Wednesday, August 26, 2015

Memukul anak itu adalah perintah Allah.




HUKUM ISLAM SOHIH
LIKULLI ZAMAN WA MAKAN


M.RAKIB  SH., M.Ag

Memukul anak itu adalah perintah Allah.
Sekalipun, dituduh bertentangan dengan hak asasi Barat,
Tapi tidak bertentangan dengan hak asasi Allah.
Anak dipukul, supaya mereka tahu siapa dirinya
Tidak salat, apa akibatnya.
Beruntunglah, ketika mereka tahu siapa Tuhannya
ketika mereka tunduk menjatuhkan kening mereka
serata lantai dengan telapak kakinya
sujud tubuhnya
sujud hatinya
sujud jiwanya
sujud ke-aku-annya
mereka tahu kerendahannya
mereka tahu kekecilannya
mereka tahu kekerdilannya
mereka tahu kehinaanya
mereka tahu ketiadaan dirinnya

mereka menyebut-nyebut nama Tuhannya
Tuhannya berkata..
Aku yang punya nama
Aku datang

Ketika Tuhannya hadir
Dengan kebesaranNya

betapa takutnya mereka
Ancaman Tuhannya
Siksa Tuhannya
Azab Tuhannya
Neraka Tuhannya

betapa gembiranya mereka
ni’mat Tuhannya
karunia Tuhannya
rahmat Tuhannya
Syurga Tuhannya

betapa cintanya mereka
ketika mereka tahu
Tuhannya mengasihi mereka
Tuhannya menyayangi mereka
Tuhannya mencintai mereka


   



       Dari Fakultas Syariah IAIN      Hukum Islam adalah hukum yang dinamis, keberadaanya relevan (Skripsi: Miswan), setiap saat (Sohih likulli zaman wa makan), baik dalam ranah konsep maupun penggunaan. Namun karena Islam datangnya dari negeri Arab, banyak para praktisi hukum kita yang menggunakan dan mengambil hukum secara utuh seperti yang dilakukan oleh orang arab (Arab Centris). Padahal secara budaya antara Indonesia dan arab jauh sangat berbeda. Termasuk pola pegambilan hukum yang dilakukan oleh para hakim agama di Indonesia. Secara praktek karena begitu banyaknya kasus yang masuk di pengadilan agama tingkat I, banyak para hakim take for granted dari pasal per pasal yang disediakan oleh pemerintah, dalam hal ini kalau pernikahan adalah undang-undang no 1 tahun 1974 atau secara material menggunkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara umum. Padahal kasus hukum selalu berkembang, dan dilihat dari faktor sosial dan psikologis orang yang berperkara sangatlah berbeda dari sebelum-sebelumnya. Para hakim masih beraliran positivisme yang mengacu pada dogma hukum.
          Positivisme hukum sudah menjadi panutan di berbagai produk hukum Indonesia, termasuk Peradilan Agama yang melalui Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 menggunakan KHI sebagai produk hukum yang mapan dan menjadi pegangan bagi hakim-hakim agama di seluruh Indonesia. Padahal permasalahan perdata yang dialami masing-masing dearah ini berbeda-berbeda secara budaya dan adat. Sebenarnya, kalau ada keinginan menyatukan fikih dalam sebuah KHI sangat tidak mungkin terjadi. Sebab umat Islam sangat plural mazhab fikihnya. Oleh karena itu sudah saatnya para hakim juga kembali berijtihad untuk memutuskan segala persoalan yang ditanganinya sesuai dengan konteks masyarakat, tidak hanya mengacu pada teks-teks dan realitas terdahulu. Oleh karena itu, untuk keluar dari dogmaisme tersebut, tokoh-tokoh ushul fiqh kontemporer menawarkan konsep atau metodologi penafisran hukum sebagai alternatif pengembangan dunia hukum Islam, tertutama negara-negara yang masih berqiblat pada formalisme hukum termasuk Indonesia yang merambah pada Pengadilan Agama.
         Gagasan teori Ushul Fiqh Kontemporer itu lebih menekankan metodologi menafsirkan atau menemukan hukum yang tidak hanya mengacu pada teks, tapi harus berpacu pada realitas sosial bukan pada undang-undang atau kepastian hukum semata, kali ini penulis menggunkan contoh tiga tokoh yang penulis anggap sebagai pemikir Islam kontemporer yang sejalan dengan hukum kemasyarakatan sekarang yaitu : Fazlur Rahman, dengan menggunakan konsep double movmentnya, Rahman mencoba menafsirkan ayat atau undang-undang dengan menghubungkan unsur yang dialektis antara dua unsur yang terdapat dalam Al-Qur'an yaitu wahyu ketuhanan yang suci di satu sisi dan sebagai sejarah kemanusian yang profan disisi yang lain. Muhammad Syahrur dengan teori batasnya, yang menghubungkan antara garis lurus teks dengan menguhungungkan dengan realitas masyrakat sekarang.
          Nasr Hamid Abu Zaid dengan teori ta'wilnya. Yaitu dihubungkan dengan panafsiran yang tidak hanya mengungkap makna teks secara linguistik gramatikal saja tetapi lebih jauh lagi menyentuh pada spirit teks yang nantinya akan terartikulasikan dalam makna signifikansi. Oleh karena itu dari penjelasan di atas, penulis ingin melakukan penelitian untuk melahirkan gagasan ijtihad hakim agama di Indonesia yang lebih humanis ditarik dari relevansinya teori Ushul Fiqh Kontemporer dengan pendekatan ketiga tokoh tersebut.
Deskripsi Alternatif :


          Hukum Islam adalah hukum yang dinamis, keberadaanya relevan setiap saat (Sohih likulli zaman wa makan), baik dalam ranah konsep maupun penggunaan. Namun karena Islam datangnya dari negeri Arab, banyak para praktisi hukum kita yang menggunakan dan mengambil hukum secara utuh seperti yang dilakukan oleh orang arab (Arab Centris). Padahal secara budaya antara Indonesia dan arab jauh sangat berbeda. Termasuk pola pegambilan hukum yang dilakukan oleh para hakim agama di Indonesia. Secara praktek karena begitu banyaknya kasus yang masuk di pengadilan agama tingkat I, banyak para hakim take for granted dari pasal per pasal yang disediakan oleh pemerintah, dalam hal ini kalau pernikahan adalah undang-undang no 1 tahun 1974 atau secara material menggunkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara umum.
        Padahal kasus hukum selalu berkembang, dan dilihat dari faktor sosial dan psikologis orang yang berperkara sangatlah berbeda dari sebelum-sebelumnya. Para hakim masih beraliran positivisme yang mengacu pada dogma hukum. Positivisme hukum sudah menjadi panutan di berbagai produk hukum Indonesia, termasuk Peradilan Agama yang melalui Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 menggunakan KHI sebagai produk hukum yang mapan dan menjadi pegangan bagi hakim-hakim agama di seluruh Indonesia. Padahal permasalahan perdata yang dialami masing-masing dearah ini berbeda-berbeda secara budaya dan adat. Sebenarnya, kalau ada keinginan menyatukan fikih dalam sebuah KHI sangat tidak mungkin terjadi. Sebab umat Islam sangat plural mazhab fikihnya.
      Oleh karena itu sudah saatnya para hakim juga kembali berijtihad untuk memutuskan segala persoalan yang ditanganinya sesuai dengan konteks masyarakat, tidak hanya mengacu pada teks-teks dan realitas terdahulu. Oleh karena itu, untuk keluar dari dogmaisme tersebut, tokoh-tokoh ushul fiqh kontemporer menawarkan konsep atau metodologi penafisran hukum sebagai alternatif pengembangan dunia hukum Islam, tertutama negara-negara yang masih berqiblat pada formalisme hukum termasuk Indonesia yang merambah pada Pengadilan Agama. Gagasan teori Ushul Fiqh Kontemporer itu lebih menekankan metodologi menafsirkan atau menemukan hukum yang tidak hanya mengacu pada teks, tapi harus berpacu pada realitas sosial bukan pada undang-undang atau kepastian hukum semata, kali ini penulis menggunkan contoh tiga tokoh yang penulis anggap sebagai pemikir Islam kontemporer yang sejalan dengan hukum kemasyarakatan sekarang yaitu : Fazlur Rahman, dengan menggunakan konsep double movmentnya,.
         Rahman mencoba menafsirkan ayat atau undang-undang dengan menghubungkan unsur yang dialektis antara dua unsur yang terdapat dalam Al-Qur'an yaitu wahyu ketuhanan yang suci di satu sisi dan sebagai sejarah kemanusian yang profan disisi yang lain. Muhammad Syahrur dengan teori batasnya, yang menghubungkan antara garis lurus teks dengan menguhungungkan dengan realitas masyrakat sekarang. Nasr Hamid Abu Zaid dengan teori ta'wilnya. Yaitu dihubungkan dengan panafsiran yang tidak hanya mengungkap makna teks secara linguistik gramatikal saja tetapi lebih jauh lagi menyentuh pada spirit teks yang nantinya akan terartikulasikan dalam makna signifikansi. Oleh karena itu dari penjelasan di atas, penulis ingin melakukan penelitian untuk melahirkan gagasan ijtihad hakim agama di Indonesia yang lebih humanis ditarik dari relevansinya teori Ushul Fiqh Kontemporer dengan pendekatan ketiga tokoh tersebut.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook