Monday, November 2, 2015

Peringatan Maulid Adalah Salah Satu Langkah Sadduz Zari’ah.



APAKAH IBNU BIN BAZ DAN  AL-BANI TIDAK PERNAH BELAJAR
SADDUZ ZARI’AH.?


Rakib Jamari Pekanbaru Indonesia 2015
         Peringatan  Maulid Adalah Salah Satu Langkah  Sadduz  Zari’ah.  Setiap pebuatan yang secara sadar dilakukan oleh seseoang pasti mempunyai tujuan tertentu yang jelas, begitu juga peringatan maulid yang dibuat oleh Al-Muzaffar, ada tuuan besar di sebaliknya, maka maulid dipakai sebagai siasat dari sadduz  zari’ah, terkadang tanpa mempersoalkan apakah perbuatan yang dituju itu baik atau buruk, mendatangkan manfaat atau menimbulkan mudharat. Sebelum sampai pada perbuatan yang dituju, ada serentetan perbuatan yang mendahuluinya dan harus dilalui. Contoh, bila seseorang ingin menuntut ilmu, ia melalui beberapa fase kegiatan seperti mencari guru, menyiapkan tempat dan alat-alat belajarnya. Perbuatan pokok dalam hal ini adalah menuntut.
PERINGATAN MAULID ADALAH PENDAHULUAN JIHAD
GUNANYA UNTUK, MEMOTIBASI UMMAT
PARA PEMUDA JADI BERANI, MENGHADAPI PENJAHAT
KARENA PENJAJAH SUDAH,  TERLALU NEKAT


           Peringatan maulid adalah pendahuluan, pemberi motivasi untuk berjihad, menglau tentara monggol saat itu. Contoh pebuatan pendahuluan yang sudah diatur hukumnya adalah: Wudhu. wudhu adalah perantara melakukan shalat, namun kewajiban wudhu itu sendiri telah diatur hukumnya oleh al-Qur’an. Jelas dalam hal ini antara wudhu (perantara) dan shalat yang menjadi perbuatan pokok hukumnya sama-sama wajib. Contoh lain yaitu Berzina. Berzina adalah perbuatan yang dilarang, sedangkan perbuatan yang mendahuluinya adalah berkhalwat yang hukumnya sudah ditentukan dalam al-Qur’an. Jadi antara zina yang menjadi perbuatan pokok dengan khalwat yang menjadi perbuatan perantara hukumnya sama-sama haram.
Sedangkan contoh perbuatan pendahuluan yang tidak ditetapkan hukumnya adalah kewajiban menuntut ilmu itu diwajibkan tetapi perbuatan perantara seperti mendirikan sekolah dan mencari guru itu tidak ada dalil hukumnya secara langsung. Dapatkah mendirikan sekolah dan oencari guru itu wajib sebagaimana wajibnya menuntut!ilmu?. Contoh lain adalah membunuh tanpa hak merupakan perbuatan haram yang harus dijauhi, tetapi untuk menghindar dari membunh tanpa hak umpamanya dengan tidak memiliki senjata, dalam hal ini dapatkah memiliki senjata dikatakan hukumnya haram sebagaimana haramnya membunh tanpa hak yang menjadi perbuatan pokok?. Berangkat dari kegelisahan inilah maka penulis ingin membahas mengenai perbuatan pendahuluan yang belum jelas kontek hukumnya yang dalam makalah ini disebut dengan Dzari’ah. Fiqh merupakan suatu ilmu yang mempunyai tema pokok dengan kaidah dan prinsip tertentu. Karenanya dalam kajian fiqh para fuqaha menggunakan metode-metode tertentu, seperti qiyas, istihsan, istishab, istislah, dan sadd az-Zari’ah (az-Zari’ah). Oleh karena itu zari’ah menjadi hal yang penting untuk dikaji kaitannya dengan ikhtiyat untuk menghindari kemudaratan.
  1. Rumusan Masalah
  2. Pengertian Saddu Dzari’ah
  3. Dasar Hukum Saddu Dzari’ah
  4. Kedudukan Saddu Dzari’ah sebagai sumber hokum
  5. Objek Saddu Dzari’ah
  6. Pengelompokan Saddu Dzari’ah
  7. Contoh Saddu Dzari’ah
Pesan dan kesan untuk Ibnu bin Bazz, tahukan anda pengertian Saddu Dzari’ah?
Hei, kata sadd adz-dzari’ah (سد الذريعة) merupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd (سَدُّ)dan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة). Secara etimologis, kata as-sadd (السَّدُّ)merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari سَدَّ يَسُدُّ سَدًّا. Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang. Sedangkan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) adalah adz-dzara’i (الذَّرَائِع). Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzara’i.
Saddu Dzara’i berasal dari kata sadd dan zara’i. Sadd artinya menutup atau menyumbat, sedangkan zara’i artinya pengantara
Dzari’ah berarti “jalan yang menuju kepada sesuatu.” Ada juga yang mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan “sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudaratan.” Akan tetapi Ibn Qayyim al-Jauziyah (ahli fiqh) mengatakan bahwa pembatasan pengertian dzari’ah kepada sesuatu yang dilarang saja tidak tepat, karena ada juga dzari’ah yang bertujuan kepada yang dianjurkan.[1] Oleh sebab itu, menurutnya pengertian dzari’ah lebih baik dikemukakan yang bersifat umum , sehingga dzari’ah itu mengandung dua pengertian, yaitu: yang dilarang (sadd al-dzariah) dan yang dituntut untuk dilaksanakan (fath al-dzari’ah).
Pada awalnya, kata adz-adzari’ah dipergunakan untuk unta yang dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang pemburu agar bisa mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung di samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika unta sudah dekat dengan binatang yang diburu, sang pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-A’rabi, kata adz-dzari’ah kemudian digunakan sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain.
  1. Secara terminologi
Ibnul Qayyim dan Imam Al-Qarafi menyatakan bahwa Dzari’ah itu ada kalanya dilarang yang disebut Saddus Dzari’ah, dan ada kalanya dianjurkan bahkan diwajibkan yang disebut fath ad-dzari’ah. Seperti meninggalkan segala aktivitas untuk melaksanakan shalat jum’at yang hukumnya wajib. Tetapi Wahbah Al-Juhaili berbeda pendapat dengan Ibnul qayyim. Dia menyatakan bahwa meninggalkan kegiatan tersebut tidak termasuk kedalam dzari’ah tetapi dikategorikan sebagai muqaddimah (pendahuluan) dari suatu perbuatan
Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariah sebagai sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan adz-dzari’ah secara umum dan tidak mempersempitnyahanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-dzari’ah yang pada awalnya memang dilarang. Klasifikasi adz-dzariah oleh Ibnu al-Qayyim tersebut akan dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.[2]
Kesimpulannya adalah bahwa Dzari’ah merupakan washilah (jalan) yang menyampaikan kepada tujuan baik yang halal ataupun yang haram. Maka jalan/ cara yang menyampaikan kepada yang haram hukumnyapun haram, jalan / cara yang menyampaiakan kepada yang halal hukumnyapun halal serta jalan / cara yang menyampaikan kepada sesuatu yang wajib maka hukumnyapun wajib[3]
Contohnya:
–          Zina hukumnya haram, maka melibat aurat wanita yang menghantarkan kepada perbuatan zina juga merupakan haram
–          shalat jum,at merupakan kewajiban maka meninggalkan segala kegiatan untuk melaksanakan shalat jum’at wajib pula hukumnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.


  1.  Dasar hukum saddu dzari’ah
1)      Al qur’an
Ÿwur(#q™7Ý¡n@šúïÏ%©!$#tbqããô‰tƒ`ÏBÈbrߊ«!$#(#q™7Ý¡uŠsù©!$##Jrô‰tãÎŽötóÎ/5Où=Ïæ3y7Ï9ºx‹x.$¨Y­ƒy—Èe@ä3Ï9>p¨Bé&óOßgn=uHxå§NèO4’n<Î)NÍkÍh5u‘óOßgãèÅ_ó£DOßgã¥Îm7t^ã‹sù$yJÎ/(#qçR%x.tbqè=yJ÷ètƒÇÊÉÑÈ  

Artinya “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.(QS. Al an’am: 108)”.
Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah adz-dzari’ah yang akan menimbulkan  adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan tindakan preventif (sadd adz-dzari’ah).
$yg•ƒr’¯»tƒšúïÏ%©!$#(#qãYtB#uäŸw(#qä9qà)s?$uZÏãºu‘(#qä9qè%ur$tRöÝàR$#(#qãèyJó™$#ur3šúï̍Ïÿ»x6ù=Ï9urë>#x‹tãÒOŠÏ9r&ÇÊÉÍÈ  
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi Katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.(QS. Al baqoroh: 104)
Pada surah al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Kata raa ‘ina (رَاعِنَا) berarti: “Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek dan menghina Rasulullah SAW. Mereka menggunakannya dengan maksud kata raa’inan (رَعِنًا)sebagai bentuk isim fail dari masdar kata  ru’unah(رُعُوْنَة)yang berarti bodoh atau tolol.Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi SAW mengganti kata raa’ina yang biasa mereka pergunakan dengan unzhurna yang juga berarti sama dengan raa’ina. Dari latar belakang dan pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd adz-dzari’ah.
2). As sunnah
1)      Diantara dalil sunnah adalah larangan menimbun demi mencegah terjadinya keulitan atas manusia. Nabi juga melarang orang yang berpiutang menerima hadiah dari orang yang berhutang demi menutup celah riba.
2)      Fuqaha sahabat juga menerapkan prinsip ini, hingga mereka memberikan waris kepada wanita yang dicerai ba’in, jika suami mencerainya dalam keadaan sakit kritis, demi untuk menutup terhalanginya celah istri dari mendapatkan warisan
عَنْعَبْدِاللَّهِبْنِعَمْرٍورَضِيَاللهُعَنْهُمَاقَالَقَالَرَسُولُاللهِصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَإِنَّمِنْأَكْبَرِالْكَبَائِرِأَنْيَلْعَنَالرَّجُلُوَالِدَيْهِقِيلَيَارَسُولَاللهِوَكَيْفَيَلْعَنُالرَّجُلُوَالِدَيْهِقَالَيَسُبُّالرَّجُلُأَبَاالرَّجُلِفَيَسُبُّأَبَاهُوَيَسُبُّأُمَّهُ
Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya.” Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut
  1. Kedudukan sebagai sumber hukum
Kedudukan Saddu Dzari’ah
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd al-dzarỉ‘ah sebagai metode dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2) yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas.
Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain, kelompok ini menolak sadd al-dzarỉ‘ah sebagai metode istinbath pada kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain.
Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Zhahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual(zhâhir al-lafzh). Sementara sadd al-dzarỉ‘ah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd al-dzarỉ‘ah adalah semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nashsecara langsung.
Masalah ini menjadi perhatian para ulama’ karena banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan kearah itu, umpamanya:
  1. Surat Al-An’am ayat 108 yang artinya: Janganlah kamu caci orang yang menyembah selain Allah, karena nanti ia akan memushi tanpa pengetahuan.
Sebenarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah itu boleh-boleh saja, bahkan jika perlu boleh memeranginya, namun karena perbuatan mencaci dan menghina itu akan menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah, maka perbuatan mencaci dan menghinanya menjadi dilarang.
  1. Surat al-Nur ayat 31 yang artinya: Janganlah perempuan itu menghentakkan kakinya supaya diketahui orang perhiasan yang tersembunyi didalamnya.
Sebenarnya menghentakkan kaki itu bagi perempuan boleh saja, tapi kaena menyebabkan perhiasannya yang tersembunyi doketahui orang sehingga menimbulkan angsangan bagi yang mendengarnya, maka menghentakkan kaki bagi perempuan itu menjadi terlarang.[4]
Dari dua contoh ayat diatas terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlarang, meskipun pada dasarnya perbuatan itu boleh hukumnya.
Dari ayat yang sudah dibahas diatas juga dapat diketahui bahwa Saddus Zari,ah mempunyai dasar dari al-Qur,an, sedangkan dasar-dasar saddus zari’ah dari sunnah adalah:
  1. Nabi melarang membunuh orang munafik, karena membunuh orang munafik bisa menyebabkan nabi dituduh membunuh sahabatnya.
  2. Nabi melarang kreditor untuk menerima hadiah dari debitor karena cara demikian bisa mengarah kepada riba, atau untuk ikhtiyat.
  3. Nabi melarang memotong tangan pencuri pada waktu perang dan ditangguhkan sampai selesai perang, karena dikhawatikan tentara-tentara lari bergabung bersama musuh.
  4. Nabi melarang melakukan penimbunan karena penimbunan bisa mengakibatkan kesulitan manusia.[5]
Nabi melarang fakir miskin dari bani hasyim menerima bagian dari zakat agar tidak menimbulkan fitnah bahwa nabi memperkaya diri dan keluarganya dari zakat
  1. Objek Saddu Al-Dzari’ah
Pada dasranya yang menjadi objek dzari’ah adalah semua perbuatan ditinjau dari segi akibatnya yang dibagi menjadi empat, yaitu :
1)   Perbuatan yang akibatnya menimbulkan kerusakan/bahaya, seperti menggali sumur di belakang pintu rumahdijalan gelap yang bisa membuat orang yang akan masuk rumah jatuh kedalamnya.
2)   Perbuatan yang jarang berakibat kerusakan/bahaya, seperti berjual makanan yang tidak menimbulkan bahaya, menanam anggur sekalipun akan dibuat khamar. Ini halal karena membuat khamar adalah nadir (jarang terjadi)
3)   Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya; tidak diyakini dan tidak pula dianggap nadir (jarang terjadi). Dalam keadaan ini, dugaan kuat disamakan dengan yakin karena menutup pintu (saddu dzari’ah) adalah wajib mengambil ihtiat (berhati-hati) terhadap kerusakan sedapat mungkin, sedangkan ihtiat tidak diragukan lagi menurut amali menempati ilmu yakin. Contohnya menjual senjata diwaktu perang/fitnah, menjual anggur untuk dibuat khamar, hukumnya haram.
4)   Perbuatan yang lebih banyak menimbulkan kerusakan, tetapi belum mencapai tujuan kuat timbulnya kerusakan itu, seperti jual-beli yang menjadi sarana bagi riba, ini diharamkan. Mengenai bagian keempat initerjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama, apakah ditarjihkan yang haram atau yang halal. Imam Malik dan Imam Ahmad menetapkan haram.

  1. Pengelompokan Saddu Dzari’ah
Dzari’ah dapat dikelompokkan dengan melihat beberapa segi:
1)      Dari segi akibat (dampak) yang ditimbulkannya, Ibnu Qayyim membagi dzari’ah menjadi 4 yaitu:
–          Dzari’ah yang pada dasarnya membawa kepada kerusakan. Contohnya, minuman yang memabukkan akan merusak akal dan perbuatan zina akan merusak keturunan.
–          Dzari’ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah (boleh), namun ditujukan untuk pebuatan buruk yang merusak baik yang disengaja seperti nikah muhallil, atau tidak disengaja seperti mencaci sesembahan agama lain.
–          Dzari’ah yang semula ditentukan mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun biasanya sampai juga kepada kerusakan dan kerusakan itu lebih besar daripada kebaikannya. Seperti berhiasnya seorang istri yang baru ditinggal mati oleh suaminya, sedangkan dia dalam masa iddah.
–          Dzari’ah yang semula ditentukan mubah, namun terkadang membawa kepada kerusakan tetapi kerusakannya lebih kecil daripada kebaikannya. Contoh dalam hal ini adalah melihat wajah perempuan saat dipinang.
2)      Dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkannya, Abu Ishak al-Syatibi membagi dzari’ah menjadi 4 macam:
–          Dzari’ah yang membawa kerusakan secara pasti. Umpamanya menggali lobang ditanah sendiri yang lokasinya didekat pintu rumah orang lain diwaktu gelap.
–          Dzari’ah yang kemungkinan besar mengakibatkan kerusakan. Umpamanya menjual anggur kepada pabrik minuman dan menjual pisau tajam kepada penjahat yang sedang mencari musuhnya.
–          Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan.
–          Perbuatan yang pada dasarnya mubah karena mengandung kemaslahatan, tetapi dilihat dari pelaksanaannya ada kemungkinan membawa kepada sesuatu yang dilarang. Misalnya semacam jual-beli yang dilakukan untuk mengelak dari riba, umpama si A menjual arloji kepada si B dengan harga rp 1.000.000 dengan hutang, dan ketika itu arloji tersebut dibeli lagi oleh si A dengan harga rp 800.000 tunai, si B mengantongi uang p 800.000 tetapi nanti pada waktu yang sudah ditentukan si B harus membayar rp 1000.000 pada si A.  Jual beli seperti ini dikenal dengan bai’ al-ainah atau bai’ul ajal.
  1. Contoh Saddu Al-Dzari’ah

Melarang perbuatan/permainan judi tanpa uang. Melarang orang minum seteguk minuman keras, padahal seteguk itu tidak memabukkan. Melihat aurat perempuan itu dilarang, untuk menyumbat jalan terjadinya perzinaan. Larangan semacam ini untuk menutup jalan agar jangan sampai muncul/bertambahnya penjudi, pemabuk, dan pezina.


No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook