Thursday, August 13, 2015

akibat durhaaka, muncullah " SURGA YANG TAK DIRINDUKAN"



SURGA YANG TAK DIRINDUKAN

 


M.Rakib (pencatat).

 Penulis sudah dapat izin lisan dari isteri untuk dipoligami, tapi tersandungan maslah ekonomi
Umurpun tidak muda lagi.
Tapi tetap membela prinsip halalnya poligami
Supaya panti pijat tidak memonopoli
Jauh dari prostitusi.
Yang paling indah adalah tuntunan Ilahi
Siapa yang mampu, segera ditindaklanjuti
Lihatlah Arifin Ilham, tidak perlu sembnyi
Supaya kemunafikan, jauh dari hati.

Siapa Yang tak menginginkan surga?
Berarti menolak, kasih sayang Allah.
Inilah suatu tanda lemahnya aqidah
Fikiran filsafat liberal, sudah memasuki aliran darah
Tidak ada wanita mau dimadu adalah rahasia yang tak kusimpan rahasia pada Hawa
Wanita memang harus ditaklukkan, meski tak juga kuceritakan semua
Kecuali wanita solihah, bahwa padanya hanya ada sedikit cinta dan harapan.
Apa artinya rumah jika tak lagi menjadi pelabuhan yang ramah bagi hati seorang suami?
Jika Allah tidak dihargai, jadinya surga jika ia tak lagi dirindukan? 
Benarkah dongeng seorang perempuan harus mati agar dongeng perempuan lain mendapatkan kehidupan?
Ah. 
Istana yang retak-retak, kata hawa nafsu yang pantang berbagi. 
Peristiwa tragis dan e-mail aneh dari gadis bernama Bulan.
Pertanyaan yang terus mendera : “Jika cinta bisa membuat seorang perempuan setia pada satu lelaki, kenapa cinta tidak cukup membuat lelaki bertahan dengan satu perempuan?”
Sementara seseorang berjuang melawan Tuhan, waktu dengan sabar menyusun keping-keping puzzle kehidupan yang terserak, lewat skenario yang rumit namun menakjubkan.
Para penulis perempuan seperti gumpalan burung yang jatuh dari udara, menyerbu kehidupan sastra Indonesia, memasuki milenium ketiga. Masing-masing dengan dunianya. Ada yang cerdas, radikal, bebas, bahkan lebih gila dari lelaki. Tetapi ada yang gaul, melankolis, puitis, komunikatif, santun, namun sesungguhnya memberontak.
Arini berhenti berlari. Tak lagi berusaha menghindar dari luka, papar Nadia mengakhiri kisahnya. Sebuah suara lirih yang menggelegar karena menunjukkan tekad yang menjadi wajah lain dari langkah perempuan Indonesia masa kini. (Putu Wijaya, seniman)
“Dengan kepiawaiannya mengeksplorasi dunia kata, Asma Nadia memotret poligami dari semua sisi: sisi suami, sisi “korban”——dalam hal ini istri pertama——dan sisi perempuan pemilik Istana Kedua. 
Kisah yang sangat menyentuh dan membuat saya jadi ingin “mewajibkan” semua laki-laki membaca novel ini.” (Dewie Sekar; penulis Zona @ Tsunami, Perang Bintang, dan Zona @ Last) 
Di atas adalah tulisan yang ada di cover belakangnya..
Buku Surga yang tak dirindukan adalah republish dari buku istana kedua, buku ini hadir dengan cover baru dan ada sedikit tambahan di bukunya
ISTRI MEMANCING  SUAMI   MELAKUKAN KEKERASAN
Jangan memancing, kekerasan suami,
Harga dirinya, tolong hormati.
Kendalikan lidah, tahan emosi,
Suami pemimpin, bagi isteri

Jagalah rumah, harta benda dan anak-anak suami.
Jangan membebaninya dengan nafkah yang terlalu banyak.
Layanilah suami, berikanlah hak-haknya,
dan jangan lalai dalam menjalankannya.
  • Karena ada ancaman keras yang disebutkan di dalam Hadits Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda :
“ Jika seorang laki-laki mengajak istrinya ke ranjangnya tetapi ia menolak, kemudian laki-laki itu melewatkan malamnya sambil memendam amarah, maka para malaikat akan mengutuknya sampai pagi.”
         Pancingan emosi dari isteri mengakibatkan perceraian, dengan kekerasan yang terjadi di rumah tangga. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) tahun 2012 menempatkan ranah personal/Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebagai jumlah kasus terbanyak,  jumlahnya mencapai 8.315 kasus (66%). Pola kekerasan terhadap perempuan yang  masih didominasi KDRT ini sebenarnya sudah cukup berkurang bila dibandingkan dengan data tahun tahun 2010 yang mencapai 96% (yaitu 101.128). Tingginya angka KDRT ini berbanding lurus dengan tingginya angka perceraian
        Bila kita melihat fenomena di atas, betapa tujuan disyariatkannya pernikahan dan pembentukan rumah tangga dalam Islam yaitu “Sakinah, Mawadah, wa Rahmah” (SAMARA) masih jauh dari harapan. Dampak dari perceraian dalam rumah tangga ini tidak bisa dilepaskan pengaruhnya terhadap anak, karena fakta kehidupan menunjukkan bahwa tidak sedikit dari perkawinan yang dibangun dengan susah payah pada akhirnya bubar karena kemelut dalam rumah tangga yang tidak bisa diselesaikan. Akibat dari bubarnya perkawinan tersebut, tidak sedikit pula anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menanggung derita yang seharusnya tidak ia tanggung .
Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara tegas dinyatakan bahwa
                        “anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat, harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi”
 . Penjelasan tentang hak anak sebagai manusia ini bisa jadi tidak bisa dipenuhi karena perceraian orang tuanya. Ditinjau dari sisi hak anak yang masih kecil dan belum mandiri, pengasuhan (hadhanah) adalah suatu perbuatan yang wajib dilaksanakan oleh orang tuanya, karena tanpa hadhanah anak akan menjadi terlantar yang berarti kehilangan hak-haknya.
Pengasuhan anak setelah terjadi perceraian bisa menjadi konflik antara orang tua. Bagaimana sebetulnya Islam menjelaskan pengasuhan anak setelah perceraian? Siapa saja pihak yang berhak memiliki hak pengasuhan dan apa saja syarat-syaratnya? Bagaimana pula pengasuhan anak yang tidak berada di dalam pernikahan?

Pengasuhan anak (Hadhanah) dalam Islam
Pengasuhan anak atau hadhanah dalam perspektif Islam menempati satu dari beberapa konsep perwalian yang pengaturanya sangat jelas. Sejak anak masih dalam rahim ibunya, ia sudah mempunyai hak-hak sebagai seorang manusia sempurna seperti hak waris, hak wakaf dan yang paling asasi adalah hak nasab dari orang tuanya. Semua hak-hak tersebut akan berlaku efektif apabila ia telah lahir.
Secara normatif permasalahan pengasuhan anak atau hadhanah telah diatur dalam kitab-kitab fiqh klasik maupun kontemporer dengan beberapa perbedaan paradigma dan konsep.Para ulama sepakat bahwasanya hukum hadhanah, mendidik, merawat anak adalah wajib. Tetapi mereka berbeda dalam hal apakah hadhanah ini menjadi hak orang tua (terutama ibu) atau hak anak. Ulama madzhab Hanafi dan Maliki berbeda pendapat bahwa hak hadhanah itu menjadi hak ibu, sehingga ia dapat saja menggugurkan haknya. Sedangkan menurut jumhur ulama hadhanah itu menjadi hak bersama antara orang tua anak (bapak dan ibu). Sedangakan menurut Wahbah al-Zuhaily, hak hadhanah adalah hak bersyarikat (bersama) antara ayah, ibu dan anak dan jika terjadi pertengkaran mengenai itu maka hak atau kepentingan manakah yang didahulukan ?

Pengertian Hadhanah
Secara etimologi kata hadhanah yang juga di baca hidhanah berasal dari kata al-hidln yang berarti rusuk. Kata hadhanah atau hidhanah menjadi berarti pengasuhan anak karena seorang ibu yang mengasuh atau menggendong anaknya sering meletakkanya pada sebuah rusuknya atau dalam pangkuan sebelah rusuknya.
Sedangkan secara terminologi, para ulama ahli fiqh menerangkan bahwa hadhanah yaitu memelihara anak dari segala macam bahaya yang mungkin menimpanya, menjaga kesehatan jasmani dan rohaninya, menjaga makanan dan kebersihanya, mengusahakan pendidikanya hingga ia sanggup berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupan sebagai seorang muslim.
Menurut Abdul Aziz Dahlan dalam Ensiklopedia Hukum Islam, hadhanah secara terminologis adalah merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri . Senada dengan pendapat di atas, Sulaiman Rasjid menyatakan bahwa ‘hadhanah’ atau ‘mendidik’ berarti menjaga, memimpin, dan mengatur segala hal yang anak-anak belum dapat menjaga dan mengatur dirinya sendiri.  Sedangkan Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah menjelaskan bahwa definisi hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz tanpa perintah darinya, menyediakan segala sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari segala sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.
Prof. Ahmad Rofiq, MA menjelaskan bahwa hadhanah dalam diskursus ini adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan ini mencakup masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak.  Pengasuhan anak juga mengandung arti sebuah tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup seorang anak oleh orang tua. Selanjutnya, tanggung jawab pengasuhan berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut bersifat kontinu sampai anak tersebut mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah mampu berdiri sendiri.

Dasar Hukum Pengasuhan Anak (Hadhanah)
Ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa pada prinsipnya hukum merawat dan mendidik anak adalah kewajiban bagi orang tua, karena apabila anak yang masih kecil dan belum mumayyiz tidak dirawat dan didik dengan baik, maka akan berakibat buruk pada diri dan masa depan mereka, bahkan bisa mengancam eksistensi jiwa mereka. Oleh karena itu anak-anak tersebut wajib dipelihara, diasuh, dirawat dan dididik dengan baik.
Firman Allah dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 233 dijelaskan bahwa :


Artinya :
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian.  Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan “  (QS. Al Baqarah : 233) 

Meskipun ayat tersebut secara eksplisit menegaskan bahwa tanggung jawab pemeliharaan anak menjadi beban yang harus dipenuhi suami sebagai ayah, namun pembebanan ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu melekat di dalamnya. Hal ini diperkuat lagi dengan ilustrasi apabila anak tersebut disusukan oleh perempuan lain yang bukan ibunya sendiri, maka ayahnya bertanggung jawab untuk membayar perempuan yang menyusui anaknya tersebut.
Hal ini dikuatkan dengan tindakan Rasulullah saw. ketika suatu hari beliau menerima aduan dari Hindun binti Utbah, yaitu :
Dari Aisyah ra., Ia berkata: “Hindun putri Utbah pernah datang dan berkata :  “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah lelaki yang sangat kikir, berdosakah aku jika aku memberi makan dari (hasil) suamiku?”, beliau bersabda: “Tidak, jika dalam kebaikan” 
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban mengasuh dan memelihara anak merupakan kewajiban bersama antara suami dan istri. Hal ini tercantum dalam pasal 77 ayat (3) yang berbunyi :
“Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya, dan pendidikan agamanya”.
Sejatinya, seorang anak membutuhkan figur kedua orang tua (ayah dan ibu) dalam perkembangan kematangan kepribadiannya. Oleh karenanya, Nancy Chodorow salah seorang psikolog yang mengembangkan gagasan tentang teori Pengembangan Kepribadian menyoroti bahwa mothering (pengasuhan anak yang dilakukan oleh Ibu semata), telah menghasilkan pengalaman yang berbeda pada anak laki-laki maupun perempuan. Anak perempuan menjadi memiliki hasrat lebih untuk bisa dekat dan menyerupai figur ibunya, dan anak lak-laki menjadi bersikap mendominasi yang kurang bisa menghargai perempuan. Dengan demikian, untuk membebaskan anak laki-laki dan anak perempuan dari situasi tidak bisa menghargai ataupun menjadi tidak dihargai ini,  ia menyatakan, “any strategy for change whose goal includes liberation from the constraints of an unequal social organization of gender must take account of the need for a fundamental reorganization of parenting, so that primary parenting is shared between men and women.”  (semua strategi untuk perubahan yang tujuannya termasuk pembebasan dari hambatan dari situasi pengorganisasian sosial yang tidak adil karena jenis kelamimn harus memperhatikan kebutuhan akan reorganisasi mendasar atas parenting (pengasuhan anak), oleh karenanya pengasuhan anak harus dilakukan bersama antara laki-laki dan perempuan).  Meskipun  Chodorow sempat meragukan kemampuan laki-laki dalam hal pengasuhan anak akibat pembakuan pembagian kerja yang terjadi selama ini, namun dalam perkembangan situasi kontemporer yang kita lihat kini banyak  laki-laki yang memiliki kapabilitas dalam hal pengasuhan anak bersama-sama dengan perempuan.
Figur laki-laki sebagai tokoh pendidik, dipersonifikasikan secara baik melalui fiqur Lukman yang kisahnya diabadikan sebagai salah satu nama Surah dalam Alquran. Lukman juga menekankan pada pentingnya menghormati figur Ibu sebagai pihak yang memiliki andil besar dalam hal regenerasi.Dinyatakan dalam Alquran :


Artinya :
“Dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji" (12) dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".(13) dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. “(14)  (QS. Luqman : 12-14)
Pengasuhan dan pemeliharaan yang termasuk di dalamnya adalah nafkah untuk anak supaya anak terpenuhi kebutuhan-kebutuhanya ini bukan hanya berlaku selama ayah dan ibunya masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadi perceraian.
Adapun dasar hukum yang melandasinya adalah firman Allah swt. dalam surat al-Baqarah (2) ayat 233 yang berbunyi :

Artinya :
“Adalah kewajiban ayah untuk memberi nafkah dan pakaian untuk anak dan istrinya”.

Urutan Orang Yang Berhak Atas Hadhanah
Dalam konsep fiqh, ada dua periode bagi anak yang dalam hal ini ada kaitanya dengan hadhanah. Yaitu masa sebelum mumayyiz dan masa sesudah mumayyiz. Periode sebelum mumayyiz adalah dari waktu lahir sampai menjelang umur tujuh atau delapan tahun .Pada masa itu umumnya seorang anak belum mumayyiz artinya belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dengan yang berbahaya bagi dirinya. Pada periode ini setelah melengkapi syarat-syarat sebagai pengasuh, ulama menyimpulkan bahwa pihak ibu lebih berhak terhadap anak untuk selanjutnya melaksanakan kewajiban hadhanah.
Kesimpulan ini didasarkan antara lain atas hadis riwayat Abu Daud dan Ahmad yang menceritakan bahwa seorang ibu mengadu kepada Rasulullah saw. tentang anak kecilnya (yang belum mumayyiz), dimana mantan suaminya bermaksud untuk merebut anak mereka setelah menceraikanya. Lalu Rasulullah saw.  bersabda:
Artinya :
“Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid as Sulami, telah menceritakan kepada kami al Walid dari Abu Amr al Auza’i, telah menceritakan kepadaku Amr bin Syu’aib, dari ayahnya dari kakeknya yaitu Abdullah binAmr bahwa seorang perempuan berkata;“Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah tempatnya, dan puting susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan ayahnya telah menceraikannya dan ingin merampasnya dariku”. Kemudian Rasulullah  saw. berkata kepadanya; “Engkau (ibu) lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah”.
Keputusan Rasulullah saw. itu bisa ditafsirkan dengan adanya pertimbangan bahwa pada umur tersebut seorang ibu lebih mengerti dengan kebutuhan anak dan lebih bisa memperlihatkan kasih sayangnya. Demikian pula anak dalam masa itu sedang sangat membutuhkan untuk hidup dekat ibunya. Sejalan dengan itu pula keputusan Abu bakar tentang kasus Umar bin Khattab dengan bekas istrinya.
Umar bin Khattab dengan bekas istrinya mendapat seorang anak yang diberi nama Ashima, kemudian ia bercerai dari istrinya. Pada suatu hari Umar bin Khattab pergi ke Quba, ia mendapati anaknya itu sedang bermain. Ketika Umar hendak memegang anaknya itu dengan maksud untuk membawanya pergi, terjadilah pertengkaran dengan pihak ibu. Kasus ini disanpaikan kepada Khalifah Abu Bakar dan ia memutuskan menetapkan bahwa anak itu ikut ibunya (riwayat ibnu Abi Syaibah). 20
Periode kedua adalah periode mumayyiz. Masa mumayyiz adalah dari umur baligh berakal menjelang umur dewasa. Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan mana yang berbahaya dan mana yang bermanfaat bagi dirinya. Oleh karena itu, ia sudah dianggap mampu menjatuhkan pilihanya sendiri untuk memilih hidup bersama ayah atau ibunya.
          Landasan hukum dari hal tersebut adalah hadis riwayat Imam at-Tirmidzi dalam Sunan an-Nasai yang menceritakan seorang perempuan mengadukan tingkah laku bekas suaminya yang hendak merebut anak mereka berdua yang telah mampu menolong mengangkat air dari sumur. Hadis tersebut diartikan sebagai berikut :
“Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abdul A’la ia berkata; telah menceritakan kepada kami Khalid ia berkata; telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij ia berkata; telah mengabarkan kepadaku Ziyad dari Hilal bin Usamah dari Abu Maimunah ia berkata, “Saat aku bersama Abu Hurairah, ia berkata, “Seorang perempuan datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu.
        Sesungguhnya suamiku ingin pergi membawa anakku, dan anak tersebut telah memberiku manfaat, ia membawakan aku air dari sumur Abu Inabah.” Kemudian suaminya datang dan berkata, “Siapakah yang berselisih denganku mengenai anakku?” Kemudian beliau bersabda: “Wahai anak kecil, ini adalah ayahmu dan ini adalah ibumu. Gandenglah tangan salah seorang dari mereka yang engkau kehendaki”. Kemudian anak tersebut menggandeng tangan ibunya, maka ia pun pergi bersamanya”
Adanya pengakuan Rasulullah atas pilihan anak itu barangkali karena dalam kasus tersebut memang anak itu lebih pantas dan lebih baik untuk ikut bersama ibunya. Dalam kasus lain dimana Rasulullah saw. melihat pilihan anak itu merugikan dirinya, beliau menolak pilihan anak tersebut dan memutuskan berlainan dengan anak tersebut.
Dalam hadis riwayat Abu Daud, terdapat cerita tentang kasus Rafi’ bin Sinan dimana waktu telah masuk Islam, istrinya tidak mau mengikutinya dan tetap sebagai musyrikah. Mereka mempunyai seorang anak. Dalam memutuskan siapa yang lebih berhak terhadap anak itu Rasulullah menghadirkan semua pihak, yaitu ayah, ibu dan anaknya. Ketika itu sang anak lebih memilih ibunya yang non muslim. Rasullulah saw. tidak setuju dengan pilihan anak tersebut, lalu Rasulullah berdoa semoga Allah memberi petunjuk terhadap anak tersebut. Akhirnya anak itu berubah sikap dan memilih ayahnya yang telah masuk Islam.
Artinya :
Dari Rafi’ bin Sinan ra. Ia masuk Islam tetapi istrinya tidak mau (mengikutinya) masuk Islam. Maka Nabi saw. mendudukkan sang ibu di satu sudut dan sang ayah di sudut yang lain, kemudian beliau dudukkan si anak di antara keduanya. Ternyata si anak itu condong kepada ibunya, maka beliau berdoa “Ya Allah, berilah ia petunjuk”,  dan kemudian ia condong kepada ayahnya, maka sang ayah mengambilnya. (HR. Abu Daud dan an-Nasa’I,  hadis ini dinilai shahih oleh al-Hakim)

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook