Friday, July 17, 2015

Seharusnya sepasang suami-istri asal Malaysia itu tidak dihukum,karena mereka bukan penjahat, hanya penegak disiplin agamanya,





KRTIK TENTANG KONSEP KEKERASAN
DI SWEDIA

BY  M.RAKIB  S.H.,M.Ag.....jL.Ciptakarya Panam, Pekanbaru Riau Indonesia. 2015

Teori Baru

       Seharusnya sepasang suami-istri asal Malaysia itu tidak dihukum,karena mereka bukan penjahat, hanya penegak disiplin agamanya, walaupun memukul anaknya. Sebelum sampai ke masalah hukum, seharusnya, pihak sekolah mendamaikan menimbang-nimbang dulu secara sosial. Kalau tidak bisa diubah melalui komunikasi positif barulah dibawa ke jalur hukum. Hukum Swedia harus dikritik, masa’ ibu dikatakan berbuat krimunal, yang dituduh memukuli anak-anaknya dengan tongkat dan penggantung pakaian divonis hukuman penjara karena dianggap terbukti melakukan kekerasan terhadap anak.

         Shalwati Nurshal, si ibu, divonis 14 bulan penjara oleh pengadilan distrik di Solna, Stockholm, hari Jumat (28/3/2014). Sedangkan si ayah, Azizul Raheem Awalludin, diganjar kurungan 10 bulan.
Shalwati didakwa melakukan kekerasan kepada anak perempuannya, anak laki-laki tertua dan dua anak laki-laki lainnya yang lebih kecil.
Azizul didakwa melakukan kekerasan terhadap anak laki-laki tertua, anak perempuan dan dua anak laki-laki lainnya. Namun dakwaan menyiksa anak laki-laki terkecil kemudian dihentikan pengadilan.
Pasangan itu menyangkal dakwaan-dakwaan tersebut.
Ketika pasangan itu diserahkan ke polisi pada Desember 2013, dilaporkan oleh media Malaysia bahwa pasangan Muslim itu memukul putra mereka yang berusia 12 tahun di tangan karena menolak melaksanakan shalat.
Dalam sidang pengadilan terungkap, sebagian besar kekerasan dilakukan oleh kedua orangtua itu dengan menggunakan tangan mereka. Kadang-kadang, keduanya juga memukul anak-anaknya dengan tongkat rotan atau gantungan baju.
Dalam keputusannya, pengadilan mewajibkan kedua orangtua itu membayar ganti rugi kepada anak-anak mereka.
Berbeda dengan Malaysia di mana memukul anak di dalam kelas masih diperbolehkan, di Swedia seluruh bentuk hukuman fisik terhadap anak-anak dianggap melanggar hukum sejak tahun 1979.
Dalam pernyataan yang dikeluarkan pengadilan distrik Solna, keluarga itu menetap di Swedia sejak tahun 2010, ketika si ayah mulai bekerja untuk pemerintah Malaysia di Stockholm.
Dakwaan terhadap pasangan Malaysia itu, kata pengadilan, semata-mata merujuk pada kejahatan yang dilakukan di wilayah Swedia. Keempat anak mereka memberikan kesaksian dan mengatakan bahwa kekerasan terjadi berulang kali di rumah mereka.
Empat anak tersebut, berusia antara 7 tahun hingga 14 tahun, kemudian dipulangkan ke Malaysia.
Pengadilan menganggap kesaksian anak-anak itu bisa dipertanggungjawabkan.
Kasus ini menarik perhatian besar di Malaysia dan diamati oleh sejumlah pejabat di kedutaan Malaysia. Pada bulan Februari lalu, Perdana Menteri Malaysia Najib Razak mengatakan akan membantu pasangan itu menghadapi kasusnya.
Sedangkan sebuah laman di Facebook yang diberi nama “Bring Shal and Family Home” (bawa pulang Shal dan keluarganya) menarik dukungan lebih dari 20.000 pengguna media sosial tersebut. Dan salah seorang kolumnis Malaysia menyebut proses hukum di Swdia itu sebagai “parodi keadilan universal,” lansir The Local Swedia.*
Jurgen Habermas menambahkan konsep komunikasi di dalam Teori Kritis tersebut.[4] Menurut Jurgen Habermas, komunikasi dapat menyelesaikan kemacetan Teori kritis yang ditawarkan oleh pendahulunya.[4] Jurgen Habermas membedakan antara pekerjaan dan komunikasi (interaksi).[4] [5] Pekerjaan merupakan tindakan instrumental, jadi sebuah tindakan yang bertujuan untuk mencapai sesuatu.[4] Sedangkan komunikasi adalah tindakan saling pengertian.[4] Dalam tradisi Mazhab Frankfurt, teori dan praksis tidak dapat dipisahkan.[5][4] Praksis dilandasi kesadaran rasional, rasio tidak hanya tampak dalam kegiatan-kegiatan yang berkerja melulu, melainkan interaksi dengan orang lain menggunakan bahasa sehari-hari.[4] [5] Selain itu juga, para pendahulunya memandang rasionalitas sebagai penaklukan, kekuasaan. [4] [4]
        Kedua hal itulah yang membuat kemacetan dalam Teori Kritis menurut Jurgen Habermas.[4] Pandangan ini telah membuat sudut pandang masyarakat tentang krtik dengan penaklukan itu sama dan praksis dengan penaklukan itu sama.[4] Jurgen Habermas berpendirian kritik hanya dapat maju dengan rasio komunikatif yang dimengerti sebagai praksis komunikatif atau tindakan komunikatif.[4] Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik melalui revolusi atau kekersan, tetapi melalui argumentasi.[4] Kemudian Habermas membedakan dua macam argumentasi, yaitu: perbincangan atau diskursus dan kritik.[4]

Demokrasi Deliberatif

         Kata “deliberasi” berasal dari bahasa Latin deliberatio yang kemudian dalam bahasa Inggris menjadi deliberation.[6] Istilah ini memiliki arti “konsultasi”, “menimbang-nimbang”, atau dalam istilah politik adalah “musyawarah”.[6] Pemakian istilah demokrasi memberikan makna tersendiri bagi konsep demokrasi.[6] Istilah demokrasi deliberatif memiliki makna yang tersirat yaitu diskursus praktis, formasi opini dan aspirasi politik, serta kedaulatan rakyat sebagai prosedur.[6]
        Teori demokrasi deliberatif tidak memfokuskan pandangannya dengan aturan-aturan tertentu yang mengatur warga, tetapi sebuah prosedur yang menghasilkan aturan-aturan itu.[6]Teori ini membantu untuk bagaimana keputusan-keputusan politis diambil dan dalam kondisi bagaimanakah aturan-aturan tersebut dihasilkan sedemikian rupa sehingga warganegara mematuhi peraturan-peraturan tersebut.[6] Dengan kata lain, demokrasi deliberatif meminati kesahihan keputusn-keputusan kolektif itu.[6] Secara tidak langsung, opini-opini publik di sini dapat mengklaim keputusan-keputusan yang membuat warga mematuhinya. [6]
        Di dalam demokrasi deliberatif, kedaulatan rakyat dapat mengkontrol keputusan-keputusan mayoritas.[6] Kita sebagai rakyat dapat mengkritisi keputusan-keputusan yang dibuat oleh orang-orang yang memegang mandat.[6] Jika kita berani mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, maka secara tidak langsung kita sudah menjadi masyarakta rasional, bukan lagi masyarakat irasional.[6] Opini publik atau aspirasi memiliki fungsi untuk mengendalikan politik formal atau kebijakan-kebijakan politik.[6] Jika kita berani mengkritik kebijakan-kebijakan yang legal itu, secara tidak langsung kita sudah tunduk terhadap sistem.[6]

Ruang Publik

         Bagi Habermas, ruang publik memiliki peran yang cukup berarti dalam proses berdemokrasi.[6] Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat, yang mana warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif.[6] Ruang publik merupakan syarat penting dalam demokrasi.[7] Ruang publik adalah tempat warga berkomunikasi mengenai kegelisahan-kegelisahan politis warga.[7] Selain itu, ruang publik merupakan wadah yang mana warganegara dengan bebas dapat menyatakan sikap dan argumen mereka terhadap negara atau pemerintah.[6] [7] Ruang publik bukan hanya sekedar fisik, maksudnya sebuah institusi atau organisasi yang legal, melainkan adalah komunikasi warga itu sendiri. Ruang publik harus bersifat bebas, terbuka, transparan dan tidak ada intervensi pemerintah atau otonom di dalamnya. Ruang publik itu harus mudah diakses semua orang.[7] Dari ruang publik ini dapat terhimpun kekuatan solidaritas masyarakat warga untuk melawan mesin-mesin pasar/kapitalis dan mesin-mesin politik.[6]

        Istilah kekerasan, artinya kezaliman. Dalam Al-Quran terdapat  200 ayat yang khusus membicarakan dan menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan masalah “zalim” atau “kezaliman”,[1] suatu perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah SWT. Dia sangat benci kepada orang-orang yang zalim.” Sebagaimana  dalam Q.S.Ali ‘Imraan: 57. Secara umum makna kata “zalim” yang dikenal adalah segala tindak kekerasan ataupun berbuat aniaya; baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri.
        Dalam syari’at (Agama Islam) yang sesuai dengan Al-Baqarah ayat  229 bahwa orang yang melanggar hukum-hukum Allah, itulah  yang zalim”; makna “zalim” yang didefinisikan oleh para ulama,“segala  tindakan yang  melampaui batas, tidak  lagi  sesuai  dengan  ketentuan   Allah SWT, baik dengan cara menambah  ataupun  mengurangi hal-hal yang berkaitan dengan waktu; tempat atau letak maupun sifat dari perbuatan-perbuatan yang melampaui batas tersebut. Dan itu berlaku untuk  masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadah (hablun-minallah), maupun hubungan kemanusiaan dan alam semesta, baik itu dalam skala kecil maupun besar, tampak ataupun tersembunyi.”[2]
    Kewajiban berhukum kepada al-Qur’an termasuk masalah pokok, karena menjadi dasar bagi seorang Muslim untuk berpegang teguh terhadap hukum-hukum amaliahnya yang akan dipertanggungjawabkan. Apabila landasan suatu hukum sudah salah, seluruh hukum-hukum cabang yang dihasilkannya menjadi salah pula. Karena itu menetapkan sumber syariat Islam tidak dapat dilakukan berdasarkan persangkaan ataupun dengan dugaan belaka, tapi berdasarkan kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril kepada Rasulullah saw dengan menggunakan bahasa Arab disertai kebenaran agar dijadikan hujjah (argumentasi) dalam hal pengakuannya sebagai rasul dan agar dijadikan sebagai pedoman hukum bagi seluruh ummat manusia, di samping merupakan amal ibadah bagi yang membacanya.
          Al-Qur’an diriwayatkan dengan cara tawatur (mutawatir) yang artinya diriwayatkan oleh orang sangat banyak semenjak dari generasi shahabat ke generasinya selanjutnya secara berjamaah. Apa yang diriwayatkan oleh orang perorang tidak dapat dikatakan sebagai Al-Qur’an. Orang-orang yang memusuhi Al-Qur’an dan membenci Islam telah berkali-kali mencoba menggugat nilai keasliannya. Akan tetapi realitas sejarah dan pembuktian ilmiah telah menolak segala bentuk tuduhan yang mereka lontarkan. Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan ciptaan manusia, bukan karangan Muhammad SAW., ataupun saduran dari kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur’an tetap menjadi mu’jizat sekaligus sebagai bukti keabadian dan keabsahan risalah Islam, sebagai sumber segala sumber hukum
 :
            a)KehujjahanAl-Qur’an
             Al-Qur’an merupakan hujjah bagi manusia,[3] serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya merupakan dasar hukum yang wajib dipatuhi, karena Al-Qur’an merupakan kalam Al-Khaliq, yang diturunkannya dengan jalan qath’i dan tidak dapat diragukan lagi sedikit pun kepastiannya. Berbagai argumentasi telah menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah dan ia merupakan mukjizat yang mampu menundukkan manusia dan tidak mungkin mampu ditiru. Salah satu yang yang menjadi kemusykilan manusia untuk menandingi Al-Qur’an adalah bahasanya, yaitu bahasa Arab, yang tidak bisa ditandingi oleh para ahli syi’ir orang Arab atau siapa pun. Allah SWT berfirman:
17:88.[4]
                        Katakanlah: Sesungguhnya apabila jin dan manusia mereka apabila berkumpul untuk membuat suatu kitab yang serupa dengan Al-Qur’an ini. Pastilah   mereka tidak akan dapat membuat tandingan yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sekalian yang lain.[5]
2:23
                   Dan apabila kamu tetap merasa dalam keraguan tentang kebenaran  Al-Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) sebagai tandingan yang semisal Al-Qur’an, dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang benar.[6]

            Membuat satu surat menyamai Al-Qur’an,memang tidak mjungkin, seperti pernyataan Walid bin Mughirah, salah seorang Quraisy di masa Rasulullah SAW, seorang ahli syair yang tak tertandingi, yang menjadi musuh Nabi pada awalnya berkata: Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an itu terdapat sesuatu yang lezat, lagi pula keindahannya, apabila di bawah, menyuburkan, dan apabila di atas, menghasilkan buah. Dan manusia tidak mungkin mampu berucap seperti Al-Qur’an.”[7] Selain dari bahasanya, isi Al-Qur’an sekaligus menjadi hujjah atas kebenarannya. Misalnya perihal akan menangnya kaum Muslimin memasuki Makkah dengan aman, juga tentang prediksi akan menangnya pasukan Romawi atas Parsi (QS. Ar-Ruum).[8]
            Selain isi Al-Qur’an menunjukkan tentang kejadian sejarah terdahulu yang sesuai dengan fakta, ada pula sebagian berkaitan dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi(Iptek), misalnya tentang penyerbukan oleh lebah, bahkan tentang  reproduksi, buah-buahan oleh bantuan angin. Pada akhirnya terbuktilah kebenaran al-Qur’an. Semua itu menunjukkan bahwa Al-Qur’an memang bukan datang dari manusia melainkan dari Allah SWT; Sang Pencipta dan Pengatur Alam Semesta. Karenanya memang sudah menjadi kelayakan bahkan keharusan bagi umat Islam untuk menjadikannya sebagai landasan kehidupan dan landasan hukum:.
          b) Keseimbangan kata dalam al-Qur’an

          M.Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan Al-Qur’an”,menerangkan tentang keseimbangan penggunaan kata dalam Al-Qur’an yang begitu kuat mengundang rasa ingin tahu, antara lain:
       1) Keseimbangan kata yang bertolak belakang
     (a) Al-hayah (hidup) dan al-mawt (mati), masing-masing disebut 145 kali
           (b) Al-naf(manfaat) dan al-madharrah (mudarat) masing-masing disebut 50   kali
           (c)  Al-har (panas) dan al-bard masing-masing disebut 4 kali
Al-shalihat (kebajikan) dan al-sayyi’at (keburukan) masing-masing disebut 167 kali.
(d) Al- tuma’ninah (kelapangan / ketenangan) dan al-dhiq (kesempitan / kekesalan), masing-masing disebut 13 kali
(e) Al-rahbah (cemas/takut) dan al-raghbah (harap/ingin) masing-masing disebut 8 kali.[9]
       2) Keseimbangan jumlah kata dengan sinonimnya (yang artinya sama)
(a) AL-harts dan al-Zira’ah (membajak/bertani) masing2x disebut 14 kali
(b) Al-uhbdan al-dhurur (membanggakan diri/ angkuh) masing2x disebut 27 kali
(c)  Al-aql dan al-nur (akal dan cahaya) masing2x disebut 49 kali
(d) Al-jahr dan al-alaniyah(nyata), masing2x disebut 16 kali
(e) Zakat disebut 32 kali dan barokah juga disebut 32 kali.[10]
        3) Keseimbangan antara jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya
(a) Al-infak(infak) dengan al-ridha (kerelaan), masing-masing disebut 73 kali.
(b) Al-bukl(kekifiran) dengan al-hasanah (penyesalan) masing-masing  disebut 12 kali.
(c) Al-kafirun (orang2x kafir) dengan al-nar/al-ahraq (neraka/pembayaran) masing2x disebut 154 kali
(d) Al-zakah (zakat/penyucian) dengan al-barakat (kebajikan) masing-masing disebut 32 kali
            (e) Al-fahisyah (kekejian) dengan al-ghadb (murka), disebut 26 kali.[11]

            Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.,secara  bertahap dalam kurun waktu 22 tahun, 2 bulan, 22 hari. Di antara ayat-ayat itu diturunkan untuk memberikan jawaban dalam berbagai peristiwa yang terjadi saat itu.
 
            c) Tafsir Al-Qur’an
            Tafsir al-Qur’an, menerangkan maksud pada lafadz-nya, dijelaskan dengan lafadz lain ,sehingga tidak ada keraguan lagi. Tafsir Al-Qur’an merupakan penjelasan makna kata demi kata, serta makna susunan kalimat, sebagaimana adanya. Terkadang suatu ayat dijelaskan oleh ayat lainnya (tafsir ayat bil ayat atau bil hadits)Rasulullah SAW.,(tafsir bis Sunnah), atau penjelasan shahabat dan ahli ilmu pengetahuan.     Adapun tentang penyempurnaan pembukuan Al-Qur’an, terjadi pada waktu khalifah ‘Utsman “Qur’an ‘Usmani.” Karena selama ekspedisi melawan Azerbaijan, timbul berbagai perbedaan di antara pasukan, mengenai cara bacaan Al-Qur’an, karena pasukan itu sebagian diambil dari Suriah dan Irak, sehingga Jendral Huzaifah membawa masalahnya kepada Khalifah ‘Usman bin Affan(644-656 M.)
           Penjelasan kata-kata dan susunannya ayat, terbatas hanya dalam bahasa Arab, sama sekali tidak boleh ditafsirkan dalam bahasa lain. Selain menurut kenyataannya Al-Qur’an itu diturunkan dalam bahasa Arab yang paling baik dan murni, tidak ada jalan lain dalam memahami Al-Qur’an, perlu juga melalui bahasa yang lain.
Dengan demikian Al-Qur’an tidak bisa tidak hanya bisa ditafsirkan ke dalam bahasa Al-Qur’an itu sendiri yaitu bahasa Arab. Bertitik tolak dari suatu keyakinan bahwasanya hidup ini tidak boleh diatur kecuali menurut aturan Allah SWT,[12] maka tidak ada alternatif lain, melainkan berusaha semakimal mungkin memahami Al-Qur’an, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an itu sendiri:
13:37
“(Dan) Demikianlah Kami telah menurunkan Al-Qur’an itu sebagai    peraturan yang benar, dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.[13]
          Ayat ini, menunjukkan usaha memahami hukum dalam Al-Qur’an harus dimulai dengan memahami bahasa Arab.[14] Lemahanya penguasaan bahasa Arab, sebahagian umat Islam, dalam mengkaji dan menghayati isi kandungan Al-Qur’an menyebabkan ketidakakraban dengan Al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa sebagian umat sedang berada di luar ketentuan Allah SWT. Pentingnya bahasa Arab untuk melakukan kajian terhadap isi kandungan Al-Qur’an menuntut persyaratan-persyaratan tertentu. Di samping menuntut keikhlasan dan kesucian niat juga membutuhkan penguasaan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemahaman Al-Qur’an.   Apabila persyaratan itu tidak terpenuhi,  dapat menimbulkan pemahaman yang keliru dan merugikan. Walaupun begitu, terpenuhinya persyaratan ini pun tidaklah mutlak menjamin kebenaran hasil suatu kajian, namun begitu haruslah berusaha semaksimal mungkin, untuk mendekati kebenaran yang dimaksud Al-Qur’an.
           Kajian dan pemahaman terhadap Al-Qur’an bukanlah menjadi tujuan akhir. Ia hanya merupakan ‘jembatan’ untuk memahami dan mengamalkan isi Al-Qur’an. Sedangkan tujuan akhirnya adalah perwujudan dan penerapan nilai-nilai Al-Qur’an dalam seluruh aspek kehidupan. Bila tidak demikian maka apa yang   dilakukan tidak ubahnya dengan apa yang dilakukan oleh kaum orientalis, yang memandang Al-Qur’an hanya dari segi ilmu, bukan untuk diterapkan.

2. Al-Hadits

        a)Pengertian al-Hadits
       Al-Hadits adalah suatu perkataan, atau ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan/persetujuan/diamnya) Rasulullah SAW.,terhadap sesuatu perbuatan seorang shahabat yang diketahuinya.[15] Sunnah merupakan sumber syariat Islam yang nilai kebenarannya sama dengan Al-Qur’an karena sebenarnya Sunnah juga berasal dari wahyu. Firman Allah SWT:
   وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
                Tiadalah yang diucapkannya (oleh Muhammad) itu menurut kemauan hawa    nafsunya. Ucapan itu hanyalah firman yang diwahyukan (kepadanya).[16]

            Makna ayat di atas ialah, apa yang disampaikan Rasulullah SAW. (Al-Qur’an dan As-Sunnah) hanyalah bersumber dari wahyu Allah SWT, bukan dari dirinya maupun kemauan hawa nafsunya.[17] Ayat ini bermakna bahwa Rasulullah SAW. melakukan suatu tindakan  hanya berdasarkan wahyu dari Allah SWT, kemudian diperintahkan manusia mengikuti apa yang disampaikannya. Al-Qur’an telah menegaskan bahwa Rasulullah SAW juga menerima wahyu yang lain, yaitu Al-Hikmah[18] yang pengertiannya sama dengan As-Sunnah, baik perkataan, perbuatan atau pun ketetapan (diamnya). Pengertian Al Hikmah yang bermakna As-Sunnah dapat ditemukan dalam QS. Ali Imran: 164, QS. Al-Jumu’ah: 3, dan QS. Al-Ahzab: 34.[19]Kemudian kehujjahan Al-Sunnah adaalah sebagai sumber hukum/syariat Islam bersifat pasti (qath’i) kebenarannya, seperti Al-Qur’an itu sendiri.
          b)Fungsi al-Hadits terhadap Al-Qur’an:
    (1)  Menguraikan Kemujmalan  Al-Qur’an.

            Istilah  mujmal, maksudnya adalah suatu lafadz yang belum jelas indikasinya (dalalah/ penunjukannya)  yang belum jelas maksud dan rinciannya. Tentang perintah shalat, membayar zakat dan menunaikan haji. Al-Qur’an hanya menjelaskannya secara global, tidak dijelaskan tata cara pelaksanaannya. Kemudian Sunnah secara terperinci menerangkan tata cara pelaksanaan shalat, jumlah raka’at, aturan waktunya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan shalat; begitu pula dengan ibadah-ibadah yang lain. Imam Ibnu Hazm, salah seorang ulama Andalusia pada masa Abbasiyah menjelaskan: Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an terdapat ungkapan yang seandainya tidak ada penjelasan lain, tidak mungkin orang melaksanakannya. Dalam hal ini rujukannya hanya kepada Sunnah Nabi SAW. Jika dibandingkan dengan ijma’, maka Ijma’ hanya terdapat dalam kasus-kasus tertentu saja yang relatif sedikit. Oleh sebab itu secara pasti wajib kembali kepada Sunnah.”
             (2) Mengkhususkan Keumuman Al-Qur’an.

                Lafadz umum (‘Aam) ialah lafadz yang mencakup segala sesuatu makna yang menerangkan  dengan satu ucapan saja. Misalnya ‘Al Muslimun’ (orang-orang Islam), ‘Ar rijaalu’ (orang-orang laki-laki). Di dalam Al-Qur’an itu terdapat banyak lafadz yang bermakna umum kemudian Sunnah mengkhususkannya.

…يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ …
“...Allah mewajibkan kamu tentang anak-anakmu, untuk seorang anak laki-laki adalah dua bagian dari anak perempuan...” [20]
Ayat ini dijelaskan oleh hadits Ibnu Abbas:
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا ، فَمَا بَقِىَ فَهْوَ لأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ
"Berikanlah bagian ashabul furudh, sisanya untuk laki-laki yang terdekat." [21]
            Kasus yang terjadi sebelum turunnya Surat An-Nisa’:11 ialah  dari kisah Umrah ,[22] yaitu Umrah binti Hazm, istri Sa’d ibn al-Rabi, menghadap kepada Rasulullah SAW lalu berkata seraya menunjuk kepada dua anak kecil di sisinya, “Wahai Rasulullah, ini adalah dua putri Sa’d ibn Al-Rabi. Ayah mereka gugur di medan perang Uhud sehingga mereka kini yatim. Derita semakin berat karena paman mereka mengambil harta mereka tanpa menyisakan sedikit pun. Tentu saja kedua anak ini tidak akan bisa menikah tanpa  harta.” Rasulullah kemudian terbayang sosok dan kewiraan Sa’d ibn Al-Rabi ketika berperang melindungi beliau. Selain itu Rasul juga iba pada kedua anak itu. Namun beliau belum bisa menetapkan keputusan yang akan berkaitan dengan hak waris dari ayah mereka. Akhirnya Rasul bersabda, “Allah akan menurunkan ketetapan mengenainya.”

        Apakah itu yang dimaksud dengan analisis kritis?. Nah itulah  Critical Legal Studies, membedah konsep hukum, merupakan sebuah gerakan yang muncul pada tahun tujuh puluhan di Amerika Serikat. Gerakan ini merupakan kelanjutan dari aliran hukum realisme Amerika yang menginginkan suatu pendekatan yang berbeda dalam memahami hukum, tidak hanya seperti pemahaman selama ini yang bersifat Socratis. Beberapa nama yang menjadi penggerak GSHK adalah Roberto Unger, Duncan Kennedy, Karl Klare, Peter Gabel, Mark Tushnet, Kelman, David trubeck, Horowitz, dan yang lainnya. Critical Legal Studies oleh Ifdhal Kasim diterjemahkan dengan istilah bahasa Indonesia Gerakan Studi Hukum Kritis (GSHK) . Istilah yang akan digunakan dalam tulisan ini selanjutnya adalah Gerakan Studi Hukum Kritis disingkat GSHK.

             Perbedaan utama antara GSHK dengan pemikiran hukum lain yang tradisional adalah bahwa GSHK menolak pemisahan antara rasionalitas hukum dan perdebatan politik. Tidak ada pembedaan model logika hukum; hukum adalah politik denga baju yang berbeda. Hukum hanya ada dalam suatu ideologi. GSHK menempatkan fungsi pengadilan dalam memahami hukum sebagai perhatian utama . Walaupun menolak dikatakan sebagai tipe pemikiran Marxis yang membedakan antara suprastruktur dan infrastruktur serta hukum sebagai alat dominasi kaum kapitalis, GSHK mendeklarasikan peran untuk membongkar struktur sosial yang hierarkhis. Struktur sosial merupakan wujud ketidakadilan, dominasi, dan penindasan.
           Tugas kalangan hukum adalah membawa perubahan cara berpikir hukum dan perubahan masyarakat. Pemikiran ini terinspirasi pemikiran filsafat kritis dari Jurgen Habermas , Emil Durkheim , Karl Mannheim, Herbert Marcuse , Antonio Gramsci , dan lain-lain. Jurgen Habermas, Karl Mannheim, Herbert Marcuse, dan Antonio Gramsci adalah tokoh-tokoh utama mahzab kritis. Filasafat kritis adalah salah satu aliran filasat yang berkembang dengan menggunakan pendekatan kritis terhadap realitas sosial. Aliran ini diilhami oleh pemikiran Hegel dan Karl Marx.
           Aliran ini berkembang mulai dari Mahzab Frankfurt sampai dengan Post Modernisme. Pendukung GSHK memahami dan menggunakan pemikiran hukum dan teori-teori sosial secara lebih intensif dibanding kaum realis. Mereka telah banyak menghancurkan segala hal yang berlaku dalam hukum . Namun banyak juga yang mengkritik bahwa hanya sedikit dari pemikir GSHK yang menawarkan model yang konstruktif.

         Tulisan ini bertujuan untuk mengenal secara singkat pemikiran-pemikiran dalam GSHK dari berbagai ahli hukum, kelebihan dan kekurangannya, serta konteksnya dengan perkembangan hukum di Indonesia. Sebagai pijakan awal pada bagian pertama, akan diuraikan pemikiran GSHK yang dijelaskan dalam buku Modern Jurisprudence tulisan Hari Chand, disertai dengan beberapa kritikan yang ada dalam buku tersebut. Dikatakan sebagai pijakan awal, karena pada bagian ini juga akan diberikan beberapa penambahan baik secara langsung maupun dalam catatan kaki hal-hal yang terkait dengan pembahasan GSHK dari sumber lain.

           Pada bagian kedua akan diuraikan beberapa pemikiran lain dari GSHK yang tidak dibahas dalam buku Modern Jurisprudence. Bagian ketiga, setelah mengetahui pemikiran GSHK, merupakan analisis terhadap keseluruhan Pemikiran GSHK dengan tujuan untuk menemukan kekuatan dan kelemahan dari GSHK, baik pada tataran teoritis maupun dalam pelaksanaannya.
Bagian tersebut akan dirangkaikan dengan penerapan pemikiran GSHK untuk menganalisis hukum di Indonesia . Bagian akhir adalah penutup dari seluruh tulisan ini yang lebih merupakan catatan akhir bagaimana menyikapi GSHK dari pada sebuah kesimpulan sebagaimana lazimnya sebuah tulisan.

A. Gerakan Studi Hukum Kritis Dalam Buku Modern Jurisprudence
Seperti praktek pemikiran hukum sebelumnya, American Legal Realist, GSHK melanjutkan tradisi pengkajian empiris terhadap hukum. Tetapi pendekatan yang digunakan adalah paradigma-paradigma ilmu sosial "kiri" seperti aliran Marxisme, teori kritis mazhab Frankfurt, neo-Marxis, Strukturalisme, dan lain-lain . Hal ini tidak berarti GSHK merupakan pewaris pandangan-pandangan tersebut, namun memanfaatkannya secara ekletis . Secara radikal GSHK menggugat teori, doktrin atau asas-asas seperti netralitas hukum (neutrality of law), otonomi hukum (autonomy of law), dan pemisahan hukum dengan politik (law politics distinction) .


        Gerakan Studi Hukum Kritis dan Pemikiran Hukum Amerika
Sampai tahun 1850, pendapat umum menyatakan bahwa hakim memutus perkara dengan menggunakan pertimbangan kebijakan (instrumental view). Mulai pada tahun 1890, pandangan yang dianut kemudian adalah bahwa hakim memutuskan perkara dengan penerapan suatu peraturan tersendiri yang tepat . Setelah tahun 1937, paham hukum realis berpendapat bahwa pencarian obyektivitas, dan sistem pemikiran hukum yang tidak memihak adalah ilusi semata. Gerakan kaum realis menciptakan ketidakpercayaan terhadap peradilan dan menambah kekuasaan pakar dan aparat negara. Menurut kaum realis, hukum dan moralitas itu terpisah. Sementara paham kontemporer menyatakan bahwa antara hukum dan moralitas memiliki hubungan yang erat. Hukum adalah suatu ilmu moral dan hakim memutus sebagai seorang aparat moral. Ronald Dworkin dan Posner menemukan moralitas yang berada dalam hukum kebiasaan.


         Kritik terhadap Liberalisme Unger mengkritik liberalisme yang menurutnya menghasilkan perubahan moral individu dan politik masyarakat modern yang berbahaya. Lisberalisme membengkokan moral, intelektual, dan sisi spiritual seseorang. Maka dia melontarkan suatu kritik yang menyeluruh. Dia menemukan "struktur mendalam" dari liberalisme yang terdiri dari enam prinsip; (1) rasionalitas dan hawa nafsu, (2) keinginan yang sewenang-wenang, (3) Analisis, (4) Aturan-aturan dan nilai-nilai, (5) nilai subyektif, dan (6) individualisme. Dia menunjukan antinomi yang ada antara rasionalitas dan hawa nafsu, antara aturan dan nilai. Untuk menyelesaikan antinomi tersebut, ada dua jalan, yaitu; pertama, suatu penyelesaian politis untuk mewujudkan transformasi kondisi kehidupan sosial di mana dominasi harus dihilangkan karena menimbulkan nilai yang kebetulan dan berubah-ubah. Kedua, suatu revolusi teroritis dibutuhkan untuk menciptakan suatu sistem berpikir yang berdasar pada kebaikan umat manusia. Alan Hunt menyatakan bahwa kritik liberalisme ini tidak sesuai dengan ilmu hukum modern kontemporer yang paling banyak berpengaruh.

           Dominasi dan Hierarkhi GSHK menyatakan bahwa masyarakat liberal dipenuhi dengan dominasi dan hierarkhi. Kelas atas membentuk struktur yang berlaku bagi lainnya untuk memperlancar kehidupannya. Negara hukum yang ideal adalah yang dapat menandai kontradiksi dan hierarkhi dalam masyarakat liberal. Jika dikatakan bahwa hukum tidak bertugas untuk menemukan kebenaran, tetapi menemukan kompleksitas yang telah ada, maka teori hukum tidak akan bermakna tanpa teori sosial. Kebenaran pernyataan tentang kehidupan sosial sesungguhnya telah dikondisikan oleh seluruh sistem sosial yang berlaku . Kebenaran bersifat relatif menurut masyarakat tertentu atau kelompok sejarah tertentu .

         Seseorang secara keseluruhan struktur sosial adalah produk sejarah, bukan alam. Sejarah dipenuhi dengan pertentangan-pertentangan, dan aturan sosial merupakan garis pemisah yang menggambarkan posisi masing-masing. Kekuatan menjadi hak, kepatuhan menjadi tugas, dan untuk sementara pembagian hierarkhi sosial menjadi kabur. GSHK mencoba untuk mempengaruhi realitas sosial. Struktur yang ada merupakan penggunaan kepercayaan dan asumsi yang menciptakan suatu masyarakat dalam realitas hubungan antar manusia. Struktur kepercayaan atau ideologi tersebut memiliki potensi terselubung dalam tendensinya untuk mempertahankan dinamikanya sendiri untuk menciptakan doktrin hukum yang menyalahkan kondisi dan alam . Bagi GSHK, kesadaran hukum adalah alat yang berhubungan dengan pikiran untuk melakukan penindasan. Hal ini merupakan cara untuk menyembunyikan atau menghindari kebenaran fundamental bahwa segala sesuatu itu dalam proses perubahan dan kehadiran.

Penekanan pada pengaruh eksternal
Para ahli hukum banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti sosial, ekonomi, politik dan psikologi, tetapi kaum GSHK lebih menekankan pada konteks sosial dan politik. Interpretasi banyak dipengaruhi oleh kondisi historis, maka prinsip-prinsip dan rasionalitas hukum tidak kebal dari pengaruh-pengaruh sosial dan politik. Mereka menegaskan bahwa pemikiran hukum mempengaruhi perubahan hukum dan melegitimasi tatanan sosial yang telah ada dengan cara yang berlaku tanpa terasa .

Kritik terhadap Teori Hukum
Alirah Hukum kritis merupakan kritik dari teori hukum yang menuntut bahwa pendekatan doktrinal itu cacat, dengan prinsip-prinsip abstrak seperti kemerdekaan, kebebasan berkontrak dan hak milik dapat menimbulkan kontradiksi dalam berbagai hal . Mereka menggunakan teknik-teknik sosiologis, antropologis, dan ideologis dalam tatanan hukum. Mereka mencoba melukiskan penekanan antara ide normatif dan struktur sosial. GSHK menunjukan bagaimana hukum memberikan konstribusi terhadap stabilitas dan mengabadikan tatanan sosial yang ada. Duncan Kenedy dalam The Structure of Blackstone’s Commentaries merupakan salah satu contoh bagus dari metode ini yang menggambarkan analisis mendalam tentang bagaimana komentar-komentar tersebut melegitimasikan praktek-praktek sosial yang telah ada di Inggris waktu itu. Dengan jalan ini Kennedy dapat menunjukan bahwa keseluruhan pemikiran hukum modern memberikan sumbangan terhadap stabilitas suatu tatanan sosial.
Sedangkan Unger melihat mainstream aliran hukum dan ekonomi sebagai salah satu aliran utama yang melayani hak politik, aliran hak dan prinsip yang melayani sentralisme . Instrumen utama aliran hukum dan ekonomi adalah penggunaan yang samar-samar atas konsepsi pasar.

SYAIR PENGERTIAN TEORI DAN KONSEP
Photo
M.RAKIB   PEKANBARU  RIAU INDONESIA 2015
TEORI ITU, SUATU PERNYATAAN
SEBAB AKIBAT, SALING BERHUBUNGAN
SUATU GEJALA,  DAPAT  DIJELASKAN
DIPEROLEH DARI, SUATU PENGALAMAN

KONSEP ITU ADALAH SUATU KESIMPULAN
DARI MASALAH YANG CIRINYA BERSAMAAN
KONSTRUKSI LOGIS, TERBENTUK DARI KESAN
BERSIFAT KOMLEKS DARI, PENGALAMAN

        Konsep adalah suatu pengertian yang disimpulkan dari sekumpulan data yang memiliki ciri-ciri yang sama.  Schwab (1969: 12-14) menyatakan bahwa konsep merupakan abstraksi, yaitu suatu konstruksi logis yang terbentuk dari kesan, tanggapan, dan pengalaman-pengalaman kompleks.  Hal ini sejalan dengan pendapat Banks (1977:85) bahwa “a concept is an abstract word or phrase that is useful for classifying or categorizing a group of things, ideas, or events”, yang berarti bahwa konsep itu merupakan suatu kata atau frase abstrak yang bermanfaat untuk mengklasifikasikan atau menggolongkan sejumlah hal, gagasan, atau peristiwa.  Dengan demikian, pengertian konsep menunjuk pada suatu abstraksi, penggambaran dari sesuatu yang konkret maupun abstrak (tampak maupun tidak tampak) dapat berbentuk pengertian atau definisi ataupun gambaran mental, atribut esensial dari suatu kategori yang memiliki ciri-ciri esensial relatif sama.
Bruner (1966) menyatakan setiap konsep memiliki tiga unsur yaitu: (1) examples, (2) attributes dan (3) attributes value.  Adapun Joyce dan Weil (2000: 125) menyatakan bahwa setiap konsep memiliki 6 aspek, yang meliputi:
  1. Nama yaitu istilah atau etiket yang diberikan kepada satu kategori fakta yang mempunyai ciri-ciri yang sama.
  2. Essential attributes atau criteria attributes, yaitu ciri-ciri yang menempatkan contoh-contoh konsep yang berlainan dalam kategori yang sama.
  3. Non essential attributes, adalah ciri-ciri yang tidak ikut menentukan apakah contoh termasuk ke dalam suatu kategori.
  4. Positive examples
  5. Negative attributes, ini tidak mewakili konsep
  6. Rule, adalah pernyataan yang mencakup semua criteria attributes.

Kesalahan konsep bisa terjadi manakala adanya penghilangan atau penambahan dari hal-hal yang esensial, sehingga terjadi kekeliruan. Dengan demikian dalam pembelajaran jenis konsep dikembangkan oleh pengetahuan yang berhubungan dengan fakta mencakup semua data khususnya yang terdiri dari kejadian, objek, orang atau gejala yang dapat dirasakan. Fakta adalah tingkat yang paling rendah dari suatu  abstraksi, suatu fakta merupakan keadaan faktual dan dapat diterima sebagaimana adanya. Konsep merupakan suatu pernyataan atau frase yang berguna dalam mengklasifikasikan fakta, kejadian, atau ide berdasarkan karakteristik yang umum.
Dengan demikian, konsep adalah suatu pengertian yang disimpulkan dari sekumpulan data yang memiliki ciri-ciri yang sama. Dapat dikatakan konsep merupakan abstrak dari suatu kejadian atau hal-hal yang memiliki ciri-ciri yang sama atau ide tentang sesuatu di dalam pikiran. Makin abstrak suatu konsep, makin besar kemampuan mengumpulkan fakta yang lebih spesifik, dan makin  tidak abstrak yang berada di bawahnya. Bentuk geografi adalah merupakan konsep, yang berada di bawahnya antara lain: sungai, danau, pegunungan, tebing, lautan dan lain sebagainya. Ilmu Pengetahuan Sosial kaya akan konsep-konsep IPS, dalam memahami konsep IPS tentu mengetahui terlebih dahulu konsep IPS itu sendiri . Menurut Kamus Bahasa Indonesia kata “pahammengandung makna pengertian; pengetahuan banyak, sedangkan “pemahamanadalah proses, perbuatan, cara memahami atau memahamkan.
Fakta yang ada di dalam masyarakat dan lingkungannya. Fakta-faktanya di lingkungan masyarakat, salah satu contohnya konsep ilmu-ilmu sosial sebagai berikut: Ilmu Ekonomi; kelangkaan sumber-sumber kebutuhan hidup, Politik; kekuasaan dan kekuatan, Ekologi; interaksi kehidupan dan lingkungan, Sosiologi; masyarakat, Antropologi; kebudayaan, Psikologi; kejiwaan, Sejarah; waktu dan Geografi; ruang.  Setiap cabang ilmu sosial mengembangkan konsep dasar serta generalisasi masing-masing yang sesuai. Mempelajari konsep merupakan hal yang sangat penting, akan memudahkan memahami proses terjadinya, karena diperoleh melalui pemahaman yaitu mengerti lebih banyak pengetahuan, sehingga membuat suatu peristiwa menjadi lebih jelas kaitannya antara satu sama lain.
Dari uraian di atas, proses pembentukan konsep dan generalisasi berjalan secara induktif melalui penyajian fakta menjadi konsep dan dari konsep menjadi generalisasi. Kegagalan dalam memahami konsep akan mengakibatkan kesalahan dalam membentuk generalisasi (Alma dan Harlasgunawan, 2003:155). Dengan demikian dalam memilih konsep yang hendak diajarkan kepada mahasiswa memperhatikan pada prinsip-prinsip sebagai berikut: ketepatan, kegunaan, kekayaan pengalamannya, kekayaan konsep yang telah dipahami, lingkungan hidup peserta didik dan tingkat kematangan peserta didik.


              [1]Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl.,(Terj) vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), 267; Ibnu Juzyi al-Kalbi, Ibid., vol. 1, 238; al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 144.

               [2]Ahmad Muhammad al-‘Assal dan Fathi Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan Umat Islam, alih bahasa Imam Saefudin (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 164. Lihat jugaWahbah Al Zuhaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuh, (Dār al- Fikr : Beirut 2008), V: 523

            [3] Tafsir al-Fakhr ar-Razy, juz 12, hal. 3 – 18. Lihat Tafsir Al-Maraghy, juz 6, hal 122-124
Lihat juga Tafsir Al-Qasimy, juz 6, hal 2000 -2001
               [4] Hasbi Ashiddieqy (Editor) op.cit. QS. Al-Isra (17) : 88
               [5] Ibid
               [6] Op.Cit.QS. Al-Baqarah (2) : 23
              [7] Muhammad Kamil Abdushshamad,. Mukjizat Ilmiah dalam Al-Quran. (Akbar Media  Eka Sarana. Jakarta: 2002), hal. 3-4 .Lihat juga Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar al-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, cet. I, 2004), hlm. 555-556
               [8] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 241
                [9] HM.Qurais Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Op.Cit, hlm 37
                [10] Ibid
             [11]Ibid
               [12] Ahmad Syalabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islamiyah, hlm. 76    Lihat juga Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd, (Jakarta: Bulan Bintan: 1975), hlm. 148-149
              [13] Op.Cit.QS. Ar-Ra’du (13) : 37. Lihat juga Al-Qardhawi, al-Fiqhal-Islami Baynal-Asalahwaal-Tajdid (Kairo:MaktabatWahbah,1999), hlm7
              [14] M.Hasbi Ash Shidieqy,Syariat Islam MenjawabTantangan Zaman(Jakarta:Bulan Bintang,1966),03 Lihat pula, Mutawalli,Perspektif Muhammad Sa‘id al-Ashmaw: Historitas Shari‘ah,Ulumuna,Vol XIII, No.1 (Juni,2009),23-24
                   [15]al-Hadith secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah.Kemudian istilah Al-Sunnah, dalam tinjauan hukum dan penafsiran.. Dari aspek hubungannya dengan al-Quran, As-Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Hubungan ini disebut hubungan struktural. Sementara dari aspek lain, As-Sunnah sebagai penjelas bagi Al-Qur’an disebut hubungan fungsional. Di antara dasarnya adalah firman Allah Ta’ala dalam QS. al- Hasyr: 7, an- Nahl: 44, dan an- Nahl: 64.
                  [16] Op.Cit.QS. An-Najm (53) : 3-4
                    [17] Arifudin Ahmad, Pembaharuan Pemikiran tentang Hadits Nabi Muhammad SAW. di
Indonesia (Studiatas Pemikiran M. Syuhudi Ismail).” (Disertasi S3 Pasca Sarjana IAIN Jakarta, 1999),   50
                  [18]Nawir Yuslem, Metodologi Penelitian Hadits (Bandung:Citapustaka  Media Perintis, 2008), h. 4. Lihat juga M.Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Cet. I, Jakarta; Bulan Bintang 1992), h. 8.
                    [19]Bustamin, dan M.Isa A. Salam, Metodologi Kritik Hadits (Jakarta; PT. Raja GrafindoPersada, 2004), h. 111.Lihat juga Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Cet. I; Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995), h. 128
                  [20]  Op.Cit. QS. Al-Nisaa’(4) : 11.
                  [21] HR. Bukhari dan Muslim
             [22] Begitulah Al Quran memutuskan bagian untuk dua anak perempuan itu. Kemudian Rasul mengutus seseorang untuk menemui paman mereka dan berkata kepadanya,”Berikanlah dua pertiga harta pusaka Sa’d kepada dua putrinya dan sisanya menjadi milikmu.” Istri Sa’d dan kedua putrinya menjadi perantara bagi turunnya ketetapan Al Quran mengenai hukum waris, suatu ketetapan yang berlaku hingga kini.Referensi :-Al Quran- karya Fathi Fawzi ‘Abd Al Mu’thi, Asbabun Nuzul untuk Zaman Kita.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook