Saturday, August 8, 2015

KETERAMPILAN BERTERNAK SIDAT SEMUA MURID, HARUSLAH DAPAT




ADAKAH DOSA-DOSA PENDIDIKAN INDONESIA?

KETERAMPILAN BERTERNAK SIDAT
SEMUA MURID, HARUSLAH DAPAT

Oleh  M.Rakib  Muballigh IKMI  Riau Indonesia 2015

Rusa memakan, daun akasia,
Landak mendakat, membawa duri
Dosa pendidikan di Indonesia,
Tidak membuat murid mandiri.

KETERAMPILAN BERTERNAK SIDAT
SEMUA MURID, HARUSLAH DAPAT
BELAJARLAH DI MANAPUN TEMPAT
JADI PENGUSAHA, MENDAPAT BERKAT

JANGAN MENJADI GUBERNUR PENYUAP
ATAU HAKIM,  BERMATA GELAP
SEJAK SD, KETERAMPILANNYA MANTAP
JADI PNS, TAK PERNAH BERHARAP

        Keterampinlan berdagang seperti Abdurrahman bin Auf dan keterampilan beternak SIDAT seperti yang dimilki oleh  Danil di BANYUWANGI sangat penting dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan di SD,SMP dan SMA. Menurut berita KOMPAS.com - Perkembangan sidat, ikan air tawar yang menyerupai ular di wilayah Banyuwangi terus menggeliat. Menurut Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Pudjo Hartanto ada sekitar 10 kelompok tani yang sudah melakukan pembesaran sidat di Banyuwangi.

"Produksinya per tahun sekitar 10 ton per bulan dengan kualitas ekspor. Sidat banyak digunakan sebagai bahan makanan di restoran-restoran Jepang dengan harga yang cukup mahal," kata Pudjo, Senin (20/1/2013).

Pudjo menjelaskan, masih belum ada teknologi yang bisa menghasilkan bibit Sidat karena ikan yang berbentuk seperti ular tersebut mempunyai siklus hidup yang unik. "Untuk bibit masih tergantung pada tangkapan alam, karena Sidat betelur di wilayah laut dan besar di air tawar," jelasnya.

Sementara itu, Daniel Amrullah (50) salah satu pembudidaya Sidat di wilayah Desa Parijatah Kulon, Kecamatan Srono, kepada Kompas.com menjelaskan, selama ini ia mendapatkan bibit Sidat masih dari luar Banyuwangi.

"Biasanya saya pesan bibit dari Mentawai, Cilacap, Pelabuhan Ratu, dan Lampung. Jangankan di Banyuwangi, di Jepang sendiri masih belum ada ilmu tekhnologi untuk pembibitan Sidat. Di sini saya hanya melakukan pembesaran," jelasnya.

Menurut Daniel, dia menggunakan bibit dengan ukuran 'finger" dengan isi per kilo sekitar 5.000 sampai 7.000 ekor, "1 kilogram ukuran finger dalam waktu 8 bulan akan menghasilkan kurang lebih 1,25 ton sidat dengan harga jual sekitar Rp 150.000 per kilogram. Kenapa 8 bulan? karena di usia tersebut ukuran sidat antara 3 ons sampai 6 ons dan siap dikonsumsi," ungkapnya.

"Tapi Sidat juga mempunyai golden size antara 2,5 ons hingga 3,5 ons, ukuran itu yang sering di cari restoran-restoran Jepang sebagai bahan Unagi. Tapi kalau dibiarkan Sidat bisa besar sampai ukuran 3 meter bentuknya seperti ular," sambungnya.

Sidat yang dibudidayakan oleh Daniel banyak di jual ke Bandung, Jakarta, Surabaya dan Bali. "Ada juga yang di ekspor, tapi untuk memenuhi permintaan dalam negeri saja sudah kewalahan. Jadi berapa pun banyaknya Sidat selalu laku jadi enggak pernah khawatir susah penjualannya. Banyak pembeli yang langsung datang ke sini," kata dia.

Sedangkan untuk tempat pembesaran, Daniel memanfaatkan sungai yang di alirkan ke kolam-kolam kecil di belakang rumahnya. "Air untuk Sidat harus mengalir, agar sidatnya bergerak dan banyak makan, karena kalo airnya diam maka Sidat akan malas makan, dan sisa pakan yang tidak termakan akan menghasilkan racun untuk sidat," kata Daniel lagi.

Daniel mengaku untuk bahan pakan dia melakukan riset sendiri dengan mencampur tepung ikan, dedak halus, tepung jagung, tapioka, dan rumput laut hingga berbentuk seperti pasta. "Normalnya makanan yang diberikan lima persen dari berat Sidat, tapi sengaja saya tambah menjadi 7,5 persen agar cepat panen tapi tentu dengan memperkuat aliran sungai, karena sidat akan bergerak lebih cepat," tandas Daniel.

Daniel memprediksi budidaya Sidat di Banyuwangi akan terus berkembang pesat karena Sidat menjadi salah satu hidangan utama yang terpopuler di Jepang. "Selain Unagi ada juga Unadon, sidat bakar yang disajikan di atas nasi. Sedangkan Sidat sendiri di Jepang sudah menjadi ikan langka dan hanya 30 persen sidat dari Jepang sendiri yang digunakan sisanya yang ekspor salah satunya dari wilayah Banyuwangi," cetus Daniel.


Penulis
: Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati
Editor
: Erlangga Djumena

Apa yang ditawarkan oleh Sa’ad kepada Abdurrahman?

“Saudaraku, pilih separuh hartaku, dan ambillah”. Tak hanya harta yang ingin diberikan oleh Sa’ad, tetapi juga salah satu dari dua isterinya yang mana yang paling menarik perhatian Abdurrahman. Maka Sa’ad bersedia menceraikan isteri tersebut, agar bisa dinikahi oleh Abdurrahman. Penawaran yang sangat menggiurkan bukan? Bagaimana jika sobat ditawari separuh harta dari seorang yang kaya raya? Subhanallah.

Tapi Abdurrahman bin ‘Auf bergeming. Beliau berterima kasih terhadap kebaikan sahabat Sa’ad. Tetapi dengan halus, beliau menolak pemberian Sa’ad, baik harta maupun isteri. Sebagai gantinya, Abdurrahman hanya meminta dimana letak pasar agar ia bisa berdagang. Ia juga menolak ikan, tetapi menerima kail agar ia bisa memancing ikan itu sendiri. Hampir mayoritas penduduk Islam Madinah, dengan tulus dan ikhlas membantu sesuai kemampuan mereka apa yang bisa mereka berikan untuk saudara yang berasal dari Makkah tersebut.

Ini menjadi pelajaran untuk kita semua yang masih merasa Islam, bahwa saling menghormati dan menghargai antar umat beragama saja begitu penting, maka seharusnya saling menyayangi antar saudara juga penting. Sehingga timbul jiwa sosial yang tinggi, untuk saling tolong menolong dan membentuk kesatuan ukhuwah Islamiyah yang kokoh. Aamiin.

      Secara pribadi, kita juga bisa belajar dari Sa’ad bin Rabi yang dengan keihklasannya ingin membantu Abdurrahman. Pun sebaliknya dengan Abdurrahman yang mencontohkan seorang jiwa pantang menyerah, berusaha dengan giat, dan tak hanya menerima suapan, melainkan menerima “pancing” agar bisa mencari ikan sendiri. Semoga saja, kita sebagai generasi muda Muslim di Indonesia juga mampu meneladi dua tokoh Islam ini. Dari sisi gemar menolong dan semangat ukhuwah, dan juga dari semangat hidup serta berwirausaha ataupun mencari nafkah sendiri ketimbang menuntut sana sini dan mengharap belas kasihan orang lain. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamiin.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook