Sunday, September 27, 2015

PERSAINGAN SANGAT TIDAK SEHAT BY M.RAKIB JAMARI, S;H.,M.Ag Pekanbaru Indonesia








PERSAINGAN SANGAT TIDAK SEHAT






KATA PENGANTAR

                                                                        Bukit besar, tempat wisata,
  Ada tebingnya, yang dipahat.
                                                                        Penyakit sarjana, berjiwa preman,
                Dalam  bersaing , tidak pernah sehat.

Tuan putri, pergi ke pasar,
Membeli sepat, di pasar ikan.
Demi mengejar, untung  besar,
Agama dan adat, dicampakkan.,

Ada namanya,  sebatang  lidi,
Diraut orang, di hari kamis.
         Agama dan adat , dihapus Yahudi,
        Mendorong orang, menjadi atheis.


        Bersyukur penulis, kepada Tuhan YME, buku kecil ini, dapat hadir menemuim anda, dengan tujuan memberikan buah renungan, tentang kehidupan ini, khususnya tentang persaingan yang tidak sehat. Buku  ini, penulis selesaikan di saat akan mengkuti ujian di program doktor (S 3) di  akhir tahun 2012, pada UIN Suska Riau di Pekanbaru. Kemudian saat itu juga penulis sedang sibuk menatar guru-guru dan pengawas, di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Riau.(LPMP) .
        Tuhan memberikan kepada manusia dua tangan agar dapat melakukan aktifitas dan menjalani kehidupan ini secara mudah. Tangan kanan dan kiri itu, tidak bersaing.  Tangan dapat digunakan untuk mengambil sesuatu yang dibutuhkan oleh tubuh kita, semisal makanan, minuman, obat dan lainnya.  Tangan juga dapat kita manfaatkan untuk menulis membuat ketrampilan, merakit computer, televise, bahkan bom dan lainnya.  Tetapi tangan juga dapat digunakan untuk meninju orang lain, mencuri, dan menjamah sesuatu yang tidak  baik.  Sehingga tangan sesungguhnya  bisa digunakan untuk apa saja sesuai dengan kehendak yang  mempunyai tangan tersebut; bisa untuk kebaikan dan bisa saja untuk kejahatan.
        Namun bilamana dipandang dari sisi kebiasaan yang dilakukan oleh manusia pada umumnya, tangan tersebut merupakan contoh yang baik dalam hal pembagian tugas dalam bekerjasama.  Kerjasama dan saling membantu serta tidak saling iri, itulah falsafah yang bisa diambil dari tangan.  Artinya kedua tangan yang kita miliki tersebut bisa bekerjasama dengan baik dan saling menolong atau membantu serta mengetahui fungsi masing masing.  Misalnya  salah satu tangan  biasa  menjalankan tugas  sebagai pemberi selamat kepada pihak lain dengan melakukan salaman, sementara yang lainnya mendapatkan tugas bersih bersih setelah kita buang hajat.
         Bisa saja  tangan bersama sama bekerja  untuk melakukan sesuatu, misalnya merakit computer atau lainnya.  Ketika salah satu tangan mendapatkan masalah, semisal  gatal gatal, maka tangan yang lain dengan tanpa pamrih mau menolongnya dengan menggaruk  bagian yang gatal tersebut atau memberikan obat untuk tangan yang gatal tersebut.  Demikian juga ketika satu tangan tidak dapat melakukan  aktifitas dan memerlukan bantuan tangan lainnya, maka  mereka akan dapat bergantian memberikan bantuan tersebut, semisal memotong kuku.  Sedangkan bilamana salah satu diantaranya mendapatkan penghargaan atau kerunia, maka yang lainnya ikhlas menerima dan bahkan ikut merasa bangga dan bukannya malah iri, seperti  salah satu tangan dipakaikan jam tangan atau cincin dan lainnya.
        Demikianlah kedua tangan tersebut dapat hidup  tanpa bersaing, rukun dan saling membantu serta saling mrmbutuhkan  dengan rasa ikhlas serta sama sekali jauh dari rasa iri dan dengki.  Alangkah indahnya hidup ini kalau semua orang dapat memahami dan meniru falsafah yang ada pada tangan tersebut.  Tentu dunia ini akan tenteram dan kehidupanpun akan semakin berbobot dan tidak ada  perasaan persaingan yang tidak sehat.  Namun dalam kenyataannya  kita menyaksikan perbuatan yang sangat bertentangan dengan  falsafah kedua tangan tersebut, s ehingga yang ada hanya saling  ingin menguasai serta  saling intip untuk  menjegal serta mengambil keuntungan pribadi.
Sementara itu kedua telinga seperti yang sudah saya  sampaikan kemarin, bahwa telinga memang berfungsi untuk mendenga. Ya mendengar apa saja termasuk keluhan, rintihan, gurauan, tangis, tawa, omelan, tausiah dan lainnya.  Sama dengan fungsi anggota tubuh lainnya, telingan juga bisa berfungsi  sebagaimana apa yang dikehendaki oleh yang mempunyainya;  Artinya telinga dapat saja digunakan untuk kebaikan, semisal mendengarkan nesehat, mendengar ayat ayat Tuhan, mendengan  cerita tentang kehidupan, dan dapat juga diperguanakan untuk mendengar sesuartu yang berkonotasi negative dan merusak.
        Nah, falsafah yang ada di telinga manakala kita hubungkan dengan kenyataan secara normasl, maka  telinga itu tidak bisa hidup rukun dan bekerjasama.  Kedua telinga tersebut harus selalu bersama sama dalam semua hal.  Tidak bisa telinga yang satu untuk mendengarkan auyat ayat Tuhan sementara yang lain  mendengarkan  ceramah lainnya.  Salah satu mendengar  X maka yang lainnya juga harus mendengar X pula.  Demikian juga ketika salah satu dari kedua telinga tersebut mendapatkan masalah, maka  yang lainnya tidak mau menolong dan membantunya.
Bahkan kalau salah satu mendapatkan penghargaan atau katrunia, maka yang lainnya juga  iri dan harus mendapatkan penghargaan yang sama, seperti misalnya salah satu mendapatkan  anting, maka yang satunya juga akan meminta diperlakukan sama.  Tentu seperti yang saya sebutkan di muka ini  berlaku dalam kondisi normal dan tidak masuk kondisi  prilaku nyleneh sebagimana yang kita saksikan saat ini.
Falsafah telinga tersebut seharusnya  kita jauhi dan jangan sampai kita praktekkan dalam kehidupan kita, tetapi yang terjadi malah  sebaliknya, yakni banyak umat manusia yang  justru saling iri dan dengki. Apabila ada saudaranya mendapatkan kemudahan dan karunia, maka  orang tersebut akan merasa tersiksa dan  berusaha untuk menghilangkan karunia yang diterima saudaranya tersebut.  Memang meskipun  perilaku seperti itu  terus menerus diingatkan oleh syariat dan  akhlak, tetapi  masih banyak manusia yang  malahan semakin menjadi jkadi dalam hal keiriannya.
Itulah kenyataan  yang  dapat kita saksikan dalam keseharian kita.  Masih banyak orang yang belum dapat menjadi manusia baik, sebagaimana digambarkan dalam faksafah dua tangan, tetapi justru masih banyak orang yang menuruti nafsunya sehingga  mirip dengan falsafah dua telinga.  Tentu kita  sangat berharap bahwa dengan merenungkan falsafah anggota tubuh yang dikaruniakan oleh Tuhan kepada kita tersebut, nantinya kita dapat menyadari secara penuh bahwa  kita masih jauh dari manusia ideal yang dapat memberikan manfaat bagi orang lain, sebagaimana yang  di maksudkan oleh nabi Muhammad SAW, yakni sebagai manusia terbaik.
Kita memang menyadari bahwa  di dalam diri kita tersimpan nafsu, baik nafsu yang ammarah maupun yang muthmainnah.  Kedua nafsu tersebut terus bertarung untuk memenangkan pengaruh dan  sudah barang tentu salah satunya akan menang dan menguasai yang lainnya.  Untuk itu kita  harus membantunya  dengan usaha keras dan penyadaran diri agar nafsu muthmainnahlah yang akhirnya akan menjadi pemenangnya.  Tetapi kalau kita  berdiam diri dan tidak berusaha membantu pertarungan tersebut, maka nafsu ammarahlah yang justru akan menguasai dan kalau sudah begitu maka  akan hancurlah reputasi kita. 
         Nafsu ammarah tersebut nantinya akan dapat mengendalikan kita dan menyeret kita kepada kondisi yang sangat menyedihkan dan bahkan menghancurkan kita menjadi berkeping keeping.  Coba bayangkan kalau nafsu ammarah tersebut yang memenangkan pertarungan, maka ia akan dapat  menuntun kita kepada perbuatan maksiat dan merugikan  banyak pihak. Hal hal yang selama ini kita jauhi dan memang dilarang oleh Tuhan, malahan bisa menjadi makanan pokok keseharian kita.  Sementara hal hal yang justru disukai dan diperintahkan Tuhan malahan kita jauhi dan tinggalkan.
       Falsafah anggota tubuh seperti  dua tangan dan dua telinga yang telah memberikan pelajaran berharga bagi kita, tentu sangat perlu dipahami dan direnungkan sekaligus diupayakan untuk dijadikan sikap hidup kita.  Memang banyak teori tentang bagaimana cara hidup dengan baik, tertib dan teratur yang dihasilkan oleh para pakar dan ahli, namun  falsafah seperti yang termuat dalam anggota tubuh tersebut juga masih relevan dan dibutuhkan  bagi kehidupan kita, dimanapun kita berada.


PENDAHULUAN
          “Hidup adalah persaingan. Berkawan itu persaingan. Bercinta juga persaingan.” Demikian, bunyi pesan singkat yang dikirim seorang sahabat baik kepada saya, shubuh tadi.  Saya sama sekali tidak tahu apa maksudnya. Saya juga tidak tahu dimana persisnya dia berada. Tetapi boleh jadi ia sedang merasakan kedalaman persaingan yang begitu hebat dalam perjalanan hidupnya. Sepanjang yang saya tahu, ia sangat gemar “berjalan”.
        Seolah-olah berjalan adalah satu-satunya penghiburan yang dapat menghadirkan daya sembuh, bagi luka hidupnya yang mendalam. Juga, seolah-olah, berjalan baginya laksana “segelas air murni”,  pelepas dahaganya akan kedalaman Ilmu Allah. Tetapi, apapun misi perjalanannya, saya sungguh sangat menghargainya. Sebab, disadari atau tidak, perjalanan siapa pun, pasti ditujukan untuk meningkatkan kwalitas dirinya. Setiap perjalanan, membantu yang berjalan, untuk bertumbuh dan berkembang.

Masih soal persaingan. Bagi saya, hidup bukan persaingan, berkawan bukan persaingan dan apalagi bercinta, juga bukan persaingan. Memang, sejak kecil hingga hari ini, pada telinga saya (dan pasti juga Anda), telah sering “disuntik”, didengung-dengungkan kata “persaingan” itu, namun belakangan baru saya merasa bahwa batasan itu salah (menurut saya).
         Persaingan diklaim sebagai kata  motivative yang punya kekuatan magis. Dianggap mampu membakar semangat semua orang. Wajar akhirnya, jika  “kekalahan” yang didapat, maka terjadilah keputusasaan, hilangnya harapan dan kelelahan yang massive (secara besar-besaran), baik fisik maupun psikis. Demikianlah bila terlalu yakin bahwa hidup hanyalah persaingan dan kita harus bisa bersaing, harus mampu bersaing dan harus berusaha menjadi pemenang dalam setiap persaingan.
Bagi saya, hidup bukanlah persaingan. Hidup adalah kedamaian. Kedamaian jiwa itulah hidup. Siapa yang tidak damai, dia tidak hidup.
Ketika saya sedang hendak  berlatih Yoga, hadir lagi pesan karib saya.
“Sedang apa?”, tanyanya. “Saya hendak memulai latihan”, jawab saya….. Sesaat kemudian pesannya seolah mengolok-olok saya (sebab saya memang tak pernah bertanding), “Latihan terus, kapan tandingnya?”
Mendadak saya merasakan sesuatu. Saya, secara spontan telah menemukan jawaban atas teka-teki soal persaingan, yang kami perbincangkan shubuh tadi.

         Saya katakan pada sahabat saya itu, “Latihan. Inilah pertandingan saya dan inilah persaingan yang sesungguhnya, gerakan-gerakan Yoga, senam, silat bukan hanya melatih saya mengalahkan rigiditas (kekakuan) fisik saya, tetapi juga mengalahkan rigiditas ego saya. Pesaing yang sangat berbahaya adalah rasa “ego”. Dan itulah sesungguhnya yang harus kita kalahkan. Musuh dan pesaing itu ada dalam diri kita bukan di luar sana. Ketika ego dapat dikalahkan, maka hidup bukanlah merupakan persaingan, Berkawan Bukan Persaingan dan apalagi Bercinta, ia Bukan lagi Persaingan. Hidup adalah berdamai.”




BAB      I
PERSAINGAN YANG  TIDAK  SEHAT
Pantun pendidikan wirausaha.

                                Bukit besar, tempat wisata,
 Ada tebingnya, yang dipahat.
                                Penyakit sarjana, berjiwa preman,
   Dalam  bersaing , tidak pernah sehat.

Tuan putri, pergi ke pasar,
Membeli sepat, di pasar ikan.
Demi mengejar, untung  besar,
Agama dan adat, dicampakkan.,

Ada namanya,  sebatang  lidi,
Diraut orang, di hari kamis.
         Agama dan adat , dihapus Yahudi,
        Mendorong orang, menjadi atheis.

Dahulu pertmata, di dalam kamar,
Dikemas dalam, berbagai tempat.
Dahulu wanita, harus dilamar,
 Bermertabat dalam, masyarakat.

Tinggi nangka, dapat dipanjat,
        Tinggi cempedak, jangan ditebang.
   Tingginya etika ,di  dalam adat,
Kini sudah, diabaikan orang.

 Lebat daunnya,  bunga tanjung
Berbau harum, bunga cempaka
Adat dijaga,  pusaka dijunjung
Baru terpelihara,  adat pesaka
Gadis Aceh,  berhati gundah
       Menanti teruna,  menghulur tepak
   Gula manis, , sirih menyembah
        Adat dijunjung, dipinggirkan tidak.
Manis sungguh,  gula Melaka
Jangan dibancuh dibuat serbat
Sungguh teguh,  adat pusaka
Biar mati anak jangan mati adat
Anak teruna, tiba di darat
           Dari Makasar,  langsung ke Deli
    Hidup di dunia, biar beradat
      Budi bahasa tidak,  dijual beli

B. Wirid Yasin menjadi adat budaya.
Menanam kelapa,  di Pulau Bukum
Tinggi sedepa,  sudah berbuah.
Adat bermula,  dengan hukum
Hukum bersandar,  Kitabullah
        Buah berangan, di rumpun pinang,
    Limau kasturi,  dekat pepaya.
     Kalau jujur ,  dalam berdagang,
Tanda diri,  beradat budaya.
Laksamana,  berbaju besi
Masuk ke hutan, melanda-landa
Hidup berdiri, dengan saksi
Adat berdiri,  dengan tanda
  Berbuah lebat,  pohon mempelam
Rasanya manis,  dimakan sedap
Bersebarlah,  adat seluruh alam
Adat pusaka,  berpedoman kitab
Ikan berenang,  di dalam lubuk
Ikan belida,  dadanya panjang
Adat pinang,  pulang ke tampuk
Adat sirih , pulang ke gagang
          Pokok pinang, ditanam rapat
Puyuh kini,  berlari-lari
             Sopan santun,  menjunjung adat
           Tonggak budaya, semai dihati
Bukan kacang sebarang kacang
Kacang melilit,  si kayu jati
Bukan datang,  sebarang datang
Datang membawa,  hajat di hati
             Budak-budak , lari ke padang
Luka kaki,  terpijak duri
           Berapa tinggi,  Gunung Ledang
   Tinggi lagi, budi pekerti.
Sebuah pena,  jatuh di gudang,
Ketika mencatat, tibangan garam.
Kalahkanlah Cina, berdagang,
Mereka tak mengenal, halal haram.
     Angin kencang, turunlah badai
Seumur hidup,  cuma sekali
    Tunduk kepala,  jatuh ke lantai
        Orang penakut,  tak punya nyali.


BAB   II
MUSUH DALAM SELIMUT
A.Peribahasa
Peribahasa merupakan kelompok kata yang tetap susunannya dan biasanya mempunyai arti khusus atau kias. Peribahasa biasa disebut juga dengan perumpamaan, ibarat, pepatah dan sebagainya. Berikut ini adalah beberapa contoh peribahasa:

- Kalah Jadi Abu Menang Jadi Arang.
Artinya:pertengkaran tidak akan menguntungkan kepada pihak manapun.
- Air Tenang Menghanyutkan.
Artinya: orang yang pendiam biasanya banyak ilmunya.
- Seperti Api Dalam Sekam.
Artinya: perbuatan jahat atau kejahatan yang tidak tampak.
- Seperti Kucing Dibawakan Lidi.
Artinya: orang yang dalam ketakutan.
- Menegakkan Benang Basah.
Artinya: mengerjakan pekerjaan yang mustahil dikerjakan.
- Seperti Kejatuhan Bulan.
Artinya: mendapat untung besar.
- Buruk Muka Cermin Dibelah.
Artinya: menyalahkan orang lain walaupun ia sendiri yang bodoh atau bersalah.
- Membuang Garam Ke Laut.
Artinya: melakukan suatu pekerjaan yang tidak ada gunanya.
- Menggunting Dalam Lipatan.
Artinya: mencelakakan kawan sendiri.
- Terang Kabut, Teduh Hujan.
Artinya: perihal orang yang tenang pikirannya kembali, setelah hilang kesusahannya.

Gobek cantik,  gobek cik puan,
Sirih dikunyah,  menjadi sepah.
Orang yang rajin,  jadi tumpuan,
Orang yang malas ,terkena sumpah.


       Waktu saya duduk dekat teman, kami bercerita tentang pengalaman-pengalaman kami ternyata teman saya ini memiliki sebuah kisah persahabatan yang dibilang kurang sukses, akhirnya saya minta dia menceritakan pengalaman yang seperti apa yang di alaminya.
dengan seijinnya saya mencantumkan profil teman saya ini, namanya dedi


ni fotonya ganteng bukan hehehhe....
kembali kecerita setelah sedikit mengorek-ngorek informasi baru lah terungkap bagai mana kisahnya.


Persahabatan ini bermula dari SMP, dimana masa-masa itu adalah masa-masa yang menyenangkan, dimana kami tertawa bersama dan berain bersama. Hingga akhirnya kami lulus SMA, pertemanan kami tetap terjalin aku tetap melanjutkan kuliah dan kedua sahabat saya bekerja.
Panggil saja sahabat saya itu Suryo (Nama samaran) dan aryo (Nama samaran), dan aku sendiri dedi walau pun kami sekarang jarang bertemu tetapi persahabatan kami tetap terjaga. Waktu terus berjalan sampai dimana malam peristiwa itu terjadi.
Pada malam itu saya berencana untuk membeli buku, Karena itu saya mengajak teman saya suryo untuk menambahkan saya, malam itu terasa berbeda sekali tidak seperti malam-malam biasanya, entah perasaan aneh apa ini yang saya rasakan, saya tidak menghiraukannya. Pas sudah bertemu sama suryo dia mengajak saya kewarnet untuk mendownload lagu, saya sih ok – ok saja untuk pergi ke warnet, tidak lupa juga dia mengajak aryo untuk ke warnet apa lagi aryo baru punya motor yang baru 3 bulan dibeli dengan uang kerjanya.
Akhirnya saya membonceng suryo, dan aryo memakai motornya. Sesampainya di warnet akhirnya kami bertigapun membuka satu buah computer dimana saya dan aryo diminta tolong oleh suryo untuk mendownloadkan dia beberapa lagu, “ oh ya yo, pinjam kunci motor kau donk bentar, mau benerkan keypet hp ku ni lagi macet” kata suyo sambil menjulurkan tangannya ke aryo, aryo pun dengan segera memberikan kuncinya, “ ded, yo, aku di SMS teman ku ni, katanya mau ngajak main music, aku tak tolong ama kalian ye tak downloadkan lagunya ye” , dengan lugunya kami pun mengiyakannya. Suryo keluar sebentar membelikan minuman, dan masuk kembali.“ni ded, air untuk kalian berdua, dan ni uang untuk bayar warnetnye ye” kata Suryo sambil mengulurkan air, uang dan kunci motor yang dipinjamnya tadi. Didalam hati ada rasa aneh sama suryo, tumben dia mau teraktir kami beli air biasanya selalu kami yang menteraktirnya. Setelah suryo pergi, dan download lagupun selesai kami pun bayar biling, dan pergi ke luar warnet. Alangkah terkejut dan pucat wajah aryo, jikala dia tidak melihat motornya di tempat yang dia parker tadi “Ded motor ku mane?” dengan keadaan panik aryo bertanya kepada ku, mungkin karena ini hanya bercandaan dari suryo jadi saya berpikir kalau ini adalah ulah dari suryo,” mungkin ini kerjaan dari suyo jail kali, mungkin jak dia sembunyikan motor kau di samping ruko” dengan nada sedikit bercanda saya membalas pertanyaan aryo.

Setelah dicari disana sini ternyata motor tersebut yang semula dikira hanya disembunyikan ternyata tidak ada, wajah aryo pun makin bertambah pucat, dengan inisiatif saya mengajak aryo untuk mencari motornya di deret jalan yang kami lalui, kami bertanya kepada kepada orang-orang yang ada dijalan tersebut ternyata tidak satu orang pun melihatnya. Akhirnya kami pergi ke pos polisi terdekat untuk melaporkannya, sesampai disana saya mengabari suryo bahwa motor aryo hilang, dan tidak beberapa lama pun suryo datang, lalu kami dari pos polisi langsung dibawa ke polres untuk pengajuan kasus pencurian.
Dengan setatus aryo sebagai korban, saya dan suryo sebagai saksi, selang satu hari dari kejadian malam itu, suryo mengundang saya kerumahnya untuk berpamitan , yang dimana rencananya suryo mau berangkat ke kota Pontianak, untuk melamar kerja. Setelah seminggu kemudian tanpa sengaja saya melihat abang suryo ini menggunakan motor yang mirip sekali dengan motornya aryo yang hilang, lalu saya pun membertahu aryo “ yo, aku ada llihat abang suryo, bawa motor mirip dengan motor kau” “ eh yang benar bah yum tar kita kerumahnya” balas aryo, lalu kami pun sepakat bahwa kami pergi bersama-sama kerumah suryo. Sesampainya disana suryo menyambut kami, dengan wajah yang sedikit pucat dan gaya bicara yang terbata-bata mungkin terkejut dengan kedatangan kami berdua. Setelah ngobrol – ngobrol ternyata suyo kemarin tidak jadi pergi ke Pontianak melainkan kekendawangan , setelah kami mengorek informasi tentang motor barunya dan ternyata motor baru yang dia dapat dari hasil menjual binatang tokek yang didapatnya disana seharga 25 juta menurut penuturannya.Setelah beberapa lama disana kami bertiga sepakat untuk ketemu kembali jam 9 malam untuk bertemu.Jam menunjukan pukul jam 9 malam yang artinya kami pun bertemu kembali, waktu itu saya bersama suryo pergi menuju rumah aryo, dengan menggunakna kendaraan masing-masing yang dimana suryo memakai motor barunya.
Sesampai durumah aryo ternyata disana aryo tidak sendirian tetapi muncul 3 orang yang berpenampilan besar tinggi dan urak-urakan. Sesampai disana salah satu dari 3 orang tersebut menghampiri suryo dan langsung bertanya "Motor baru bang?” Tanya orang tersebut “iya om” balas aryo tinya hanya disitu orang itu bertanya lagi “ Belinya dari hasil jual tokek ya?” suryo mulai panik , tau dari mana orang tersebut kalu suryo beli motor dari hasil jual tokek , suryo hanya diam saja, dengan wajah pucat, dan dingin suryo pun mulai gelisah, tanpa basa basi orang tersebut menyuruh suryo agar membawa motornya dibawa ketempat yang agak terang, setelah di lihat dengan saksama orang tersebut bertanya dengan nada sedikit tinggi “ ini motor aryokan?” dengan gagap aryo menjawab kalu motor tersebut bukan milik aryo tetapi miliknya, akhirnya suryo dan motornya di bawa ke kantor polisi untuk di mintai keterangan, setelah kejadian malam itu saya baru tahu kalau 3 orang tersebut adalah intel yang melacak kasus pencurian tersebut.Akhirnya setelah mengalami berbagai peroses ternyata suryo dinyatakan bersalah, atas pencurian motor.Saya masih belum percaya bahwa ternyata sahabat saya sendiri pelakunya, tetapi apa boleh buat semua bukti mengarah kepadanya, dan setelah peroses persidangan ternyata suryo pitutuskan bersalah dan dijatuhkan hukuman penjara.


        Dari ceritra teman saya tersebut ternyata, walaupun kita sudah bersahabat bertahun-tahun tapi jika persahabatan itu didasari dengan sebuah penghiyanatan, maka sia-sialah persahabatan itu.
Kejahatan bukan hanya ada dari niat sang pelaku tapi waspadalah waspadalah, pesan bang napi tuh. Kalau dari bang Borneo bah pantun mah.

Bahasa Indonesianya gelicik. Orang awak, kerap menyebut “galiciak” atau manggaliciak. Artinya sama dengan elak, hindar, menjauh dan sejenisnya. Kalau tergelicik, sama dengan terhindar, manggaliciak sama dengan menghindar dari bahaya yang mengancam. Bisa begitu kurang lebih artinya.
Tapi, kecenderungan arti atau makna kata ini, di ranah Minang, relatif agak negatif. Apalagi di kata “galiciak” terasa padu padan kata (suku kata) berkonatsi negatif, gali dan licik, yang keduanya merupakan perilaku buruk. Gali sama dengan curang dan licik merupakan perbuatan hina, menikam dari belakang, menggunting dalam lipatan.
Panggaliciak, bagi urang awak, hal yang harus dihindari. Ini orang, suka meninggalkan barisan ketika nampak kepentingan lain. Yang dipikirkannya, dimana dia akan merasa enak dan nyaman, tak penting apakah caranya itu benar. Tak peduli ada orang yang terlangkahi. Orangnya suka “emangnya gue pikiran” ketika dirinya selamat atau bebas dari tanggungjawab.
Manggaliciak, merupakan perbuatan hina, kalau konteksnya lepas dari tanggungjawab. Kurang lebih sama dengan pengkhianat. Perbuatan “galiciak” lazim kita temukan di lingkungan keseharian kita. Contoh kecil mungkin saban waktu bisa kita temui. Dalam kegiatan gotong royong. Waktu berkumpul untuk memetakan lokasi mana yang harus dikerjakan, kita berada di barisan paling depan. Paling dulu mengatakan siap. Pas gotong royong dimulai, kita diam-diam menepi, tahu-tahu orang menyadari bahwa kita tak ada lagi ketika gotong royong ditutup
.
B.Mengelak dengan cara licik.
Manggaliciak itu bisa juga seperti ini. Waktu kita susah, kepepet, baik sama orang yang kita kira bisa membantu kita untuk kepenatan sesaat. Kita selalu menyanjung orang yang membantu kita. Bahkan sekeluarga kita menyanjungnya. Tetapi, ketika kita melihat peluang lain yang lebih baik, kita pamitan tanpa senyum. Di luar berkata, orang yang membantu dan kita sanjung sebelumnya, dinilai suka menekan walau sesungguhnya sikap kita yang menekan, dan menganggap bantuan yang pernah diberi tak pernah ada. Karena bantuan yang baru, lebih besar dan bergengsi, sehingga melupakan setiap kebaikan kecil yang pernah diberikan orang kepada kita.
Manggaliciak itu, boleh juga begini, kita yang salah, cepat-cepat mencari salah orang, sehingga orang lain dianggap salah, kita melenggang di atas kesalahan kita yang dipaksa ditutup dengan memunculkan kesalahan orang lain. Orang panggaliciak memang suka main aman, meningkatkan citra dirinya pun dengan cara manggaliciak. Kata “galiciak” yang artinya menghindar, menjauh atau mengelak, tentu dalam konteks perilaku negatif kita bisa memaknainya selalu menghindari diri dari anggapan salah, curang, licik dan senantiasa ingin bebas dan tak bertanggungjawab terhadap sesuatu yang barangkali buruk secara sosial, walau kita berperan dalam menciptakan hal negatif itu terjadi.
Orang panggaliciak, selalu ingin cari aman dan mainnya dengan cara “galie” dan “licik”. Kalau ada aturan mesti melalui prosedur, naik tangga itu mesti dari bawah, antre itu mesti tertib, dia tak berlaku itu. Kalau bisa “melipat” kesempatan orang lain, mengelakkan orang dari nasib baik asal kita bernasib baik, kenapa tidak. Yang sering kita rasakan, orang suka manggaliciak ini adalah, kita kira dia bersama kita, tahu-tahu dia sudah tak bersama kita.
Kita kira dia akan sama-sama dengan kita mengambil beban berat sebagai tanggungjawab, ternyata tidak. Kita anggap dia akan sehidup semati berjuang dengan kita, ternyata di tengah perjuangan kita tak menemukan dia. Ketika kita tanya, kok manggaliciak? Dengan tanpa gaya panggaliciak, dia mencari kambing hitam, “Bukan manggaliciak. Si Anu yang mengajak saya, padahal saya akan tetap bersama….” Selalu menghindar, mengelak, asal ia jaya.***
Beberapa tahun yang lalu, seorang peneliti dari Universita Indonesia menyatakan bahwa salah satu sifat dari orang Minang adalah “galie” yang diberinya arti negatif sama dengan “licik”. Banyak orang Minang waktu itu, termasuk tokoh-tokoh Minang, sangat berang karena merasa tersinggung “per”-nya. Serentak mereka menantang sang peneliti untuk berdisksi secara terbuka mengenai hasil penelitiannya itu
Pertanyaan dasar dalam hal ini apakah benar orang Minang itu “galie”, dan apakah “galie itu identik dengan “licik” ataukah identik dengan “licin”, dan bukan “licik”.
Di Minangkabau, kita mengenal orang “nan ampek jinih”, sebagai tokoh dan pemuka masyarakat yaitu niniek mamak, alim ulama, cadiak-pandai, dan bundo kanduang.
Cadiak pandai di samping sebagai “urang nan ampek jinih”, juga dianggap sebagai sifat orang Minang yaitu “cadiak dan pandai”.

Apakah sifat cadiak sama pengertiannya dengan pandai. Kalau tidak sama di mana letak bedanya?

Penajaman pemahaman kita tentang sifat-sifat yang selalu dihubungkan dengan watak ke-Minangkabauan ini, agaknya sangat penting kita dalami, supaya kita dapat memahami “jati diri” kita sendiri. Dengan penajaman pemahaman itu kita akan mengetahui apakah benar kita orang Minang ini, orang galie, licik di saatu pihak serta di sisi lain kita juga bersifat cadiak dan pandai. Apakah masing-masing sifat itu seiring sejalan dalam diri kita, ataukah saling bertentangan satu sama lain. Pertanyaan yang pokok dalam menghadapi era globalisasi ,sifat dan watak Minang mana yang harus kita kembangkan. Bila kita bicara tentang pengembangan sumber daya manusia, sifat-sifat yang mana akan kita berikan prioritas dalam pendidikan generasi muda Minang khususnya. Apakah perlu kita “malu” bila dikatakan sifat umum kita itu “galie, licik, cadiak dan pandai”. Marilah kita renungkan.

Galie
galie berarti seseorang yang bertindak untuk mempertahankan keuntungan yang sudah diperolehnya, dan sekaligus tidak lagi memberi kesempatan kepada pihak lawan untuk menebus kekalahannyaDulu di kampung, anak laki-laki suka bermain “ukak”, main “panda”, atau “main simbang”. Main simbang biasanya oleh anak-anak padusi. Main ukak adalah main dengan menggunakan damar (kemiri). Pemainnya terdiri dari dua orang, masing-masing mempertaruhkan tiga butir buah kemirinya. Cara permainan dilakukan dengan melemparkan keenam buah kemiri ke arah sebuah lubang, yang biasanya dibuat di pangkal sebuah pohon yang agak besar. Kemiri yang masuk ke lubang dianggap miliknya si pemain, sisanya yang empat masih di luar. Pihak lawan menentukan salah satu dari keempat kemiri yang di luar untuk dilempar dengan kemiri jantan yang dipunyai oleh pemain. Bila kemiri yang ditunjuk kena lemparan secara tepat, maka pihak pemain dianggap memenangkan seluruh kemiri tapi kalau yag dilempar masuk ke dalam lubang setelah dilempar, maka pemain dianggap gagal dan tidak berhak atas kemiri yang di lubang, maupun yang di luar. Kini giliran main ditukar dengan pemain yang kedua dengan cara yang sama. Pelemparan kemiri dilakukan dengan jarak sekitar tiga meter dari lubang.

Kalau seorang anak sudah menang cukup banyak, misalnya dia sudah mengantongi 20 kemiri, makan dia mulai berpikir. Akan terus main ataukah akan berhenti. Kalau main terus bisa kalah, kalau berhenti, maka pihak lawan yang sedang kalah langsung marah dan menggerutu serta menuduh lawannya dengan kata-kata “galie ang” atau “galie wa ang”. Jadi di sini kata galie berarti seseorang yang bertindak untuk mempertahankan keuntungan yang sudah diperolehnya, dan sekaligus tidak lagi memberi kesempatan kepada pihak lawan untuk menebus kekalahannya, atau meneruskan kekalahannya sampai landeh (habis-habisan). Apakah sifat galie seperti ini baik atau tidak baik, perlu atau tidak perlu kita kembangkan sebagai sifat orang Minang? Marilah kita renungkan.

Licik
Di lapau, empat orang muda asyik bermain remi. Bermain remi adalah memainkan 2 lembar kartu remi. Caranya tiap orang mula-mula diberi kartu sebanyak tujuh lembar. Jadi kartu yang dibagi sebanyak 4 x 7 lembar = 28 lembar. Sisanya ditaruh di tengah sebagai cadangan, yang dapat diambil sebagai tukaran dari kartu yang kita buang karena tak dibutuhkan oleh lawan di sebelah, atau pun kawan kita yang berhadapan dengan kita. Tujuan remi adalah mengumpulkan sebanyak 3 buah kertas remi yang sejenis. Misalnya kertas bergambar King (Raja) sesama King lainnya, kertas berangka 10, dihimpun sebanyak tiga buah dengan kertas berangka 10 juga dari jenis gambar yang berbeda misalnya 10 Spade dihimpun bersama 10 Heart dan 10 Diamond, atau 10 Clover. Atau bisa juga dihimpun gambar atau angka yang berurutan. Misalnya, kertas bergambar King Heart dihimpun dengan kertas bergambar Queen dan Joker bergambar Heart yang sama. Atau bisa juga angka berurutan dari jenis kertas yang sama misalnya kertas berangka 10, 9, dan 8 dari jenis kertas bergambar Clover. Pemain yang lebih dulu dapat mengumpulkan jenis seperti di atas, maka dialah pemenang dan dialah yang diberi bonus.

Bila dalam permainan ini misalnya seseorang mempunyai empat lembar kertas di tangan yang terdiri dari tiga lembar kertas yang memenuhi salah satu kriteria di atas, sedangkan yang satu lembar lagi merupakan kertas berlebih yang tidak memungkinkan pemenangnya remi (menang), maka dengan muka tenang dia bilang dia remi dan menunjukkan tiga kertas yang sejenis, dan pada saat yang sama atau sebelumnya dia telah menyembunyikan lembar ke-4 yang berlebihan. Pemain itu dianggap pemenang selama tidak ketahuan bahwa ada kertas yang disembunyikan. Tapi bila akhirnya ketahuan ada kertas yang disembunyikan,maka pihak lawan akan berteriak “wa-ang licik”. Jadi di sini yang dimaksudkan licik adalah perbuatan seseorang menghalalkan cara utnk mencapai tujuan memperoleh kemenangan. Jadi licik adalah identik dengan tujuan menghalalkan cara. Atau juga dapat dirumuskan mencapai tujuan dengan menipu atau curang. Apakah mayoritas orang Minang mempunyai sifat sedemikian ini. Kalau memang benar, mari sama-sama kita ubah dan tidak perlu dikembangbiakkan lagi.

Cadiak
Saya tidak begitu berminat dengan televisi, karena kebanyakan acaranya “konyol”. Namun ada satu film yang saya suka dari televisi yaitu film berjudul McGyver. McGyver saya anggap tokoh yang luar biasa “cadiaknyo”. Dia merupakan seorang tokoh yang selalu dapat mengatasi kesulitan dengan cara yang sangat kreatif. Dia selalu bisa lolos dari lubang jarum. Dia mempunyai seribu akal dalam mengatasi kesulitan. Dia senantiasa mengandalkan otaknya dan jarang mengandalkan ototnya. Baginya, otak yang utama, sedangkan otot hanya sekedar penunjang. Apa ada orang yang seperti in di Minangkabau, yang menomorsatukan otaknya dan menomorduakan ototnya.

Konon nama Minangkabau berasal dari adu kerbaunya orang Jawa denga anak kerbaunya Datuk Perpatih nan Sebatang dari Minang. Tatkala pasukan Majapahit memasuki wilayah yang kini kita kenal dengan nama Minangkabau, maka pemuka masyarakat Minang seperti Dt. Perpatih nan Sebatang berpikir dan maagak-agak. Apakah mungkin laskar Minang mengalahkan pasukan besar Majapahit ini? Beliau mulai memutar otak dan mengambil kesimpulan “tidak akan mungkin menang melawan pasukan bsar yang sudah berpengalaman banyak itu”. Oleh karena itu, beliau mencari akal, maka diajukan tawaran untuk mengadu kerbau. Kerbau siapa yang menang, maka dialah yang berhak menguasai Ranah Minang. Pemilik kerbau yang kalah harus mengundurkan diri. Akhir cerita adalah kerbau besar dari Jawa diadu dengan anak kerbau yang kuat menyusu, namun diberi tanduk dari besi yang tajam. Ringkasnya, kerbau yang itu terbuai perutnya dan mati. Menanglah si anak kerbau Dt. Perpatih nan Sebatang sehingga sejak itu daerah seedaran Gunung Merapi dan salingkung Gunung Singgalang sampai ker Ranah Lima Puluah di sebut ranah Menangkerbau, atau kini dikenal sebagai Ranah Minang. Jadi, “cadiak” berarti di sini bahwa dalam menghadapi masalah sulit dan rumit, orang itu masih mampu mencari jalan keluar untuk mengatasinya. Jadi, yang dikatakan “cadiak” dalam pengertian orang Minang adalah kemampuan menggunakan akal mengatasi keadaan yang rumit. Oleh karena itu, dalam pengertian adat Minang yang dikatakan cadiak pandai adalah orang yang cadiak biopari, tahu diereng jo gendeng, tah dicakah jo kaik, pandai manarah manalakang, pandai marapek dalamm aie. Mambuhue indak mambuku, mauleh indak mangasan. Itulah nan cadiak. Sifat seperti itu kiranya perlu dilestarikan dan dikembangkan di kalangan muda Minangkabau.

Pandai
Kalau cadiak berhubungan dengan akal pikiran atau kecerdasan otak, maka “pandai” berhubungan erat dengan keahlian profesional atau keterampilan seseorang. Oleh karena itu, orang cerdik belum tentu pandai. Sebaliknya orang “pandai” belum tentu juga cerdik. Jadi, orang cerdik pandai adalah orang yang mempunyai kemampuan mengatasi masalah yang rumit, dan mempunyai keterampilan profesional untk menunjang kehidupan ekonominya. Pepatah Minang menyebutkan “tukang nan pandai takkan membuang kayu”. Kayu nan kuek ka tunggak tuo, nan luruih ka rasuak paran, nan lantiang ka bubungan, nan bungkuak katangkai bajak, nan ketek katangkai sapu, nan satampok ka papan tuai, nan rantiang ka pasak suntiang, nan pangka ka kayu api, abunyo ka pupuak padi. Jadi, “pandai”berarti memiliki suatu keterampilan yang berguna untk hidup dan kehidupan kita sendiri.

Contohnya adalah “pandai besi”, tukang batu, tukang kayu, tukang ameh, tukang uruik, dan sagalo macam dan banamo “tukang”, termasuk petani, pengrajin, termasuk tukang ota, tukang copet.

Sifat “pandai” dalam pengertian profesional ini kiranya sangat perlu dikembangkan sebagai sifat yang harus dimiliki orang Minang.

Memperdalam sifat-sifat seperti berani, rajin, adil, setia, tenggang rasa, hemat (bukan sampilik) akan memperkuat watak pribadi orang Minang, karena dengan cara itu mereka akan lebih mengenal jati dirinya dan akan bangga dengan sifat dan watak ke-Minangkabauannya.
 (Amri M.S.,dalam buku Adat Minangkabau, Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang).

BAB  III
RENUNGAN KATA-KATA MUTIARA
   "Adat air cair, adat api panas."
   "Adat ayam ke lesung, adat itik ke pelimbahan."
   "Adat bersendi syarak, syarak bersendi adat."
   "Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah."
   "Adat diisi lembaga dituang."
   "Adat dunia balas-membalas, syariat palu-memalu."
   "Adat gajah terdorong."
   "Adat hidup tolong-menolong, syariat palu-memalu."
   "Adat juara kalah menang, adat saudagar laba rugi."
   "Adat lama pusaka usang."
   "Adat menyabung, adat gelanggang."
   "Adat muda menanggung rindu, adat tua menahan ragam."
   "Adat negeri memagar negeri, adat berkampung memagar kampung."
   "Adat pasang berturun naik."
   "Adat periuk berkerat, adat lesung berdedak."
   "Adat rimba raya, siapa berani ditaati."
   "Adat sepanjang jalan, cupak sepanjang betung."
   "Adat teluk timbunan kapal, adat gunung tepatan kabut."
   "Air beriak tanda tak dalam."
   "Air besar batu bersibak."
   "Air cucuran jatuhnya ke pelimbahan juga."
   "Air di daun talas."
   "Air diminum serasa duri."
   "Air ditetak takkan putus."
   "Air hujan jatuh ke pelimbahan juga."
   "Air jernih ikannya jinak."
   "Air mata jatuh ke perut."
   "Air orang disauk, ranting orang dipatah, adat orang diturut."
   "Air pun ada pasang surutnya."
   "Air sama air kelak menjadi satu, sampah itu ke tepi juga."
   "Air susu dibalas dengan air tuba."
   "Air tenang menghanyutkan."
   "Air tenang jangan disangka tiada buayanya."
   "Air udik sungai semua teluk diranai."
   "Air yang dingin juga yang memadami api."
   "Air yang tenang jangan disangka tak berbuaya."
   "Akal akar berpulas tak patah."
   "Akal tak sekali tiba, runding tak sekali datang."
   "Akal singkat pendapat kurang."
   "Alah bisa karena biasa."
   "Alah limau oleh benalu."
   "Alah membeli menang memakai."
   "Alah sabung menang sorak."
   "Alang berjawab, tepuk berbalas."
   "Alang-alang berminyak biar licin."
   "Alu patah lesung hilang."
   "Anak anjing bolehkah menjadi anak musang jebat."
   "Anak cantik, menantu molek."
   "Anak dipangku dilepaskan, beruk di rimba disusukan."
   "Anak dipangku, kemenakan (keponakan) dibimbing."
   "Anak harimau tidak akan jadi anak kambing."
   "Anak polah bapa kepradah."
   "Anak seorang, penaka tidak."
   "Angan-angan mengikat tubuh."
   "Angan lalu paham tertumbuk."
   "Angin tak dapat ditangkap, asap tak dapat digenggam."
   "Angin yang berputar, ombak yang bersabung."
   "Angin bertiup layar terkembang."
   "Angkuh terbawa, tampan tinggal."
   "Anjing diberi makan nasi, bilakah kenyang."
   "Anjing ditepuk, menjungkit ekor."
   "Anjing galak, berani babi."
   "Anjing menggongong, kafilah berlalu."
   "Anjing mengulangi bangkai."
   "Anjing menyalak di ekor (pantat) gajah."
   "Anjing menyalak takkan menggigit."
   "Antah berkumpul sama antah, beras sama beras."
   "Apa yang ditanam itulah yang tumbuh."
   "Apa yang ditabur itulah yang tuai'"
   "Api kecil baik padam."
   "Api padam puntung berasap."
   "Api padam puntung hanyut."
   "Arang habis besi binasa."
   "Arang itu jikalau dibasuh dengan air mawar sekalipun tidak akan putih."
   "Arang tersapu dimuka."
   "Asal ada, kecil pun pada."
   "Asal ayam ke lesung, asal itik ke pelimbahan."
   "Asal insang, ikanlah."
   "Asam di gunung garam di laut bertemu dalam satu belanga."
   "Atap ijuk perabung timah."
   "Atap ijuk perabung upih."
   "Awak kalah gelanggang usai."
   "Awak rendah sangkutan tinggi."
   "Awak sakit daging menimbun, sakit kepala panjang rambut."
   "Ayam berinduk, sirih berjunjung."
   "Ayam bertelur di atas padi mati kelaparan."
   "Ayam ditambat disambar elang."
   "Ayam hitam terbang malam."
   "Ayam menang kampung tergadai."
   "Ayam putih terbang siang."
   "Badai pasti berlalu."
   "Badak makan anaknya."
   "Bagai air dengan minyak."
   "Bagai air di daun talas."
   "Bagai air titik ke batu."
   "Bagai alu pencungkil duri."
   "Bagai anjing beranak enam."
   "Bagai anjing melintang denai."
   "Bagai anjing menyalak di ekor gajah."
   "Bagai api dengan asap."
   "Bagai api dengan rabuk."
   "Bagai api makan sekam."
   "Bagai aur dengan tebing."
   "Bagai aur di atas bukit."
   "Bagai ayam bertelur di padi."
   "Bagai ayam lepas bertaji."
   "Bagai bara dalam sekam."
   "Bagai babi merasa gulai."
   "Bagai bertanak di kuali."
   "Bagai bulan kesiangan."
   "Bagai bumi dan langit."
   "Bagai cendawan dibasuh."
   "Bagai denai gajah lalu."
   "Bagai diiris dengan sembilu."
   "Bagai getah dibawa ke semak."
   "Bagai hujan jatuh ke pasir."
   "Bagai inai dengan kuku."
   "Bagai jampuk kesiangan."
   "Bagai kacang lupa akan kulitnya."
   "Bagai kambing dihela ke air."
   "Bagai kambing harga dua kupang."
   "Bagai katak dalam tempurung."
   "Bagai keluang bebar petang."
   "Bagai kena jelatang."
   "Bagai kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau."
   "Bagai kerbau dicocok hidung."
   "Bagai kucing dengan panggang."
   "Bagai kucing dibawakan lidi."
   "Bagai kucing menjemput api."
   "Bagai kucing tak bermisai."
   "Bagai kucing tidur dibantal."
   "Bagai kuku dengan daging."
   "Bagai kura dengan isi."
   "Bagai melepaskan anjing terjepit."
   "Bagai melihat asam."
   "Bagai makan buah simalakama."
   "Bagai makan buah simalakama, dimakan ibu mati, tak dimakan ayah mati."
   "Bagai membandarkan air ke bukit."
   "Bagai meminum air bercacing."
   "Bagai menampung air dengan limas pesuk."
   "Bagai mencincang air."
   "Bagai mendapat durian runtuh."
   "Bagai mendapat gunung intan."
   "Bagai menegakkan benang basah."
   "Bagai menggantang anak ayam."
   "Bagai mentimun dengan durian."
   "Bagai musang berbulu ayam."
   "Bagai musuh dalam selimut."
   "Bagai orang kena miang."
   "Bagai padi makin berisi makin merunduk."
   "Bagai pagar makan tanaman."
   "Bagai pelanduk di cerang rimba."
   "Bagai pelita yang kehabisan minyak."
   "Bagai pinang dibelah dua."
   "Bagai pintu tak berpasak, perahu tak berkemudi."
   "Bagai pungguk merindukan bulan."
   "Bagai roda berputar."
   "Bagai sekam dimakan api."
   "Bagai semang kehilangan induk."
   "Bagai tanduk diberkas."
   "Bagai telur di ujung tanduk."
   "Bagaimana biduk, bagaimana pengayuh."
   "Bagaimana bunyi gendang, begitulah tepuk tarinya."
   "Bagaimana hari takkan hujan, katak betung berteriak selalu."
   "Bahasa menunjukkan bangsa."
   "Banyak anak banyak rezeki."
   "Bajak lalu ditanah yang lembut."
   "Baji dahan pembelah batang."
   "Bakar air ambil abunya."
   "Barang tergenggam jatuh terlepas."
   "Baru beranjur sudah bertarung."
   "Batu di pulau tiada berkajang."
   "Bayang-bayang sepanjang badan."
   "Bayang-bayang sepanjang tubuh, selimut sepanjang badan."
   "Bayang-bayang tidak sepanjang badan."
   "Beban berat, senggulung batu."
   "Belajar di yang pintar, berguru di yang pandai."
   "Belalang dapat menuai."
   "Belum besar sudah diambak."
   "Belum beranak sudah ditimang."
   "Belum bergigi hendak mengunyah."
   "Belum bertaji hendak berkokok."
   "Belum diajun sudah tertarung."
   "Belum dipanjat asap kemenyan."
   "Belum merangkak sudah belajar lari."
   "Belum tahu akan pedas lada."
   "Belum tentu, ayam masih disabung."
   "Belum tentu si upik si buyungnya."
   "Bengkok sedikit tak terluruskan."
   "Benih yang baik tak memilih tanah."
   "Beraja dihati bersutan dimata."
   "Berakal ke lutut, berontak ke empu kaki."
   "Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian."
   "Beranak kandung beranak tiri."
   "Beranak menurut kata bidan."
   "Beranak tidak berbidan."
   "Berani karena benar, takut karena salah."
   "Berapa berat mata memandang, berat jugalah bahu memikul."
   "Berarak tiada berlari."
   "Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing."
   "Berbau bagai embacang."
   "Berbelok kucing main daun."
   "Berbenak ke empu kaki."
   "Berdawat biar hitam."
   "Berdiang di abu dingin."
   "Bergantung tiada bertali, bersalai tiada api."
   "Bergantung pada akar lapuk."
   "Bergantung pada tali rapuh."
   "Bergaduk-gaduk diri, saku-saku diterbangkan angin."
   "Berguru dulu sebelum bergurau."
   "Berguru ke padang datar, dapat rusa belang kaki."
   "Berguru kepalang ajar, bagai bunga kembang tak jadi."
   "Berhakim kepada beruk."
   "Berjagung-jagung sementara padi masak."
   "Berjalan pelihara kaki, berkata pelihara lidah."
   "Berjalan sampai ke batas, berlayar sampai ke pulau."
   "Berjenjang naik, bertangga turun."
   "Berkelahi dalam mimpi."
   "Berkelahi dengan perigi akhirnya mati dahaga."
   "Berkepanjangan bagai agam."
   "Berkerat rotan berpatah arang."
   "Berkering air ludah."
   "Berlayar bernakhoda, berjalan bernan-tua."
   "Bermain air basah, bermain api terbakar."
   "Berniaga di ujung lidah."
   "Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian."
   "Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh."
   "Bersuluh matahari, bergelanggang di mata orang."
   "Bersuluh menjemput api."
   "Bertampuk boleh dijinjing, bertali boleh dieret."
   "Bertanam tebu di bibir."
   "Bertangkai boleh dijinjing."
   "Bertanjak baru bertinju."
   "Bertemu beliung dengan ruyung."
   "Bertukar beruk dengan cigak."
   "Besar berudu di kubangan, besar buaya di lautan."
   "Besar diambak tinggi dianjung."
   "Besar kapal besar pula gelombangnya."
   "Besar kayu, besar bahannya."
   "Besar pasak daripada tiang."
   "Betung ditanam, aur tumbuh."
   "Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa."
   "Biar alah sabung asalkan menang sosok."
   "Biar badan penat asal hati suka."
   "Biar buruk kain dipakai, asal pandai mengambil hati."
   "Biar dahi berlumpur asal tanduk mengena."
   "Biar kalah sabung asalkan menang sorak."
   "Biar lambat asal selamat."
   "Biar jatuh terletak, jangan jatuh terempas."
   "Biarlah buruk, hatinya kasih."
   "Biarpun kucing naik haji, pulang-pulang mengeong juga."
   "Bibir saya bukan diretak panas."
   "Biduk lalu kiambang bertaut."
   "Biduk satu nakhkoda dua."
   "Biduk upih, pengayuh bilah."
   "Binatang tahan palu, manusia tahan kias."
   "Bodoh-bodoh sepat, tak makan pancing emas."
   "Bondong air, bondong ikan."
   "Buah jatuh tak jauh dari pohonnya."
   "Buah yang manis berulat di dalamnya."
   "Bukan air muara yang ditimba, sudah disauk dari hulunya."
   "Bukan biji tak mau tumbuh, tapi bumi tak mau terima."
   "Bulan naik matahari naik."
   "Bulan terang dihutan."
   "Bumi mana yang tiada kena hujan."
   "Bungkuk sejengkal tidak terkedang."
   "Buruk baik tiada bercerai."
   "Buruk-buruk bak embacang."
   "Buruk dibuang dengan rundingan, baik ditarik dengan mufakat."
   "Buruk muka cermin dibelah."
   "Buruk perahu, buruk pangkalan."
   "Buruk tak tahu akan hinanya."
   "Burung terbang dipipiskan lada."
   "Busuk berbau, jatuh berdebuk."
   "Busuk-busuk embacang."
   "Cabik-cabik bulu ayam."
   "Cacat-cacat cempedak, cacat-cacat nak hendak."
   "Cacing menjadi ular naga."
   "Cadik terkedik, bingung terjual."
   "Calak-calak ganti asah, menunggu tukang belum datang."
   "Cencang dua segeragai."
   "Cencang putus, tusuk tembuk."
   "Cerdik perempuan melebuhkan, saudagar muda mengutangkan."
   "Cerdik tak membuang kawan, gemuk tak membuang lemak."
   "Cium tapak tangan, berbau atau tidak."
   "Coba-coba bertanam mumbang, siapa tahu jadi kelapa."
   "Condong yang akan menimpa."
   "Dahulu bajak daripada jawi."
   "Dahulu timah sekarang besi."
   "Dalam lautan bisa diduga, dalam hati siapa tahu."
   "Dangkal telah keseberangan, dalam telah keajukan."
   "Dapur tidak berasap."
   "Dari jung turun ke sampan."
   "Dari telaga yang jernih, tak akan mengalir air yang keruh."
   "Daripada hidup bercermin bangkai, lebih baik mati berkalang tanah."
   "Daripada hidup berputih mata, lebih baik mati berputih tulang."
   "Daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri."
   "Datang tampak muka, pulang tampak punggung."
   "Datang tidak berjemput, pulang tidak berantar."
   "Daunnya jatuh melayang, buahnya jatuh ke pangkal."
   "Dekat mencari induk, jauh mencari suku."
   "Deras datang, deras kena."
   "Diam di bandar tak meniru, diam di laut asin tidak."
   "Diam-diam penggali berkarat, diam-diam ubi berisi."
   "Diam emas, bicara perak."
   "Dianjak layu, dibubut mati."
   "Di atas langit masih ada langit."
   "Diberi kuku hendak mencengkam."
   "Diberi sehasta hendak sedepa."
   "Dibuat karena alah, menjadi murka karena alah."
   "Diganjur surut bagai bertanam."
   "Digantung tak bertali."
   "Digenggam takut mati, dilepaskan takut terbang."
   "Digila beruk berayun."
   "Diindang ditampi teras, dipilih antah satu-satu."
   "Diindang tidak berantah."
   "Di mana ada kemauan, di sana ada jalan."
   "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung."
   "Di mana tak ada lang, akulah lang, kata belalang."
   "Di mana tembilang terentak, di situ cendawan tumbuh."
   "Dikasih hati minta jantung."
   "Dikati sama berat, diuji sama merah."
   "Dimandikan dengan air segeluk."
   "Dinding sampai ke langit, empang sampai ke seberang."
   "Dinding teretas, tangga terpasang."
   "Dipandang dekat, dicapai tak dapat."
   "Di rumah beraja-raja, di hutan berberuk-beruk."
   "Disisih sebagai antah."
   "Dua kali pisang berbuah."
   "Duduk berkisar, tegak berpaling."
   "Duduk meraut ranjau, tegak meninjau jarah."
   "Duduk sama rendah, tegak sama tinggi."
   "Duduk seperti kucing, melompat seperti harimau."
   "Dunia tak selebar daun kelor."
   "Dusta yang diucapkan seribu kali adalah kebenaran."
   "Elok berarak di hari panas."
   "Embacang buruk kulit."
   "Emping terserak, hari hujan."
   "Enak lauk dikunyah-kunyah, enak kata diperkatakan."
   "Enau sebatang dua sigainya."
   "Enggang lalu, atal jatuh, anak raja mati ditimpanya."
   "Enggang sama enggang, pipit sama pipit."
   "Esa hilang, dua terbilang."
   "Fajar menyingsing, elang menyongsong"
   "Gabak di hulu tanda akan hujan."
   "Gajah di pelupuk mata tidak tampak, kuman di seberang lautan tampak"
   "Gajah derum tengah rumah."
   "Gajah dialahkan oleh pelanduk."
   "Gajah ditelan ular lidi."
   "Gajah mati karena gadingnya."
   "Gajah mati tinggalkan gading, harimau mati tinggalkan belang."
   "Gajah mati tulang setimbun."
   "Gajah bertarung sama gajah, pelanduk mati di tengah-tengah."
   "Gali lubang, tutup lubang."
   "Garam di laut asam di gunung bertemu dalam belanga."
   "Gayung bersambut, kata berjawab."
   "Geleng bukan, angguk ia."
   "Geleng serupa cupak hanyut."
   "Genting menanti putus, biang menanti tembuk."
   "Getah terbangkit kuaran tiba."
   "Getikkan puru dibibir."
   "Gila di abun."
   "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari."
   "Habis adat dengan kerelaan, hilang adat tegal mufakat."
   "Habis beralur, maka beralu-alu."
   "Habis manis sepah dibuang."
   "Hafal kaji karena diulang, pasar jalan karena ditempuh."
   "Hampa berat menjadi sekam."
   "Hancur badan dikandung tanah, budi baik terkenang jua."
   "Harap akan anak buta mata sebelah, harap akan teman buta mata keduanya."
   "Harap pada yang ada, cemas pada yang tidak ada."
   "Harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan."
   "Harapkan guntur di langit, air di tempayan dicurahkan."
   "Harimau mengaum takkan menangkap."
   "Hari pagi dikejar-kejar, hari petang dibuang-buang."
   "Harum menghilangkan bau."
   "Harum seperti malaikat lalu."
   "Hasrat hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai."
   "Hati bagai baling-baling."
   "Hati gajah sama dilapah, hati tungau sama dicecah."
   "Hati gatal, mata digaruk."
   "Hemat pangkal kaya."
   "Hendak air pancuran terbit."
   "Hendak menangguk ikan, tertangguk pada batang."
   "Hendak ulam, pucuk menjulai."
   "Hidung dicium pipi digigit."
   "Hidup dikandung adat, mati dikandung tanah."
   "Hidup enggan mati tak mau."
   "Hidup seperti anjing dengan kucing."
   "Hidup seperti umang-umang."
   "Hidup tolong-menolong, sandar-menyandar."
   "Hilang adat, tegal bermufakat."
   "Hilang di mata di hati jangan."
   "Hilang geli oleh gelitik, hilang bisa oleh biasa."
   "Hujan berpohon, panas berasal."
   "Hujan tak sekali jatuh, simpai tak sekali erat."
   "Hujan turun, kambing lari."
   "Hulu malang pangkal celaka."
   "Ijuk selembang, tali di situ, keluan di situ."
   "Ijuk tidak bersagar, lurah tidak berbatu."
   "Ikan biar dapat, serampang jangan pukah."
   "Ikan terkilat jala tiba."
   "Ikut hati mati, ikut rasa binasa."
   "Ilmu pengetahuan adalah kekuatan."
   "Ilmu padi, makin berisi, makin merunduk."
   "Inai tertepung, kuku tanggal."
   "Ingin hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai."
   "Isi lemak dapat ke orang, tulang bulu pulang ke kita."
   "Itik diajar berenang."
   "Jadi abu arang."
   "Jadilah orang pandai bagai padi yang merunduk."
   "Jagung tua tak hendak masak."
   "Jalan diasak orang menggalas."
   "Jalan mati lagi dicoba, ini pula jalan binasa."
   "Jalan raya titian batu."
   "Jangan didengarkan siul ular."
   "Jangat liat kurang panggang."
   "Janji sampai, sukatan penuh."
   "Jatuh ke tilam empuk."
   "Jauh berjalan banyak dilihat, lama hidup banyak dirasai."
   "Jauh di mata, dekat di hati."
   "Jauh di mata, jauh di hati."
   "Jauh panggang dari api."
   "Jawi hitam banyak tingkah."
   "Jelatang di hulu air."
   "Jemuran terkekar, ayam tiba."
   "Jerat halus kelindan sutera."
   "Jerat serupa jerami."
   "Jerih menentang laba."
   "Jika ingin di hormati oleh orang lain, hormati lah orang lain dahulu."
   "Jika air orang disauk, ranting orang dipatah, adat orang diturut."
   "Jika keruh dihulu, tak dapat tidak dihilir keruh juga."
   "Jika tak ada rotan, akar pun berguna."
   "Jika takut dilanggar batang, jangan duduk di kepala pulau."
   "Jika takut dilimbur pasang, jangan berumah di tepi pantai."
   "Jika tangan kanan memberi, sebaiknya tangan kiri tidak mengetahui."
   "Jinak-jinak merpati, sudah dekat terbanglah dia."
   "Jual emas beli intan."
   "Jung pecah hiu kenyang."
   "Jung satu nakhoda dua."
   "Kacang lupa kulitnya."
   "Kail sebentuk, umpan seekor, sekali putus sehari hanyut."
   "Kail sejengkal janganlah menduga dalam lautan."
   "Kain basah kering di pinggang."
   "Kain dalam acar dikutip cuci ia hendak ke longkang lagi."
   "Kain ditangkap maka duduk."
   "Kain lama dicampak buang, kain baru pula dicari."
   "Kain pendinding miang, uang pendinding malu."
   "Kaki naik kepala turun."
   "Kaki tertarung inai padahannya, mulut terdorong emas padahannya."
   "Kalah jadi abu, menang jadi arang."
   "Kalah membeli, menang memakai."
   "Kalau di hutan tak ada singa, beruk rabun bisa menjadi raja."
   "Kalau kail panjang sejengkal, jangan laut hendak diduga."
   "Kalau kaki sudah terlangkahkan, pantang dihela surut."
   "Kalau kena tampar, biar dengan tangan yang bercincin."
   "Kalau kena tendang, biar dengan kaki yang berkasut."
   "Kalau mandi biarlah basah."
   "Kalau padi yang ditanam, rumput ikut tumbuh; Kalau rumput yang ditanam, padi tak akan ikut tumbuh."
   "Kalau pandai mencencang akar, mati lalu ke puncaknya."
   "Kalau sorak dahulu daripada tohok, tidak mati babi."
   "Kalau tak ada angin bertiup, takkan pokok bergoyang."
   "Kalau tak ingin terlimbur pasang, jangan berumah di tepi laut."
   "Kalau tidak berada-ada takkan tempua bersarang rendah."
   "Kapal besar ditunda jongkong."
   "Kapal satu nakhoda dua."
   "Karam berdua, basah seorang."
   "Karam di laut boleh ditimba, karam di hati bilakah sudah."
   "Karam sambal oleh belacan."
   "Karena mata buta, karena hati mati."
   "Karena mulut badan binasa."
   "Karena nila setitik, rusak susu sebelanga."
   "Karung tak berisi tak dapat ditegakkan."
   "Kasih anak dipertangis, kasih di bini ditinggal-tinggalkan."
   "Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan."
   "Kata banyak, kata bergalau."
   "Kata dahulu bertepati, kata kemudian kata bercari."
   "Kata raja melimpahkan, kata penghulu menyelesaikan."
   "Kayu besar ditengah padang."
   "Ke bawah tidak berurat, ke atas tidak berpucuk, di tengah-tengah ditebuk kumbang."
   "Ke gunung sama mendaki, ke lurah sama menurun."
   "Ke gunung tak dapat angin."
   "Kebaikan akan mendapat balasan kebaikan, kejahatan akan mendapat balasan setimpal pula."
   "Kebesaran air."
   "Kecil bernama, besar bergelar."
   "Kecil dikandung ibu, besar dikandung adat, mati dikandung tanah."
   "Kecil-kecil anak, sudah besar menjadi onak."
   "Kecil-kecil cabai rawit."
   "Kecil-kecil lada padi."
   "Kecil tapak tangan, nyiru saya tadahkan."
   "Kecil teranja-anja besar terbawa-bawa, tua berubah tidak."
   "Kecubung berulam ganja."
   "Kecundang lebih bagai kebaji."
   "Kehulu menongkah surut, kehilir menongkah pasang."
   "Kejujuran adalah abadi, kebohongan akan berubah selamanya."
   "Kejujuran bertahan sangat lama."
   "Kelekatu hendak terbang ke langit."
   "Kelihatan asam kelatnya."
   "Keluar mulut harimau, masuk mulut buaya."
   "Kena tendang biarlah dengan kaki berkasut, kena tampar biarlah dengan jari yang bercincin."
   "Kemana angin deras, kesitu condongnya."
   "Kemarau setahun dihapuskan hujan sehari."
   "Kepala boleh panas, tetapi hati harus tetap dingin."
   "Kepala sama hitam, isi hati siapa tahu."
   "Ketika ada sama dimakan, waktu tak ada sama ditahan."
   "Ketika ada jangan dimakan, telah habis maka dimakan."
   "Ketika gagak putih, bangau hitam."
   "Kilat cermin sudah ke muka, kilat beliung sudah ke kaki."
   "Kuah tercucur ke nasi, nasi akan dimakan juga."
   "Kuat ikan karena insang, kuat burung karena sayap."
   "Kunyah dahulu maka telan."
   "Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu."


   "Lain dimulut lain di hati."
   "Lain biduk kalang diletak."
   "Lain biduk, lain digalang."
   "Lain gatal, lain yang digaruk."
   "Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya."
   "Laki pulang kelaparan, dagang lalu ditanakkan."
   "Laksana kera dapat bunga."
   "Laksana apung-apung di tengah laut, dipukul ombak hanyut ke tepi."
   "Laksana garam dengan asam."
   "Lalu jarum, lalu kelindan."
   "Lancar kaji karena diulang, lancar jalan karena ditempuh."
   "Lebih baik mati berkalang tanah, dari pada hidup bercermin bangkai."
   "Lebih baik satu burung di tangan dari pada sepuluh burung di pohon."
   "Lembah juga yang dituruti air."
   "Lembu dongkol hendak menyondol."
   "Lempar batu sembunyi tangan."
   "Lepas dari mulut harimau, masuk kedalam mulut buaya."
   "Lewat dari manis, masam; lewat dari harum, busuk."
   "Lidah bercabang bagai biawak."
   "Lidah lebih tajam daripada pedang."
   "Lidah tak bertulang."
   "Lonjak seperti labu dibenam."
   "Lubuk akal tepian ilmu."
   "Lubuk alam tepian bumi."
   "Luka boleh sembuh, parutnya tinggal juga."
   "Luka di kaki, sakit seluruh badan."
   "Luka di tangan karena pisau, luka di hati karena kata."
   "Lunak gigi daripada lidah."
Peribahasa Indonesia A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z M
   "Mahal tak dapat dibeli, murah tak dapat diminta."
   "Main api hangus, main air basah."
   "Maju kena, mundur kena."
   "Majelis-majelis udang, tahi di kepala."
   "Makan bubur panas-panas."
   "Makan hati berulam jantung."
   "Makan upas berulam racun."
   "Makanan enggang takkan menjadi makanan pipit."
   "Makanan sudah tersedia, jamu belum juga datang."
   "Makin murah, makin ditawar."
   "Maksud bagai maksud manau."
   "Maksud hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai."
   "Malang bagai ayam, padi masak makan kehutan."
   "Malu berdayung hanyut serantau."
   "Malu bertanya, sesat di jalan."
   "Maling teriak maling."
   "Mana ada maling yang mengaku maling."
   "Mancit satu, gada seratus."
   "Mandi dengan air secupak."
   "Mandi di air kiambang, pelak lepas gatalpun datang."
   "Mandi sedirus."
   "Manikam sudah menjadi sekam."
   "Manis jangan lekas ditelan, pahit jangan lekas dimuntahkan."
   "Manusia merencanakan, Tuhan menentukan."
   "Manusia tertarik oleh tanah airnya, anjing tertarik oleh piringnya."
   "Mara jangan dipukat, rezeki jangan ditolak."
   "Masak diluar, mentah didalam."
   "Masak malam, mentah pagi."
   "Masakan ada ayam memantangkan jemuran."
   "Masuk kandang kambing mengembik, masuk kandang kerbau menguak."
   "Masuk tak genap, keluar tak ganjil."
   "Masuk tiga, keluar empat."
   "Matahari itu bolehlah ditutup dengan nyiru."
   "Mati anak berkalang bapak, mati bapak berkalang anak."
   "Mati dicatuk katak."
   "Mati harimau karena belangnya, mati kesturi karena baunya."
   "Mati harimau meninggalkan belang, mati gajah meninggalkan gading."
   "Mati ikan karena umpan, mati saya karena budi."
   "Mati rusa karena jejaknya."
   "Mati rusa karena tanduknya."
   "Mati satu tumbuh seribu."
   "Mati seladang."
   "Mati takkan menyesal, luka takkan menyiuk."
   "Mati-mati berdawat biarlah hitam, mati-mati mandi biarlah basah."
   "Mati-mati minyak biarlah licin."
   "Melepaskan anjing terjepit."
   "Meletakkan api dibubungan."
   "Melihat pungguk di dahan, punai di tangan dilepaskan."
   "Memagar kelapa condong."
   "Memahat di dalam garis."
   "Memakan habis-habis, menyuruk hilang-hilang."
   "Memancing di air keruh."
   "Memang lidah tidak bertulang."
   "Memasukkan minyak ke api."
   "Membasuh muka dengan air liur."
   "Membawa garam ke laut."
   "Membeli kerbau bertuntun."
   "Membubuhkan arang dimuka orang."
   "Memikul diatas bahu."
   "Mempertajam sanding."
   "Menabur bijan ke tasik."
   "Menangguk di air keruh."
   "Menang jadi arang, kalah jadi abu."
   "Menahan jerat ditempat genting."
   "Menaikkan air ke gurun."
   "Menanak semua beras."
   "Menari di ladang orang."
   "Mencabik baju didada."
   "Mencabut harus dengan akar-akarnya."
   "Mencari jejak diair."
   "Mencari lantai terjungkat."
   "Mencari umbut di batu."
   "Mencari jarum di tumpukan jerami."
   "Mencari yang sehasta sejengkal."
   "Mencencang berlandasan, melompat bersitumpu."
   "Mencencang memampas, membunuh membangun."
   "Mencoreng arang di muka sendiri."
   "Mencubit paha sendiri barulah paha orang lain."
   "Mendapat pisang terkubak."
   "Menanti kucing bertanduk."
   "Menebas buluh serumpun."
   "Menepak nyamuk menjadi daki."
   "Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri."
   "Menerka ayam dalam telur."
   "Mengabui mata orang."
   "Mengadu nasib."
   "Mengadu tuntung jarum."
   "Mengadu petah lidah."
   "Mengadu ujung jarum."
   "Mengadu ujung penjahit."
   "Mengambil puntung pemukul kepala."
   "Menggantang anak ayam."
   "Menggantang asap."
   "Menggenggam erat, membuhul mati."
   "Menggenggam tak tiris."
   "Mengharap burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan."
   "Mengharapkan hujan turun, air di tempayan ditumpahkan."
   "Menghendaki kuda bertanduk."
   "Menjemur sementara hari panas."
   "Menjentik puru di bibir."
   "Menjilat ludah di lantai."
   "Menjilat air liur sendiri."
   "Menjerit bagai kucing biang."
   "Menjual petai hampa."
   "Menjunjung uban."
   "Melanting menuju tampuk."
   "Menuhuk kawan seiring menggunting dalam lipatan."
   "Menunggu ara hanyut."
   "Menunjukkan ilmu kepada orang menetek."
   "Menyelam sambil minum air."
   "Menyelam tertumus seperti babi."
   "Merajuk air diruang, hendak karam ditimba juga."
   "Merak mengigal di hutan."
   "Merdeka atau mati."
   "Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak."
   "Mulut bau madu, pantat bau sengat."
   "Mulut bicara, badan binasa."
   "Mulut kapuk dapat ditutup."
   "Mulut manis kucandan murah."
   "Mulut manis mematahkan tulang."
   "Mulut terdorong, emas tantangannya."
   "Mulutmu harimaumu."
   "Mumbang ditebuk tupai."
   "Mundur satu langkah, maju dua langkah."
   "Murah di mulut mahal di timbangan."
   "Musang berbulu ayam."
   "Musang terjun, lantai terjungkat."
   "Musuh dalam selimut."
   "Musuh jangan diadang, selisih jangan dicari."
   "Nafas tak sampai ke hidung."
   "Nan lurah juga diturut air."
   "Nasi sama ditanak, kerak dimakan seorang."
   "Nasi sudah menjadi bubur."
   "Nasi tak dingin, pinggan tak retak."
   "Nasib sabut terapung, nasib batu tenggelam."
   "Neraca palingan bungkal, hati palingan Tuhan."
   "Neraca yang palingan, bungkal yang piawai."
   "Niat hati nak getah bayan, sudah tergetah burung serindit."
   "Nibung bangsai bertaruk muda."
   "Nyamuk mati gatal tak lepas."
   "Obat jauh penyakit hampir."
   "Oleng seperti cupak hanyut."
   "Ombak yang bersabung, baru dikenal siapa kawan siapa lawan."
   "Ombak yang kecil jangan diabaikan."
   "Ombaknya kedengaran tapi pasirnya belum kelihatan."
   "Orang berdendang dipentasnya, orang beraja dihatinya."
   "Orang bersiselam, awak bertimba."
   "Orang haus diberi air, orang mengantuk disorongkan bantal."
   "Orang karam dilaut, awak karam didarat."
   "Orang kaya suka dimakan, orang elok selendang dunia."
   "Orang muda menanggung rindu, orang tua menanggung ragam."
   "Orang penggamang mati jatuh, orang pencemas mati hanyut."
   "Orang terpegang pada hulunya, kita terpegang pada matanya."
   "Orang yang runcing tanduk."
   "Padam menyala, tarik puntung."
   "Padi ditanam tumbuh lalang."
   "Padi masak, jagung mengupih."
   "Pahit jangan lekas dimuntahkan manis jangan lekas ditelan."
   "Panci mengatakan belanga hitam."
   "Panas mentari di kepala orang banyak, panas hati dirasa sendiri."
   "Panas mentari setahun, dihapuskan hujan sehari."
   "Pandai berminyak air."
   "Pandai-pandai meniti buih, selamat badan di seberang."
   "Panjang jalan karena di turut, besar jalan karena dilalui."
   "Parang gabus menjadi parang besi."
   "Patah lidah alamat kalah."
   "Patah tumbuh hilang berganti."
   "Patah tongkat, berjermang."
   "Payah dilamun ombak, tercapai juga tanah tepi."
   "Pecah menanti sebab, retak menanti belah."
   "Pecak boleh dilayangkan, bulat boleh digulingkan."
   "Pegang kepala, ekor tak berdaya."
   "Pejatian awak, pantangan orang."
   "Pekak-pekak badak."
   "Pelabur habis Palembang tak jauh."
   "Pelanduk ditengah cerang."
   "Pelanduk lupakan jerat, jerat tak melupakan pelanduk."
   "Pembuat periuk bertanak ditembikar."
   "Pena lebih tajam daripada pedang."
   "Pencegahan lebih baik daripada pengobatan."
   "Pepat di luar, rancung di dalam."
   "Perang habis pencak teringat."
   "Pesan berturuti, petaruh bertunggu."
   "Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna."
   "Pikir itu pelita hati."
   "Pilin jering hendak berisi."
   "Pindah ke negeri cacing."
   "Pinjaman kayu ara."
   "Pipit berperang lawan garuda."
   "Pipit jantan tidak bersarang."
   "Pipit sama pipit, enggang sama enggang."
   "Pipit tuli makan dihujan, hendak dihalau kain basah, tidak dihalau padi habis."
   "Potong hidung rusak muka."
   "Potong kambing, nangka makan."
   "Pucuk bulat dalam negeri."
   "Pucuk dicinta ulam tiba."
   "Pucuk diremas dengan santan, urat direndam dengan tengguli, namun peria pahit juga."
   "Pucuk layu disiram hujan."
   "Pukat sudah terijuk."
   "Pukul anak sindir menantu."
   "Punggung parang pun jika diasah menjadi tajam."
   "Putih tapak lari."
   "Putus tali tempat bergantung, terban tanah tempat berpijak."
   "Qur'an adalah dasar hidup orang Minang."
   "Rawe-rawe rantas malang-malang putung."
   "Racun diminum haram tak mabuk."
   "Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah."
   "Rajin pangkal pandai."
   "Rasa air ke air, rasa minyak ke minyak."
   "Rebung tiada jauh dari rumpunnya."
   "Rekah tidak, rekat pukah."
   "Rendah gunung, tinggi harapan."
   "Rezeki musang tak akan didapat elang."
   "Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul."
   "Rumah besar perabung perak."
   "Rumah besar perabung upih."
   "Rumah sudah, tukul pahat berbunyi."
   "Rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri."
   "Rupa boleh diubah, tabiat dibawa mati."
   "Rupa harimau, hati tikus."
   "Rupa seperti pulut, bila dimasak berderai."
   "Rusak anak oleh menantu."
   "Rusak badan karena penyakit, rusak bangsa karena laku."
   "Sabung selepas hari petang."
   "Sakit menimpa, sesal terlambat."
   "Salah bunuh memberi bangun, salah cencang memberi pampas."
   "Salah langkah surut kembali."
   "Salah makan memuntahkan, salah tarik mengembalikan."
   "Sambil berdendang biduk hilir."
   "Sambil berdiang nasi masak."
   "Sambil berlayar sambil menampan."
   "Sambil menyelam minum air."
   "Sambil menyuruk, galas lalu."
   "Sampan ada pengayuh tidak."
   "Sarak serasa hilang, bercerai serasa mati."
   "Satu tangan menunjuk ke orang lain, tiga tangan menunjuk ke diri sendiri."
   "Satu orang makan nangka, semua kena getahnya."
   "Sawah berpematang, ladang berbintalak."
   "Sayang akan garam sececah, kerbau seekor dibusukkan."
   "Sayangkan anak tangan-tangani, sayangkan istri tinggal-tinggalkan."
   "Sayangkan kain, buangkan baju."
   "Sayang-sayang buah kepayang, dimakan mabuk dibuang sayang."
   "Seayun bagai berbuai."
   "Sebab buah dikenal pohonnya."
   "Sebagai abu di atas tanggul."
   "Sebagai anjing terpanggang ekor."
   "Sebagai gagak pulang ke benua."
   "Sebagai melihat asam."
   "Sebelum ajal berpantang mati."
   "Sebesar-besar bumi ditampar tak kena."
   "Sebingkah tanah terbalik, sebatang pohon rebah."
   "Seciap bagai ayam, sedencing bagai besi."
   "Sedepa jalan kemuka, setelempap jalan kebelakang."
   "Sedia payung sebelum hujan."
   "Sedikit bubur banyak sendoknya."
   "Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit."
   "Sedikit hujan banyak yang basah."
   "Seekor kerbau berkubang, semua kena lulutnya."
   "Segan bergalah, hanyut serantau."
   "Seguru, seilmu, jangan mengganggu."
   "Sehampir-hampir tepi kain, hampir juga tepi bebat."
   "Sehari selembar benang, lama-lama jadi sehelai kain."
   "Seidas bagai benang, sebentuk bagai cincin."
   "Seiring bertukar jalan."
   "Sejelek-jelek pemimpin pasti punya anak buah, sebaik-baik pemimpin pasti punya musuh."
   "Sejengkal jadi sehasta."
   "Sekali air besar, sekali tepian berubah."
   "Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya."
   "Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang."
   "Sekali melempar batu, dua burung yang kena."
   "Sekali membuka pura, dua tiga utang terbayar."
   "Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui."
   "Sekali tepuk dua lalat."
   "Sekerat ular, sekerat belut."
   "Selama air hilir, selama gagak hitam."
   "Semut-semut selalu bekerja sama dalam segala kegiatan."
   "Sendok berdegar-degar, nasi habis budi dapat."
   "Sendok besar tak mengenyang."
   "Sendok dan periuk lagi berantuk."
   "Senjata makan tuan."
   "Seorang makan cempedak, semua kena getahnya."
   "Sepandai-pandai membungkus yang busuk berbau juga."
   "Sepandai-pandai tupai meloncat, jatuh juga."
   "Sepanjang-panjang tali tidak sepanjang mulut orang."
   "Sepasin dapat bersiang."
   "Seperti abu di atas tunggul."
   "Seperti air dengan kolam."
   "Seperti air di daun talas."
   "Seperti air pembasuh tangan."
   "Seperti anai-anai bubus."
   "Seperti anak ayam kehilangan induk."
   "Seperti anak sepat ketohoran."
   "Seperti anak yang baru dibedung."
   "Seperti anjing bercawat ekor."
   "Seperti anjing berebut tulang."
   "Seperti anjing berjumpa pasir."
   "Seperti anjing beroleh bangkai."
   "Seperti anjing dengan kucing."
   "Seperti anjing digosok kepala, menjungkit ekor."
   "Seperti anjing kedahuluan."
   "Seperti anjing mengunyah tulang."
   "Seperti anjing terpanggang ekor."
   "Seperti antah ditepi gantang, masuk tak genap keluar tak ganjil."
   "Seperti api dalam sekam."
   "Seperti api makan ladang kering."
   "Seperti aur ditarik sungsang."
   "Seperti ayam beranak itik."
   "Seperti ayam beroleh ubi."
   "Seperti ayam dimakan tungau."
   "Seperti ayam gadis bertelur."
   "Seperti ayam mengarang telur."
   "Seperti ayam pulang ke pautan."
   "Seperti ayam termakan rambut."
   "Seperti ayam, kais pagi makan pagi, kais petang makan petang."
   "Seperti bangau di ekor kerbau."
   "Seperti Belanda minta tanah."
   "Seperti belut jatuh ke lumpur."
   "Seperti berdiang di abu dingin."
   "Seperti berjejak diatas bara."
   "Seperti berlindung di balik sehelai daun."
   "Seperti biduk dikayuh hilir."
   "Seperti birah tidak berurat."
   "Seperti birah tumbuh di tepi lesung."
   "Seperti bisai makan sepinggan."
   "Seperti buah masak seulas."
   "Seperti bujang jolong bekerja, gadis jolong bersubang."
   "Seperti bujang jolong berkeris."
   "Seperti buku gaharu."
   "Seperti bulan dipagar bintang."
   "Seperti bunga kembang setaman."
   "Seperti cacing kepanasan."
   "Seperti cendawan dimusim hujan."
   "Seperti Cina karam."
   "Seperti Cina kebakaran jenggot."
   "Seperti diiris-iris dengan sembilu."
   "Seperti disalak anjing bertuah."
   "Seperti ditempuh gajah lalu."
   "Seperti elang menyongsong angin."
   "Seperti emas yang baru diupam."
   "Seperti embun di atas daun."
   "Seperti embun di ujung rumput."
   "Seperti gergaji bermata dua."
   "Seperti gunting makan diujung."
   "Seperti harimau menyembunyikan kuku."
   "Seperti hujan balik kelangit."
   "Seperti ikan dalam air."
   "Seperti ikan dalam belanga."
   "Seperti itik mendengarkan guntur."
   "Seperti itik pulang petang."
   "Seperti jamur dimusim hujan."
   "Seperti janggut pulang ke dagu."
   "Seperti jentayu rindukan hujan."
   "Seperti katak dalam tempurung."
   "Seperti katak hendak jadi lembu."
   "Seperti kelapa sompong."
   "Seperti kerbau dicucuk hidung."
   "Seperti kucing lepas senja."
   "Seperti lalat mencari puru."
   "Seperti lipas kudung."
   "Seperti membakar lalang."
   "Seperti menampalkan kersik ke buluh."
   "Seperti menatang minyak penuh."
   "Seperti mendapat durian runtuh."
   "Seperti menggantang asap."
   "Seperti menggenggam bara, terasa hangat dilepaskan."
   "Seperti menghasta kain sarung."
   "Seperti menghela rambut ditepung, rambut tak putus, tepung tidak terserak."
   "Seperti meniup api diatas air."
   "Seperti negeri dialahkan garuda."
   "Seperti nyawa ayam."
   "Seperti orang buta baru melek."
   "Seperti orang buta kehilangan tongkat."
   "Seperti orang darat jolong menurun."
   "Seperti padi hampa, kepalanya mencongak."
   "Seperti pinang dibelah dua."
   "Seperti pinang pulang ke tampuknya."
   "Seperti pipit menelan jagung."
   "Seperti rusa masuk kampung."
   "Seperti sayur dengan rumput."
   "Seperti sayur tidak berbumbu."
   "Seperti seludang menolak mayang."
   "Seperti sirih pulang ke gagangnya."
   "Seperti talam dua muka."
   "Seperti telur di ujung tanduk."
   "Seperti tidak berjejak di bumi."
   "Seperti tikus jatuh ke beras."
   "Seperti udang dipanggang."
   "Seperti ular dicubit ekor."
   "Seperti ular kena palu."
   "Seperti unta menyerahkan diri."
   "Sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya tetap tercium juga."
   "Sepuluh batang bertindih yang di bawah juga yang kena."
   "Sepuluh jung masuk pelabuhan, anjing bercawat ekor jua."
   "Serigala berbulu domba."
   "Seringgit dua kupang."
   "Sesak alam tempat diam, tak berbumi tempat tegak."
   "Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna."
   "Sesat di ujung jalan surut ke pangkal jalan."
   "Sesat surit terlangkah kembali."
   "Sesayat sebelanga juga."
   "Sesungguhpun kawat yang dibentuk, ikan yang dilaut yang diadang."
   "Setajam-tajam pisau, masih lebih tajam lidah."
   "Setali tiga uang."
   "Setinggi-tinggi bola melambung, jatuhnya ke tanah jua."
   "Setinggi-tingginya bangau terbang, akhirnya ke pelimbahan juga."
   "Siang bermatahari, malam berbulan."
   "Siang berpanas, malam berembun."
   "Siapa berkotek, siapa bertelur."
   "Siapa cepat boleh dapat, siapa kemudian putih mata."
   "Siapa melompat, siapa patah."
   "Siapa yang kena cubit, itulah yang merasa sakit."
   "Siapa yang mau mengaku berak di tengah jalan."
   "Siapa yang menabur angin, akan menuai badai."
   "Siapa yang menggali lubang, akan terperosok lubang sendiri."
   "Sia-sia menggiring angin, terasa ada tertangkap tidak."
   "Sia-sia utang tumbuh."
  

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook