Wednesday, August 19, 2015

MUSNAHNYA GHIROH AL-TASYRI’IYYAH




MUSNAHNYA  GHIROH AL-TASYRI’IYYAH

M.RAKIB  SH.,PEKANBARU RIAU INDONESIA 2015

     Citarasa lezatnya ibadah hampir luntur di perguruan tinggi Islam, ghiroh keilaman masih dipertanyakan di kalangan intelektual liberal.
       Ghiroh keislaman ingin dimatikan oleh Liberal, karena ada survey yang dilakukan oleh beberapa penyelenggara kepada berbagai kalangan di Indonesia baik itu kalangan mahasiswa, rumah tangga, professional, pejabat ataupun anggota legislative, menunjukkan bahwa mayoritas umat Islam Indonesia mendukung dan ingin penerapan syariat Islam {1} , meski masih banyak juga yang tidak setuju. Ketidaksetujuan tersebut lebih banyak disebabkan oleh mispresepsi terhadap syariat Islam dan kekuatiran akan bahaya yang mungkin terjadi bila syariat Islam diterapkan di Indonesia yang majemuk plus dan minimnya sosialisasi penggambaran indahnya hidup dibawah syariat Islam.
       Islam adalah agama tauhid dan ajaran kepatuhan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya SAW, yang mengajarkan kebenaran dan kebaikan kepada umat manusia. Islam secara khusus bermakna keberserahan diri kepada Allah SWT, namun hakikat maknanya yang lebih luas telah juga mencakup segala bentuk nilai kebaikan dan kesempurnaan. Dan semenjak Islam telah mewakili segala bentuk nilai kebaikan, maka ia tentu juga telah mencakup nilai kebebasan, yaitu kebebasan dalam makna yang lebih sesuai dan benar menurut ukurannya, bukan kebebasan dalam makna yang tanpa batas, karena kebebasan yang tanpa batas tentu hanyalah patut dimiliki oleh makhluq yang tidak dibebani dengan anugerah akal.
       Kebebasan yang patut menurut Islam adalah kemerdekaan dalam memilih sesuatu selama pilihan tersebut masih berada dalam lingkup kebenaran, yaitu kebenaran yang dikehendaki oleh Allah SWT sebagaimana dalam tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah. Umat Islam bebas memilih peran apapun atau posisi manapun dalam kehidupannya, selama bukan peran atau posisi yang dilarang oleh Islam itu sendiri, karena memang keragaman peran atau posisi dalam tubuh umat Islam itu akan justru menjadikan mereka saling melengkapi dan saling menguatkan. Jadi, pada dasarnya, umat Islam itu sendiri telah memiliki hak dasar berupa kebebasan dalam memilih jalan hidupnya masing-masing, yaitu jalan hidup di bawah naungan Islam. Mereka selalu bebas untuk memilih beragam peran yang tersedia dalam lingkup kebenaran Islam.
Sehingga dengan demikian, justru ketika Islam diimbuhi dengan istilah liberal, yang mana artinya ‘bebas’, maka justru saat itulah makna kebebasan dalam Islam terkesan masih memiliki cacat, seakan-akan, selama ini Islam belum cukup mampu untuk membebaskan umatnya dari keterbelengguan, dan seakan-akan imbuhan tersebut adalah ungkapan protes atas ketidaksempurnaan Islam, padahal Islam sendiri telah dinyatakan kesempurnaannya oleh Allah SWT. Oleh karena itu, ketika Islam justru diimbuhi dengan istilah liberal semacam itu, maka pada dasarnya itu bukanlah Islam dalam arti yang benar dan sempurna.
Dan dalam hal ini, Jaringan ‘Islam’ Liberal adalah kelompok yang memaksakan istilah liberal tersebut kepada Islam. Kelompok ini terdiri dari orang-orang yang merindukan ‘kebebasan’ di dalam lingkup agama Islam. Ia adalah sebuah komunitas pecinta kebebasan yang mengedepankan pendayagunaan akal dalam upaya memaknai nilai-nilai ajaran agama Islam. Mereka berkeyakinan bahwa ajaran apapun dalam agama Islam yang sampai tidak sesuai dengan perhitungan akal manusia maka akan harus dikritisi atau bahkan harus diganti dengan pola yang baru dan berbeda jika perlu. kelompok inilah yang selalu mengutamakan kaidah akal, meskipun jika harus sampai mengesampingkan kaidah mendasar yang telah disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Dan konsekuensi dari pengutamaan akal di atas dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah semacam itu tentu sangatlah berbahaya bagi Islam itu sendiri, sebagaimana misalnya beberapa perkara berikut ini:
– Pluralisme agama

Semenjak akal menjadi alat utama untuk menimbang kebenaran, pada akhirnya keragaman kapasitas akal manusia pun akan menghasilkan kebenaran yang beragam pula, sehingga hakikat kebenaran pun menjadi sangat relatif atau tergantung kepada akal manusia yang mana yang menyimpulkan kebenaran tersebut. Dan dari sinilah muncul sebuah keyakinan liberal bahwa kebenaran agama pun pada dasarnya juga hanya bersifat relatif, yang artinya, bisa jadi semua agama itu benar dalam keadaannya masing-masing; Islam adalah benar dalam keadaannya, Kristen adalah benar dalam keadaannya, Yahudi adalah benar dalam keadaannya, demikian juga Hindu, Buddha, dan seterusnya, hingga akhirnya, semua agama pun menjadi sama-sama benarnya. Dan sebagai akibatnya, umat Islam akan boleh-boleh saja beribadah dan berdoa bersama dengan umat Kristen, atau sebaliknya, dan seterusnya; karena menurut prinsip pluralisme agama tersebut, semua agama adalah baik dan benar, dan tiada agama yang benar secara mutlak.

– Penyamaan hak antara laki-laki dan perempuan
Menurut perhitungan akal secara liberal, keadilan adalah ketika semua manusia dapat memperoleh persamaan hak dalam hidup mereka, di mana tidak semestinya terjadi kesenjangan dan ketimpangan di antara mereka, termasuk antara laki-laki dan perempuan. Menurut keyakinan liberal, perempuan haruslah mendapatkan hak dan kebebasan yang sama layaknya laki-laki, dan tidak seharusnya memperoleh perlakuan yang dibeda-bedakan dari kaum laki-laki. Dan di antara konsekuensi fatal dari keyakinan semacam itu adalah, bahwa dalam aturan pembagian warisan, misalnya, jatah warisan bagi perempuan haruslah disamakan dengan jatah warisan bagi laki-laki; atau juga misalnya dalam perkara shalat, bahwa perempuan juga mesti diperbolehkan untuk menjadi imam shalat bagi laki-laki; dan begitulah seterusnya dalam perkara-perkara yang lain, yang mana pada intinya adalah bahwa perempuan haruslah disamakan dengan laki-laki dalam hal apapun, di mana tiada lagi pemaksaan batasan bagi mereka.
– Pemisahan Islam dari unsur-unsur Arab

Dan konsekuensi lainnya dari pengutamaan akal di atas dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah adalah pemisahan Islam dari unsur-unsur Arab secara mutlak atau tanpa batasan dan ketentuan. Dalam hal ini, faham liberal meyakini bahwa Islam itu bersifat universal atau menyeluruh bagi umat manusia, sehingga Islam haruslah dilepaskan dari unsur-unsur Arab yang mana hanya akan memberikan kesan bahwa Islam itu adalah miliknya bangsa Arab saja, terutama unsur-unsur Arab yang tampak mengganggu bagi tradisi lokal tertentu. Dan sebagai dampak dari keyakinan tersebut, kaum liberal pun sampai tidak mempermasalahkan ketika ada yang pernah melaksanakan shalat dengan bacaan yang tidak menggunakan bahasa Arab; seperti ketika mereka juga tidak mempermasalahkan ketika ada Muslimah yang berakal dan baligh yang tidak memakai jilbab di tempat umum, karena jilbab menurut mereka adalah produk lokal Arab semata; atau juga ketika mereka menyamakan kedudukan jilbab tersebut dengan kedudukan jubah bagi laki-laki Arab; dan seterusnya.
Dan selain beberapa perkara tersebut, di sana tentu masih terdapat beragam konsekuensi lainnya, seperti sekulerisme, inklusifisme, dan lain-lain yang semacamnya, yang mana itu semua sangat menyesatkan dan berdampak kerusakan yang sangat berat bagi aqidah umat Islam dan bagi syari’at Allah SWT. Semua perkara yang lahir dari pemikiran liberal semacam itu memang tampak menjanjikan hal yang baru dan lebih membebaskan bagi umat Islam, namun sebenarnya justru menunjukkan bahwa seolah-olah agama Islam itu ternyata belum disempurnakan oleh Allah SWT, sehingga upaya penyempurnaan dari manusia itu sendiri juga menjadi sangat diperlukan.
Ketika kita memperhatikan beberapa konsekuensi tersebut di atas, kita mendapati masalah yang tentunya bukan sekedar tentang perbedaan pendapat dalam hal yang dapat dimaklumi oleh Islam, melainkan justru tentang perubahan dalam perkara mendasar yang merupakan pondasi ajaran Islam itu sendiri. Dan tentunya, ketika sebuah pondasi bangunan itu harus dibongkar untuk digantikan dengan pondasi yang baru, maka tentu itu akan sama saja dengan mendirikan bangunan baru dari awal lagi. Dan jika bangunan baru tersebut akan sama persis dengan bangunan yang telah dibongkar sebelumnya, maka tentu itu hanya akan menjadi bentuk pembongkaran dan pembangunan ulang yang sia-sia, karena sebelum dibongkar ataupun setelah dibongkar, ternyata wujudnya juga sama saja. Namun jika bangunan baru tersebut harus berubah secara mendasar dan justru berbeda dengan bangunan yang telah dibongkar sebelumnya, maka itu berarti bahwa bangunan baru tersebut adalah sesuatu yang tersendiri, sedangkan bangunan yang telah dibongkar sebelumnya juga adalah sesuatu yang tersendiri lainnya. Artinya, Islam tetaplah Islam dengan kesempurnaannya, sedangkan menciptakan “Islam yang baru” akan berarti menciptakan sesuatu yang lain yang bukan Islam.
Dan itulah sebenarnya bentuk upaya pembongkaran yang dilakukan oleh kelompok liberal terhadap Islam, meskipun Islam itu sendiri juga telah sempurna pada hakikatnya. Dan dalam hal kesempurnaan Islam sebagai agama tauhid dan syari’at penutup di akhir zaman, dan bahwa ia adalah satu-satunya agama yang dibenarkan dan diridhai oleh Allah SWT, kita bisa memperhatikan kembali beberapa dalil dari ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana yang artinya berikut ini:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagi kalian.” (Al-Maaidah: 3)
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah agama Islam.” (Aali ‘Imraan: 19)
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Aali ‘Imraan: 85)
Setidaknya, dari ayat-ayat tersebut telah cukup jelas bahwa agama Islam itu telah disempurnakan, sehingga tidak akan memerlukan penyempurnaan lagi. Ketika keadaan zaman tampak semakin berubah dan beragam permasalahan baru pun juga semakin bertambah dan tidak bisa dihindari, maka itu bukan berarti bahwa Islam juga harus dirubah dan diperbaharui agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman tersebut, karena pada hakikatnya, Islam itu sendiri juga sudah merupakan wujud kemodernan mutlak, yaitu panduan kebenaran yang tidak terikat oleh zaman. Islam akan selalu modern di segala waktu, baik di masa lalu, masa kini ataupun di masa depan nantinya. Yang akan selalu berubah hanyalah keadaan zaman, sedangkan yang dapat berubah dari Islam bukanlah hakikat Islam itu sendiri, melainkan kesimpulan-kesimpulan teknis yang bukan perkara pokok agama, untuk sekedar menyesuaikan dengan perubahan teknis pada setiap zamannya, yang itu pun juga tidak sampai keluar dari lingkup aturan dasar yang sudah ditetapkan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Dan contoh perubahan teknis yang dimaksud tersebut bahkan dapat kita temui di zaman generasi pertama umat Islam sepeninggal Rasulullah SAW, di mana ketika itu tulisan ayat-ayat al-Qur’an baru mulai dikumpulkan dan disatukan; padahal sebelumnya, ketika Rasulullah SAW masih hidup di tengah-tengah mereka, tulisan ayat-ayat al-Qur’an masih terpisah-pisah dan tersebar dalam beragam media yang berbeda, dan hanya terjaga urutannya melalui hafalan para sahabat saja. Dan itulah mungkin contoh perubahan teknis dalam Islam yang telah diperbolehkan di zaman generasi pertama umat Islam.
Adapun untuk zaman sekarang ini, maka contoh perubahan teknis semacam itu adalah ketika ayat-ayat al-Qur’an tersebut telah disimpan dalam bentuk data digital, baik berupa tulisan maupun berupa suara, sehingga umat Islam pun dapat lebih mudah dalam membaca dan mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an. Maka dalam hal ini, kita tentu tidak lantas menyimpulkan bahwa al-Qur’an ternyata telah berubah secara hakikatnya, melainkan yang berubah hanyalah teknis penyimpanan data ayat-ayatnya saja, dan bukan unsur-unsur mendasar dari al-Qur’an itu sendiri. Dan demikianlah mungkin contoh bentuk perubahan yang diperbolehkan dalam Islam. Karena bagaimanapun juga, Islam adalah agama yang telah sempurna dan tidak perlu dirubah-rubah lagi. Ia adalah agama yang ‘selalu baru’ sampai berakhirnya dunia kelak.
Dan dari sudut pandang ini, maka ‘pembaharuan’ atau perubahan yang diupayakan oleh kaum liberal terhadap aturan Islam tersebut pastinya tidak mungkin bisa dibenarkan, baik oleh kaidah akal maupun terlebih lagi oleh kaidah al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam hal kebenaran agama-agama, khususnya, kelompok liberal telah jelas menyalahi kaidah akal yang semestinya tidak boleh dilanggar, karena mereka telah memungkiri adanya satu agama yang paling benar secara mutlak di antara agama-agama yang begitu jelas perbedaannya tersebut. Sedangkan menurut kaidah yang dapat diterima oleh akal kita, hakikat kebenaran itu sebenarnya dapat terbagi menjadi dua, yaitu kebenaran relatif dan kebenaran mutlak. Kebenaran relatif adalah bentuk kebenaran yang bercabang, yang mana setiap cabangnya dapat menjadi pilihan yang tepat dan benar; misalnya, ketika kita ingin menghasilkan bilangan “satu”, maka itu bisa dilakukan dengan berbagai cara menghitung yang berbeda, baik dengan cara dua dikurangi satu, atau satu dikali satu, ataupun tiga dibagi tiga, dan seterusnya, yang mana semua cara menghitung tersebut adalah sama-sama benarnya meskipun tampak berbeda di permukaan, karena memang hasil dari semua itu adalah sama, yaitu “satu”, yang mana merupakan bilangan yang kita tuju.
Adapun kebenaran mutlak, maka itu adalah bentuk kebenaran yang tunggal atau satu-satunya, yang tidak mungkin ada pilihan lain selain kebenaran yang satu tersebut; misalnya, ketika kita ingin membeli beras sebanyak tiga kilogram, maka menyebutkan bilangan “tiga” adalah pilihan yang mutlak, yang tidak bisa digantikan dengan bilangan-bilangan lainnya, karena tentu tidak mungkin penjual beras akan mempersiapkan “tiga” kilogram beras ketika yang kita sebutkan adalah “satu” kilogram beras, misalnya. Tentu saja tidak mungkin kita akan menyebutkan “satu” ketika yang kita maksud sebenarnya adalah “tiga”, begitu juga sebaliknya; karena tiga adalah tiga, dan satu adalah satu. Keduanya, tiga kilogram dan satu kilogram, tidak akan pernah bisa disamakan meskipun dihitung atau ditimbang dengan cara yang bagaimanapun, kecuali jika memang alat penimbangnya sedang tidak benar atau telah rusak. Dan di antara bentuk kerusakan pada akal kita adalah ketika kita sampai membenarkan bahwa “tiga dibagi satu” adalah sama dengan “satu”, atau bahwa “satu dibagi tiga” adalah juga sama dengan “satu”.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook