Wednesday, December 30, 2015

BAB IV GHAZWUL FIKRI KE 4. Hukum Hukuman Pendidikan OLEH Dr.H.M.Rakib, Drs. S.H.,M.Ag



BAB IV  GHAZWUL FIKRI KE 4.
Hukum Hukuman Pendidikan

OLEH Dr.H.M.Rakib, Drs. S.H.,M.Ag

        Hukuman  boleh diberikan setelah nasihat-nasihat verbal atau apa saja tidak lagi dapat mengusik kesadaran  anak didik.[1] Dalam kaitan ini, Russel menulis, "Saya sendiri secara pribadi ingin mengatakan bahwa hukuman fisik dalam proses pendidikan sangat tidak berarti, bahkan mungkin hanya masuk sebagai alternatif kedua."  John Locke menulis, "Benar bahwa hukuman fisik kadang-kadang diperlukan. Tetapi harus disadari bahwa tujuan sebuah hukuman adalah mendidik moral. Hal yang harus dilakukan adalah membuat anak  merasa malu berbuat nakal dan bukan karena  takut akan sanksi hukuman, karena hukuman yang terlalu keras melatih anak-anak menjadi patuh secara lahiriahnya saja."[2]
             A.L Gary Gore  menulis, "Ada kalanya orang dewasa harus memberikan hukuman fisik kepada anak. Misalnya jika anak usia sekolah atau sudah agak dewasa mengganggu ayah dan ibu atau adik mereka. Sebelumnya sudah diperingatkan tapi tetap  meneruskan kenakalannya, anak-anak itu harus diberi hukuman..".[3] Sebaliknya orangtua selayaknya menggunakan hukuman dengan  strategi yang tepat. Kalau  dilaksanakan ketika  dalam puncak kemarahan dan tanpa pertimbangan terhadap kondisi dan psikologi anak-anak, bisa-bisa merusak hubungan orangtua dan anak. Anak akan kehilangan kepercayaan dan juga bisa dendam. Hukuman yang tidak tepat, akibatnya anak tidak mematuhi keinginan orang  tua, karena melukai hatinya. Timbul dalam diri  anak keinginan  membalas rasa sakit hatinya.[4] Sebelum menjatuhkan hukuman terhadap anak-anak dipertimbangkan secara baik dan  manfaat dan mudaratnya. Hukuman apa dan dalam kondisi bagaimana hukuman itu patut diberikan dan tidak patut diberikan terhadap anak-anak.
            Masih pendapat A.L Gary Gore, bahwa hukuman memang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam membina anak-anak, malahan dalam situasi tertentu mutlak diperlukan. Tetapi pada saat yang sama ia sama sekali tidak setuju secara mutlak dengan hukuman fisik. Ia tidak keberatan dengan hukuman non-fisik tapi bukan yang berat. Beliau menambahkan, "Perlu diingat bahwa jangan sekali-kali memberikan hukuman yang akan merendahkan harga diri anak, seperti hukuman badan, ancaman dengan siksaan atau apa saja demi menghancurkan keinginan buruknya. Hindarilah hukuman-hukuman seperti memukul, atau menyekap anak di ruangan yang gelap dan sempit."[5]
             Secara yuridis, undang-undang tentang perlindungan guru telah termuat dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau satuan pendidikan, wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Hal ini terlihat bahwa eksistensi UU No.14/2005 telah memuat perlindungan,[6] terhadap guru atas profesinya. Namun implementasi terhadap undang-undang tersebut masih belum terlaksana. Islam menerima hukuman sebagai bagian dari sistem pendidikan. Ada beberapa kategori hukuman dalam Islam: Hukuman non-fisik seperti ancaman, peringatan atas orang-orang yang berdosa dengan siksaan di hari akhirat, denda, dan diat. Ayat-ayat al-Quran mengilustrasikan dalam berbagai kesempatan tentang kabar gembira untuk orang-orang yang beriman dan ancaman akhirat untuk orang-orang yang berdosa. Bahkan nabi sendiri diperkenalkan sebagai pembawa kabar gembira dan pembawa peringatan.  Hukuman jenis kedua yaitu hukuman fisik yang bersyarat,[7] seperti hukuman penjara, pengasingan, kisas, pukulan, hukuman  aturannya telah ditetapkan oleh syariat.
            Dalam pembunuhan yang disengaja wali yang dibunuh bisa meminta hukuman qishas terhadap hakim. Dalam pembunuhan yang tidak disengaja si pembunuh wajib menyerahkan denda (diat) kepada wali yang dibunuh. Perempuan dan laki-laki yang berzina akan mendapatkan hukuman cambuk sebanyak seratus kali deraan. Perilaku homo seksualitas (liwâth) yang disengaja dalam kondisi tertentu akan mendapatkan hukuman mati. Peminum khamar dalam kondisi tertentu akan mendapatkan hukuman cambuk seratus kali, mencuri dalam kondisi tertentu akan mendapatkan hukuman potong tangan.
         
             Siapa saja yang dengan sengaja mengakibatkan anggota badan orang lain terpotong akan dikisas oleh hakim syar'i, yaitu dipotong anggota badan yang sama, tapi kalau secara tidak sengaja maka ia harus membayar denda dalam jumlah tertentu. Untuk mengetahui lebih lengkap tentang aturan-aturan hukuman Islam, Anda bisa merujuk kitab-kitab fikih. Hukuman jenis ketiga yaitu ta'zîr. Ta'zîr adalah hukuman fisik yang ketentuannya diatur oleh seorang hakim tetapi tentunya lebih ringan dari had.  Dalam kasus pelanggaran yang hukumannya tidak ditentukan oleh syariat, sang hakim tidak bisa memberikan hukuman yang sesuai dengan pelanggaran itu hanya demi kemaslahatan umum, tapi ia bisa memberikan hukuman yang kurang dari had. Contohnya kalau seorang laki-laki mencium anak atau perempuan yang bukan istrinya dengan penuh nafsu, sang hakim syar'i dapat menjatuhkan hukuman ta'zîr .
           Laki-laki dan perempuan (bukan muhrim) yang tidur terlentang di atas ranjang. Secara umum siapa saja yang melakukan dosa besar maka ia bisa dijatuhi hukuman ta'zîr dari sang hakim. “Islam memberi tempat bagi hukuman fisik”,[8] dan non-fisik sebagai bagian dari pendidikan yang penting dan demi memelihara keadilan dan ketenteraman masyarakat. Islam melegalkan hukuman-hukuman itu bukan sebagai bentuk balas dendam kepada orang-orang yang berdosa, namun untuk menjaga stabilitas sosial dan hak-hak manusia. Hukuman dalam jarimah ta’zir tidak ditentukan ukurannnya oleh Al-quran dan hadits, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari’ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah. Abd al- Qadir Awdah membagi jarimah ta’zir menjadi tiga, yaitu :

             1)  Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur shubhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat, seperti pencurian harta (syirkah), pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan percurian yang bukan harta benda.
               2)   Jarimah ta’zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya oleh syari’ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama.
            3)   Jarimah ta’zir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi perimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.[9]
  Setelah penulis analisis tentang  menetapan jarimah ta’zir, ta’zir, ternyata prinsip utama yang menjadi acuan adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharatan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i.[10]Hukuman-hukuman ta’zir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih diantara hukuman-hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya. Bentuk-bentuk Hukuman ta’zir antara lain:
1)      Hukuman mati
Pada prinsipnya menurut syari’ah Islam, hukuman ta’zir adalah memberikan pengajaran (ta’dib) dan tidak sampai membinasakan. Dalam hukuman ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa fuqaha memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata-mata, pembuat fitnah, residivis yang membahayakan. Namun menurut sebagian fuqaha yang lain dalam jarimah ta’zir tidak ada hukuman mati.[11]
2)      Hukuman cambuk
Di kalangan fuqaha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama’ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imama Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir adalah 39 kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali. Sedangkan di kalangan  madzhab Syafi’i ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu Yusuf. Sedangkan pendapat yang ketiga, hukuman jilid pada ta’zir boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat lain bahwa jarimah ta’zir yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah hudud.
Dalam mazhab Hanbali ada lima pendapat. Tiga di antaranya sama dengan pendapat madzhab Imam Syafi’i. Pendapat keempat mengatakan bahwa jilid yang diancam atas sesuatu perbuatan jarimah tidak boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarimah lain yang tidak sejenisnya. Pendapat kelima mengatakan bahwa hukuman ta’zir tidak boleh melebihi 10 kali. Alasannya adalah hadits dari Abu Darda’ sebagai berikut : “Seseorang tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali, kecuali dalam salah satu hukuman hudud[12]
3)      Hukuman Kurungan
Ada dua macam hukuman  dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, hukuman tahanan terbatas. Batas terendah dari hukuman ini adalah satu hari, sedangkan tentang batas tertinggi, ulama’ berbeda pendapat. Ulama Syafi’iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama-ulama lain menyerahkan semuanya kepada penguasa berdasarkan maslahat.[13]Kedua, hukuman tahanan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman tahanan ini tidak ditentukan terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya, atau orang yang berulang-ulang melakukan jarimah yang berbahaya.
              Perbedaan yang menonjol antara jarimah hudud, qishas, dan jarimah ta’zir:
             (a)  Dalam jarimah hudud tidak ada pemaafan, baik oleh perseorangan maupun oleh ulul amri. Sedangkan jarimah ta’zir kemungkinan pemaafan itu ada, baik oleh perorangan maupun oleh ulul amri, bila hal itu lebih maslahat.
             (b) Dalam jarimah ta’zir hakim dapat memilih hukuman yang lebih tepat bagi si pelaku sesuai dengan kondisi pelaku, situasi, dan tempat kejahatan. Sedangkan dalam jarimah hudud yang diperhatikan oleh hakim hanyalah kejahatan material.
                (c) Pembuktian jarimah hudud dan qishas harus dengan saksi atau pengakuan,  sedangkan pembuktian jarimah ta’zir sangat luas kemungkinannya.
                 (d) Hukuman had maupun qishas tidak dapat dikenakan kepada anak kecil, karena syarat menjatuhkan had si pelaku harus sudah baligh sedangkan ta’zir itu bersifat pendidikan dan mendidik anak kecil boleh.  
                  Sebagai perbandingan, antara hukuman bagi  anak sebagai pelaku tindak pidana “Anak Nakal”[14] dengan ancaman pidana mati, menurut hukum positif, tidak akan dikenai pidana mati maupun pidana penjara seumur hidup. Hal ini didasarkan pada Pasal 26 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak  yang menyatakan: “Apabila anak nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.” Bagaimana sanksi hukum bagi anak berumur 14 tahun yang melakukan pembunuhan,[15] pencurian? Apakah dibebaskan dengan syarat? Apakah bebas tanpa syarat jika pihak korban menarik kembali tuntutannnya? Jika bebas tanpa syarat, berhakkah pihak polisi menahan anak tersebut? Jika tidak apa yang harus saya lakukan sebagai wali anak tersebut, mengingat pihak polisi  menahannya! Dalam kasus  anak  berumur 14 (empat belas) tahun maka sanksi yang dijatuhkan dapat saja berupa pidana. [16]
6. Analisis Para Ahli Tentang Hukuman Terhadap Anak 
    a. Analisis sosiolog
               Pada hakekatnya, segala bentuk penanganan terhadap anak yang melanggar hukum harus dilakukan dengan memprioritaskan kepentingan terbaik untuk si anak.[17] Karena itu, keputusan yang diambil hakim (apabila kasus diteruskan sampai persidangan) harus adil dan proporsional, serta tidak semata-mata dilakukan atas pertimbangan hukum, tapi juga mempertimbangkan berbagai faktor lain, seperti kondisi lingkungan sekitar, status sosial anak, dan keadaan keluarga. Hal-hal ini dijamin serta diatur dalam UU Pengadilan Anak.
   b. Analisis Kriminolog
               Dalam kajian kriminologi, hasil penelitian masyarakat harus lebih diutamakan, pada saat polisi melakukan penangkapan dan pemeriksaan. Polisi wajib menghubungi dan mendatangkan seorang petugas Bapas (Balai Pemasyarakatan, biasa juga disebut PK atau Petugas Kemasyarakatan). Petugas Bapas berfungsi hampir sama seperti probation officer. Polisi wajib menyertakan hasil Litmas (Penelitian Kemasyarakatan) yang dibuat oleh petugas Bapas dalam Berita Acara Pemeriksaannya. Tanpa Litmas, Jaksa harus menolak BAP dan meminta kelengkapannya kembali, untuk mengetahui usia pelaku sebenarnya, untuk disesuaikan dengan hukum kebiasaan internasional:
Tabel 3
Kebiasaan Internasional
Tentang Parameter  Pertanggungjawaban Pidana

No
Nama Negara
Usia Minimal Tanggung Jawab Kriminal
  1
Austria
14
2
Belgia
18
3
Denmark
15
4
Inggris
10
5
Finlandia
15
  6
Perancis
13
7
Jerman
14
8
Yunani
12
9
Irlandia
7
10
Itali
14
11
Luxemburg
18
12
Belanda
12
13
Irlandia Utara
8
15
Portugal
16
15
Skotlandia
8
16
Spanyol
16
17
Swedia
15
              
Melihat kecenderungan praktek negara berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa rata-rata negara, tersebut menetapkan usia pertanggungjawaban pidana minimal  di atas 12 tahun.[18] Dengan demikian, dapat dikatakan usia 12 tahun sebagai batas minimal usia pertanggungjawab tindak pidana telah menjadi hukum kebiasaan internasional.[19] Berbeda halnya dengan anak yang dikenakan hukuman mati.[20]
           c. Analisis Hukum Islam Tentang Hukuman Terhadap Anak
             Menurut Hukum Islam (fiqih), anak yang melakukan kesalahan, tidak dikenakan hukuman, jika belum  berumur 10 tahun, belum mumayyiz. Bukan hanya kejahatan membunuh, tapi juga segala jenis kejahatan yang disebut had dan jarimah. Adapun jenis atau macam-macam perbuatan jarimah yaitu perbuatan  yang masuk ke dalamnya, menciri dan minuman keras. Sdedangkan mencuri. Hukuman bagi anak yang mencuri menurut fikih jarimah terbagi menjadi dua, yaitu :
                  1) Mencuri yang dikenakan had
                  2) Mencuri yang dikenakan hukuman ta'zir.[21]
               Mencuri yang dikenakan had menurut pendapat fuqaha’ adalah perbuatan mukallaf, jika mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya dan mencapai satu nishab dan orang yang mencuri tak mempunyai andil kepemilikan terhadap barang tersebut.  Ada hadits dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda:" Jika ia mencuri (kali pertama)  potonglah salah satu tangannya, kemudian jika ia mencuri yang kedua potonglah salah satu kakinya, kemudian jika ia mencuri (yang ketiga) potonglah tangannya kemudian jika ia mencuri maka potonglah kakinya. Jika pencuri masih mencuri lagi kelima kalinya, maka menurut sebagian ulama seperti imam Syafi'i dan Imam Malik, orang itu  dikenakan ta'zir.[22] Namun Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat hukuman potong tangan hanya dapat dilakukan pada kali pertama dan kedua sedangkan pencurian ketiga dan seterusnya dikenai ta'zir. Pencurian yang dapat dikenai had adalah jika barang yang dicuri mencapai nilai seperempat dinar atau tiga dirham atau setara dengan emas seberat 3.34 gram. Berdasarkan Hadist Riwayat Bukari dan Muslim:
Tangan pencuri tidak dipotong kecuali dalam pencurian mencapai seperempat dinar atau lebih.” Seseorang dinyatakan benar-benar mencuri secara syar'i jika terbukti dengan salah satu dari tiga kemungkinan, yaitu kesaksian dari dua orang saksi laki-laki yang adil dan merdeka,   pengakuan dari pelaku dan  sumpah dari yang mengadukan suatu perkara.
  Adakah pemberian maaf dalam pencurian. Ulama sepakat bahwa pemilik barang yang dicuri dapat memaafkan pencurinya supaya bebas dari had sebelum kasusnya sampai ke pengadilan. Sebab sebelum sampai pengadilan,  had  mencuri adalah  had hamba dan jika sampai ke pengadilan berubah menjadi had Allah. "Diriwayatkan oleh Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya;" sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: "Maafkanlah had-had selama masih berada di tanganmu, adapun had yang sudah sampai di telingaku maka wajib dilaksanakan."
           Khamr, secara bahasa, khamr artinya sesuatu yang menutupi, sedangkan menurut dalam itilah fiqh yaitu segala macam yang memabukkan, menutupi akal. Sebagaimana sabda Rsulullah SAW.,bahwa " Tiap-tiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr adalah haram." [23] Dengan demikian yang dinamakan khmar tidak hanya terbatas pada minuman keras tetapi mencakup segala jenis barang yang memabukkan seperti yang telah kita kenal mulai dari Miras, Narkotik, Ganja, Putaw, Sabu-Sabu .[24]
Adapun penyebab gugurnya had qadzaf jika:
             1) Penuduh dapat membuktikan dengan empat orang saksi bahwa   tertuduh   telah benar-benar berzina.
            2) Dengan cara li'an jika tertuduh adalah istri penuduh
            3) Pengakuan dari si tertuduh bahwa tuduhan adalah benar.
              Kifarat secara bahasa Arab, berarti menutup. Sedangkan secara istilah yaitu sejumlah denda yang wajib dibayar oleh seseorang yang melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh Allah. Kifarat adalah hak Allah sebagai tanda tobat. Membunuh adalah menghilangkan nyawa seseorang baik dengan sengaja atau tidak sengaja dengan alat yang mematikan atau tidak mematikan. Dalam Fiqh Islam Pembunuhan di bagi ke dalam tiga macam:
             1)   Pembunuhan sengaja (qatl’amd), yaitu suatu pembunuhan yang     dilakukan dengan sengaja oleh pelaku.
              2)  Pembunuhan semi-sengaja (Syibhul amd), yaitu kesengajaan melakukan penyerangan tanpa maksud membunuh tetapi menyebabkan terbunuh. Seperti seseorang memukul orang lain, dengan alat yang tidak biasa mematikan tetapi yang kena pukul kemudian meninggal.
             3)   Pembunuhan tersalah yaitu pembunuhan karena kekeliruan semata, seperti niatnya menembak hewan buruan aan tetapi mengenai seseorang yang akhirnya meninggal.
Sedangkan hukuman bagi pelaku pembunuhan ialah:
           1)   Pembunuhan sengaja, dikenai hukuman qishas. Pembunuh harus dibunuh juga. Akan tetapi bila keluarga korban memaafkan, maka si pelaku wajib membayar diyat mughaladhah yang diberikan kepada korban secara tunai.
          2)   Pembunuhan semi-sengaja tidak dikenakan qishas tetapi dikenakan diyat mughaladhoh yang boleh diangsur selama 3 tahun.
          3)   Pembunuhan tersalah, tidak dikenai qishas tetapi dikenai diyat mukhafafah
              Hukum pidana  Islam,  secara umum, pengertian jinayat sama dengan hukum pidana pada hukum positif, yaitu hukum yang mengatur perbuatan yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. Jarimah (kejahatan) dalam hukum pidana Islam (jinayat) meliputi, jarimah hudud, qishas diyat, dan ta’zir.
7. Analisis Filosofis Pada Hukuman  Ta’zir    
 a. Menghargai Kebijakan Kepada Pemimpin.
 Hukuman   ta’zir adalah hukuman yang tidak ditentukan oleh al-Qur’an dan Hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba-Nya yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan yang serupa, penentuan jenis pidana ta’zir ini diserahkan sepenuhnya kepada penguasa sesuai dengan kemaslahatan menusia itu sendiri.
b. Menjawab Kecemasan Islamophbia
              Runnymede Trust seorang Inggris mendefinisikan Islamofobia sebagai "rasa takut dan kebencian terhadap Islam, merujuk pada praktik diskriminasi terhadap Muslim dengan memisahkan mereka dari kehidupan ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan. Di dalamnya juga ada persepsi bahwa Islam tidak mempunyai norma yang sesuai dengan budaya lain, lebih rendah dibanding budaya Barat.[25] Bagi kelompok Islamophobia, hal ini dijadikan bahan ghazwul fikri.[26] Menurut hemat penulis, di antara jenis-jenis hukuman ta’zir yang telah penulis kemukakan dalam pembahasan, tidak semuanya  mencemaskan untuk diterapkan pada zaman ini,hukuman potong tangan, jilid dan salib.  Sementara mengenai hukuman mati dalam ta’zir, penulis sependapat dengan ulama’ yang memboleh kannya jika sejalan dengan kemaslahatan manusia. Tetapi secara umum, mengenai jenis hukuman yang relevan untuk jarimah ta’zir ini harus disesuaikan dengan kejahatan yang dilakukan agar hukuman dalam suatu peraturan bisa parallel. Untuk menentukan hukuman yang relevan dan efektif, harus mempertimbangkan agar hukuman itu mengandung unsur pembalasan, perbaikan, dan perlindungan terhadap korban (Theori neo-klasik), serta dilakukan penelitian ilmiah terlebih dahulu. 
           Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah) adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban). Sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang rinci dari Al-Qur'an dan Al-hadist. Hukum pidana Islam oleh sebagian orang selalu dikatakan sebagai hukum yang tidak manusiawi,[27] kejam, melanggar hak asasi manusia dan tidak relevan dengan perkembangan zaman. Akibatnya ketika lahir keinginan untuk menerapkan Syari’at Islam terjadi perdebatan tentang hal itu. Lima belas abad yang lalu, di saat Islam mencapai puncaknya, Rasulullah SAW., telah memprediksikan tentang nasib ummat Islam di masa yang akan datang.
          Aksi terencana perang pemikiran,[28] dimulai ketika kaum salib dikalahkan dalam sembilan kali peperangan besar. Ketika Islam mulai menyebar luas meliputi wilayah Persi, Syiria, Palestina, Mesir dan menyeberang daratan Eropa sampai Spanyol, maka kaum Salibis, Yahudi dan orang-orang Paganis segera membendung laju kekuasaan Islam. Mereka khawatir kalau Islam akan menerangi seluruh belahan dunia. Kemudian digelar peperangan yang panjang yang dikenal dengan nama perang Salib. Kemenangan kaum muslimin tersebut sangat spektakuler, sebab pasukan muslim yang diterjunkan dalam pertempuran berjumlah sedikit.
    Selama perang, umat Islam tidak dapat dikalahkan. Setelah melalui pemikiran yang panjang, mereka mengambil kesimpulan sebagaimana dikemukakan oleh Gladstone, salah seorang perdana menteri Inggris, "Selama Al- Qur'an, ada di tangan umat Islam, tidak mungkin Eropa akan menguasai dunia Timur". Kekalahan demi kekalahan, menyebabkan bangsa Eropa menciptakan taktik baru. Di bawah pimpinan Raja Louis XI. Caranya bukan lagi berupa penyerangan fisik, hanya dengan mengirimkan putera-putera mereka ke Makkah untuk mempelajari Islam. Motivasi mereka bukan untuk mengamalkan Islam, melainkan untuk menghancurkannya.[29] Tatik itu, berhasil. Ilmu tafsir mereka kuasai, hadits mereka pahami, khazanah ilmu Islam mereka gali. Setelah sampai ke tingkat ahli, para pembelajar dari kaum Nasrani ini kembali ke Eropa, membentuk semacam Research and Development (Penelitian dan Pengembangan) untuk mengetahui kelemahan umat Islam agar dapat mereka kuasai.
  Kesungguhan mereka dalam mempelajari Islam. Dalam sejarah diungkapkan kisah pembelajar Eropa, yang rela meninggalkan anak istrinya  untuk berkeliling ke negeri-negeri Islam, guna mencari kelemahan negeri-negeri Islam. Di antara pernyataan mereka ialah, "Percuma kita berperang melawan umat Islam selama mereka berpegang teguh pada agama mereka. Jika komitmen  terhadap agama mereka kuat, kita tidak dapat berbuat apa-apa. Karena itu, tugas kita sebetulnya adalah menjauhkan umat Islam dari agama mereka, barulah kita mudah mengalahkan mereka.” Gleed Stones, mantan perdana menteri Inggris, juga mengatakan hal yang sama, "Percuma memerangi umat Islam, kita tidak akan mampu menguasainya selama di dada pemuda-pemuda Islam al-Qur'an masih bergelora. Tugas kita kini adalah mencabut al-Qur'an hati mereka, baru kita akan menang dan menguasai mereka.”Dalam konteks ini, al-Qur'an mengatakan, bahwa Setan merupakan musuh, maka perlakukanlah ia sebagai musuh. Sesungguhnya Setan itu mengajak hizb (golongan) nya agar mereka menjadi penghuni neraka."[30]. Orientalis Barat, di masa lalu, melecehkan Hukum Islam melalui lisan mereka dengan cara sederhana tanpa dukungan hasil teknologi. Tetapi kini, pelecehan itu dilakukan dengan pers yang mempergunakan sarana modern. [31]
           c. Jawaban Terhadap Kritik  Hukuman Fisik Terhadap Anak
  Kritik  dan serangan terhadap hukum Islam, tetap berlangsung. Hanya yang dijadikan sasaran bukan lagi jasmani, tetapi aqidah dan hukum  Islam. Salah satu tujuannya agar fikrah umat Islam rusak. Tujuan akhirnya  ialah bagaimana umat Islam berhasil dilemahkan. Serangan inilah yang disebut ghazwul fikr. Dan senjata yang digunakan adalah media massa, baik cetak mau pun elektronik. Ditemukan beberapa  jenis Ghazwul Fikri, antara lain, pola fikir yang meragukan hukum Islam.
           d.  Hukum Yang Tidak Terpisah Dari Moral
            Hukum Islam tidak terpisah dari moral. Apabila rusak moral dan akhlak Islami,  rusak pulalah hukum Islam. Karena itu, dengan berbagai media liberal Barat melancarkan program yang bertujuan merusak akhlaq generasi muslim. Mulai dari anak-anak yang diberi kebebasan yang luas.
         e.  Menjawab Keraguan Kelompok Sekular
Sekuler atau sekulerisme secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan.. Hampir di seluruh negeri muslim telah berdiri model pendidikan sekolah umum yang hampir lepas dari nilai-nilai keagamaan. Mereka sengaja memisahkan antara agama dengan ilmu pengetahuan di sekolah, sehingga muncul generasi terdidik yang jauh dari agamanya. Sekolah semacam inilah yang mereka dirikan di bumi Islam pada masa imperialisme, untuk menghancurkan Islam dari dalam tubuhnya sendiri.
    Ada beberapa kelompok besar manusia yang dalam perjalanan sejarah selalu menantang untuk perang terhadap kaum muslimin. Adapun kelompok-kelompok tersebut adalah:
             1)   Orang-orang  sekuler
Orang-orang
 sekuler  tidak akan pernah rela terhadap  Hukum Islam,  dan ada tekat mereka agar  bangsa lain  mengikuti jejak mereka..." [32]
             2)   Orang-orang Musyrik
"Sesungguhnya telah kalian dapati orang-orang yang paling besar permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik..."[33]
            3)   Orang-orang Munafik.[34]
   Meskipun mereka  nampaknya berbeda, tetapi sesungguhnya di dalam memerangi kaum muslimin mereka bersatu padu melakukan konspirasi  yang berskala internasional. Mereka berusaha tanpa mengenal lelah dan berputus asa. Al-Quran menyatakan bahwa,  tiada henti-hentinya mereka  memerangi kalian sehingga kalian murtad dari agama kalian, jika mereka mampu..."[35]
  1. Penyebab Terjadinya Perbedaan Konsep Dan Makna Kekerasan
1. Di Dalam Islam Ada Konsep Kesucian Hukum
                Hukum Islam berbeda konsep,[36] dibandingkan Hukum Barat, karena Hukum Islam mengandung nilai kesucian(sakral).Titah dari Yang Mahasuci. Wajib dilaksanakan hukuman fisik terhadap anak, atas nama kebijakan yang sifatnya suci (sakral). Sedangkan Hukum Barat aatau hukum yang  sekular, tidak mengenal nilai-nilai sakral di dalam Hukum. Para penganut kesucian Hukum Islam, curiga terhada;p gerakan yang dikenal dengan istilah Ghazwul Fikri, missi yang dianut oleh   dunia Barat, antara lain  ialah:
               a)  Dana yang dibutuhkan tidak sebesar dana yang diperlukan untuk perang  fisik.
              b)   Sasaran ghazwul fikri tidak terbatas.
              c)   Serangannnya dapat mengenai siapa saja, dimana saja dan kapan saja.
              d)   Tidak ada korban dari pihak penyerang.
              e)   Sasaran yang diserang tidak merasakan bahwa sesungguhnya dirinya dalam       kondisi diserang.
              f)  Dampak yang dihasilkan sangat fatal dan berjangka panjang.
              g)  Efektif dan efisien.[37]

Hukum Islam yang sakral, menjadi sasaran ghazwul Fikri (Perang pemikiran dari Barat), agar terjadi pendangkalan pola pikir dan akhlaq muslim. Apabila seseorang sering menerima pola pikir sekuler, kemungkinan dia akan berpikir ala sekuler. Bila seseorang sering didoktrin dengan paham komunis , materialis, fasis, marksis, liberalis, kapitalis atau yang lainnya,  merekapun akan berpikir dari sudut pandang paham tersebut. Sementara itu dalam hal akhlaq Islami, boleh jadi pada awalnya seseorang menolak terhadap suatu tata cara kehidupan tertentu, namun karena tiap kali ia selalu mengkonsumsi tata cara tersebut, akan timbul perubahan dalam dirinya. Seperti contohnya adanya pergaulan bebas antara wanita dan pria yang bukan muhrim, seperti terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian  alat Ghazwul Fikri ialah:
            1)   Membius pandangan mata, dengan banyaknya disuguhkan wanita-wanita  dari kalangan artis. Mereka menjadikan ruang redaksi bagaikan rumah bordil yang menggelar zina mata massal.
            2)   Pameran aurat di saluran televisi yang berlomba-lomba menyajikan artis-artis, baik dengan pakaian biasa, ketat, pakaian renang, sampai yang telanjang. Penonton diajak untuk tidak punya rasa malu, hilang iman, mengikuti panggilan nafsu, dan menghidupkan dunia mimpi.[38]
             3)   Membudayakan ikhtilat. Sekumpulan laki-laki dan wanita yang bukan muhrim, biasa bergumul jadi satu tanpa batas. Tayangan semacam ini tak ubahnya mendekati zina, bahkan membuka transaksi zina.[39]
            4)   Membudayakan khalwat. Kisah-kisah percintaan bertebaran di berbagai acara. Frekuensi suguhan kisah-kisah pacaran dan kencan makin melegitimasi budaya khalwat.
            5)  Membudayakan tabarruj. Banyak pelaku di layar kaca yang mempertontonkan bagian tubuhnya yang seharusnya ditutupi, untuk dinikmati para pemirsa.[40]
   Demikianlah  gerakan ghazwul fikri. Ia akan menyeret seseorang ke dalam jurang kesesatan dan kekafiran tanpa terasa. Masuknya serangan pemikiran Barat, halus sekali.
2. Hukum Islam Tidak Individualisme                                                                            
           Hukum Islam berbeda dengan Hukum Barat, karena Hukum Islam lebih bersifat kolektif, sedangkan Hukum Barat, bersifat individualisme. Yang dimaksud individualisme adalah paham yang memenangkan kepentingan pribadi di atas kepentingan umum. Dipahami individualisme  sempit, karena  sering dianggap  sebagai egoisme, berikut ini:
                          Individualisme negara-negara Barat, msalnya Inggris dan Amerika, dengan paham Liberalismenya memungkinkan masyarakatnya untuk melakukan segala sesuatu dengan sebebas-bebasnya (peran swasta lebih dominan), sedangkan peran pemerintah sangat kecil dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut berdampak pada kondisi kehidupan masyarakatnya yang “indvidualis” pada beberapa sisi, seperti pergaulan bebas, persaingan bebas, dan sebagainya yang banyak menimbulkan masalah-masalah kejahatan baru bagi sebagian masyarakat. Imbas dari paham Liberalisme adalah terhimpitnya kaum ekonomi lemah karena para pemilik modal (kaum kapitalis) memiliki kebebasan dalam melakukan investasi di berbagai sektor usaha.[41]

Untuk meganalisis hal ini, ada kaidah-kaidah fiqih,[42]  dalam khazanah keilmuan qawaid al-fiqhiyyah pada dasarnya terbagi dalam dua kategori. Pertama adalah kaidah fiqih yang hanya diperuntukkan untuk masalah individu dan masalah ibadah dalam arti hubungan vertikal antara setiap individu dengan Allah. Kedua, kaidah fiqih yang memang sengaja dimunculkan untuk menyelesaikan beberapa masalah terkait dengan hubungan yang bersifat horizontal antar manusia itu sendiri, selain memang di dalamnya terdapat nilai-nilai hubungan vertikal karena beberapa obyek yang menjadi kajian adalah hukum Islam yang tentu saja itu semua bersumber dari Allah.
3. Sumber Hukumnya Berbeda
          Konsep hukum  Perlindungan Anak dan Islam, berbeda karena sumbernya berbeda. Hukum Islam, mempunyai beberapa perbedaan dengan konsep hukum positif, namun dalam hakikatnya ( hakikat hukum ) mengalami persamaan-persamaan. Begitu juga mengenai sumber hukum terdapat perbedaan antara sumber hukum Islam dan sumber hukum positif. Karena itu, tulisan ini akan membahas tentang konsep dan sumber hukum Islam dengan menggunakan analisis perbandingan dengan hukum positif.
          Term hukum Islam merupakan terjemahan dari kata ‘al-fiqh al-islami’ yang dalam literatur Barat disebut ‘the Islamic Law’ atau dalam batas-batas yang lebih longgar “the Islamic Jurisprudence’. Yang pertama lebih cenderung kepada syariah sedangkan yang kedua kepada fiqh, namun keduanya tidak tidak dapat digunakan secara konsisten. Begitu juga term hukum Islam mengalami ambigiutas antara fiqh yaitu hukum praktis yang diambil dari dalil-dalil tafsili (rinci) dan syari’ah, yaitu peraturan yang diturunkan oleh Allah kepada manusia agar dipedomani dalam berhubungan dengan Tuhannya, dengan sesamanya, dengan lingkungannya dan dengan kehidupannya.
             Istilah Hukum Islam ini ketika ditelusuri dalam rumusan para ulama ushul fiqh mempunyai pengertian yang sangat bervariasi. Dalam diskursus ushul fiqh lebih sebagai al-hukm al-syar’i yang diartikan sebagai khitab Allah (titah Allah ), yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf baik berupa taklif, takhyir (pilihan) maupun penetapan. Dalam diskursus ushul fiqh, sumber hukum Islam dapat berupa dalil nash ( tekstual ) dan dalil ghairu nash (paratekstual). Dalil nash yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan dalil ghairu nash yaitu di antaranya qiyas,ijma’, istihsan, istishlah, istishab, ‘urf, pendapat para sahabat dan syari’at umat terdahulu.
Hukum Islam dalam analisis  kaidah fiqhiyah,menurut penulis terdapat dua kaedah yang saling terkait, yang pertama yaitu tasharrul imam (kebijakan pemimpim) dan yang kedua adalah al maslahat (maslahat tujuan dan manfaatnya). Tetapi dari dua hal tersebut terdapat kata kunci yang menentukan arah dari konsep kebijakan tersebut, yaitu maslahat, karena itu, hal pokok yang menjadi kajian dalam permasalahan ini adalah bagaimana sebenarnya konsep maslahat, dimana maslahat inilah yang nantinya akan membawa dan mengantarkan kepada sebuah kebijakan yang akan dibuat oleh seorang pemimpin.[43]
 Ketika memperhatikan kaidah tasharruful imam ‘ala al ra’iyyah manutun bi al malahat,[44] yang berarti bahwa kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada kemaslahatan, maka ada dua kata yang tidak hanya memerikan makna secara retorik saja, tetapi dua kata yang sekaligus memberikan gambaran dan batasan serta suatu konsep yang dimaksud. Dua kata tersebut adalah tasharruful imam (kebijakan dari seorang pemimpin) dan al maslahat (kemaslahatan). Maka dalam hal ini akan lebih banyak mengkaji tentang bagaimana konsep kemaslahatan yang akan dijadikan sebagai landasan tehadap pembuatan suatu kebijakan.
              Kaidah fiqihiyah yang menyatakan Tasharruful Imam ‘Ala al- Ra’iyyati Manutun Bi al- Maslahah .Kaidah ini merupakan kaidah yang mempunyai aspek horizontal, karena dalam implementasinya memerlukan hubungan antara seorang pemimpin dengan masyarakat atau rakyat yang dipimpin.[45] Perlu diketahui makna dari kaidah tersebut, kaidah yang berbunyi tasharruful imam ‘ala al ra’iyyati manuutun bi al maslahat mempunyai pengertian retorik (harfiyyah) kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada maslahat.
Lebih jauh dari sekedar pengetian retorika tersebut, ada pengertian yang lebih luas yaitu segala aspek kehidupan yang meliputi kepentingan rakyat dalam suatu kelompok atau golongan tertentu harus ditetapkan dengan mekanisme syura (musyawarah). Hal ini sebagai terjemahan dari pernyataan kaidah tesebut yang menekankan pada aspek kemaslahatan, karena metode musyawarah adalah salah satu bentu yang riil untuk mencapai dan medapatkan suatu kemaslahatan untuk bersama. Hal ini yang juga ditekankan dalam firman Allah.
42:38

                    Artinya: Bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. [46]
             Dari Umar bin Khattab yang diriwayatkan oleh Sa’in bin Mansur; Sungguh aku menempatkan diri dalam mengurus harta Allah seperti kedudukan seorang wali anak yatim, jika aku membutuhkan maka aku mengambil daripadanya, jika aku dalam kemudahan aku mengembalikannya, dan jika aku berkecukupan maka aku menjauhinya.
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus mengedepankan aspek kemaslahatan anak, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya pribadi, atau keinginginan keluarganya.
           Perbedaan paradigma masa lalu (sebelum tahun 2002) bahwa ketika  murid beberapa kali mendapat hukuman dari guru, dilihat pada paradigma masa kini, bisa merupakan bentuk penganiayaan. Hukuman diberikan karena memang murid  salah. Apapun kesalahannya, pasti mendapatkan hukuman. Itulah yang berlaku saat itu. Ketika pelajaran menggambar, beberapa murid  lupa membawa pengaris, lalu disuruh maju ke depan kelas, menyodorkan tangan, guru menghantamkan penggaris kayu besar ke punggung dan telapak tangan siswa. Akibat hukuman adalah tangan memar dan murid tidak bisa menulis.
          Untuk jenis hukuman tempeleng,[47]  sudah menjadi kebiasaan, karena seringkali guru menempeleng murid untuk kategori pelanggaran ringan. Pernah yang ditempeleng dengan  jari guru mengenai mata. Kalau pelanggaran berat,  dipukul di betis dengan menggunakan kayu rotan. Sekalipun murid sering mendapatkan kekerasan dari guru, tidak ada yang berani melaporkan peristiwa itu kepada orang tua. Bukan lantaran diancam oleh guru, melainkan karena takut mendapat hukuman tambahan dari orang tua. Dahulu di kampung   pada umumnya, jika di sekolah murid  dihukum dan diketahui oleh orang tua, berarti  akan mendapatkan lagi hukuman dari orang tua. Justru karena hukuman itu banyak orang  yang sukses dan berhasil. Mereka-mereka ini berhasil menghadapi hukuman karena bagian dari proses pendidikan dan pembinaan. Dengan hukuman itu murid belajar mengetahui kesalahan dan menemukan kebenaran dan kebaikan. Orang yang tidak berani menghadapi hukuman dengan cara lari meninggalkan sekolah, orang-orang ini yang gagal dalam hidupnya.
         Sejak tanggal 22 Oktober 2002, Pemerintah Republik Indonesia, mengundangkan UU Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Praktis, sejak saat itu keberadaan sanksi terhadap anak di sekolah akan menjadi sensasi berita yang hangat. UU Perlindungan anak, khususnya Pasal 13 ayat (1), menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
         a) diskriminasi;
         b) eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
         c) penelantaran;
         d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan
         e) ketidakadilan; dan
         f) perlakuan salah lainnya.
             Apa yang diungkapkan dalam pasal 13 ayat (1) ditegaskan dalam pasal 16 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.[48]
          Dengan adanya UU Perlindungan Anak, guru di sekolah tidak lagi berani memberikan hukuman. Guru takut karena sanksi hukumannya tidak main-main. Mengenai sanksi hukuman terhadap tindakan penganiayaan anak tertuang dalam Pasal 80, dinyatakan:
                    (1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
                    (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).[49]
             Ternyata bukan cuma UU Perlindungan Anak saja yang menjadi instrumen perlindungan anak, bahkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga mengatur soal penganiayaan. Hal itu terdapat dalam pasal  351 jo. 352 KUHP.
            “Penganiayaan” masih ada, sekalipun UU Perlindungan Anak sudah diundangkan, ternyata tindakan memberi hukuman, yang masuk kategori penganiayaan, masih kerap terjadi. Kasus penamparan oleh oknum guru terhadap murid SD Harmoni di Batam. Dikatakan bahwa bekas tamparan itu meninggalkan luka lebam di pipi anak kecil itu sehingga dia jadi trauma ke sekolah. Orang tua sudah melaporkan kasus itu ke polisi.
             Dalam kasus itu diberitakan bahwa, guru melakukan penganiayaan terhadap muridnya, Dias Ganang Fardian yang mengaku ditampar satu kali sehingga mengalami luka lebam di bawah mata kirinya. Alasan pemukulan itu, karena korban melanggar disiplin saat upacara bendera. Sedangkan Kepala SMK  membantah perlakuan guru terhadap muridnya itu sebagai tindakan penganiayaan. “Itu cuma pembinaan, karena murid ini ramai bercanda temannya saat upacara berlangsung. Pembinaan dan penegakan disiplin  yang cukup ketat.”
         Tindakan guru menghukum anak didik, tidak salah mutalk, masih wajar, selagi tidak  menimbulkan bekas atau memar. Guru memegang prinsip: yang salah harus dihukum. Tidak mungkin guru menghukum murid yang baik. Dengan hukuman, anak disadarkan. UU Perlindungan Anak dapat membuat anak tidak menemukan kesalahan dirinya. Anak selalu merasa  benar. Buktinya, dia dibela dan sang guru dihukum. Konsep benar-salah menjadi hilang. Itulah yang dikatakan “derita guru,  sebuah dilema pendidikan. Keberadaan UU Perlindungan Anak ini, menurut penulis menjadi sebuah penderitaan guru. Mereka dihadapkan pada  masalah yang dilematis dalam proses pendidikan dan pembinaan anak muridnya. Situasi mereka berhadapan dengan UU Perlindungan Anak. Demi pembinaan dan penegakan disiplin kepada siswa, ada guru yang terpaksa menampar siswanya. Akan tetapi guru tersebut dihadapkan pada jerat hukum. Maksud baik  guru justru berakibat buruk. Padahal  menyadarkan murid. Di antara cara penyadaran adalah “tempeleng”, walaupun bisa pakai cara lain yang tanpa kekerasan. UU Perlindungan Anak tidak membolehkan memakai cara kekerasan, padahal cara itu bisa menjadi sarana paling efektif. Tingkat penyadarannya lebih kuat dibandingkan menegur dan menasehati. Tempeleng  hanya sekali, bisa merupakan bentuk shock therapy.[50]
               Menurut penulis UU Perlindungan Anak, bisa saja menjadi penderitaan para guru di sekolah, jika menyebabkan mereka tidak berani bertindak tegas kepada murid karena takut terkena sanksi dari UU Perlindungan Anak. Bayangkan saja, terkena pasal 80 ayat (1)  merupakan penderitaan yang hebat bagi guru yang berpenghasilan pas-pasan. Ada guru yang rela masuk penjara, asalkan tiap bulan gajinya jalan terus,  tidak akan jadi masalah serius. Gurunya tetap mengajar dengan ganti rugi sebesar 72 juta rupiah, jelas akan memberatkan keluarganya.
              Di sebuah sekolah menengah pertama, ada siswa sedang berkelahi,  lalu datang guru melerai. Tapi disambut dengan caci maki oleh  siswa yang berkelahi, karena tidak terima perkelahiannya dipisahkan. Guru juga masih muda, demi harga diri yang diinjak murid, guru  menampar siswa. Sang guru dilaporkan ke polisi, beberapa hari di penjara. Akhirnya dibebaskan dengan tebusan.
              Apa yang terjadi setelah peristiwa itu? Para guru lain tidak berani bertindak tegas kepada siswa. Anak-anak tumbuh “liar” dan para guru tak berani menegur. Terjadi  pembiaran. Ketika guru bertindak tegas, anak dapat mengancam dengan UU Perlindungan Anak. Anak akan dengan mudah mengejek gurunya bahkan menghina guru dan guru tidak bisa berbuat apa-apa karena takut dengan UU Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak merusak dunia pendidikan. Tidak setuju dengan UU Perlindungan Anak, karena UU itu bisa digunakan anak untuk merendahkan martabat guru. Dia sangat prihatin dengan nasib para guru.Inilah bagian dari kritik penulis terhadap UU Perlindungan anak. Anak bisa benar menurut hukum tapi salah total menurut etika dan akhlaqul karimah.
              Menurut penulis, hukuman dari guru, bukan penganiayaan, ada  kekeliruan dalam UU Perlindungan Anak, berkaitan dengan kata “penganiayaan” dan kekerasan. Kategori penganiayaan adalah kekerasan yang bertubi-tubi, mirip dengan penyiksaan. Memukul atau menempeleng berkali-kali, sekalipun murid sudah minta ampun. Tapi jika cuma sekali, bukan penganiayaan. Kalau dikatakan kekerasan, seperti kasus IPDN, penganiayaan memang kejam, karena bertubi-tubi. Misalnya, dipukul lalu ditendang berkali-kali. Karena itu ada yang cacat dan bahkan sampai tewas. Karena itu diperlukan keadilan rosteratif, sebagai pergeseran paling mutakhir dari berbagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem peradilan.[51]
 4. Sejarah Hukumnya Berbeda
            Sejarah Hukum Islam mengenai perlindungan anak, dimulai semenjak Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekah ke Madinah, beliau selain ditunggu-tunggu oleh para pemimpin Madinah, juga disambut oleh wanita dan anak-anak. Kemudian beliau mempunyai cucu, yaitu Hasan dan Husain. Saat itulah Rasulullah mencontohkan kepada ummatnya bagaimana memperlakukan anak tanpa kekerasan, tapi beliau juga membuat aturan yang tegas, misalnya larangan tegas terhadap cucu-cucunya yang berkaitan dengan memakan sedekah, sedangkan sejarah UU 23 Tahun 2002, sejarahnya dimulai semenjak Pemerintah RI meratifikasi konvensi PBB. Sejak saat itulah guru yang menepeleng murid dikategorikan sebagai kekejaman. Hal inilah yang penulis analisis secara yuridis.   
             Penulis  tidak setuju jika guru menempeleng, satu kali saja masuk kategori kekejaman (Pasal 13 ayat 1) tidak manusiawi (Pasal 16 ayat 1).[52] Dalam kasus-kasus penganiayaan  di sekolah, dilakukan oknum guru sebenarnya tidak masuk kategori kekerasan, yang bukan kekejaman, penganiayaan yang tidak manusiawi.Yang menjadi persoalan, haruskah kekerasan itu dihukum, jika bertujuan baik,  menyadarkan murid akan kesalahannya. Untuk bisa sadar,  sering menyakitkan. Tapi itulah shock therapy. Harus juga diperhatikan kewajiban anak. Dalam UU Perlindungan Anak, khususnya soal hak dan kewajiban anak dan pasal lain yang berkaitan dengan hak anak (18 pasal), sementara kewajiban hanya satu pasal saja (pasal 19). bunyi pasal 19 UU Perlindungan Anak ini:
Setiap anak berkewajiban untuk :
          1) menghormati orang tua, wali, dan guru;
          2) mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman.
          3) mencintai tanah air, bangsa, dan negara.
          4) menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya.
          5) melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.[53]

          Jika anak tidak melaksanakan kewajibannya, sanksi apa yang dapat diberikan UU RI no.23/2002. Tidak ditemukan hal ini. Penegak hukum hanya  melihat hak anak, mengabaikan hak guru. Kasus ini terasa unik, bagi polisi dan pengacara? Tidak ada pembicaraan bagaimana kewajiban anak? Apakah anak yang tidak melakukan kewajibannya, seperti yang tertera dalam UU Perlindungan Anak, juga dapat ditindak?
          Kasus anak SD yang mengganggu temannya yang sedang latihan, berarti tidak melakukan kewajiban No.2 dalam Pasal (19) UU Perlindungan Anak. Kasus SMK, siswa tidak melaksanakan kewajiban No. 3 dan 5. Guru punya wewenang melaporkan siswa  ke polisi? Dan apa sanksi buat anak tersebut? Tentang hak dan kewajiban mesti seimbang. Orang tidak bisa menuntut hak tanpa melaksanakan kewajibannya, karena  berkaitan dengan UU Perlindungan Anak. Kritik penulis ialah perlu  ditinjau soal keseimbangan hak dan kewajiban bagi anak itu sendiri. Jangan hanya membebankan kesalahan pada guru.


            [1] Muhibbin Syah. Psikologi Belajar, (Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2006) , hlm. 167-168.
Anak yang menjadi dambaan setiap keluarga adalah rizki sekaligus ujian dari Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Bahkan Allah Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya bahwa anak adalah salah satu kesenangan dan perhiasan dunia, Artinya: Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.Qs. Al-Kahfi: 46 Kehadiran anak di tengah-tengah keluarga merupakan amanah yang sangat besar bagi kedua orang tuanya. Oleh karenanya, para orang tua dituntut untuk senantiasa memperhatikan perkembangan jasmani dan rohani sang buah hati. Namun, belakangan sering ditemui peristiwa-peristiwa memilukan yang menimpa anak-anak akibat perbuatan orang tuanya.
             [2] Lihat Mahjuddin, Masa’il al-Fiqhi , Kasus-Kasus Aktual Dalam Hukum Islam, (Kalam Mulia Jakarta: 2012), hlm.71. Hukuman dalam kasus  melatih anak-anak memiliki kepekaan terhadap lingkungan, memiliki rasa tanggung jawab dan kemampuan mengendalikan diri. Kemudian penyakit belajar adalah lupa dan kejenuhan.
             [3] Ibid
             [4] Muhibbin Syah, loc.cit.
           [5]Menurut data Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak, pada 2011 telah terjadi 1.851 pengaduan ABH yang diajukan ke pengadilan. Hampir 89,8 persen kasus ABH berakhir pada pe¬mi¬danaan atau diputus pidana. Data lain yang dirilis Ke¬men¬terian Hukum dan HAM 2010 menunjukkan bahwa di 16 Lapas di Indonesia ditemukan 6.505 ABH yang diajukan ke pengadilan dan 4.622 ABH di antaranya mendekam dipenjara. Jumlah ini mungkin jauh lebih besar karena angka ini hanya bersumber dari laporan 29 Balai Pemasyarakatan (Bapas), sementara di Indonesia terdapat 62 Bapas, Rakyat Merdeka, 19 Januari 2012.
              [6]Secara yuridis, Undang-undang tentang perlindungan guru telah termuat dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru.
              [7]Lihat Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Di Bawah Umur,(Bandung, PT.Alumni : 2010), hlm. 115.Secara yuridis, Undang-undang tentang perlindungan Guru telah termuat dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Hal ini terlihat bahwa eksistensi UU No.14/2005 telah memuat perlindungan terhadap guru atas profesinya. Namun implementasi terhadap undang-undang tersebut masih belum terlaksana.
            [8]Secara tidak sadar orangtua menghukum anaknya dengan emosi dan cara yang kasar, seperti langsung memukulnya. Tindakan seperti ini kurang dibenarkan, karena bagaimana pun didikan orangtua turut menciptakan kondisi anak pada masa mendatang.Rasulullah SAW mengajarkan tanggapan bagaimana seharusnya orangtua menghukum anak, yakni orangtua menunjukan kesalahan dengan pengarahan secara langsung, menunjukan kesalahan dengan isyarat, hardikan dan pukulan. Hukumsn pukulan adalah jalan terakhir untuk menghukum anak agar jera, namun pukulan tersebut harus didasari rasa kasih sayang. Bunadi Hidayat, op.cit, hlm. 183.
              [9]Menurut  madzhab Hanafi boleh menta'zir dengan pakai uang tapi bila sudah taubat, harus dikembalikan uangnya.fiqh ala al madzhab al-arba'ah 5/ 401.Yang tidak memperbolehkan silahkan dicek di kitab tanwir al quluub,hasyiyah al jamal ala al manhaj dan gyoyah talkhis a-lmurod hamisyi bughyah. “Dan tidak boleh menta’zir (menghukum) dengan mencukur jenggot atau dengan mengambil harta”.(Tanwiir al-Quluub , 2001), hlm. 392.
             [10]Ta’zir tidak boleh dengan mengambil harta”. Hasyiyah al-Jamal V/164 “Dan haram menta’zir dengan mencukur janggut, memotong anggauta dan melukainya, Ta’zir diharamkan juga dengan mengambil atau merusak harta benda karena tidak terdapati ketetapan syara’ yang demikian dari prilaku yang dapat diikuti dan karena tujuan diperlakukan menta’zir demi mengajari tatakrama yang tidak ada ketentuan dengan merusak harta benda berbeda menurut Imam Taqiyuddin yang memperkenankan ta’zir dengan mengambil atau merusak harta benda”. Mathaalib Uli al-Nuhaa, Jilid VI, hlm. 224.
           [11]Seorang sahaya menganiaya sahaya lainnya, maka bagi sahaya yang menganiaya diperlakukan ta’zir dari sayyidnya sesuai petunjuk hakim atau yang ditempatkan pada posisinya dengan dipenjara, dipukul, atau dinaikkan keledai dengan berbalik dan semacamnya.Janganlah memberikan balasannya pada sahaya yang dianiaya, dan tidak diperbolehkan menta’zir dengan mengambil harta benda menurut kami (Syafi’iyyah). Bughyah al-Mustarsyidiin ,tt, hlm. 532.

          [12] Sayid Sabiq, Fiq-hus Sunnah, (terj), Jilid 2 (Toha Putra : Semarang, 1989),302.Jarâimu al-hudûd (delik hukuman kejahatan), yang meliputi kasus; perzinahan, tuduhan berzina tanpa bukti yang akurat, pencurian, mabuk-mabukan, muhârabah (pemberontakan dalam negara Islam dan pengacau keamanan), murtad, dan perbuatan melampui batas lainnya.
         [13] . Nihâyah al-Muhtâj, Jilid  VIII, hlm. 21. Bentuk Ta’zir bisa dengan berupa dipenjarakan atau pukulan yang tidak menyakitkan, menampar, atau mencelanya dengan ucapan atau diasingkan dalam kurun kurang setahun didaerah yang panas atau kurang dari kurun separoh tahun didaerah yang dingin atau diberdirikan dalam satu majlis atau dibuka penutup kepalanya atau dicoreng hitam mukanya atau dicukur rambutnya bagi orang yang tidak suka potong rambut tapi tidak dicukur jenggotnya meskipun menurut kami hal demikian adalah makruh menurut pendapat yang paling shahih, atau dinaikkan pada keledai dengan berbalik dan diarak berkeliling di tengah-tengah orang banyak dan mengancamnya dengan aneka siksaan-siksaan lainnya

           [14] Yusti Probowati Rahayu. Dibalik Putusan Hakim. (Sidoarjo: Citra Media, 2000),hlm 311. Mengenai berapa lama pidana penjara dijatuhkan kepada anak nakal, Pasal 26 ayat (1) UU 3/1997 menentukan bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal adalah paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.Jadi, harus dilihat kembali pada ketentuan pidananya. Misalnya, jika anak tersebut dijerat dengan Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang menyatakan: “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.” Sehingga, pidana untuk anak nakal yang melakukan pembunuhan dan dijerat dengan Pasal 359 KUHP adalah paling lama dua setengah tahun.
                           [15] Faturochman.. Keadilan Perspektif Psikologi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, . 2002),  hlm 66.
Pengadilan anak-anak mencatut demi hukuman mati?Pada tahun 1995, seorang bocah di Lumajang dijerat pasal dengan ancaman hukuman mati. Hidup-mati anak yang bernama Ma’ruf  yang masih berusia 14 tahun, sepenuhnya berada ditangan majelis hakim. Sebab, Jaksa Imam Sudarmadji menuduh Ma’ruf telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Buyar, teman sekampungnya. Artinya, anak ke empat pasangan Sariman-Sarmi ini  diancam hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup. Untuk perbuatan itu, ancaman hukuman paling ringan adalah penjara 20 tahun. Menurut dakwaan jaksa, perbuatan itu terjadi pada tanggal 9 April silam, di persawahan desa Mlawang, Kecamatan Klakah, Lumajang. Pembunuhan itu terjadi akibat perkelahian di antara mereka dengan menggunakan clurit. Hunjaman clurit tersangka menjadi penyebab kematian korban. 
            [16] Dalam kasus ini, jika anak ditahan sebaiknya segera ditanyakan apakah ia telah ditemui oleh seorang petugas Bapas. Dan apakah padanya telah diberikan haknya untuk tetap memperoleh penasehat hukum, karena petugas Bapas bukanlah seorang penasehat hukum. Harus diingat, anak berhak memperoleh dan negara wajib memberikan proses hukum yang cepat. Apabila pihak korban akan menarik tuntutannya, penyelesaian di luar proses hukum sangat mungkin untuk dilakukan karena petugas hukum, dalam hal ini polisi, yang terlibat dalam proses peradilan anak diberi keleluasaan untuk melakukan diskresi (sewaktu-waktu menghentikan proses hukum) demi kepentingan anak.
            [17] Syaikh al-Bassâm, Taudhîh al-Ahkâm, Jilid 6/210 .Bandingkan dengan  Fat-hu Dzil Jalâl, Syar-hu al-Mumti', Jild14/208 dan Jild 5), hlm330.

            [18]UU SPPA mendefenisikan anak di bawah umur sebagai anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun, dan membedakan anak yang terlibat dalam suatu tindak pidana dalam tiga kategori:
a.    Anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPPA);
b.    Anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) (Pasal 1 angka 4 UU SPPA); dan
c.    Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi) (Pasal 1 angka 5 UU SPPA)
Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
              [19] Peraturan-Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya (United Nations Rules for the Protection of Juveniles Deprived of their Liberty)   Adopted by General Assembly resolution 45/113 of 14 December 1990
             [20] Komite HAM PBB (Human Rights Committee) dalam Komentar Umum No. 6 menegaskan bahwa “ekspresi tentang kejahatan yang paling serius harus diartikan secara terbatas, bahwa pidana mati hanya dilaksanakan sebagai tindakan luar biasa. UU Nomor 23 tahun 2002 Pasal 2 menyatakan bahwa asas dan tujuan perlindungan anak salah satunya berlandaskan pada prinsip-prinsip KHA  : a)     non diskriminasi; b)     kepentingan yang terbaik bagi anak; c)      hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d)     penghargaan terhadap pendapat anak.Dalam konteks anak yang berkonflik dengan hukum, undang-undang ini mewajibkan negara untuk memberikan perlindungan khusus (Pasal 59).
             [21]Hukuman tidak dimaksudkan untuk sebuah pembalasan dan pembebasan dari dosa. Hukuman lebih dimaksudkan sebagai cara mencegah orang untuk berbuat kejahatan. Teori ini dikenal dalam hukum Islam sebagai “zawajir”, pencegahan, penghentian (deterrence). Ahli hukum Islam klasik Al Mawardi (w. 1075 M), mengatakan : “Hukuman-hukuman pidana (hudud) adalah “zawajir” (pencegahan) yang ditetapkan Tuhan agar orang tidak melanggar hukum dan memperingatkan orang akan ancaman adanya rasa sakit jika dia melanggarnya”. Hal ini menurutnya jauh lebih luas efek positifnya bagi sistem kehidupan dibanding sekedar untuk menghukum pelakunya.
           [22] Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Di Bawah umur,(Bandung  PT.Alumni : 2010),135.  Bunadi Hidayat menyatakan, murid memukul  gurunya atau petugas, ia diaggap melakukan jarimah ganda, walaupun pelakunya menganggap melakukan jarimah tunggal, hal ini dikarenakan yang dipukul adalah petugas sehinnga oleh hukum dianggap berbuat jarimah ganda yaitu memukul orang dan melawan petugas.
            [23]Shahih  Muslim, HR. Muslim.
           [24]Akibat Menggunakan Shabu-shabu : Merusak organ-organ tubuh terutama otak, dan syaraf yang mengatur pernafasan. Banyak yang mati karena sesak nafas, dan tiba-tiba berhenti bernafas karena syaraf yang mengendalikan pernafasan sudah rusak dan tidak ada lagi instruksi untuk bernafas, sehingga nafasnya putus/berhenti, dan mati.  Paranoid, otak suah dipakai berpikir dan konsentrasi, jet lag dan tidak mau makan.Rasa gembira / euforia, Rasa harga diri meningkat.1.Banyak bicara, Kewaspadaan meningkat, denyut jantung cepat.2.Pupil mata melebar. 3.Tekanan darah meningkat, berkeringat/rasa dingin.4.Mual/muntah, (Dalam waktu 1 jam setelah pemakai gelisah). 5.Delirium/kesadaran berubah (pemakai baru, lama, dosis tinggi), 6.Perasaan dikejar-kejar.7.Perasaan dibicarakan orang.8.Agresif dan sifat bermusuhan..9.Rasa gelisah.10.Tak bisa diam, (Dalam waktu 24 jam). 11.Gangguan irama detak jantung.12.Perdarahan otak. 13.Hiperpireksia atau syok pada pembuluh darah jantung yang berakibat meninggal.
                 [25] Steven Vertovec, "Islamophobia and Muslim Recognition in Britain";( in Haddad ,2002)  pp. 32-33
            [26]Pengertian Ghazwul Fikri. Akar kata Ghazwul fikri berasal dari kata ghazw dan al-fikr, yang secara harfiah dapat diartikan "Perang Pemikiran". Yang dimaksud ialah upaya-upaya gencar pihak musuh-musuh Allah subhanahu wata’ala untuk meracuni pikiran umat Islam agar umat Islam jauh dari Islam, lalu akhirnya membenci Islam, dan pada tingkat akhir Islam diharapkan habis sampai ke akar-akarnya. Upaya ini telah berlangsung sejak lama dan terus berlanjut hingga kini. Lihat M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Cet. XXIII (Bandung, Mizan : 2002), hlm. 47.
              [27]Lihat Nasruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Quran, ( Penerbit Paramadina, Jakarta : 2001), hlm.105.  Nasruddin Umar : Barat menuduh bahwa Hukum Islam tidak manusiawi, bahkan melanggar HAM. Bagi Barat, hukum penjara adalah hukum yang paling manusiawi dan sesuai dengan HAM. Namun dengan uraian di atas, terungkap jelas bahwa Hukum Sipil yang berasal dari Baratlah yang tidak manusiawi, bahkan justru yang melanggar HAM. Dan fakta membuktikan bahwa hukum penjara tidak efektif, nihil solutif dan kontra produktif. Karenanya, penjara tidak menjadi hukum andalan dalam Hukum Islam, bahkan pilihan hukum terakhir yang terburuk. Hukum Sipil miskin Dimensi Sosial maupun Dimensi Ekonomi, apalagi Dimensi Ukhrowi. Sedang Hukum Islam kaya dimensi, baik duniawi mau pun ukhrowi. Selain itu, Hukum Islam sangat praktis dan dinamis, sehingga sanksi-sanksi hukumnya menjadi mudah dipahami dan ringan diimplementasikan. Misalnya, pemabuk dicambuk, pencuri dipotong tangan, perampok tanpa membunuh dipotong kaki dan tangan secara silang, perampok dengan membunuh dibunuh dan disalib jasadnya sebelum dikuburkan, penzina yang muhshon dirajam hingga mati, penzina yang tidak muhshon dicambuk seratus kali dan diasingkan setahun, pelaku Qodzaf dicambuk delapan puluh kali, pemberontak diperangi, pembunuhan dan penganiayaan ada dua opsi yaitu Qishosh atau Diyat. Sedangkan selain pidana di atas dihukum dengan hukum ta'zir, yaitu sesuai dengan ijtihad hakim atau ketetapan undang-undang negara, selama tidak bertentangan dengan Syariat Islam. Hukum Ta'zir ini beragam, mulai dari yang ringan seperti dijemur dan bakti sosial, hingga yang berat seperti kerja paksa.
         [28]Hasbi Ash-Shiddieqi: Paling tidak, ada empat hal yang termasuk dalam program al-ghazwul-fikri. Pertama, Tasykik yakni gerakan yang berupaya menciptakan keraguan dan pendangkalan akidah kaum Muslimin terhadap agamanya. Misalnya, dengan terus-menerus menyerang (melecehkan) Al-Qur’an dan Hadits, melecehkan Nabi Muhammad SAW., atau mengampanyekan bahwa hukum Islam tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Kedua, Tasywih yakni gerakan yang berupaya menghilangkan kebanggaaan kaum Muslimin terhadap agamanya. Caranya, memberikan gambaran Islam secara buruk sehingga timbul rasa rendah diri di kalangan ummat Islam. Di sini, mereka melakukan pencintraan negatif tentang agama dan ummat Islam lewat media massa dan lain-lain, sehingga Islam terkesan menyeramkan, kejam, sadis, radikal dan lain sebagainya. Ketiga, Tadzwib yakni pelarutan budaya dan pemikiran. Di sini, kaum kuffar dan munafiqin melakukan pencampuradukkan antara hak dan batil, antara ajaran Islam dan non-Islam. Sehingga ummat Islam yang awam kebingungan mendapatkan pedoman hidupnya. Dan, keempat, Taghrib yakni “pembaratan” dunia Islam, mendorong ummat Islam agar menerima pemikiran dan budaya Barat, seperti sekularisme, pluralisme, nasionalisme dan lain sebagainya. Lihat juga TM.Hasbi Ash-Shiddieqi, op.cit., hlm. 55
         [29]Nasruddin Umar, op.cit., hlm. 243
            [30] Op.Cit, QS.Faathir (35) : 6
          [31]Yusuf Qardhawi, Al-Islam Wal Ilmaniyyah Wajhan li Wajhin, Islam dan Sekulerisme,terj,(CV.Pustaka Setia, Bandung : 2006), hlm. 227-230. Walau sikap kepura-puraan Snouck akhirnya terbongkar, tapi pola penjajahan dengan cara ghazwul fikri seperti itu terus berkembang hingga kini.

               [32] Op.Cit, QS.Al Baqarah [2] :120
               [33] Op.cit, QS.Al Maidah [5] :82
               [34] Op.Cit, QS.Al Munafiqun (63) : 1
               [35] QS.Al Baqarah (2) : 217
                  [36] Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, cet III (Jakarta : PT Bumi Aksara, 1999), hlm 13. Perbedaan konsep menimbulkan produk hukum yang berbeda. Umpamanya tentang pengertian dan sanksi hukum zina. Hukum barat/positif memandang hubungan seks diluar nikah yang dilakukan oleh mereka yang sama-sama tidak terikat perkawinan dengan orang lain bukan merupakan zina, jadi bukan delik, tidak dapat dihukum selama tanpa paksaan dan tidak mengganggu ketertiban umum. Menurut hukum Barat ( termasuk yang dianut KUHP dan BW ) yang dikatakan zina adalah hubungan seksual diluar nikah yang dilakukakn oleh mereka ( atau salah satu dari mereka ) yang sedang terikat perkawinan dengan orang lain. Perbuatan zina tersebut termasuk delik aduan ( klachtendelik ), artinya tidak secara otomatis bisa dituntut, apabilla ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan, yaitu suami atau istrinya.
            [37]Juhaya S. Praja, Sejarah Hukum Islam, (Bandung : Pustaaka Setia),2007,hlm 160. Umat Islam di tengah masyarakat Yahudi.Untuk mewujudkan agenda mendirikan negara nasional Yahudi di Palestina yang dijamin oleh undang-undang publik. Untuk itu mereka menyusun beberapa langkah berikut ini: Pertama, menggalang dan mengembangkan pemukiman Yahudi di Palestina dan mendirikan perumahan-perumahan. Kedua, koordinasi Yahudi internasional dan legalisasi hubungan yang mengikat mereka dengan organisasi dan institusi Zionis. Ketiga, menyebarkan spirit nasionalisme, mengembangkan rasa dan kesadaran nasional Yahudi internasional. Keempat, mengambil langkah-langkah semestinya untuk mendapatkan dukungan dan persetujuan negara-negara asing berkenaan dengan konsep negara nasional Yahudi di Palestina. Samir Syathara, 100 tahun Konferensi Bahsl, al Mujtama, 1267, 16/9/1997
         [38]Santoso,Topo.Membumikan Hukum Pidana Islam Penegakan Syari'at Dalam Wacana dan Agenda, (Jakarta:Gema Insani Press.,2003),339. Epistemologis Hukum Islam memandang jika kebenaran mutlak bersumber dari Tuhan (wahyu), karena rasionalitas manusia itu terbatas sehingga tidak semua kebenaran bisa dibuktikan secara rasional. Dan hingga kini, Al-Qur’an terus dan akan tetap sejalan dengan perkembangan sains, karena Al-Qur’an merupakan wahyu Tuhan yang otentik. Sedangkan Barat memandang kebenaran secara materialis-empiris (tampak dan terbukti). Hal ini dikarenakan Barat mengalami tragedi spiritual yang amat buruk, di mana para ilmuwan sains pada tahun 1600-an M (seperti Galileo dan Copernicus) dihukum karena dianggap telah menentang Gereja, sehingga komunitas ilmuwan akhirnya sepakat bahwa kebenaran sejati akan didapat jika mereka berlepas diri dari dogma Gereja dan menggunakan rasionalitas mereka untuk membuktikan kebenaran secara empiris. Perbedaan Islam dan Barat jelas akan menimbulkan benturan hebat dalam peradaban dunia seperti yang disebutkan Samuel P. Huntington. Salah satu akibatnya, negara-negara dunia yang men-declare sebagai negara Islam atau negara dengan mayoritas penduduk Islam akan cenderung menolak sistem Barat. Dan  telah kita ketahui bersama bahwa potensi energi dunia tersimpan di rahim bumi negara-negara Islam, sehingga dalam konteks ini hasrat barat untuk menguasai minyak bumi menjadi terhambat.
          [39]Suma,Muahammad Amin.. Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam,(Jakarta : Raja Grafindo Persada,2004),117.Hifdz al-Nasl,menjaga keturunan, yakni dianjurkannya nikah demi menjaga keturunan, juga diharamkannya zina karena merusak keturunan. Adalah Thahir Ibnu ‘Asyur seorang pakar maqashid syari’ah yang berasal dari Tunisia. Secara umum gagasan Ibnu ‘Asyur hampir sama dengan wacana yang ditawarkan oleh al-syathibi, hanya saja beliau telah berjasa dalam mengembangkan disiplin ilmu maqashid syari’ah dan menjadikannya sebagai disiplin ilmu baru yang terpisah dengan ilmu ushul fiqh. Lihat Al-Suyuty, Al-Asbah wa al-Nazha’ir, terj, Mustafa Muhammad, Kairo:1986),63.
              [40] Ibid
              [41] Anderson,JNJ, Hukum Islam Di Dunia Modern, Edisi terjemah, Muhammad Nun Husain, (Surabaya: Amar Press, 1991),hlm 399
          [42]Abu Abdillah Ahmad bin Al-Isawi, op.cit, 579.Beberapa kaidah yang “bersifat individu” dalam beberapa kesempatan sebelumnya telah banyak dibahas. Memberikan hukuman fisik kepada anak, menyangkut tentang niat (al umuuru biaqashidiha), al yaqiinu la yuzalu bi al syak, dan lain-lain. Beberapa kaidah tersebut merupakan kaidah yang “bersifat individu. Dalam kesempatan ini, kaidah yang akan menjadi obyek pembahasan adalah kaidah yang tidak hanya melibatkan satu pihak individu saja, tetapi dalam implementasi kaidah ini melibatkan banyak pihak, karena dalam penerapannya, kaidah ini sering digunakan dalam fiqh siyasah. Seperti yang diketahui bahwa fiqh siyasah adalah hukum Islam yang obyek bahasannya mengenai kekuasaan dan bagaimana menjalankan kekuasaan tesebut. Apabila disederhanakan, fiqh siyasah meliputi Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Internasional.3 Apabila dilihat dari sisi hubungan, fiqih siyasah berbicara tentang hubungan antara rakyat dengan pemimpinnya sebagai penguasa yang konkret di dalam sebuah Negara atau antarnegara atau dalam kebijakan-kebijakan ekonominya baik nasional maupun internasional.
             [43] Imam Sudiyat, Asas-Asas Perbandingan Hukum Islam, Hukum Barat Dan Hukum Adat Bekal Pengantar, cet,3  (Liberty:Yogyakarta),2000, hal 76
             [44]Lihat Al-Suyuthy Imam Jalaluddin Abd al-Rahman bin Abubakar, Al-Asbah wan Nazha’ir fi al-Furu’,.Kaedah kelima, (Semarang, Karya Toha Putera: Tth), 83.
            [45] Said Agil Siradj, Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM, 1999),hlm.21-26. Khams (lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut adalah:a)Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dirniliki warga negara (rakyat).b)Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.c)Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dirniliki oleh warga negara.d)Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.e) Hifzhul 'lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara. Kelima prinsip di atas beserta uraian derivatifnya dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak Asasi Manusia (HAM).
          [46] Op.Cit, QS. Al- Syura (42) : 38
           [47] Menampar pipi dengan telapak tangan
             [48] Ibid, hlm 255
             [49] Pemerintah RI, op.cit, hlm 138
              [50] Coulson, Noel J. Hukum Islam Dalam Perspektif Sejarah,Edisi terjemah Hamid Ahmad, (Jakarta: P3M, 1987),hlm 251 .
          [51] Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Dipihak lain, keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka berfikir yang baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak dan pekerja hukum. Restoratif merupakan suatu paradigma yang dapat dipakai sebagai bingkai dari strategi penanganan perkara pidana yang bertujuan menjawab ketidakpuasan atas bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada saat ini.
              [52] Memukul, mencubit dan menjewer, dikategorikan tidak manusiawi, karena hanya bintang yang boleh dipukul, bukan manusia, menurut pemahaman dari UU 23 Tahun 2002.
              [53] Pemerintah RI, op.cit, hlm 42

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook