Saturday, August 8, 2015

BULLYING DI PESANTREN TEMPO DULU



        
BULLYING  DI PESANTREN TEMPO DULU

 

Drs.M.Rakib S.H.,M.Ag..LPMP. Pekanbaru Riau Indonesia 2015, membuat catatan tentang kekerasan di pesantren Tempo Dulu.

          
Apakah arti kata bullying ? Istilah ini di Indonesia masih terdengar asing dan sulit mencari padanannya, untuk itu mari kita simak beberapa definisi berikut:
o

Menurut kamus Webster, makna dari kata bullying adalah penyiksaan atau pelecehan yang dilakukan tanpa motif tapi dengan sengaja dilakukan berulang-ulang terhadap orang yang lebih lemah.
o

Adapun menurut Yayasan SEJIWA, bullying adalah suatu situasi di mana terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan orang/kelompok kepada seseorang hingga membuat korban merasa terintimidasi.
o

Secara umum bullying dapat diartikan sebagai sikap agresi dari seseorang atau kelompok dengan tujuan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun mental.

       Sebuah penelitian yang Disusun Oleh: Farkhan Basyirudin bahwa di
dewasa ini banyak beredar berita baik di media cetak maupun elektronik mengenai kasus tindak kekerasan yang ditimbulkan oleh para pelajar. Mulai dari kasus tawuran antar sekolah, geng, sampai tindak kekerasan dan penindasan siswa sekolah yang dilakukan para senior kepada juniornya.

         Pada dasarnya perilaku-perilaku yang mengandung unsur tindakan agresivitas yang sistematis, terencana dan bertujuan dari satu pihak dengan pihak lain melalui penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang, terjadi secara 2 berulang selama periode waktu tertentu  baik berupa kekerasan fisik maupun psikologis, merupakan karakteristik khusus yang dikenal dengan istilah bullying (Sullivan, 2001). Masih menurut Sullivan (2005) Bullying
adalah tindakan negatif, yang bersifat agresif atau manipulatif dalam rangkaian tindakan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain. Biasanya selama periode waktu tertentu yang didasarkan pada ketidakseimbangan kekuatan. Sedangkan menurut Coloroso (2007), bullying
adalah tindakan intimidasi yang dilakukan pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah. Tindakan penindasan inidapat diartikan sebagai penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau kelompok sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya.

       Bentuknya bisa bersifat fisik seperti memukul, menampar, dan memalak. Bersifat verbal seperti memaki, menggosip, dan mengejek, serta psikologis seperti mengintimidasi, mengucilkan, mengabaikan, dan mendiskriminasi. Kekerasan dan perilaku negatif ini dapat terjadi di luar maupun di dalam sekolah. Coloroso (2007) menambahkan, perilaku bullying/bullies tidak
memperhitungkan alasan mengapa mereka melakukan bullying tersebut.
Terkadang pelaku hanya mencari alasan yang dapat diterima atas tindakan yang ia lakukan, misalnya melakukan bullying untuk mendisiplinkan adik kelas atau korban. Tetapi perilaku tersebut berlangsung selama periode yang cukup lama dan membuat korban mengalami luka baik fisik maupun psikologis.

         Menurut Lipkins (2008), kebanyakan mereka menjadi pelaku karena
terbentuk, bukan karena berbakat. Merekaterbentuk karena pernah menjadi
korban penindasan. Mereka pernah di tindas, menyaksikan penindasan, dan pada akhirnya sampai tiba giliran mereka untuk menindas. Mereka itulah para anggota senior yang mempunyai kedudukan penting, kemampuan yang lebih, atau kepribadiannya yang disegani. Biasanya siswa-siswa senior berger
ak dalam satu angkatan. Mereka melakukan bullying terhadap siswa-siswa juniornya karena mereka merasa mendapatkan kesempatan melakukannya lantaran pernah menjadi korban bullying saat menjadi siswa junior. Sementara
siswa-siswa korban mereka pun dibina untuk menyimpan dendam dan kejengkelan yang akan mereka lampiaskan saat mereka menjadi siswa senior pada angkatan yang akan datang (SEJIWA, 2008). Seperti halnya kasus yang menyita banyak perhatian masyarakat terjadi di SMAN 82 (3/11/2009). Korban adalah Ade Fauzan, siswa kelas I yang menjadi korban kekerasan dari siswa kelas III. terpaksa dirawat di RS Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta Selatan karena di pukul dan dikeroyok oleh siswa kelas III hingga pingsan selama 3 jam. (www.detiknews.com).

            Pada kenyataannya, tindak kekerasan pada remaja tidak hanya berlaku
pada institusi pendidikan SMA saja, melainkan sudah merambah ke dunia
pesantren. Sebagai contoh kasus, dua santri Pondok Pesantren (Ponpes) Assalaam di Pabelan, Kartasura, Sukoharjo, masuk RS Panti Waluyo dipukuli seniornya (13/7/2007). Pemukulan itu dilakukan oleh para santripembimbing usai santri-santri Takhassus belajar malam. Sebab siswa Assalaam berasal dari berbagai suku di Indonesia (www.suaramerdeka.com). Setidaknya berdasarkan data yang  dikumpulkan Komnas Perlindungan Anak (KPA) angka kekerasan di sekolah pada tahun 2009 meningkat hinga 20% dibanding pada tahun 2008.

          Menurut Sekjen KPA, Sirait (2009) telah terjadi aksi bullying atau kekerasan di sekolah sebanyak 472 kasus. Angka ini meningkat dari
tahun 2008, yang jumlahnya sebanyak 362 kasus. (www.detiknews.com)
Di Indonesia belum ada data memadai karena penelitian tentang fenomena
bullying masih baru. Akan tetapi dari hasil studi yang dilakukan ahli intervensi
bullying asal Amerika, Huneck (2006) mengungkapkan bahwa 10-16 persen siswa Indonesia melaporkan mendapat ejekan, cemoohan, pengucilan, pemukulan, tendangan ataupun didorong, sedikitnya sekali dalam seminggu.
(http://run18.multiply.com) Dijkstra dkk, (2008) menyebutkan bahwa,
dari 3.312 subjek laki-laki dan perempuan, yang terbagi antara kelompok remaja populer dan non-populer menunjukkan perilaku bullying oleh rema
ja populer berhubungan pada alasan perbedaan status sosial yang melekat pada mereka.

            Menurut penelitian dari Yayasan Sejiwa sebuah lembaga swadaya
masyarakat yang peduli dengan masalah kekerasan di sekolah, melakukan survey pada workshop antibullying pada 28 April 2006. hasil survey ya
ng di hadiri oleh 250 peserta tersebut, 94,9 % peserta yang hadir menyatakan bahwa bullying memang terjadi di sekolah-sekolah Indonesia. Namun jenis-jenis tindakan bullying yang mereka laporkan dalam workshop tersebut amat beragam (SEJIWA, 2008). Dengan banyaknya fenomena perilaku remaja melakukan tindak kekerasan dan penindasan atau bisa disebut dengan perilaku
bullying, menimbulkan pertanyaan mengenai penalaran dan nilai-nilai moral
yang mereka anut sehingga  muncul perilaku tersebut.


           Menurut Kohlberg perkembangan penalaran moral manusia terdiri dari
tiga tingkat, yaitu tingkat pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Masing-masing tingkat diikuti dengan dua tahap perkembangan
moral (Santrock, 2002). Kohlberg menambahkan bahwa moralitas pasca-konvensional seharusnya dicapai selama masa remaja dalam tahap ini individu mempunyai keyakinan moral dan dapat menyesuaikan diri dengan
standar sosial yang diinternalisasikan dengan didasarkan pada rasa hormat
kepada orang lain (Hurlock, 1980). kan tetapi Kohlberg (1995) dalam penelitian empirisnya menyebutkan bahwa tidak semua orang akan mencapai
tahap tertinggi, melainkan hanya minoritas kecil yaitu hanya 5 sampai
10 persen dari seluruh penduduk, bahkan kemudian angka inipun masih diragukannya.


          . Diakui pula, suatu saat orang dapat jatuh kembali pada tahap moral yang lebih rendah, yang disebutnya sebagai “regresi fungsional”.  Senada dengan hal tersebut, Hurlock (1980) menjelaskan bahwa remaja yang tidak berhasil melakukan peralihan kedalam tahap moralitas dewasa, maka
tugas tersebut di selesaikan pada awalmasa dewasa. Sehingga mereka membentuk kode moral berdasarkan tahapan konsep moral sebelumnya yang secara sosial belum tentu dapat di terima. Artinya, sesuai yang dikatakan oleh
Yusuf (2002), dengan masih adanya remaja pada tingkat pra-konvensional atau konvensional, maka tidaklah heran apabila diantara remaja masih banyak yang melakukan dekadensi moral termasuk didalamnya perilaku bullying
.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook