wacana Intelektual tentang civil Society di Indonesia, “ dalam Jurnal Pemikiran Paramadina, Vol.1, No.2 (1999), 7-87; Ahmad Syafi’i Ma’arif, Universalisme Nilai-Nilai Politik Islam Menuju Masyaakat Madani,” dalam Profetika, Vol. 1, No.2 (1999), 165-176; Ahmad Basho, Civil Society Versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran “Civil Society” dalam Islam Indonesia(Bandung: Pustaka Hidayah, 1999),
                   [6]Mahfud MD, “Politik Hukum,(Jakarta, Gramedia : 1999), 31-36.
                    [7]Hairul Sani,  Peranan hukum Islam dalam pembinaan hukum nasional, Undergraduate es Dissertation from LAPTIAIN / 2002-06-21 10:00:00IAIN Raden Intan Bandar Lampung
 2001-05-31, dengan 1 file. Internet. Lihat juga Muhammad Khubairi, Kecerdasan Fuqaha’dan Kecerdikan Khulafa’(terj), (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2007), 91.
                    [8] Sa’id Abdul ‘Adhim,  Ta’zir boleh dilakukan terhadap anak dan istrinya -dengan syarat mereka tidak melakukannya dengan berlebih-lebihan. Dibolehkan menambah ta’zir untuk mencapai maksud (dalam memberi pelajaran) atas suatu kesalahan. Tetapi jika menambah ta’zir bukan untuk tujuan mendidik, berarti dia telah melampaui batas dan menimpakan hukuman yang menyebabkan binasanya seseorang.Lihat Sa’id Abdul ‘Adhim (penerjemah: Abu Najiyah Muhaimin bin Subaidi) Kafarah Penghapus Dosa, penerbit:,( Malang, Cahaya Tauhid Press : 2005), hlm 73-76.
                   [9]Najiyah Muhaiminbin Subaidi, Kata filosofis atau filsafat dalam  bahasa Indonesia  merupakan kata serapan dari  bahasa Arab   فلسفة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta.)  (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan” .Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".
                    [10]Departemen Agama RI,op.cit.  QS. al-Taghabun (64): 14. Yang terkait dengan ayat ini, dikisahkanSurat kabar Sijori, Batam, Selasa, 03 November 2009, yang menggambarkan tentang suatu yang amat senjang.Seaharusnnya guru tidak boleh menghukum muridnya,m dengan hukuman fisik. Hal ini jelas merukan suatu contoh dari hal yang  bertentangan antara das sein dan das Sollen.Das Sein berarti "kenyataan", "keadaan factual". Das Sollen berarti "norma moral" atau "yang seharusnya dilakukan". Pasangan kata Jerman ini sering dipakai dalam konteks bahwa das Sein bertolak belakang dengan das Sollen. Sudah jelas apa yang harus dilakukan, tetapi dalam kenyataan tidak dilakukan juga. Sebuah kesenjangan menganga antara das Sein dan das Sollen.Kasus hukuman fisik terhadap anak-anak , yang paling mengejutkan di Riau, yaitu  kasus  oknum guru yang memaksa muridnya, minum  air liur. Air liur  yang  sengaja dikumpulkan gurunya di dalam  gelas bekas air mineralitu, berasal dari air liur teman sekelasnya dan air liur ibu guru. Akibat pemberian hukuman   itu, oknum guru dipindahkan ke sekolah  lain yang lebih jauh letaknya sebagai hukumanpula  baginya.[10]­­­­­­­Kemudian ada pula kasus pemukulan murid. Jika murid nakal, tidak dipukul, tingkahnya semakin nakal. Jika dipukul, gurunya  bisa masuk penjara, karena melanggar UU Perlindungan Anak (UU.RINo.23 Tahun 2002).Inilah kasus yang sangat dilematis. Ada kesenjangan antara kepentingan peserta didik dengankepentingan pendidik. Seharusnya tidak ada lagi kekerasan di sekolah.Timbul masalah, hukuman ta’zir, yang dijalankan kepada peserta didik sebagai kewajiban guru mempertahankan disiplin, bertentangan dengan hakikatpendidikan dan hak azasi anak, tentulah tidak sesuai dengan harapan...
                         [11]Pemerintah RI, Undang-undang perlindungan anak nomor 23 tahun 2002 ini, tindakan yang  bisa  melukai secara fisik maupun psikis yang berakibat lama, di mana akan menyebabkan trauma pada anak atau  kecacatan fisik akibat dari perlakuan itu. Dengan mengacu pada defenisi, segala tindakan apapun yang seakan-akan harus dibatasi, dan anak-anak harus dibiarkan berkembang sesuai dengan hak-hak yang dimilikinya (Hak Asasi Anak), hak anak untuk menentukan nasib sendiri tanpa intervensi dari orang lain. Lihat pasal 64 ayat (2), (Jakarta,Sinar Grafika :2008), 23
                     [12] Arini el-Ghaniy, Saat Anak Harus Dihukum, , (Jogjakarta, Power Books Ihdina : 2009), 40, menyatakan , istilah bagai makan buah simalakama: gambaran suatu keadaan yang serba salah. Biasanya digunakan untuk orang yang sedang menghadapi dua pilihan, dan kedua-duanya akan menyebabkan orang tersebut mengalami hal yang buruk.  Pengambil keputusan akan berada diantara dua sisi mata uang yang sangat mustahil untuk di pilih tetapi ketika kita menyadarinya bahwa keduanya perlahan - lahan membunuh kita secara menyakitkan.Buah Simalakama ikhtisar dari kejadian Baginda Nabi Adam beserta istri beliau Siti Hawa tatkala beliau memakan buah kuldi terlena dengan kalam - kalam syaitanbuah ini terlalu indah untuk dilihat, terlalu nikmat untuk dimakan, terlalu sempurna untuk dimiliki, ketika manusia telah menguasai buah tersebut sesungguhnya secara perlahan-lahan buah ini telah menyiksanya hingga tanpa sadar akan terasa menyedihkan di akhirnya.Lihat Arini el-Ghaniy, Saat Anak Harus Dihukum, , (Jogjakarta, Power Books Ihdina : 2009), 40
                     [13]Ibid, 42
                     [14]Aini el-Ghaniy, op.cit., 47
                  [15]Hakekat pelanggaran hukum oleh siswa di sekolah, terbentuknya pertahanan diri apabila diserang, dimana pertahanan itu berupa ,balas membentak apabila dimarahi, melawan dengan fisik kalau disakiti, lari bila dia merasa tidak mempunyai kemampuan membalas, atau melaporkan kepada orangtuanya di rumah atas peristiwa yang dialaminya. Cara pendidikan dengan kekerasan, ibaratnya digambarkan sebagai sebuah pilihan bagi seorang guru pendidik yang melihat kesalahan seorang siswa, apakah dia akan menyalahkannya, menggunakan kekerasan untuk memaksa siswa memperbaiki kesalahan itu atau sekedar menasehati siswa tanpa kekerasan. Bandingkan dengan Anri Priyana,           op.cit., 84.
                 [16]Ibid, 87
                           [17] Thomas Kuhn, Peran  Paradigma Dalam Revolusi Sains, Dalam menjelaskan idenya tentang revolusi ilmu pengetahuan (scientific revolution), Kuhn menggunakan beberapa istilah kunci yang tidak pernah ia defenisikan secara ketat dalam karyanya tersebut. Beberapa istilah kunci yang digunakan ialah, pertama scientific revolution (revolusi Ilmiah)  yaitu perkembangan sains secara radikal dimana normal science (nature science) yang lama digantikan oleh normal sains yang baru. Pergantian ini terjadi karena paradigma lama yang menyangga  old normalscience sudah tidak mampu menjawab problem-problem ilmiah yang baru. Pergantian semacam ini oleh Kuhn disebut dengan paradigm shif (pergeseran paradigm) yaitu pergantian secara radikal paradigma lama dengan paradigma baru karena paradigma lama sudah tidak mampu menjawab problem-problem ilmiah yang muncul kemudian. Kedua paradigm yaitu teori-teori, metode-metode, fakta-fakta, eskperimen-eksperimen yang telah disepakati bersama dan menjadi pegangan bagi aktifitas ilmiah para ilmuwan. Ketiga, normal science yaitu ilmu yang telah mencapai consensus akan dasar-dasar ilmu ini.Konsensus itu berupa kesepakatan yang akan dipakainya satu paradigma sebagai penyangga ilmu yang bersangkutan, keempat, anomaly yaitu problem-problem Ilmiah yang tidak bias dijawab oleh paradigma lama. Problem-problem tersebut setelah menumpuk menimbulkan sebuah krisis, dan kelima, crisis yaitu suatu fase dimana paradigma lama  telah dianggap using karena begitu banyaknya anomali-anomali yang muncul, sedangkan paradigma baru belum terbentuk. Thomas Kuhn, The Structure of Science Revolutions (London: The University of Chicago Press.Ltd, 1970), 11-18 buku ini sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Lihat Thomas Kuhn, Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, terj. Tjun Surjaman (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002),223.
                             [18]Muhyar Fanani, membagi epistemologi Islam pada tiga ranah pemikiran yaitu bayani, irfani, dan burhani. Epistemologi bayani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu adalah teks (nas) atau penalaran dari teks. Epistemologi irfani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah ilham. Epistemologi ini memiliki metode yang khas dalam mendapatkan pengetahuan yakni metode kasf, sebuah metode yang unique karena selamanya tidak bisa dirasionalkan, diverifikasi atau diperdebatkan. Epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber pengetahuan adalah akal. Biasanya epistemologi ini disebut epistemologi falsafah karena merujuk pada tradisi intelektual Yunani. Muhyar Fanani, “Menelusuri Epistemologi Ilmu Ushul Fiqh”, dalam Jurnal Mukaddimah, No. 9 Th.VI/2000, 27-28.
           [19] Muhyar Fanani,  Istilah klasik sendiri dibatasi setelah tahun 300-an Hijrah. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan yaitu, pertama, pada masa Nabi dan sahabat, hukum Islam cenderung empiris dan tidak literalis, bahkan Joseph Schacht mengungkapkan bahwa hukum Islam pada masa awal tidak menggunakan al-Qur'an sebagai sumber pengetahuan. Sekalipun ushul fikih baru muncul pada awal abad  III H, namun sebagai teori istinbat sudah muncul sejak era kenabian karena banyak sekali peristiwa pada masa kenabian yang menunjukkan adanya aktifitas ijtihad baik oleh Nabi sendiri maupun sahabatnya. Jika kemudian ijtihad Nabi salah, maka akan mendapat teguran dari Allah-melalui wahyu. Rasulullah juga mengizinkan para sahabatnya untuk berijtihad bila solusi hukum belum ditetapkan dalam al-Qur'an dan Sunnah. Eksplorasi ini memperlihatkan, betapa hukum Islam pada masa awal begitu dinamis dan tidak terpaku pada teks. Kedua, pada era 300-an Hijriah, telah terjadi pergolakan politik yang merembet ke dalam wilayah hukum dan teologi.Lihat Muhyar Fanani, “Menelusuri Epistemologi Ilmu Ushul Fiqh”, dalam Jurnal Mukaddimah, No. 9 Th.VI/2000), 235.
             [20]A.Djazuli, dalam ilmu ushul fikih yang dimaksud dengan nas adalah al-Qur’an, Hadis dan Ijma’. Sedangkan dalam bahasa Arab yang dimaksud dengan nas adalah perkataan orang Arab. Kedua, epistemologi ini selalu menaruh perhatian secermat-cermatnya pada proses transmisi naql (teks) dari generasi ke generasi. Menurut epistemologi ini, apabila proses transmisi teks itu benar, maka isi nas itu pasti benar, karena nas itu masih murni dari Allah atau nabi. Tetapi jika teks tersebut proses transmisinya sudah tidak bisa dipertanggung jawabkan, maka nas itupun tidak bisa dipertanggung jawabkan isinya. Dengan kata lain epistemologi ini sesungguhnya senantiasa berpijak pada riwayah (nagl). Sebagai bukti dari ciri kedua ini adalah begitu banyaknya pembahasan yang dilakukan oleh para ulama tentang riwayah yang ingin menjaga orisinalitas khabar.
         [21]e-Bina Anak 215-Mendisiplinkan dengan pemberian hukuman, sebaiknya cara terakhir yang digunakan dalam mendisiplinkan anak. Dewasa ini, hampir semua pendidik barat menentang pemberian hukuman secara fisik sebab tindakan itu hanya menyelesaikan masalah sementara waktu saja dan member akibat sampingan yang tidak baik. Tidak semua penggunaan hukuman atau hukuman fisik itu tidak berfaedah. Tetapi bukan berarti bahwa orang tua atau guru boleh dengan semena-mena menggunakan haknya untuk memukul anak.   
[22]Hukuman di sekolah-sekolah Eropa yang di bawah naungan gereja, berdasarkan teks ini: Bagi sipencemooh tersedia '' pukulan'' bagi punggung orang bebal” Kitab Amsal 19:29. “Cemeti adalah untuk kuda, kekang untuk keledai, dan pentung untuk punggung orang bebal” Kitab Amsal 26:3. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “punggung”(Amsal 10:13).Lihat juga Listia Laode Arham,Lian Gorgali, Problematika Pendidikan Agama Di Sekolah. Hasil Penelitian Agama Di Jogjakarta.(Jojakarta, Institut Dian Interfidei: 2007) 44
                  [23]Beberapa tahun belakangan ini, banyak muncul kasus seputar “perseteruan” antara guru dan orang tua siswa, berkaitan dengan pemberian hukuman (punishment) oleh guru kepada siswa yang melakukan tindakan yang dianggap melanggar tata tertib sekolah. beberapa di atara orang tua siswa merasa keberatan dengan hukuman tertentu yang dianggap tidak mendidik sehingga orang tua siswa merasa perlu untuk melaporkan tindakan oknum guru tersebut kepada pihak berwajib. Dan bahkan dalam beberapa kasus, guru kemudian harus mendekam di balik jeruji besi. Berbagai alasan yang dikemukakan oleh (katakanlah orang–orang yang justru tidak mengerti paedagogiek) 
             [24]Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 tahun 2002; Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak dalam kandungan. Defenisi undang-undang ini mencakup janin, bayi, anak-anak sampai berumur 18 tahun. Undang-undang ini juga mengatur tanggung jawab sosial anak dan tanggung jawab anak dimuka hukum.
             [25] Abdi Parmi, Kekerasan (Bullying) menurut Komisi Perlindungan Anak (KPAI) adalah kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi dimana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang atau membuat orang tertekan, trauma/depresi dan tidak berdaya.Kekerasan terhadap anak dibagi dalam 4 bagian utama, yaitu kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan karena diabaikan dan kekerasan emosi.Kekerasan fisik adalah apabila anak-anak disiksa secara fisik dan terdapat cedera yang terlihat pada badan anak akibat adanya kekerasan itu.Kekerasan ini dilakukan dengan sengaja terhadap badan anak.Bandingkan, Nabil Kazim Muhammad, Mendidik Anak Tanpa Kekerasan, ( terj.Abdi Parmi),( Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar : 2008), 81
                   [26]Kompas, 3/1/2006, menyatakan bahwa solusi dari sebuah malapetaka kekerasan, terhadap anak-anak. Peristiwa yang lebih baru dan yang lebih menohok HAM dan peradaban  adalah adanya peristiwa pembunuhan anak yang dilakukan orang tuanya sendiri. Di Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, gadis usia tujuh tahun yang sering dianiaya, dibunuh ibu tirinya setelah diperkosa pamannya sendiri (Kompas, 3/1/2006).
                   [27]Kompas, Kamis (7/4/2009). Setelah mendengar vonis majelis hakim di Pengadilan Tinggi Takengon atas dakwaan terhadap rekannya Syaiful, terkait tuduhan pelanggaran pidana pasal 80 ayat 1 Undang-undang nomor 23 tahun 2002, ribuan guru mendatangi kantor Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah dengan berjalan kaki dari kantor pengadilan dan sempat berorasi di lapangan Musara Alun Takengen menunggu kedatagan ribuan guru dari kabupaten Bener Meriah, mereka menuntut di-qanunkan perlindungan terhadap guru. Kamis (7/4/2009)
                   [28] Listia Laode Arham Lian Gogali, op.cit.,131.
[29]G.H. Bousquet dan Joseph Schacht (eds.), Selected Works of C. Snouck Hurgronje (Leiden: E.J. Brill, 1957), 48. lihat juga Charles J. Adams, “The Islamic Relegious Tradition,” dalam Religion and Man: An Introduction, ed. W. Richard Comstock (New York: Harper & Row Publishers, 1971), 577.
                [30]Charles J. Adams (ed.), A Reader’s Guide to the Great Religions (New York: The Free Press, 1965), 316.
                     [31]Jawahir Thontowi, Pesan Perdamaian Islam (Yogyakarta: Madyan Press, 2001), 133  Konskuensi lebih jauh dari pandangan ini adalah bahwa kehendak hukum ideal menjadi tidak mudah dikembangkan bila tidak disertai dengan institusi sosial di mana hukum itu dapat direalisasikan. Dalam bahasa sehari-hari, suatu peraturan material tidak akan dapat diterapkan bilamana tidak disertai dengan hukum formalnya. Bagaimana suatu hukum dibuat dan diterapkan dan proses hukum mana pula akan menjadi pilihan masyarakat dalam menyelesaikan perkara. Lihat Jawahir Thontowi, Pesan Perdamaian Islam (Yogyakarta: Madyan Press, 2001), 133.
                 [32] Nabil Kazhim Muhammad, Catatan sejarah tentang pro-kontra yang mengiringi lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan atau UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Hal yang sama, barangkali akan terjadi pada rencana mengangkat hukum dan sosial bangsa Indonesia keberadaan dan pelaksanaan hukum Islam di Indonesia bukan sebatas romantisme atau nostalgia belaka dari pelaksanaannya pada era Madinah, melainkan telah menjadi living law jauh sebelum masuknya hokum Belanda. Hukum Islam berikut pendidikannya mulai dibangun dan menjadi bagian kehidupan masyarakat Indonesia sejak abad 14. Lihat Nabil Kazhim Muhammad, op.cit., 58

                    [34] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 2nd Edition, terj. (New York: Oxford University Press, 1994), Sampai saat ini, belum ada kesepakatan ahli hukum Barat, tentang definisi hukum, karena memang kesepakatan mengenai definisi itu merupakan utopia. Para ahli mengemukakan beragam definisi tentang hukum sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Keragaman tersebut sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh perbedaan cara melihat hukum itu sendiri dari pada perbedaan pandanagn tentang apa yang dimaksud hukum. Seperti disinggung oleh Hart, orang yang bergerak dalam bidang hukum umumnya mengetahui apa hukum tersebut, tetapi ia sering mendapat kesulitan untuk menerangkannya kepada orang lain dalam bentuk sebuah definisi yang tegas. Lihat H.L.A. Hart, The Concept of Law, 2nd Edition, terj. (New York: Oxford University Press, 1994), 13-14.
                   [35]A.A. Fyzee, Outline of Muhammadan Law (New Delhi: Oxford University Press, 1981),16.
                   [36]Mahmud Shaltut, al-Islam ‘Aqidah wa Shari’ah (ttp.: Dar al-Qalam, 1966), 16.
                   [37]Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1979), 103.
                   [38]‘Abd Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh (ttp.: Dar al-Qalam, 1978), 11.

                 [39]M. Atho’ Mudzhar, “Social History Approach to Islamic Law,” dalam Al-Jami’ah, No.61 (1998).
                  [40]Qadry Azizy, Eklektisisme Hukum Islam, 174.
                 [41]Ayah Edi, Mengapa Anak Saya, Suka Melawan Dan Susah Diatur, (PT.Gramedia Widiasarana Indonesia,(Jakarta: 2010) Cet.10, 45
                 [42]Ibid.
                 [43]Qadry Azizy, Eklektisisme,Op Cit, 155.
                  [44] Abu A’La Al-Maududi, sebagaimana dikutip Topo Santoso dalam bukunya, Menggagas Hukum Pidana Islam (Bandung, Asy -Syamil : 2000), 13.
                [45]Ibid.
                [46]Thontowi, Pesan Perdamaian, 133.
                 [47]A. Syafi’i Ma’arif (ketua PP Muhammadiyah) dan Hasyim Muzadi (ketua PBNU) jauh-jauh hari sebelum sidang tahunan MPR 2002 menegaskan, NU dan Muhammadiyah tidak mendukung pemberlakuan syari’at Islam di Indonesia dalam arti formalisasi yang akan mengarah kepada pembentukan negara Islam. lihat Zuly Qodir, Pemberlakuan Syari’at Islam: Belajar dari Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, Kompas, 24-4, 2002.
             [48] Inti pemikiran madzhab ini adalah bahwa “hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat”. Sesuai di sini berarti bahwa hukum itu mencerminkan nilai yang hidup di dalam masyarakat. Lebih jauh baca W. Friedmann, Legal Theory, 4th Edition (London: Stevens and Sons Limited, 1960), 194-204.

                [49]Madzhab ini (sociological jurisprudence) hendaknya dibedakan dengan apa yang kita kenal dengan “sosiologi hukum”. Perbedaan di antara ke duanya adalah kalau sociological jurisprudenceitu merupakan suatu madzhab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat dan sebaliknya sedang sosiologi hukum adalah cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat itu dapat mempengaruhi hukum. Dengan kata lain, kalau sociological jurisprudencecara pendekatannya dari hukum ke masyarakat, sedang sosiologi hukum sebaliknya dari masyarakat ke hukum. Lihat Roscoe Pound, “Kata Pengantar”, dalam Georges Gurvith, Sosiologi Hukum, terj. Sumantri Mertodipuro (Jakarta: Bhratara, 1988), x-xi.
              [50] Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), 9-10.
              [51] Leedy, Menghindari duplikasinya penelitian,1997,  bahwa semakin banyak seorang peneliti mengetahui, mengenal dan memahami tentang penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya (yang berkaitan erat dengan topik penelitiannya), semakin dapat dipertanggung jawabkan caranya meneliti permasalahan yang dihadapi.Kegunaannya ini, agar tidak terjadi   duplikasi penelitian, sangat jelas maksudnya. Masalahanya, tidak semua hasil penelitian dilaporkan secara luas. Dengan demikian, publikasi atau seminar atau jaringan informasi tentang hasil-hasil penelitian sangat penting. Dalam hal ini, peneliti perlu mengetahui sumber-sumber informasi pustaka dan mempunyai hubungan (access) dengan sumber-sumber tersebut. Tinjauan pustaka, berkaitan dengan hal ini, berguna untuk membeberkan seluruh pengetahuan yang ada sampai saat ini berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi (sehingga dapat menyakinkan bahwa tidak terjadi duplikasi Kegunaan yang).Kegunaan lainnya, menunjang perumusan permasalahankeenam dan taktis ini berkaitan dengan perumusan permasalahan. Kajian pustaka yang meluas (tapi tajam), komprehe nsif dan bersistem, pada akhirnya harus diakhiri dengan suatu kesimpulan yang memuat permasalahan apa yang tersisa, yang memerlukan penelitian; yang membedakan penelitian yang diusulkan dengan penelitianpenelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Dalam kesimpulan tersebut, rumusan permasalahan ditunjang kemantapannya (justified). Pada beberapa formulir usulan penelitian (seperti misalnya pada formulir Usulan Penelitian DPP FT UGM), bagian kesimpulan ini sengaja dipisahkan tersendiri (agar lebih jelas menonjol) dan ditempatkan sesudah tinjauan pustaka serta diberi judul “Keaslian Penelitian”.Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit.,80
                    [52]Nisa Islami, Disertasi Pendidikan Islam, UIN Jakarta, 2006.
                      [53]Suatu tinjauan pustaka mempunyai kegunaan untuk : 1) Mengungkapkan penelitian-penelitian yang serupa dengan penelitian yang (akan) kita lakukan; dalam hal ini, diperlihatkan pula cara penelitian-penelitian tersebut menjawab permasalahan dan merancang metode penelitiannya;2) Membantu memberi gambaran tentang metoda dan teknik yang dipakai dalam penelitian yang mempunyai permasalahan serupa atau mirip penelitian yang dihadapi; 3) Mengungkapkan sumber-sumber data (atau judul -judul pustaka yang berkaitan) yang mungkin belum kita ketahui sebelumnya; 4) Mengenal peneliti -peneliti yang karyanya penting dalam permasalahan yang dihadapi (yang mungkin dapat dijadikan nara sumber atau dapat ditelusuri karya-karya tulisnya yang lain yang mungkin terkait; 5) Memperlihatkan kedudukan penelitian yang (akan) kita lakukan dalam sejarah perkembangan dan konteks ilmu pengetahuan atau teori tempat penelitian ini berada;  6) Mengungkapkan ide-ide dan pendekatan-pendekatan yang mungkin belum kita kenal sebelumya; 7) Membuktikan keaslian penelitian (bahwa penelitian yang kita lakukan berbeda dengan penelitian -penelitian sebelumnya); 
                   [54]Nisa Islami, Loc.Cit,bahwa masih banyak kasus pemberian hukuman yang berlebihan terhadap siswa, yang ironisnya dilakukan oleh guru mereka sendiri. Niat guru ingin memberikan hukuman agar siswa tidak melakukan kesalahan yang  tidak sesuai dengan etika sebagai guru dan pastinya sangat bertentangan dengan nilai-nilai kependidikan, khususnya Al-Qur’an...Lihat juga Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam,terj.Jamaludin Miri (Jakarta, 1994), 333

                    [55] Zainuddin Ali, Sosiologi  Hukum, (Kekerasan terhadap anak-anak diberitakan di media, dalam berbagai berita kekerasan terhadap anak dalam segala bentuk dan kualitasnya telah lama terjadi. Berita-berita tersebut makin marak karena semakin baiknya kinerja wartawan. Kalau dulu ada Arie Hanggara, sekarang muncul kasus-kasus yang sama. Bukan lagi dilakukan oleh bapak/ibu tiri saja tetapi justru dilakukan oleh orang tua kandung. Bentuk kekerasan bisa berupa korban kekerasan, penelantaran, eksploitasi, perlakuan salah, diskriminasi, dan perlakuan tidak manusiawi.Lihat Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, RajaGrafindoPersada, (Jakarta, 1999), 85. Semua tindakan kekerasan kepada anak-anak direkam dalam bawah sadar mereka dan dibawa sampai kepada masa dewasa, dan terus sepanjang hidupnya. Tindakan-tindakan di atas dapat dikategorikan sebagai child abuse atau perlakuan kejam terhadap anak-anak. Child abuse itu sendiri berkisar sejak pengabaian anak sampai kepada perkosaan dan pembunuhan. Ada 4 macam child abuse, yaituemotional abuse, terjadi ketika orang tua setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Si ibu membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Si ibu boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional  itu berlangsung konsisten. Verbal abuse, terjadi ketika si ibu, setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk “diam” atau “jangan menangis”. Jika si anak mulai berbicara, ibu terus-menerus menggunakan  kekerasan verbal seperti, “kamu bodoh”, “kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”, . Lihat Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Sinar Grafika, Jakarta : 2008),hlm 65

                   [56]Zainuddin Ali, Physical abuse, terjadi ketika si ibu memukul anak (ketika  anak sebenarnya membutuhkan perhatian). Memukul anak dengan tangan atau  kayu, kulit atau logam akan diingat anak itu. Sexual abuse, biasanya tidak  terjadi selama delapan belas bulan pertama dalam kehidupan anak. Walaupun  ada beberapa kasus ketika anak perempuan menderita kekerasan seksual dalam  usia enam bulan. Center for Tourism Research & Development Universitas Gadjah  Mada, mengekspos penelitiam tentang child abusen yang terjadi dari tahun 1992–2002 di 7 kota besar yaitu, Medan, Palembang, Jakarta, Semarang, Surabaya, UjungPandang dan Kupang.Masih menurut Zainuddin Ali, bahwa ditemukan bahwa ada 3969 kasus, dengan rincian seksual abuse 65.8%, physical abuse 19.6%, emotional abuse 6.3%, dan child neglect 8.3%. Berdasarkan kategori usia korban: 1. Kasus sexual abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan terendah usia 0-5 tahun (7,7%). 2. Kasus physical abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan terendah usia 13-15 tahun (16.2%). 3. Kasus emotional abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (28.8%) dan terendah usia 16-18 tahun (0.9%). Tindakan Kekerasan pada Anak dalam Keluarga..
                 [57]Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun (Bandung, 1993), 341.Hukuman fisik dalam konteks Indonesi.Di tengah budaya masyarakat Indonesia yang menjujunjung tinggi disiplin, hukuman fisik dianggap suatu yang sangat wajar.
                 [58]Arini El-Ghaniy, Saat AnakHarus Dihukum, Aspek kebaruan atau hal yang “baru” belum ada yang meneliti lain, yaitu perbandingan UU Nomor 23 dan Hukum Islam. Kemudianadanya keterkaitan  teori di luar hukum, dengan maqashid al-syari’ah, misalnya teori yang mengatakan bahwa anak yang dipukul waktu kecil, akan lebih sukses dan lebih kuat daya juangnya di masa depan. Teori itu disebut teori Gannoe, berasal dari ahli psikologi Inggris yang bernama Marjorie Gannoe, seorang profesor psikolog Inggris. Kemudian penulis mengungkapkan sisi kesamaan dan perbedaan antara UU Perlindungan anak dan Hukum Islam.Apa pula hukumnya memberikan hukuman fisik terhadap anak-anak?.Hal ini sangat mendesak untuk dijawab. Karena terjadi di seluruh wilayah nusantara, dengan berbagai macam variasi.Inilah arti pentingnya kehadiran disertasi ini.Bandingkan dengan Arini El-Ghaniy, Saat AnakHarus Dihukum, Penerbit Ihdina, (Jogjakarta, 2009), 123.
                [59] Lihat Suryanto, Perbuatan pemaksaan atau menyakiti ini terjadi di dalam sebuah kelompok, misalnya kelompok siswa satu sekolah, itulah sebabnyadisebut sebagaipeervictimi-zation,Djuwita, 2007: 2. berupa hukuman fisik yang dikenal secara universal, disebut bullying, hazing dan mobbning. Ada pengertian yang baku  saat ini. Bullying,[59] berasal dari bahasa Inggris, yaitu dari kata bull yang berarti ”banteng” setelah dipukul baru berjalan, senang menyeruduk kesana kemari menurut Sejiwa. Istilah ini akhirnya diambil untuk menguraikan suatu tindakan yang destruktif.Berbeda dengan negara lain, seperti di Norwegia, Finlandia, Denmark, dan Finlandia yang menyebutkan bullying dengan istilah mobbing atau mobbning. Istilah aslinya berasal dari Inggris, yaitu mob yang menekankan bahwa biasanya mob adalah kelompok orang yang anonim dan berjumlah banyak dan terlibat kekerasan.Suryanto, 2007, hlm 2
                   [60]Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat PT.GrafindoPersada,(Jakarta,2006), 29,
                     [61]Ibid, bahan primer, menakup : Abstrak, Index, Bibliografi, Penerbitan Pemerintah dan bahan acuan lainnya.Data lainnya yang terkait dengan data primer ini adalah buku-buku perbandingan mazhab yang sudah popular antara lain, buku dari timur tengah terutama fiqih dan usul fiqih merupakan sumber utama untuk mengolah tulisan ini. Misalnya Al-Mustasfa, oleh Al-Gazali. Al-Muwaqat, oleh Al- Syathiby.Al-Ikhkam fi Al-Ushul Al-Ahkam oleh Al –Amidy, ditambah dengan buku-buku tafsir Al-Qur’an dan tafsir hadits. Kebanyakan buku-buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi penulis dengan bermodalkan pengetahuan bahasa Arab yang pernah didapati di pesantren dan IAIN sebelumnya.Lihat Amiruddin dan Zainal Hakim, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta,Raja Grafindo,2004) 97.Bandingkan dengan catatan Komnas Perlindungan Anak Indonesia(KPAI) mencatat, terdapat 1.998 pengaduan sepanjang tahun 2009. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya, 2008, yaitu 1.736 pengaduan. 62,7% di antaranya adalah kasus kekerasan seksual berupa sodomi, perkosaan, pencabulan, serta incest, selebihnya adalah kasus kekerasan fisik dan psikis.
                  [62]Ibid, hlm 71
                    [63] Masjfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah, Tafsir ayat-ayat  hukum dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan hukuman fisik bagi anak-anak. Secara etimologi, teks ayat ini, sebagai burhan yang menurut al-Jabiri,al-bayan memiliki beberapa arti diantaranya al-zhuhur wa al-wudhuh (ketampakan dan kejelasan), sedangkan secara terminologi albayan berarti pencarian kejelasan yang berporos pada al-ashl (pokok) yakni teks (naql-nash) baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung berarti langsung menganggap teks sebagai pengetahuan jadi. Secara tidak langsung berarti melakukan penalaran dengan berpijak pada teks itu.Lihat Masjfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah, Jakarta, PT.Toko Gunung Agung, (1987), 74.
                    [64]Muhammad Abed al-Jabiri,  Bun-yah al-‘Aql al’-‘Arabi, 20.
                      [65]Loc.Cit, Takwin al Aql al- ‘Arabi (Beirut al-Markaz  as-Saqafi  al-‘Arabi, 1993), 96-98. Lihat juga kutipan Muhyar Fanani terhadap pemikiran al-Jabiri ini dalam Muhyar Fanani, Menelusuri Epistemologi, tt, 29.
          [66]Abu Ishaq asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Al-Syatibi sendiri mengungkapkan bahwa ia memang berupaya menjadikan ushul fiqih sebagai ilmu burhani yang qat’i sehingga dapat mendatangkan dan menghasilkan pengetahuan hukum Islam yang valid secara ilmiah. Abu Ishaq asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, edisi Abdullah Darraz (Mesir: tnp., t.t), I, 29-34.
                [67] Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, ( Jakarata, PT.Raja Grafindo Persada : 2006),95 Peneliti bertolak dari konsep-konsep dan landasan-landasan teori. Konsep-konseptersebut diberi batasan-batasan operasional, termasuk memecahnya kedalam variabel-variabel, jugadirumuskan hipotesis-hipotesis. Atas dasar hipotesis (kesimpulan logis-deduktif) dan batasan konsep/variabel yang telah dirumuskan, kemudian dikembangkan alat-alat ukur untuk mendapatkanukuran dalam kenyataan empiris sekiranya hipotesis itu benar atau sekiranya hipotesis itu salah.Lihat Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, ( Jakarata, PT.Raja Grafindo Persada : 2006),95

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook