Sunday, July 26, 2015

MEMUKUL MURID, TEGAKKAN DISIPLIN JANGAN SAMPAI, MELAMPAUI BATAS



PANTUN
CARA MEMUKUL MURID TANPA 
MELANGGAR HAM

Oleh  M.Rakib S.H.,M.Ag. Pekanbaru Riau Indonesia

               Dara mencangkul, tanah hitam
  Di kaki bukit, tiga belas
         Cara memukul, sesuai HAM
            Jangan sakit, jangan berbekas

JATUH KE PARIT, SEBATANG LILIN
JATUH TERKULAI, DARI TAS
MEMUKUL MURID, TEGAKKAN DISIPLIN
JANGAN SAMPAI, MELAMPAUI BATAS

      Kenakalan otak lah yang membuat kemacetan dalam Teori Kritis menurut Jurgen Habermas.[4] Pandangan ini telah membuat sudut pandang masyarakat tentang krtik dengan penaklukan itu sama dan praksis dengan penaklukan itu sama.[4] Jurgen Habermas berpendirian kritik hanya dapat maju dengan rasio komunikatif yang dimengerti sebagai praksis komunikatif atau tindakan komunikatif.[4] Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik melalui revolusi atau kekersan, tetapi melalui argumentasi.[4] Kemudian Habermas membedakan dua macam argumentasi, yaitu: perbincangan atau diskursus dan kritik.[4]
Demokrasi Deliberatif
         Kata “deliberasi” berasal dari bahasa Latin deliberatio yang kemudian dalam bahasa Inggris menjadi deliberation.[6] Istilah ini memiliki arti “konsultasi”, “menimbang-nimbang”, atau dalam istilah politik adalah “musyawarah”.[6] Pemakian istilah demokrasi memberikan makna tersendiri bagi konsep demokrasi.[6] Istilah demokrasi deliberatif memiliki makna yang tersirat yaitu diskursus praktis, formasi opini dan aspirasi politik, serta kedaulatan rakyat sebagai prosedur.[6]

        Teori demokrasi deliberatif tidak memfokuskan pandangannya dengan aturan-aturan tertentu yang mengatur warga, tetapi sebuah prosedur yang menghasilkan aturan-aturan itu.[6]Teori ini membantu untuk bagaimana keputusan-keputusan politis diambil dan dalam kondisi bagaimanakah aturan-aturan tersebut dihasilkan sedemikian rupa sehingga warganegara mematuhi peraturan-peraturan tersebut.[6] Dengan kata lain, demokrasi deliberatif meminati kesahihan keputusn-keputusan kolektif itu.[6] Secara tidak langsung, opini-opini publik di sini dapat mengklaim keputusan-keputusan yang membuat warga mematuhinya. [6]

        Di dalam demokrasi deliberatif, kedaulatan rakyat dapat mengkontrol keputusan-keputusan mayoritas.[6] Kita sebagai rakyat dapat mengkritisi keputusan-keputusan yang dibuat oleh orang-orang yang memegang mandat.[6] Jika kita berani mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, maka secara tidak langsung kita sudah menjadi masyarakta rasional, bukan lagi masyarakat irasional.[6] Opini publik atau aspirasi memiliki fungsi untuk mengendalikan politik formal atau kebijakan-kebijakan politik.[6] Jika kita berani mengkritik kebijakan-kebijakan yang legal itu, secara tidak langsung kita sudah tunduk terhadap sistem.[6]
Ruang Publik
         Bagi Habermas, ruang publik memiliki peran yang cukup berarti dalam proses berdemokrasi.[6] Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat, yang mana warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif.[6] Ruang publik merupakan syarat penting dalam demokrasi.[7] Ruang publik adalah tempat warga berkomunikasi mengenai kegelisahan-kegelisahan politis warga.[7] Selain itu, ruang publik merupakan wadah yang mana warganegara dengan bebas dapat menyatakan sikap dan argumen mereka terhadap negara atau pemerintah.[6] [7] Ruang publik bukan hanya sekedar fisik, maksudnya sebuah institusi atau organisasi yang legal, melainkan adalah komunikasi warga itu sendiri. Ruang publik harus bersifat bebas, terbuka, transparan dan tidak ada intervensi pemerintah atau otonom di dalamnya. Ruang publik itu harus mudah diakses semua orang.[7] Dari ruang publik ini dapat terhimpun kekuatan solidaritas masyarakat warga untuk melawan mesin-mesin pasar/kapitalis dan mesin-mesin politik.[6]

        Istilah kekerasan, artinya kezaliman. Dalam Al-Quran terdapat  200 ayat yang khusus membicarakan dan menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan masalah “zalim” atau “kezaliman”,[1][1] suatu perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah SWT. Dia sangat benci kepada orang-orang yang zalim.” Sebagaimana  dalam Q.S.Ali ‘Imraan: 57. Secara umum makna kata “zalim” yang dikenal adalah segala tindak kekerasan ataupun berbuat aniaya; baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri.
        Dalam syari’at (Agama Islam) yang sesuai dengan Al-Baqarah ayat  229 bahwa orang yang melanggar hukum-hukum Allah, itulah  yang zalim”; makna “zalim” yang didefinisikan oleh para ulama,“segala  tindakan yang  melampaui batas, tidak  lagi  sesuai  dengan  ketentuan   Allah SWT, baik dengan cara menambah  ataupun  mengurangi hal-hal yang berkaitan dengan waktu; tempat atau letak maupun sifat dari perbuatan-perbuatan yang melampaui batas tersebut. Dan itu berlaku untuk  masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadah (hablun-minallah), maupun hubungan kemanusiaan dan alam semesta, baik itu dalam skala kecil maupun besar, tampak ataupun tersembunyi.”[2][2]
    Kewajiban berhukum kepada al-Qur’an termasuk masalah pokok, karena menjadi dasar bagi seorang Muslim untuk berpegang teguh terhadap hukum-hukum amaliahnya yang akan dipertanggungjawabkan. Apabila landasan suatu hukum sudah salah, seluruh hukum-hukum cabang yang dihasilkannya menjadi salah pula. Karena itu menetapkan sumber syariat Islam tidak dapat dilakukan berdasarkan persangkaan ataupun dengan dugaan belaka, tapi berdasarkan kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril kepada Rasulullah saw dengan menggunakan bahasa Arab disertai kebenaran agar dijadikan hujjah (argumentasi) dalam hal pengakuannya sebagai rasul dan agar dijadikan sebagai pedoman hukum bagi seluruh ummat manusia, di samping merupakan amal ibadah bagi yang membacanya.
          Al-Qur’an diriwayatkan dengan cara tawatur (mutawatir) yang artinya diriwayatkan oleh orang sangat banyak semenjak dari generasi shahabat ke generasinya selanjutnya secara berjamaah. Apa yang diriwayatkan oleh orang perorang tidak dapat dikatakan sebagai Al-Qur’an. Orang-orang yang memusuhi Al-Qur’an dan membenci Islam telah berkali-kali mencoba menggugat nilai keasliannya. Akan tetapi realitas sejarah dan pembuktian ilmiah telah menolak segala bentuk tuduhan yang mereka lontarkan. Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan ciptaan manusia, bukan karangan Muhammad SAW., ataupun saduran dari kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur’an tetap menjadi mu’jizat sekaligus sebagai bukti keabadian dan keabsahan risalah Islam, sebagai sumber segala sumber hukum
 :
            a)KehujjahanAl-Qur’an

             Al-Qur’an merupakan hujjah bagi manusia,[3]
[3] serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya merupakan dasar hukum yang wajib dipatuhi, karena Al-Qur’an merupakan kalam Al-Khaliq, yang diturunkannya dengan jalan qath’i dan tidak dapat diragukan lagi sedikit pun kepastiannya. Berbagai argumentasi telah menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah dan ia merupakan mukjizat yang mampu menundukkan manusia dan tidak mungkin mampu ditiru. Salah satu yang yang menjadi kemusykilan manusia untuk menandingi Al-Qur’an adalah bahasanya, yaitu bahasa Arab, yang tidak bisa ditandingi oleh para ahli syi’ir orang Arab atau siapa pun.






No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook