Sunday, August 23, 2015

KEMALUAN




KEMALUAN
 
Analisis M.Rakib  S.H.,M.Ag Pekanbaru Riau Indonesia
Gurindam Pasal ke - 10
supaya kemaluan jangan menerpa dengan ...
isteri dan gundik janganlah alpa, supaya kemaluan jangan menerpa.
         Dalam bahasa Melayu, kata “kemaluan”.bukan berarti alat kelamain laiki-laki atau perempuan. Yang mempopulerkan kata kemaluan sebagai “Alat Kelamin” hanya orang Betawi dan orang Jawa, sedangkan orang sumatra dan kalimantan, tidak demikian. Menyebut sitilah kemaluan, orang di luar sumatera akan menundukkan kepala karena malu. Terbayang di mata ketika pujangga besar itu menundukkan kepala, khusuk, dan tekun, menciptakan Gurindam Dua belas yang nantinya akan membuat nama Raja Ali Haji bergema hingga ke pelosok nusantara, sementara di depannya terbentang lembar demi lembar Gurindam Dua belas yang baru saja dibacakan oleh budak berumur sekolah hingga dewasa. Dia, dengan segala perenungan, segala upaya penggalian jiwa, menyuguhkan kepada generasi masa depan sebuah karya yang di dalamnya penuh dengan petuah dan tunjuk ajar, nasihat, dan segala macam pesan-pesan hidup. Lalu pada kesempatan yang berbeda, bentuk yang telah sempurna itu, kembali direngkuh oleh orang Melayu kini.
       Tak sudah-sudah saya dibuat bergetar olehnya. Selain karena tamadun Melayu, kini terlihat sibuk menyingkap tabir gelap yang menyelimuti badannya dengan segenap khasanah budaya sendiri, orang Melayu pantaslah menikmati kembali masa-masa seperti yang dinikmati oleh mereka, para Fir‘aun. Zaman keemasan, dimana setiap bentuk hasil karya budaya diagung-agungkan, diletakkan pada tempat yang berbeda dengan porsi politik, ekonomi, dan sosial, membawa pada alur yang begitu luas pada ceruk terdalam pemikiran umat manusia.
       Raja Ali Haji telah berhasil menunjukkan semua itu. Dia dengan bersungguh-sungguh, sambil tak henti-henti membentangkan segala macam petuah, kini beristirahat tenang di surga. Saya tahu itu. Dia telah selesaikan tugasnya, hanya tinggal kita, para generasi penerus yang mesti bertungkus kelumus untuk mencacakkan kembali buah budaya ke tengah leguh legah kehidupan dunia.
       Barangkali pantaslah bila nuansa besar yang ikut menjelma dalam setiap derap langkah lomba membaca Gurindam Dua belas itu, yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Natuna, merasuk hingga ke titik terdalam perenungan orang Melayu tentang keagungan. Dan memang, Melayu selalu menghadirkan bentuk kebudayaan sebagai sebuah entitas budaya, dalam bentuk yang jauh berbeda dengan yang lainnya. Bukan karena Melayu sangat akrab- kononnya berhulu pada Al Quran- akan tetapi terletak pada konsep yang terkandung di dalamnya. Kemelayuan dihadirkan dalam bentuk ritual-ritual budaya.
     ”Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat pada budi dan bahasa.” Ini kata Raja Ali Haji lebih dari seratus tahun yang lalu. Akan tetapi hingga saat ini, ia menyamai sebuah teori sosial kontemporer, baik tentang struktur masyarakat, mau pun menyangkut tentang ciri khas suatu bentuk kebudayaan yang digambarkan oleh para ahli-ahli antropologi budaya. Tidak cenderung mengajari dengan maksud berlawanan. Sebaliknya, melalui Gurindam Dua belas, orang Melayu mempunyai “alat”- kalau boleh saya katakan demikian- untuk menunjukkan jati dirinya.
Karya yang satu ini, dengan segala macam kelebihannya, telah membantu orang Melayu mewujudkan kembali cita-cita yang dulu sempat terkubur dalam; menjadi bagian dari tamadun dunia yang kini terus bergejolak.
        Jadi, sayang sekiranya bila dalam momentum lomba membaca Gurindam Dua belas yang baru saja dilangsungkan itu, hanya mencapai sasaran kulit luarnya saja. Bukan mengapa, kehadiran Gurindam Dua belas di tanah Melayu, tidak akan memberikan tapak sedikit pun bila setiap insan Melayu hanya menangkapnya sebatas ritual belaka. Sebaliknya, bila budak-budak Melayu yang tersebar itu, baik dari generasi dahulu, generasi sekarang, hingga generasi mendatang, benar-benar mampu menyerap dan mereduksi kembali setiap denyut kehidupan dari Gurindam Dua belas tanpa sedikit pun kesangsian, saya berani menjamin, kehidupan Melayu benar-benar telah mengarah pada pembenahan. Lubang-lubang kebocoran yang ada selama ini di sepanjang batang tubuh budaya Melayu, dapat segera ditutup. Begitu juga dengan pemikiran yang jauh dari bentuk-bentuk kemelayuan, mulai diarahkan sedemikian rupa.
       Benar, memang benar, melalui Gurindam Dua belas, puak Melayu kembali di ajak untuk duduk sejenak dari segala macam rutinitas pekerjaan keseharian yang terlalu padat. Renungkan, bukankah telah terlalu jauh kita melangkah dari alur Melayu? Alur itu sebenarnya akan menuntun kita sebagai orang Melayu pada tempat dimana di dalamnya menempatkan orang Melayu kekinian sebagai khalifah. Lantas mengapa masih saja orang Melayu merasa risih bila diajak untuk menempuh kebaikan?
         Saya masih ingat kata Raja Ali Haji dalam Gurindamnya yang terkenal itu. Begini katanya, “jika hendak mengenal orang yang mulia, lihatlah pada kelakuan dia.” Sang Raja menyinggung tentang kelakuan. Bukan yang lain disinggungnya, akan tetapi tentang kelakuan. Padahal kalau hendak jujur, teraju panjang baik itu adat resam orang Melayu dalam bergaul, petuah-petuah di dalam menempuh hidup, maupun sampai pada tata cara perkawinan, sudah dijabarkan oleh kebudayaan Melayu. Tinggal saja bagaimana orang Melayu menjabarkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Itulah sebabnya mengapa bunyi Gurindam Dua Belas itu masih tetap relefan hingga sekarang. Ada pesan untuk menuntun orang Melayu benar-benar teguh sebagai orang Melayu, bukan malah bertindak sebagai Melayu yang di dalamnya bukan Melayu.
        Begitulah, rangkaian pertandingan yang berlangsung dengan sangat sederhana itu, ternyata mendedahkan kepada banyak mata tentang terjadinya upaya mengkerdilkan makna dari Gurindam Dua Belas. Ini dapat dilihat dari timbulnya “inisiatif” para dewan juri untuk mengubah beberapa isi redaksi yang terkandung di dalam naskah asli. Padahal bila hendak mengangkat sebentuk karya budaya, seperti Gurindam Dua Belas misalnya, mestilah harus membebaskan ia dari segala macam bentuk pengekangan nilai, baik itu dari sudut pandang norma, mau pun agama. Di situ, Gurindam Dua Belas didedahkan bukan lagi utuh sebagai sebuah karya sastra murni yang di dalamnya banyak menyuguhkan nilai-nilai pencerahan dan petuah, melainkan berlubang di sana-sini.
       Saya khawatir, ketika perubahan isi redaksi itu terjadi tanpa diiringi dengan hujah yang ternukil di dalamnya, kemungkinan besar roh yang terkandung di dalam Gurindam Dua Belas, akan kabur maknanya. Tidak jelas. Padahal gejala yang ada di tengah puak Melayu dimana semakin tidak jelasnya bentuk jati diri orang Melayu dalam menyikapi pergulatan hidup, tampak begitu besar peranannya dalam menggundulkan nilai-nilai teradisional Melayu sebagai sebuah entitas.
        Di sini, Gurindam Dua Belas diposisikan bukan lagi untuk memperkenalkan khasanah budaya lama kepada generasi sekarang, melainkan telah berubah menjadi sebentuk pajangan belaka. Lihat saja dari penuturan yang terlanjur dibuat oleh hampir seluruh peserta, dinilai jauh dari kesungguhan untuk kembali menimang seperti apa yang ada di masa dulu. Hal ini kena mengena dengan bentuk bahasa yang dipakai pada masa itu, bukan sekarang. Dan saya kira, dalam hal ini Hasan Yunus memang benar, “apa bila bahasa Melayu, yang di Indonesia dengan melewati proses tertentu menjadi Bahasa Indonesia dan di Malaysia menjadi Bahasa Malaysia, hanya sebagai lingua fanca maka bahasa itu akan kehilangan nuansa-nuansa yang ragam dan tidak memiliki dimensi kedalaman.” Dia, Gurindam Dua Belas itu, tidak lagi mempunyai jiwa.  
      Maka, bahasa dalam kontek Gurindam Dua belas, adalah bahasa yang mempunyai periodesasi. Ini dilontarkan oleh salah seorang dewan juri. Ia memaparkan dengan panjang lebar tentang teori bahasa yang menurutnya menjadi dasar mengapa terjadi perubahan isi redaksi dari Gurindam Dua Belas. Selain karena akan menimbulkan salah tangkap bagi telinga orang awam, itu juga akan berakibat pada semakin terpuruknya bahasa itu sendiri, padahal sasaran yang hendak dicapai tidaklah demikian. Sayangnya dewan juri tidak menyadari, dengan mengganti kata “kemaluan” (pasal 10) menjadi “malunya”, justru semakin menjebak Gurindam Dua Belas dalam kubangan penjara yang berwajah idiot. Ini bukan bersifat organis, melainkan lebih pada strukturalis.
       Keadaan organis menghendaki Gurindam Dua belas hadir dalam bentuknya yang utuh, jauh dari pengekangan dalam bentuk ruang dan waktu. Ia berhaluan lebih luas bila dibandingkan dengan keadaan strukturalis.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook