Sunday, August 16, 2015

BIID'AH SECARA LAFZI BUKAN BID'AH HAKIKI



TIGA MACAM BID’AH WAJIB

1.      Khutbah jumat, dalam bahasa Indonesia dan selain bahasa Arab
2.      Lafazd niat  ibadah dalam bahasa Indonesia
3.      Mencetak Al Quran dan mendirikan universitas

لا عبادة بالعقل المجرد حتى دل النص على تأكيدها
Tidak ada ibadah dengan dasar akal saja sampai ada nash yang menguatkannya

Daya nalar dan pemikiran dari akal dalam aplikasi sebuah perbuatan pendekatan diri kepada Allah dapat menjadi legal dengan adanya nash al-Quran, hadits, dan ijma` yang mendukung secara kontekstualisasi.
Pada acara pembukaan Muktamar Muhammadiyah yang berlangsung di Makassar, 3-7 Agustus 2015 lalu, terjadi kegaduhan yang membuat kita isykal (penuh tanda tanya). Pasalnya mereka meneriaki seorang Pembawa Acara (MC) yang mengucapkan lafadz “Sayyidina Muhammad”.
Seperti diberitakan, peserta Muktamar berteriak. Situasi sempat gaduh lantaran mereka saling bicara satu sama lain. Padahal di panggung utama sudah hadir Presiden RI, H Joko Widodo.
Bahkan beberapa tokoh mereka saat diwawancarai tentang ucapan Sayyidina tersebut jawabannya kurang memuaskan. Nampaknya mereka tidak terbiasa dengan ucapan yang  mempunyai arti penghormatan atas Kanjeng Nabi Muhammad tersebut.
Hadits merupakan dalil yang disepakati ulama sebagai sumber hukum dan menjadi bagian dari penyokong dalil aqli dalam legalitasnya sebuah ibadah. Hal ini dikembalikan kepada hadits shahih dan hasan. Bila berkonotasi dengan hadits dha`if dan maudhu` direfleksikan dalam kaidah:
الأصل فى العبادة المستنبطة من الحديث الضعيف مقبول الا مادل الدليل على خلافه
Dasar semua ibadah yang bersumber dari hadis dha`if adalah diterima kecuali ada dalil yang bertentangan dengannya
الأصل فى العبادة المستنبطة من الحديث الموضوع مردود
Dasar semua ibadah yang bersumber dari hadits maudhu` adalah ditolak
`Urf merupakan sebuah dalil yang masuk dalam kategori dalil aqli yang sifatnya ikhtilaf antara ulama dalam menggunakannya sebagai landasan istinbȃth hukum. Dalam persoalan amaliyah pendekatan diri kepada Allah yang belum ada pedoman sebelumnya dan masuk dalam realitas tradisi atau kebiasaan antara legal dan ilegal, sebab hal itu dikembalikan dalam sebuah kaidah:
العادة محكمة
Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum
Pendekatan diri kepada Allah SWT dalam pelaksanaannya mencakup tatacara yang berkaitan dengan kaifiat pelaksanaan suatu ibadah, sarana dalam melakukannya dan ibadah tarkiyah.  
Pelaksanaan suatu pendekatan diri kepada Allah SWT yang sudah jelas bentuk tatacara melakukannya disebut dengan ibadah mahdhah. Sedangkan ibadah yang tatacaranya dikembalikan kepada pemikiran dan pemahaman disebut dengan ibadah ghairu mahdhah. Tatacara pelaksanaan suatu ibadah berhubungan dengan waktu pelaksanaan, tempat pelaksanaan, sifat ibadah, jumlah atau hitungan pelaksanaan, dan bentuknya. Dalam ibadah mahdhah perkara tatacara tidak dibolehkan merubah, baik menambah atau mengurangi sebagaimana direfleksikan dalam kaidah:
التغيير فى الزمن و المكان و الصفة و الكيفية فى عبادة محضة ممنوع
Merubah waktu, tempat, sifat, cara dalam ibadah mahdhah adalah dilarang
Ibadah yang dikategorikan ghairu mahdhah dengan cakupan yang banyak dan berdasarkan pada anjuran-anjuran yang bersifat umum, maka persoalan tatacara dikembalikan kepada masalah ijtihad. Legal dan ilegalnya perbuatan tersebut dikaitkan dengan kesyirikan, kezhaliman, atau berdasarkan pada perbuatan maksiat.
Ibadah yang bersifat gharu mahdhah dalam tatacara pelaksanaannya dianggap legal selama tidak masuk dalam perbuatan syirik, zhalim dan maksiat. Begitu juga sarana yang digunakan dalam pelaksanaannya harus jauh dari sarana yang diharamkan. Standar kaidah tidak melegalkan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT, maka implementasi sarana ini direfleksikan sebagai berikut:
العبادة بالوسيلة المنهية تقتضي الفساد
Ibadah yang dilakukan dengan sarana yang dilarang berakibat fasad/rusak
Tatacara pelaksanaan ibadah dapat berupa perbuatan yang sudah ada pedoman sebelumnya dan dapat juga berupa perbuatan yang belum ada tuntunannya, tapi sifatnya tarkiyah.
Ketetapan kaidah tentang ibadah tarkiyah berkaitan dengan tatacara yaitu segala perbuatan atau perkataan yang berkaitan dengan pendekatan diri kepada Allah SWT yang bentuk dan pelaksanannya dikembalikan kepada ijtihad atas illat perbuatan tersebut. Ketentuan hukumnya dapat dipilah-pilah antara wajib, sunat, mubah, makruh dan haram. Realitas dan fenomena terhadap tarkiyah dengan illat yang terkandung didalamnya. Illat itu yang menjadi dasar kemungkinan-kemungkinan sehingga ketentuan hukumnya bermacam-macam. Refleksi kaidah itu adalah:
الترك يحتمل أنواع غير تحريم
Sesuatu yang ditingggalkan memungkinkan bermacam-macam (hukum) bukan haram saja
Ketentuan ibadah dalam tatacara pelaksanaannya ada juga yang bersifat ketat secara khusus ibadah yang wajib, dan ada juga yang bersifat luwes secara khusus ibadah yang sunat.  Kategori ibadah sunat mencakup banyak hal, seperti: puasa sunat, shalat qiyamullail sepanjang malam, bersedekah setiap hari, berzakat melebihi dari kadar wajib, baca al-Quran atau berzikir terus menerus dan lainnya.
Pendekatan diri kepada Allah SWT dalam hubungannya dengan ibadah sunat pada tataran tatacaranya tidak ada perubahan, namun pelaksanaannya dilakukan cukup banyak.  Memperbanyak ibadah yang belum ada tuntunan dari Rasulullah SAW tidak termasuk ilegal, selama dilakukan dengan kemampuan yang tidak menzhalimi diri sendiri atau orang lain. Legalitas ini dikembalikan kepada realitas pelaksanaan yang tidak berdampak pada kerusakan. Perkara ini direfleksikan dalam sebuah kaidah:
الاكثار في التعبد ليس ببدعة
Memperbanyak ibadah bukanlah perbuatan bid`ah
V
Rumusan kaidah-kaidah yang disusun dalam konstruksi al-taq`id al-fiqhy diimplementasi dalam al-takyif al-fiqhy mencakup inisiatif sahabat lalu ditaqrir Rasulullah SAW, prakarsa sahabat dan tabi`in sebagai sebaik-baik masa, pelaksanaan anjuran yang bersifat umum dan aktualisasi maqȃshid syariah. Implementasi kaidah direalisasikan dalam otoritas istihsȃn, mashȃleh mursalah, istishhȃb, sadd al-zar`iah  dan fath al-zar`iah.
Dalam kitab Roddul Mukhtar diterangkan: “Disunnahkan mengucapkan Sayyid karena Ziyadah Ikhbar Waqi’ itu menunjukkan tatakrama dan itu lebih baik dari meninggalkannya”.
Lalu selanjutnya jika mereka para Muktamirin bertendensi dengan dua hadits yaitu:
1. ﻻ ﺗﺴﻴﺪﻭﻧﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ
2. ﺍﻧﻤﺎ ﺍﻟﺴﻴﺪ ﺍﻟﻠﻪ
Maka saya akan menjawab dari kitab “Ghoyatul Muna” karya Sayyidi Syeikh Muhammad Ba’atiyah dijelaskan pada halaman 32:
“Adapun hadits yang mengatakan “Jangan kau men-sayyid-kan aku dalam Shalat”, Hadits ini adalah Hadits yang tidak sah matan dan sanadnya, adapun matannya gugur menurut Ahli Hadits, sementara matannya lafadz ﺗﺴﻴﺪﻧﻲ itu tidak benar secara Nahwu karena yang benar lafadznya ﺗﺴﻮﺩﻭﻧﻲ ﻻ sedangkan Rasulullah SAW adalah paling fasihnya orang orang Arab.”
Sementara dalam Kitab “Maqosid Hasanah” halaman 463 dikatakan:
“Hadits ini merupakan Hadits Maudlu’ (palsu), itu tanggapan Al-Hafidzb As-Sakhowi bahwa hadits ini tidak ada asal usulnya dan salah dalam lafadznya.”
Sementara Hadits yang kedua akan saya jawab dari kitab “Zadul Labib” karya Sayyidi Syeikh Muhammad Ba’atiyah juz 1 halaman 9:
“Adapun Hadits yang diriwayatkan dari Abu Dawud dan Ahmad dari Hadits Nabi SAW ﺍﻧﻤﺎ ﺍﻟﺴﻴﺪ ﺍﻟﻠﻪ yang dimaksud Siyadah disini adalah Siyadah secara mutlak, maka pahamilah dan diteliti betul”.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook