Sunday, August 9, 2015

KEJAHATAN ANAK PEJABAT




KEJAHATAN ANAK PEJABAT
ANAK-ANAK MELAKUKAN PERBUATAN JAHAT
Catatan M.Rakib SH.,M.Ag. LPMP Pekanbaru Riau Indonesia
       Tanggal 18 September 1970 Sumarijem yang saat itu berusia 18 tahun tengah menanti bus di pinggir jalan dan tiba-tiba diseret masuk kedalam sebuah mobil oleh beberapa pria, didalam mobil Sumarijem (Sum Kuning) diberi bius (Eter) hingga tak sadarkan diri, Ia dibawa ke sebuah rumah di daerah Klaten dan diperkosa bergilir hingga tak sadarkan diri.
        Kasus ini cukup pelik karena menurut Jendral Pur Hoegeng mantan Kapolri bahwa para pelaku pemerkosaan adalah anak-anak pejabat dan salah seorang di antaranya adalah anak seorang pahlawan revolusi (Hoegeng-Oase menyejukkan di tengah perilaku koruptif para pemimpin bangsa, penerbit Bentang).
         Dalam bukunya juga disebutkan bahwa Sum Kuning ditinggalkan ditepi jalan, Gadis malang ini pun melapor ke polisi. Bukannya dibantu, Sum malah dijadikan tersangka dengan tuduhan membuat laporan palsu.
Dipublikasikan di dalam Warta Badiklat Kejaksaan Republik Indonesia, Tahun 1 - Edisi 04 - Juli - 2013.
        Pada awalnya, pengadilan anak dibentuk karena dilatar belakangi sikap keprihatinan yang melanda negara-negara Eropa dan Amerika atas tindakan kriminalisasi yang dilakukan anak dan pemuda yang jumlahnya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pembentukan pengadilan anak  ini dimaksudkan untuk menanggulangi keadaan tersebut, sekaligus untuk menghindari pelaksanaan proses peradilan pidana yang tidak menguntungkan bagi anak, sehingga anak tidak diperlakukan sama seperti orang dewasa.
       Sementara di Indonesia sendiri, dalam rangka mewujudkan suatu peradilan yang benar-benar memperhatikan kepentingan anak, maka diwujudkan peradilan yang terbatas bagi anak untuk menjamin kepentingan anak melalui Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang kemudian telah diperbaharui juga dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
Sejalan dengan hal tersebut, Harkristuti Harkrisnowo mengungkapkan bahwa Undang-undang yang mengatur mengenai Pengadilan Anak pada prinsipnya akan memberikan landasan hukum yang bersifat nasional untuk perlindungan hukum bagi anak melalui tatanan peradilan anak. Selain itu UU tersebut juga ditujukan sebagai perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai dalam melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang bermasalah  dengan  hukum  maupun  penegakan  hak-hak anak dan hukum anak untuk mewujudkan prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak (the best interest of the child) (Harkristuti, 2002 : 8).

Namun pada praktiknya, Steven Allen mengungkapkan bahwa lebih dari 4,000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan ringan seperti pencurian. Pada umumnya mereka tidak mendapatkan  dukungan dari pengacara maupun dinas sosial. Maka tidaklah mengejutkan,  sembilan dari sepuluh anak ini akhirnya dijebloskan ke penjara atau rumah  tahanan. Lebih jauh lagi, mereka seringkali disatukan dengan orang dewasa  karena kurangnya alternatif terhadap hukuman penjara. Mereka ditempatkan dalam posisi yang penuh bahaya: terjerumus ke dalam  penyiksaan oleh narapidana dewasa dan aparat penegak hukum (Steven, 2002 : 1)

Ruben Achmad juga mengungkapkan bahwa sebanyak 84,2 % anak-anak yang menjadi tahanan, di tempatkan didalam lembaga penahanan dan pemenjaraan untuk orang-orang dewasa dan pemuda (Ruben, www.ypha.or.id, 2012). Kondisi tersebut tentu sangat memprihatinkan, karena keberadaan anak-anak dalam tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang-orang yang lebih dewasa, akan menempatkan anak-anak pada situasi rawan menjadi korban berbagai tindak kekerasan.


Efektifitas Peradilan Anak

         Secara normatif, Indonesia sendiri telah memiliki aturan yang pada dasarnya sangat menjunjung tinggi dan memperhatikan hak-hak dari anak yaitu diratifikasinya Konvensi Hak Anak (KHA) dengan keputusan Presiden Nomor 36  Tahun 1990. Selain itu, terdapat pula peraturan perundang-undangan lain yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia untuk mendukung terjaminnya Hak-hak anak, antara lain; Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi  Manusia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan berbagai peraturan lainnya yang mengatur mengenai anak. Dengan dibuatnya berbagai peraturan tersebut, terlihat bahwa Negara pada dasarnya sangat memperhatikan dan melindungi hak-hak anak.
      Namun sayangnya ketika sudah masuk keadalam ranah praktik yakni dalam penegakan hukumnya, (law enforcement) sering mengalami permasalahan yang cukup pelik (Harkristuti, 2002 : 4). Salah satunya adalah terkait pelaksanaan sistem pemidanaan yang sampai sekarang, terkadang masih memperlakukan anak-anak yang terlibat sebagai pelaku tindak  pidana itu seperti pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Anak  ditempatkan dalam posisi sebagai seorang pelaku kejahatan yang patut untuk  mendapatkan hukuman yang sama dengan orang  dewasa  dan  berlaku  di   Indonesia. Contohnya adalah seperti yang terjadi di Sumatera Utara, dimana hampir semua kasus anak pelaku tindak pidana di Pengadilan Negeri Kabanjahe diputuskan dengan pidana penjara, bahkan ada kasus anak pelaku tindak pidana yang dijatuhi hukuman pidana Seumur Hidup yaitu terhadap LG (16 tahun) oleh hakim Pengadilan Negeri Kabanjahe, Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara (Maidin, 2008 : 127).
        Padahal, apabila berdasarkan ketentuan di dalam pasal 26 ayat (1) UU Pengadilan Anak, seharusnya dakwaan terhadap anak pelaku tindak pidana adalah maksimal setengah dari dakwaan orang dewasa, dan kalaupun anak melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut adalah paling lama 10 (sepuluh) tahun (Vide Pasal 26 ayat (2) UU 3/97 tentang Pengadilan Anak).
        Selain itu, konsep pemidanaan pada dasarnya lebih berorientasi kepada individu pelaku atau biasa disebut dengan pertanggungjawaban individual/personal (Individual responsibility) dimana pelaku dipandang sebagai individu yang mampu untuk bertanggung jawab penuh terhadap perbuatan yang dilakukannya, sehingga konsep pemidanaan lebih tepat untuk diterapkan kepada orang dewasa, karena anak adalah individu yang belum dapat menyadari secara penuh atas tindakan/perbuatan yang dilakukannya, hal ini disebabkan karena anak merupakan individu yang belum matang dalam emosional dan berpikir.
       Oleh karena itu, dengan mekanisme penerapan sistem peradilan anak yang dilakukan hingga saat ini, maka penulis menilai bahwa efektifitas dan tujuan dari pembentukan sistem peradilan anak itu sendiri tidak akan tercapai, dan bahkan dipertanyakan karena hanya akan memberikan dampak psikologis yang hebat bagi anak yang pada akhirnya, akan mempengaruhi perkembangan mental dan jiwa dari anak kedepannya.


Konsep Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Anak
       Masyarakat Internasional semakin menyadari dan menyepakati bahwa perlu ada perubahan paradigma dalam menangani permasalahan peradilan anak, karena sistem peradilan yang berlandaskan pada keadilan retributif dan restitutif hanya akan menimbulkan kesewenang-wenangan oleh para aparat penegak hukum, baik Polisi, Jaksa, ataupun Hakim. Sementara anak yang menjadi pelaku tindak pidana, sedikit sekali diberikan kesempatan untuk menyampaikan versi keadilan yang mereka inginkan, alhasil tingkat kriminalitas yang dilakukan oleh anak justru kian meningkat karena di penjara, mereka justru mendapat tambahan pengetahuan untuk melakukan kejahatan dan kemudian merekrut anak lain untuk mengikutinya.

Oleh karenanya, Konvensi Negara-negara di dunia telah mencerminkan paradigma baru untuk menghindari peradilan pidana anak. Salah satunya dengan menerapkan konsep Restorative Justice sebagai alternatif yang populer di berbagai belahan dunia untuk penanganan anak yang bermasalah dengan hukum karena menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif (Gordon, 2005 : 5). Restorative Justice itu sendiri bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum, dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat (George, 2002 : 1).

        M. Wright menjelaskan bahwa konsep Restorative Justice pada dasarnya sederhana, dimana ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis atau hukuman), namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggungjawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila diperlukan (Wright, 1992 : 525).
       Sejalan dengan hal tersebut, Jim Consedine, juga berpendapat bahwa konsep keadilan retributif dan restitutif harus digantikan oleh Restorative Justice. Dimana tujuan hakiki yang ingin diwujudkan adalah terciptanya moral justice dan social justice dalam penegakan hukum, selain mempertimbangkan legal justice. Serta terwujudnya keseimbangan di masyarakat pasca putusan hakim (Jim, 1995 : 11).

        Melalui Restorative Justice, kepentingan korban tetap akan diperhatikan melalui mekanisme kompensasi atau ganti rugi dengan tetap memperhatikan hak asasi anak yang yang menjadi pelaku tindak pidana (UNICEF, 2002 : 74). Dengan begitu, anak yang melakukan tindak pidana dapat dihindarkan dari proses hukum formal seperti yang dimuat di dalam Article 40 paragraph 3 subparagraph (a) of Convention on the Rights of the Child, yang mana menyatakan bahwa “The establishment of a minimum age below which children shall be presumed not to have the capacity to infringe the penal law”.
Asas Diversi dalam Sistem Peradilan Anak
         Sejalan dengan konsep restorative justice, penerapan asas diversi sebagaimana yang telah diatur didalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak perlu untuk diterapkan bagi penyelesaian kasus anak. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Jack E. Bynum yang menyatakan bahwa diversi merupakan tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan /menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana (Marliana, 2008 : 2).

Konsep dari diversi itu sendiri pada pokoknya merupakan pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat (Ruben, 2005 : 5-6), dimana tujuannya adalah untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak yang mana penyelesaikan perkara tersebut berada di luar proses peradilan.
        Menurut Levine konsep diversi dimulai dengan pendirian peradailan anak pada abad ke-19 yang bertujuan untuk mengeluarkan anak dari proses peradilan orang dewasa agar anak tidak lagi diperlakukan sama dengan orang dewasa, prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan, dimana dalam pelaksanaanya aparatur penegak hukum menunjukkan pentingnya ketaatan kepada hukum dan aturan dengan cara pendekatan persuasif dan menghindari penangkapan yang menggunakan tindakan kekerasan dan pemaksaan, dan dapat juga dengan cara mengalihkan suatu kasus dari proses formal ke proses informal, dimana pengalihan tersebut ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum (baik korban maupun pelaku) (Edward, 1987 : 252).

       Adanya asas diversi merupakan salah satu bentuk upaya untuk memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur diproses didalam sistem peradilan anak. Dengan dilaksanakannya diversi, maka setidaknya ada 3 (tiga) hal yang ingin dituju, yakni : (Peter, 2004 : 160)
Pertama, adanya pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orientation), yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Dalam hal ini, pelaku akan menerima  tanggung jawab atas perbuatannya dan diharapkan tidak akan mengulangi perbuatannya untuk kedua kalinya.
Kedua, pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya. Dalam hal ini, masyarakat dapat turut serta memberikan peran pengawasan sekaligus perbaikan kepada pelaku maupun kepada keluarga pelaku.
Ketiga, menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or restorative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat.

Dengan melalui penerapan diversi ini, maka diharapkan akan menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan dan turut serta mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, sekaligus menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak yang menjadi pelaku tindak pidana.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook